Nyeri.docx

  • Uploaded by: Erik Widiantoro
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Nyeri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,458
  • Pages: 16
1

A. KASUS Seorang pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke Poli Bedah RSUD Yogyakarta dengan keluhan terdapat benjolan pada anus ± 1 bulan SMRS. Benjolan dirasakan keluar saat BAB dan masih bisa dimasukkan kembali dengan jari. Bab berdarah merah segar (+), nyeri (+) BAK (N). Demam, penurunan berat badan, mual, muntah, disangkal. Pasien diassesment sebagai Hemorrhoid Grade III, dan dilaksanakan Hemorrhoidektomi. Setelah operasi, pasien merasakan nyeri VAS 7-8. B. TOPIK MASALAH Bagaimana manajemen nyeri pada pasien tersebut? C. PEMBAHASAN Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Smeltzer, 2002). International Association for The Study of Pain atau IASP mendefinisikan nyeri sebagai “suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan” (Potter & Perry, 2006) Price dan Wilson (2006) menjelaskan bahwa proses fisiologik nyeri terjadi antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subyektif nyeri. Terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi juga melibatkan faktorfaktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subyektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi oleh saraf Adapun proses terjadinya nyeri menurut Hartanti (2005) adalah sebagai berikut: ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan, potongan, sayatan, dingin, atau kekurangan O2 pada sel, maka bagian tubuh yang terluka akan mengeluarkan berbagai macam substansi yang normalnya ada di intraseluler. Ketika substansi intraseluler dilepaskan ke ruang ekstraseluler maka akan mengiritasi nosiseptor. Syaraf ini akan terangsang dan bergerak sepanjang serabut syaraf atau neorotransmisi yang akan menghasilkan substansi yang disebut dengan neorotransmiter seperti prostaglandin dan epineprin, yang membawa pesan nyeri dari medula spinalis ditransmisikan ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri.

2

Tamsuri (2007) menyatakan bahwa terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri

dianggap paling relevan. a. Teori Spesivisitas (specivicity Theory) Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke-17. Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multidimensional dapat memengaruhi nyeri. b. Teori Pola (Pattern Theory) Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang mampu menghantarkan rangsang dengan cepat; dan serabut yang mampu menghantarkan dengan lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada mendula spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri. c. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) Pada tahun 1959, Melzack & Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri. Price dan Wilson (2006) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi atau sumbernya, antara lain: a. Nyeri somatik superfisial (kulit) Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti tebakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut. b. Nyeri somatik dalam Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-sturktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus daripada nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah di sekitarnya. Nyeri dari berbagai struktur dalam berbeda. Nyeri akibat suatu cedera akut pada sendi memiliki lokalisasi yang jelas dan biasanya dirasakan sebagai rasa tertusuk, terbakar, atau berdenyut. Pada peradangan kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul yang disertai seperti tertusuk apabila sendi bergerak. 3

c. Nyeri Visera Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ - organ berongga (lambung, kandung empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ-organ padat (hati, pankreas, ginjal). Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia, dan peradangan. d. Nyeri Alih Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah satu daerah di tubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viksus yang nyeri tersebut. Apabila dialihkan ke permukaan tubuh, maka nyeri visera umumnya terbatas di segmen dermatom tempat organ visera tersebut berasal dari masa mudigah, tidak harus di tempat organ tersebut berada pada masa dewasa. e. Nyeri Neuropati Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP) yang menimbulkan perasaaan nyeri. Dengan demikian, lesi di sistem saraf tepi (SST) atau sistem saraf pusat (SSP) dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita akibat instabilitas sistem saraf otonom (SSO). Dengan demikian nyeri sering bertambah parah oleh stres emosi atau fisik (dingin, kelelahan) dan mereda oleh relaksasi.

Adapun penggolongan nyeri berdasarkan durasinya menurut Price dan Wilson (2006) adalah: a. Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan. Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal atau eksternal yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. b. Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri yang berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan atau pasien tampak sembuh dan nyeri tidak memiliki makna bilogik. Nyeri kronik dapat berlangsung 4

terus menerus, akibat penyebab keganasan dan non keganasan, atau intermiten, seperti pada nyeri kepala migren rekuren. Nyeri dapat menetap selama 6 bulan atau lebih.

Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nyeri Tamsuri (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tentang nyeri pada seorang individu meliputi: 1) Usia 2) Jenis kelamin 3) Budaya 4) Pengetahuan tentang nyeri dan penyebabnya 5) Makna nyeri 6) Perhatian klien 7) Tingkat kecemasan 8) Tingkat stres 9) Tingkat energi 10) Pengalaman sebelumnya 11) Pola koping 12) Dukungan keluarga dan sosial b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Toleransi Nyeri Tamsuri (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi toleransi nyeri pada seorang individu meliputi: Faktor-faktor yang meningkatkan toleransi terhadap nyeri antara lain a) Alkohol b) Obat-obatan c) Hipnosis d) Panas e) Gesekan/garukan f) Pengalihan perhatian g) Kepercayaan yang kuat Faktor-faktor yang menurunkan toleransi terhadap nyeri antara lain a) Kelelahan b) Marah c) Kebosanan, depresi d) Kecemasan e) Nyeri kronis 5

f) Sakit/penderitaan

Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa pengkajian nyeri adalah: a. Deskripsi verbal tentang nyeri Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta menggambarkan dan membuat tingkatnya. Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual dalam beberapa cara sebagai berikut:  Intensitas nyeri Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misalnya : tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat. Atau 0 sampai 10, 0 = tidak ada nyeri, 10 = nyeri sangat hebat)  Karakteristik nyeri Termasuk letak nyeri (untuk area dimana nyeri pada berbagai organ), durasi (menit, jam, hari, bulan dan sebagainya), irama (misalnya: terus menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri) dan kualitas (misalnya: nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti digencet).  Faktor-faktor yang meredakan nyeri Misalnya: gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan sebagainya) dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya  Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari (misalnya: tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitasaktivitas santai)  Kekhawatiran individu tentang nyeri Meliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

Potter & Perry (2006) menyatakan terdapat beberapa skala untuk melakukan pengkajian keparahan nyeri yaitu:  Skala deskriptif, yakni merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsian verbal yang disebut verbal descriptor scale (VDS) yaitu sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai nyeri yang tidak tertahankan.

6



Skala penilaian numeric, digunakan untuk mendeskripsikan nyeri. Klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. skala paling efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri maka direkomendasikan patokan 10 cm, yang digambarkan sebagai berikut :

Skala 0 = tidak nyeri Skala 1 – 3 = nyeri ringan Skala 4 – 6 = nyeri sedang Skala 7 – 9 = nyeri berat Skala 10 = nyeri tak tertahankan



Skala Analog Visual, yakni merupakan satu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala VAS dapat digambarkan sebagai berikut

7

Menurut Price dan Wilson (2006) Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri akan menimbulkan Metabolic Stress Response (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan sistemik dan psikologi pasien, seperti: a. Efek pada sistem kardiovaskular Curah jantung meningkat pada kebanyakan orang normal, namun menurun pada pasien dengan fungsi ventrikel yang melemah. Hal ini menyebabkan takikardi, peningkatan iritabilitas miokardium dan peningkatan resistensi vaskular sistemik. Karena peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardiium, nyeri dapat mencetuskan atau memperburuk iskemia miokardium. b. Efek pada sistem respirasi Nyeri dapat meningkatkan konsumi oksigen tubuh total dan produksi CO2 sebagai akubat dari bertambahnya ventilasi. Nyeri akibat sayatan pada perut atau dada menyebabkan berkurangnya volume tidal dan kapasitas residu fungsional paru, sehingga menyebabkan hipoksemia dan hipoventilasi. c. Efek pada sistem gastrointestinal dan urogenital Nyeri dapat meningkatkan tonus simpatis dan tonus sfiengter esofagus atas dan bawah, sehingga makanan dari lambung tidak mudah kembali ke arah mulut serta menurunkan motilitas usus dan saluran kemih, menyebabkan ileus dan retensi urin. Ileus yang lebih lanjut dapat menyebabkan distensi abdomen yang semakin mengurangi volume paru dan disfungsi paru. Stress ulcer dapat terjadi karena hipersekresi asam lambung. Mual, muntah dan sembelit merupakan keluhannya. d. Efek pada sistem endokrin Respons hormonal terhadap stres akan meningkatkan kerja hormon katabolik (katekolamin, kortisol dan glukagon) serta mengurangi hormon anabolik (insulin dan testosteron) . Peningkatan kortisol, bersama-sama dengan peningkatan renin, aldosteron, angotensin dan hormon ADH menyebabkan retensi natrium, retensi air dan peningkatan volume intraseluler, menyebabkan hipertensi, peningkatan gula darah. e. Efek pada sistem hematologi Nyeri dapat meningkatkan adhesi trombosit, pengurangan fibrinolisis dan kondisi hiperkoagulabilitas, sehingga meningkatkan kondisi hipoksia f. Efek pada sistem imun 8

Leukositosis dengan limfopenia dan penekanan sistem retikoendotelial (spleen, lungs, bone marrow, liver, lymphonodi). Hal ini menyebabkan pasien lebih rentan terinfeksi. g. Perubahan kognitif (sentral): kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa.

9

Manajemen nyeri dapat menggunakan pendekatan farmakologi dan non farmakologi 1. Farmakologi

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO yaitu : 1. Langkah pertama menggunakan obat analgesik non opiat. 2. Apabila masih tetap nyeri naik ke langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah seperti kodein. 3. Apabilamasih belum reda, langkah ketiga, disarankan menggunakan opioid keras yaitu morfin. Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu : 1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3 2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1 a. Nyeri Ringan / Mild Pain (VAS 1-3)  Non Opioid Acetaminofen 650mg q4h atau ASA (Aspirin) 650mg q4h atau Ibuprofen 400mg q4h atau NSAIDs lain + Adjuvants* b. Nyeri Sedang / Moderate Pain (VAS 4-6)  + Opioid Acetaminophen 325mg + codein 30mg q4h atau Acetaminophen 325mg/500mg + oxycodone 5mg q4h + Adjuvants c. Nyeri Berat / Severe Pain (VAS 7-10)  dimulai dari Strong Oral Opioid Morphine 5-10mg q4h Dilaudid 1-4mg q4h Fentanyl 25mcg/jam + Morphine Sulfat 5mg q2h + Adjuvants *Adjuvant adalah pengobatan yang membantu meningkatkan efek dari anti nyeri Contoh: - NSAIDs. - Anti Depresan (Nortriptyline, Despiramine, Amitriptyline. 10

- Antikonvulsan (Gabapentin, Pregabalin, Carbamazepine). a. Macam Obat Analgesik i. Non Opioid OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin (Roden, A. & Sturman, E.2009) Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal. (Roden, A. & Sturman, E.2009)

Bilamana pasien telah menggunakan NSAID dalam waktu lama, pasien harus menghentikan konsumsi obat minimal 24 – 48 jam sebelum operasi berlangsung, agar obat dapat dieliminir sempurna, juga untuk menurunkan risiko perdarahan yang mungkin terjadi. Asetaminofen Salisilat (Asetosal) Fenamat Asam Asetat Antalgin Asam Propionat Asam Pirolizin Karboksilat

Parasetamol Aspirin, Mg Salisilat, Diflunisal Meklofenamat, Asam Mefenamat Na Diklofenak Metampiron, Metamizol, Dipiron Ibuprofen, Fenoprofen, Ketoprofen Ketorolak 11

Inhibitor Cox-2

Celecoxib, Valdecoxib

Efek Samping NSAIDs

COX-2 Inhibitors

Nyeri Perut

Mucus berkurang

Heartburn

Bicarbonate berkurang

Ulcer

Aliran darah mukosa berkurang

Bleeding

Proliferasi epitel terhambat

Nyeri Kepala

Masalah GIT

Dizziness

Meningkatkan kejadian serangan jantung

Telinga berdenging

Meningkatkan infark myocardiac

ii. Opioid Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Reseptor opioid terdiri atas mu (µ, kappa (K), delta (𝜕), sigma dan epsilon (€). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri (Roden, A. & Sturman, E.2009). Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein, tramadol, morfin solutio (Roden, A. & Sturman, E.2009). Tramadol, suatu sintetil 4-phemyl-piperidine analod codeine, di sentral akan bekerja sebagai analgesik yang berafinitas lemah terhadap reseptor mu dan dapat memodifikasi transmisi impuls nociceptif lewat penghambatan re-uptake monoamine (norepinephrin dan serotonin). Sediaan iv dan im tramadol memiliki 1/10 kekuatan analgesik dibanding morphine, dan berguna untuk menangani nyeri sedang. Pada dosis analgesik yang sama dengan morphine, tramadol kurang mempengaruhi pusat pernapasan (Roden, A. & Sturman, E.2009). 12

Morfin, Hidromorfon, Oksimorfon, Leforvanol, Kodein, Hidrokodon, Oksikodon Meperidin, Fentanil Metadon, Propoksifen Nalokson Tramadol

Agonis seperti Morfin Agonis seperti Meperidin Agonis seperti Metadon Antagonis Analgesik Sentral Efek Samping Efek

Manifestasi

Perubahan Mood

Disforia, Euforia

Kesadaran

Lemah, Mengantuk, Apatis

Stimulasi CTZ

Mual, Muntah

Depresi Pernafasan

Respirasi Turun

Menurunkan Motilitas GI Meningkatkan Tonus Sfingter Pelepasan Histamin

Konstipasi

Toleransi

High Dose

Dependensi

Gejala Putus Obat

Retensi Urin Urtikaria, Asma

13

iii. Antagonis dan agonis-antagonis opioid Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi (Roden, A. & Sturman, E.2009). Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni (Roden, A. & Sturman, E.2009) iv. Adjuvan atau koanalgesik Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap opioid (Roden, A. & Sturman, E.2009). Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf (Roden, A. & Sturman, E.2009). Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan (Roden, A. & Sturman, E.2009). Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker (Roden, A. & Sturman, E.2009). Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang 14

disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid (Roden, A. & Sturman, E.2009)

2. Non Farmakologi menurut Roden, A. & Sturman, E (2009): a. Distraksi Mengalihkan perhatian pasien dari nyeri, sehingga kesadaran terhadap nyerinya berkurang (Terapi musik, Guided imaginary) b. Stimulas kutaneus Teknik reduksi nyeri dengan melakukan stimulasi pada kulit untuk menghilangkan nyeri (kompres dingin, massage/pijatan, plester hangat, akupuntur) c. Anticipatory Guidance Teknik reduksi nyeri dengan memberikan informasi yang dapat mencegah terjadinya misinterpretasi dari kejadian yang dapat menimbulkan nyeri dan membantu pemahaman apa yang diharapkan. d. Relaksasi Teknik ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis.

15

D. Pembahasan dan kesimpulan Opioid merupakan zat farmakologik teraputik utama bagi nyeri post-operatif dalam skala sedang hingga berat. Analgesia dicapai dengan melumpuhkan respon sentral terhadap stimulus nyeri tanpa menghilangkan kesadaran atau mempengaruhi taktil, visual atau sensasi pendengaran. Antagonis dan agonist dapat digunakan sebagai analgesik yang efektif pada periode post operatif dan memiliki ceiling effect bagi depresi pernapasan. Analgesik opioid tidak mempengaruhi proses penyembuhan atau menghambat fungsi platelet. Pada saat kebutuhan seorang pasien akan analgesik berkurang, biasanya menggunakan acetaminophen dan codeine. Codeine, oxycodone dan hydrocodone memiliki potensi analgesik yang terbatas dikarenakan tingginya efek samping pada equianalgesik bila dibandingkan dengan morphine atau meperidine, dan amat baik guna menterapi nyeri ringan hingga moderate. Pada pasien ini didapatkan nyeri akut dengan nilai VAS 8-9, sehingga dapat diberikan obat anti nyeri golongan opioid kuat seperti Fentanyl 25mcg/jam + Morphine Sulfat 5mg q2h, dan bila perlu diberi tambahan adjuvant. E. REFERENSI Hartanti. (2005). Relaksasi Klien Post Operasi Sectio Ceasare. Jakarta. Potter. P A & Perry A.G (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep. Proses. dan Praktik. vol. 2. edk 4. Jakarta: EGC. Price. S.A dan Wilson (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit vol. 2. edk 6. Jakarta: EGC. Principles of Best practice: Minimizing pain at wound dressing ‐ related procedures. A consensus document. (2007). Toronto, Ontario, Canada: c WoundPedia Inc. 2007 Roden, A. & Sturman, E.(2009). Assessment & Management of patients Alt wound ‐ related pain. Nursing Standard, 23 (45) 53 ‐ 62 Smeltzer dan Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Tamsuri, A. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC World Health Organization,(2009). WHO’s Pain Relief Ladder. www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/

Yogyakarta, Maret 2018 Dokter Pembimbing,

dr. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes

16

More Documents from "Erik Widiantoro"

Fisiologi Jantung.docx
December 2019 14
Resus Kongestive.docx
December 2019 13
Nyeri.docx
December 2019 18
Refleksi Kasus Tht.docx
December 2019 14
Tutorial Klinik.docx
December 2019 10
Invaginasi.docx
December 2019 13