TEMA : “PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP TRANSPARANSI PEMERINTAH DAERAH”
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sejak terjadinya krisis ekonomi global, pelayanan publik telah menjadi masalah besar
bagi para pemimpin, politisi, warga negara dan pemangku kepentingan lainnya (Beare, Buslovich, dan Searcy 2014; Greco, Sciulli, dan D'Onza 2015; Brusca, Manes Rossi, dan Aversano 2016; Niemann dan Hoppe 2018). Ketertarikan pada entitas publik ini telah menarik perhatian peneliti dan organisasi internasional, yang telah diakui relevansi dan ketepatan waktu berkontribusinya untuk meningkatkan praktik transparansi pemerintahan yang berkelanjutan, sebagai elemen kunci dari pemerintahan yang baik (Kelompok Bank Dunia 2012; UE, 2015; Erkkilä 2016). Transparasi juga dikenal dalam administrasi pemerintahan. Krina (2003:14) menjelaskan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaanya, serta hasil-hasil yang dicapai. Menurut Mardiasmo (2009 : 18) yang mengutip pendapat UNDP menyatakan bahwa transparasi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan
publik secara langsung dapat diperoleh mereka yang membutuhkan. Transparasi dapat diketahui banyak pihak mengenai pengelolaan keuangan daerah dengan kata lain segala tindakan dan kebijakan harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui oleh umum.
Selain dikelola secara baik dan dipergunakan untuk memaksimalkan kesejahteraan masyarakat, keuangan daerah juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara transparan dan akuntabel. Sesuai dengan amanat yang tertuang dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 30-32, menyebutkan bahwa baik Presiden maupun Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) diwajibkan untuk menyampaikan pertanggungjawaban APBN/APBD kepada DPR/DPRD dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambatlambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Wujud pertanggungjawaban keuangan daerah tersebut dipaparkan secara jelas dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, khususnya Bab II tentang pelaporan keuangan dan kinerja.
Dalam hal pembuatan Laporan Keungan Pemerintah Daerah (LKPD), Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 3 menjelaskan bahwa adanya LKPD maka para pengguna laporan keuangan dapat melakukan komparasi antara kinerja keuangan dengan anggaran, menilai hasil operasional dan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait keuangan daerah, serta mengevaluasi kinerja pemerintah daerah.
Selain LKPD, sarana akuntabilitas dan transparansi kinerja pemerintah adalah berupa Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD). Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Masyarakat dipaparkan bahwa ruang lingkup LPPD mencakup informasi-informasi mengenai penyelenggaran pemerintah daerah terkait dengan urusan desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas umum pemerintahan.
Fenomena perkembangan pemerintahan di Indonesia saat ini adalah tuntutan akuntabilitas terhadap pemerintah baik di pusat maupun daerah. Tuntutan akuntabilitas sektor publik terkait dengan perlu dilakukannya transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Akuntabilitas keuangan adalah pemberian informasi atas aktivitas dalam menjaga keakuratan laporan keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed) dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to) (Mardiasmo, 2009). Oleh karena itu, pemerintah wajib merespon tuntutan akuntabilitas tersebut di atas. Laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki haruslah memiliki keempat karakteristik kualitatif diatas sebagai prasyarat normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi sehingga dapat memenuhi tujuannya.
Kualitas laporan keuangan akan meningkatkan kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan yakin dalam mengambil keputusan karena didasarkan pada informasi yang telah 15 dipersiapkan dengan baik, disetujui, dan diaudit secara transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan berkualitas. Kualitas laporan keuangan adalah sejauh mana laporan keuangan menyajikan informasi yang benar dan jujur. Hal ini berarti bahwa kualitas laporan keuangan menunjukkan konsep kualitas informasi dari laporan tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya (lihat, Hermana et al. 2012; Sofia dan Husen 2013; Martani, Fitriasari, dan Annisa 2014) telah berusaha mengukur perkembangan transparansi pengelolaan
keuangan
daerah
di
Indonesia.
Pertama,
penelitian
Hermana
et
al.
(2012)menggunakan data website pada 33 pemerintah provinsi, 349 pemerintah kabupaten, dan 91 pemerintah kota di Indonesia. Data dikumpulkan pada bulan Juni 2011. Hasil analisis menunjukkan rata-rata indeks nasional untuk informasi keuangan sebesar 19,1%. Mereka juga menunjukkan bahwa rata-rata indeks pengungkapan informasi keuangan dan non-keuangan untuk pemerintah kota lebih tinggi dibanding dengan pemerintah provinsi dan kabupaten. Selain itu, temuan lainnya adalah adanya indikasi kesenjangan digital antara tingkat pemda dan antara daerah di Pulau Jawa dengan daerah di luar Jawa. Kedua, Sofia dan Husen (2013) meneliti informasi keuangan dan non-keuangan yang diungkapkan oleh 350 pemda (kabupaten dan kota) di website resmi masing-masing pemda. Pengumpulan data dilakukan selama bulan April 2012. Mereka menunjukkan bahwa rata-rata pengungkapan informasi keuangan di websitepemda
hanya sebesar 9,9%. Sementara itu, untuk informasi non-keuangan lebih tinggi dibanding dengan informasi keuangan, yakni memiliki indeks rata-rata sebesar 59,1%. Ketiga, Martani et al.(2014) mengukur pengungkapan transparansi keuangan dan kinerja pemda pada 490 kota/kabupaten di Indonesia. Data yang digunakan adalah 429 data website pemda yang dapat diakses dan diamati dari pertengahan Mei sampai dengan Juli 2013. Pengukuran tersebut terdiri dari lima besar indikator, yaitu berita keuangan, APBD, Laporan Keuangan, Laporan Kinerja, dan Daerah dalam Angka. Temuan mereka menginformasikan bahwa tingkat transparansi informasi keuangan dan kinerja pemda mencapai 15%. Selain itu, mereka juga menunjukkan bahwa pemdapaling banyak mengungkapkan informasi keuangan dan kinerja dalam bentuk berita dan informasi Pemda Dalam Angka. Sementara itu, untuk informasi utama keuangan dan kinerja yang berupa APBD, laporan keuangan dan laporan kinerja pengungkapannya masihdi bawah 10%.
Singkatnya, penelitian di atas (lihat, Hermana et al. 2012; Sofia dan Husen 2013; Martani et al. 2014) secara umum memberikan informasi bahwa tingkat transparansi pengelolaan keuangan daerah masih rendah. Namun demikian, penelitian tersebut dalam mengukur transparansi informasi pengelolaan keuangan daerah hanya terbatas pada informasi yang terkait dengan aspek pelaporan dan pertanggung jawaban keuangan daerah. Penelitian tersebut tidak mencakup seluruh aspek pengelolaan keuangan daerah. Akhirnya, informasi yang diberikan dari pengukuran tersebut tidak memadai untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya, keterbatasan lain dari penelitian tersebut adalah terbatas pada dua kriteria informasi, yaitu ketersediaan dan aksesibilitas dalam mengukur transparansi informasi pengelolaan keuangan daerah. Dengan kata lain penelitian terdahulu belum mempertimbangkan ketepatan waktu pengungkapan informasi pengelolaan keuangan daerah. Padahal, esensi sebenarnya atau sejatinya dari sebuah informasi terletak pada ketepatan waktu pengungkapan (publikasi). Armstrong (2005); Chalid Pheni (2005); dan Fung (2014) menyatakan bahwa ketepatan waktu adalah salah satu pilar utama dari transparansi. Hal ini dikarenakan informasi yang disajikan tepat waktu, tentunya akan memiliki nilai sempurna, lebih bermanfaat, dan lebih berpengaruh bagi pengambilan keputusan. Dalam hal ini informasi yang tepat waktu dapat digunakan oleh pemangku kepentingan (publik) misalnya, untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini selain untuk mengukur perkembangan transparansi pengelolaan keuangan daerah, tetapi juga untuk menutupi keterbatasan penelitian sebelumnya dalam mengukur transparansi pengelolaan keuangan daerah. Dengan mengukur masing-masing tahapan pengelolaan keuangan daerah yang didasarkan pada tiga kriteria utama informasi, yakni ketersediaan, aksesibilitas, dan ketepatan waktu pengungkapan. Lebih dari itu, temuan penelitian diharapkan memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi pemerintah dalam menunjukkan tingkat transparansi pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi atas pelaksanaan transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Sejumlah temuan penelitian di berbagai Negara menjelaskan bahwa pemerintah di negara demokrasi telah menyadari bahwa terciptanya keterbukaan (transparency) informasi bagi publik berdampak positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Transparansi akses informasi menjadi salah satu hal penting dalam pengawasan terhadap kebijakan dan program pemerintah.
Praktik transparansi dalam konteks tata kelola pemerintahan dapat meningkatkan manajemen pemerintah dan memiliki implikasi pada efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas entitas publik (Marcuccio dan Steccolini 2005; Erkkilä 2012; Beare, Buslovich, and Searcy 2014). Lebih khusus lagi, beberapa peneliti telah menyoroti minat untuk mengetahui variabel mana yang memengaruhi transparansi pemerintah, menyimpulkan bahwa identifikasi penjelasan faktor-faktor dapat membantu pembuat kebijakan dan pemimpin mengambil keputusan yang bertujuan untuk mempromosikan transparansi pada pelayanan publik, dengan memusatkan perhatian mereka tentang tuntutan pemangku kepentingan (Prado-Lorenzo, García-Sánchez, dan Cuadrado-Ballesteros 2012; García-Sánchez, Frías-Aceituno, dan Rodríguez-Domínguez 2013; Tagesson, Klugman, dan Ekström 2013; Caba-Pérez, Rodríguez-Bolívar, dan López-Hernández 2014; Rodríguez et al., 2014; Alcaraz-Quiles, Navarro-Galera, dan Ortiz-Rodríguez 2015; Navarro et al. 2015; Tejedo-Romero dan Ferraz, 2018). Transparansi dalam dunia pemerintahan menjadi hal yang sangat krusial karena berkaitan dengan kualitas dari lembaga pemerintahan itu sendiri. Ketika lembaga pemerintahan memiliki
kualitas yang sangat baik, maka lembaga tersebut akan cenderung transparan atau terbuka terhadap masyarakat, bahkan mempersilahkan masyarakat untuk melihat apa saja yang ada dalam lembaga tersebut secara nyata. Sebaliknya, jika lembaga pemerintahan memiliki kualitas yang buruk, maka lembaga tersebut cenderung akan memiliki tingkat transparansi yang buruk dan ditandai dari lembaga yang akan berusaha menutup-nutupi tentang kondisi yang sebenarnya, bahkan akan berusaha mencegah masyarakat untuk masuk ke dalamnya. Dengan demikian, tingkat kepercayaan masyarakat akan lembaga tersebut semakin berkurang. Transparansi juga mempunyai keterkaitan dengan akuntabilitas. Untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, salah satunya bisa dilihat dari sistem birokrasi pemerintah yang akuntabel. Akuntabilitas merupakan suatu tingkatan yang menunjukkan tanggungjawab aparat atas kebijakan ataupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Cermin asas demokrasi suatu negara adalah partisipasi masyarakatnya dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik. Partisipasi menjadi salah satu prinsip yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Selamat, 2011: 2).
Hal ini didasarkan pada ketersediaan informasi organisasi
pemerintah
yang
memungkinkan warga negara dan aktor eksternal lainnya untuk memantau dan menilai kinerja internal dan kinerja organisasi publik (Meijer 2013; Grimmelikhuijsen 2012). Transparansi adalah sarana untuk meningkatkan efektivitas kebijakan, administrasi dan manajerial (Hirsch dan Osborne 2000). Silver (2005) kemudian diikuti Ridha dan Basuki (2012) mendefinisikan
transparansi sebagai suatu kejujuran dan ketepatan yang tidak hanya dalam jumlah yang disampaikan atau dirilis oleh organisasi, tetapi juga bagaimana organisasi menjalankan operasionalnya. Transparansi mengacu pada akses yang tidak terbatas oleh masyarakat untuk informasi yang tepat waktu dan dapat diandalkan pada keputusan dan kinerja di sektor publik (Armstrong 2005).
Dalam konteks pemerintah daerah (pemda), Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi (Mardiasmo 2004). Lebih lanjut, transparansi pengelolaan keuangan daerah adalah keterbukaan pemda membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Menurut Mardiasmo (2004) transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Chalid (2005) menyatakan bahwa transparansi berarti pemerintah terbuka dalam memberikan informasi yang seluas-luasnya dalam pengelolaan sumber daya publik kepada masyarakat. Dalam hal pengelolaan keuangan yang pada dasarnya merupakan dana masyarakat, maka pemerintah perlu didorong untuk memberikan informasi keuangan yang diperlukan secara
akurat, relevan, tepat waktu dan dapat dipercaya (Chalid 2005). Mulai dari proses perencanaan hingga pertanggungjawaban atas program dan anggaran yang telah ditetapkan.
Transparansi pengelolaan keuangan daerah didefinisikan sebagai suatu bentuk keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan anggaran (keuangan) sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh publik (masyarakat) dan pemangku kepentingan lainnya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan. Penelitian ini mengukur transparansi pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada tiga tahapan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; dan (3) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Masing-masing tahapan pengelolaan keuangan daerah diukur dengan menggunakan 3 (tiga) kriteria utama, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan ketepatan waktu pengungkapan informasi pengelolaan keuangan daerah. Ketersediaan menunjukkan bahwa informasi pengelolaan keuangan daerah yang diukur tersedia di website resmi pemda. Tersedia, artinya informasi tersebut disediakan untuk umum (publik) di website resmi oleh pemprov. Aksesibilitas menunjukkan bahwa informasi yang tersedia tersebut dapat diunduh oleh publik. Artinya, informasi tersebut dapat dengan mudah diambil oleh publik tanpa harus melalui prosedur yang rumit. Sementara itu, ketepatan waktu pengungkapan didefinisikan sebagai informasi mengenai pengelolaan keuangan daerah disajikan (disediakan) di website resmi pemprovsesuai dengan rentang waktu yang dipersyaratkan (diharapkan). Lebih lanjut, ketepatan waktu dinilai berdasarkan tanggal pemprov mengunggah informasi pengelolaan
keuangan daerah dibandingkan dengan tanggal yang dipersyaratkan (diharapkan) peneliti. Dalam penelitian ini waktu yang dipersyaratkan adalah tiga puluh hari setelah dokumen pengelolaan keuangan
daerah
ditetapkan.
Pengambilan
keputusannya
adalah
apabila
pemprov
mempublikasikan informasi pengelolaan keuangan daerah pada rentang waktu yang dipersyaratkan, maka dinyatakan tepat waktu. Sebaliknya, apabila informasi pengelolaan keuangan daerah dipublikasikan melewati rentang waktu yang dipersyaratkan, maka dinyatakan tidak tepat waktu. Namun, untuk informasi yang sifatnya tersedia secara online atau setiap saat. Jenis informasi tersebut adalah informasi tentang realisasi anggaran pendapatan, belanja, pembiayaan daerah, dan rencana umum pengadaan. Penilaian ketepatan waktu didasarkan pada tanggal terakhir diperbaharui informasi yang ada dalam layanan elektronik tersebut, yakni maksimal telah diperbaharui satu bulan terakhir. Selengkapnya, dapat dilihat pada Lampiran 1 penelitian ini.
Instrumen transparansi pengelolaan keuangan daerah yang digunakan merupakan modifikasi dari instrumen penelitian Huwae (2016). Pemilihan instrumen Huwae (2016) didasarkan pada pertimbangan bahwa instrumen tersebut telah divalidasi oleh para ahli, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi sektor publik (pemerintah). Dengan demikian, peneliti mengaggap bahwa instrumen tersebut telah tepat untuk digunakan dalam mengukur transparansi pengelolaan keuangan daerah. Modifikasi instrumen tersebut dengan menambahkan kriteria aksesibilitas, ketepatan waktu publikasi, dan perubahan tanggal dan tahun pengamatan
pengelolaan keuangan daerah. Penilaian pada tahap perencanaan APBD terdiri dari 10 (sepuluh) indikator, tahap pelaksanaan APBD terdiri dari 9 (sembilan) indikator, dan tahap pelaporan dan pertanggungjawaban APBD terdiri dari 10 (sepuluh) indikator. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada lampiran 2 penelitian ini yang menyajikan ringkasan poin-poin instrumen pengukuran transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Maret 2000, terwujudnya good governance merupakan tuntutan bagi terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna, berhasil guna, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam rangka itu diperlukan sistem akuntabilitas yang baik pada keseluruhan jajaran aparatur negara (LAN dan BPKP, 2000: 3). Bentuk dan cermin akuntabilitas dalam penyelengaraan pemerintah daerah, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Wujud pertanggungjawaban tersebut dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP mampu mendorong terwujudnya good governance dan bermanfaat meningkatkan tata kelola pemerintahan yang bersih serta akuntabel hingga mampu memperlihatkan akuntabilitas publik (Andriani, 2015: 58).
Jika melihat realitas di beberapa daerah di Indonesia, tingkat transparansi masih terbilang rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, salah satunya adalah pengelolaan keuangan daerah yang masih tertutup. Tertutupnya pengelolaan keuangan ini dapat menjadi ajang korupsi bagi para oknum pejabat serta rekanan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Ini dapat dibuktikan pada tahun 2017, ada 5 orang kepala daerah yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (http://mediaindonesia.com, diakses tanggal 14 November 2018) yang bertambah menjadi 18 orang pada tahun 2018 (https://www.liputan6.com, diakses tanggal 14 November 2018). Dampak dari hal tersebut dapat dilihat dari kualitas proyek pangadaan barang dan jasa menjadi rendah serta tidak efektif. Menurut Almanda Primadona (2011: 4) untuk menilai akuntabilitas organisasi dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik perlu dilaksanakan pengukuran kinerja. Akuntabilitas tidak hanya kemampuan memperlihatkan bagaimana membelanjakan uang publik secara ekonomis, efektif, serta efisien. Setiap perangkat daerah yang selaku pengguna anggaran akan menghasilkan kinerja yang berbeda sesuai dengan tugas tanggungjawab dan kemampuan yang dimiliki. Semakin baik tingkat pengelolaan keuangan oleh pengguna anggaran maka akan semakin baik tingkat kinerja pemerintah. Dengan pengelolaan keuangan daerah yang baik maka tujuan organisasi akan tercapai dengan baik juga, karena semua komponen organisasi bergerak bersama-sama menjalankan program kegiatan secara efektif, efisien dalam mencapai tujuan entitas, keandalan pelaporan keuangan, keamanan aset negara, dan kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan demikian akan mendukung peningkatan kinerja dan penerapan SAKIP (Ratna, 2016: 75). Sebuah organisasi bisa dikatakan berjalan sesuai dengan prinsip good governance bila pengelolaan keuangan daerah sudah berjalan sesuai standar yang ditetapkan serta menghasilkan pelaporan keuangan daerah yang andal dan relevan (Ristansi, 2014: 9).
Sejauh ini, sebagian besar penelitian dalam bidang ini telah berfokus pada transparansi keuangan (Caba-Pérez, Rodríguez-Bolívar, dan López-Hernández 2008; Pina, Torres, dan Royo 2010; Guillamón, Bastida, dan Benito 2011; Caba-Pérez, Rodríguez-Bolívar, dan LópezHernández 2014; Rodríguez Bolívar et al. 2014), meskipun peneliti juga menyoroti perlunya mengidentifikasi faktor lingkungan budaya yang secara spesifik dapat memengaruhi transparansi di bidang sosial, lingkungan dan ekonomi (García-Sánchez, Frías-Aceituno, dan RodríguezDomínguez 2013; Alcaraz-Quiles, Navarro-Galera, dan Ortiz-Rodríguez 2015; Greco, Sciulli, dan D'Onza 2015; Navarro et al. 2015; Brusca, Manes Rossi, dan Aversano 2016; Rodríguezetal., 2016). Dalam hal ini, temuan penelitian menyarankan bahwa faktor-faktor yang paling memengaruhi transparansi pada gilirannya bisa dipengaruhi oleh lingkungan budaya di negara yang bersangkutan (Navarro et al. 2015; Brusca, Manes Rossi, dan Aversano 2016; Tavares and Da Cruz2017; Ortiz-Rodríguez, Navarro-Galera, dan Alcaraz-Quiles 2018). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan analisis komparatif tradisi administratif yang berbeda untuk mengidentifikasi dampak dari empat jenis variabel (demografis, sosiologis,
ekonomi, dan finansial) tentang pengungkapan informasi oleh pemerintah daerah mengenai ekonomi, sosial dan lingkungan, yang akan memberi temuan yang berguna untuk meningkatkan manajemen transparansi, (Navarro et al. 2014; García-Sánchez et al., 2016; Ortiz-Rodríguez, Navarro-Galera, dan Alcaraz-Quiles 2018). Meskipun faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi telah dipelajari sebelumnya, hasil yang diperoleh merujuk pada negara-negara tertentu dengan meningkatkan lingkungan budaya (Albalate, 2013; García-Sánchez, Frías-Aceituno, dan Rodríguez-Domínguez 2013; Alcaraz-Quiles, Navarro-Galera, dan Ortiz-Rodríguez 2015; Brusca, Manes Rossi, dan Aversano 2016). Selanjutnya beberapa penelitian sebelumnya tingkat transparansi dalam tradisi administratif yang berbeda telah digunakan pendekatan deskriptif murni (Pina, Torres, dan Royo 2010; Garcia- Sanchez, Cuadrado-Ballesteros, dan Frias-Aceituno 2016; Navarro et al., 2017), tanpa mengidentifikasi variabel penjelas yang dapat menjelaskan perbedaan yang diamati antara budaya. Dalam konteks krisis ekonomi , organisasi internasional telah menyoroti kebutuhan untuk meningkatkan berbagai praktik tansparansi di entitas pemerintah (Kelompok Bank dunia 2012; IFAC2013). Di negara Uni Eropa (UE. Komisi Eropa 2015) telah mengindikasikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir signifikan sejumlah negara telah melaksanakan reformasi administrasi dengan tujuan mempromosikan transparansi sebagai alat untuk akuntabilitas. Penulis seperti Bryson, Crosby, dan Bloomberg (2014), Greco, Sciulli, dan
D'Onza (2015) dan Brusca, Manes Rossi, dan Aversano (2016) telah menyimpulkan bahwa transparansi berperan peran vital dalam memungkinkan warga mendapat informasi lengkap dan dengan demikian berada dalam posisi untuk secara aktif terlibat dalam keputusan pemetaan publik dan untuk mengevaluasi peraturan Pemerintah. Dalam konteks ini, organisasi dan peneliti internasional telah menyimpulkan bahwa langkah-langkah untuk mempromosikan berkelanjutan adalah aspek penting dari transparansi pemerintah, sebagai tanggapan atas permintaan publik yang luas untuk berkelanjutan layanan publik (ICLEI 2009; García-Sánchez, Frías-Aceituno, dan Rodríguez-Dom ínguez 2013; IFAC 2013; Navarro et al. 2014; EU. Komisi Eropa 2015; Brusca, Manes Rossi, dan Aversano 2016). Bahkan, banyak negara telah menyetujui undang-undang untuk memperkuat transparansi pemerintah dan telah mengadopsi langkah-langkah mempromosikan berkelanjutan (Pusat Hukum dan Demokrasi, 2015). Namun, lebih jauh studi empiris diperlukan, untuk memberikan dasar untuk tindakan spesifik transparansi pada berkelanjutan, dan dengan demikian menggabungkan dua jenis reformasi (Tagesson, Klugman, dan Ekström 2013; Niemann dan Hoppe 2018; Ortiz-Rodr íguez, Navarro-Galera, dan Alcaraz-Quiles 2018). Menanggapi hal ini dirasakan perlu, studi kami berfokus, khususnya, pada pertanyaan transparansi pemerintah daerah. Sejalan dengan tren internasional yang disebutkan di atas, beberapa teori telah diusulkan mengenai pengungkapan informasi pemerintah (Marcuccio dan Steccolini 2005). Menurut
Stakeholder Teori (ST), informasi pemerintah harus memenuhi tuntutan semua pihak. pemegang, dengan mempertimbangkan nilai, minat, dan harapan mereka (García-Sánchez, Frías-Aceituno, dan Rodríguez-Domínguez 2013; Alcaraz- Quiles, Navarro-Galera, dan Ortiz-Rodríguez 2015; Navarro et al. 2015). ST adalah berdasarkan pada gagasan bahwa setiap organisasi dikaitkan dengan sejumlah pihak yang berkepentingan (pemangku kepentingan), kepada siapa informasi harus diberikan, dan bahwa fungsi tata kelola entitas harus diperluas tujuan langsungnya (Marcuccio dan Steccolini 2005). Oleh karena itu, Komitmen kepada masyarakat tidak terbatas pada pengungkapan informasi, juga harus memastikan bahwa para pemangku kepentingan dapat memengaruhi proses komunikasi (Greco, Sciulli, dan D'Onza 2015). Merujuk pada ST, studi empiris mengasumsikan bahwa harapan dan nilai pemegang dapat memengaruhi respons yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan informasi yang disampaikan oleh warganya. Dari sudut pandang tanggung jawab politik, pendekatan ini menyiratkan pengakuan akan kebutuhan untuk mengatasi kebutuhan informasi yang berbeda dari pemangku kepentingan. Tantangan dalam usaha mempercepat proses pembangunan antar wilayah adalah dengan memperhatikan dan memahami indonesia’s growth pole, belum jelasnya leading sectors (the most connectivity) setiap provinsi, backward regions, fenomena debottlenecking infrastructure dan masalah finansial (Kuncoro, 2013). Kendala terbesar yang menyebabkan wilayah lain sulit mendekatan kinerja ekonomi wilayah Jawa Timur karena jauhnya manfaat dari aglomerasi yang
cukup kuat di Jawa dibandingkan wilayah lain (Amita dan Kameron 2004). Faktor lain yang menyebabkan Jawa Timur (dan Jawa) lebih berkembang karena dipengaruhi oleh 2 (dua) hal yaitu (1) karena adanya ketidaksamaan penyebaran penduduk, pendapatan, dalam arti luas sumberdaya dan (2) adanya kegiatan ekonomi skala besar pada wilayah tertentu (Isard, 1951).
No
Sulawesi selatan
No
Kalimantan utara
1
Kota makassar
1.
Kabupaten Bulungan
2
Kabupaten Gowa
2.
Kabupaten Malinau
3
Kabupaten Bantaeng
3.
Kabupaten Nunukan
4
Kabupaten Maros
4.
Kabupaten Tana Tidung
5
Kabupaten Barru
5.
Kota Tarakan
6
Kabupaten Bone
7
Kabupaten Bulukumba
8
Kabupaten Jeneponto
9
Kabupaten Selayar
10
Kabupaten Luwu
ket
11
Kabupaten Luwu Timur
12
Kab. Luwu Utara
13
Kota Palopo
14
Kabupaten
Pangkajene
&
Kepulauan 15
Kabupaten Pinrang
16
KabupatenSidenreng Rappang
17
Kabupaten Sinjai
18
Kabupaten Soppeng
19
Kabupaten Takalar
20
Kabupaten Wajo
21
Kabupaten Toraja Utara
22
Kabupaten Tana Toraja
23
Kabupaten Pare-Pare
Sulawesi utara 1.
Kab. Bolaang Mongondow
Kalimantan selatan 1.
Kabupaten Balangan
2.
Kab.
3.
timur Kab.
4.
selatan
5.
Kab.
6.
Bolaang
Mongondow 2. 3.
Bolaang
Mongondow 4.
Kabupaten Banjar Kabupaten Barito Kuala Kabupaten
Hulu
Sungai
Selatan Bolaang
Mongondow 5.
Kabupaten Hulu Sungai Timur
utara
6.
Kabupaten Hulu Sungai Utara
7.
Kepulauan Sangihe
7.
Kabupaten Kota Baru
8.
Kabupaten
9.
Tagulandang Biaro
9.
Kabupaten Tanah Bumbu
10.
Kabupaten Kepulauan Talaud
10.
Kabupaten tanah Laut
11.
Kabupaten Minahasa
11
Kabupaten Tapin
12.
Kabupaten Minahasa Selatan
12
Kota Banjar Baru
13.
Kabupaten Minahasa Tenggara
13
Kota Banjarmasin
14.
Kota Bitung
14
Kepulauan
Kota Kotamobagu Kota manado Kota Tomohon
Siau 8.
Kabupaten tabalong
Penelitian ini mengukur transparansi pengelolaan keuangan daerah dengan memasukkan kriteria ketepatan waktu pengungkapan informasi pengelolaan keuangan daerah. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, sebatas mengukur informasi transparansi pengelolaan keuangan daerah berdasarkan pada ketersediaan dan aksesibilitas. Pendekatan teoretis lain yang kami pertimbangkan, yaitu Teori Institusional (IT), menganggap bahwa organisasi berperilaku dengan cara tertentu dalam menanggapi tekanan yang diberikan oleh faktor eksternal dan internal, dan mengadopsi struktur dan praktik-praktik yang dianggap sah dan dapat diterima secara sosial oleh organisasi-organisasi lain di bidang mereka kecenderungan organisasi terhadap kepatuhan dengan norma-norma dominan, tradisi dan pengaruh sosial di lingkungan eksternal mereka akan dihasilkan peningkatan derajat homogenitas dalam struktur organisasi dan praktik (Powell dan DiMaggio 1991). Karena itu, institusi akan cenderung mengadopsi, melalui isomorfisme normatif, mimesis atau koersif, praktik yang diterima secara umum, untuk mengamankan legitimasi mereka sendiri. Penerapan perspektif institusi ini, secara mendasar didasarkan pada sosiologi ekonomi dan orientasi institusi ekonomi, menyediakan cara memperluas studi pengungkapan informasi online (Gil-García, 2012; Navarro et al. 2014). Dari sudut pandang agency theory, teori ini berpendapat bahwa manajemen internal berkelanjutan, dalam hal tiga dimensi, pendapatan, pengeluaran dan hutang yang diusulkan oleh IFAC (2013), dapat memengaruhi komitmen pemerintah dan pemimpin untuk memberikan transparansi yang lebih besar karena, tergantung
pada keadaan, kinerja ekonomi pemerintah dapat mempromosikan atau menghambat penyebaran informasi. Di sisi lain, di bawah pendekatan stakeholder theory, teori ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal mempengaruhi perilaku pemerintah dan pemimpin dalam hal ketentuan informasi online mereka, dalam menanggapi tuntutan spesifik yang dibuat oleh masing-masing jenis pemangku kepentingan. Kesesuaian kedua teori ini sebagai sarana untuk menjelaskan dan memperkuat komitmen pemerintah untuk melakukan transparansi dengan bergantung pada lingkungan budaya yang berdampak pada setiap entitas pemerintah (Navarro et al. 2014; Gallego-Alvarez dan QuinaCustodio, 2016; Garcia-Sanchez, Cuadrado-Ballesteros, dan Frias-Aceituno 2016). Di Eropa, tiga tradisi administratif yang terpisah dapat dilihat (Anglo-Saxon, Nordic dan Eropa Selatan), di mana konsep transparansi dan akuntabilitas kemampuan, cara di mana konsep-konsep ini diterapkan dan tingkat komitmen pemerintah terhadap prinsip-prinsip ini semuanya memainkan peran penting (Alam dan Nandam 2004; Haque2006). Pemerintahan di berbagai negara berfokus pada kompetensi, menempatkan warga negara sebagai 'klien' dan menekankan transparansi, suatu pendekatan yang dapat meningkatkan kepercayaan pada pemerintah (Steurer, Martinuzzi, dan Margula 2012). Dalam hal ini negara, ada penerimaan yang lebih besar dari konsep daya saing dan lebih akrab dengan metode pasar (Pina, Torres, dan Royo 2010; Steurer, Martinuzzi, dan Margula 2012). Akibatnya, inisiatif telah diambil untuk tralise layanan publik dan untuk menyesuaikan mekanisme dan alat manajemen
dari dunia bisnis dengan kebutuhan sektor publik, berusaha untuk memfasilitasi akses warga negara terhadap informasi, sebagai pengguna atau klien (Navarro et al. 2014; Alcaraz-Quiles, Navarro-Galera, dan Ortiz-Rodríguez 2015). Cermin asas demokrasi suatu negara adalah partisipasi masyarakatnya dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik. Partisipasi menjadi salah satu prinsip yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Selamat, 2011: 2). Sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Maret 2000, terwujudnya good governance merupakan tuntutan bagi terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna, berhasil guna, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam rangka itu diperlukan sistem akuntabilitas yang baik pada keseluruhan jajaran aparatur negara (LAN dan BPKP, 2000: 3). Bentuk dan cermin akuntabilitas dalam penyelengaraan pemerintah daerah, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Wujud pertanggungjawaban tersebut dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Dari sisi lain sebagian besar provinsi di Indonesia mendapatkan predikat skor kinerja tinggi yaitu antara 2,00 hingga 3,00. Sementara itu dari tahun ke tahun terdapat penurunan jumlah provinsi yang mendapatkan predikat skor kinerja sedang, yaitu 3 provinsi di tahun 2013, 2
provinsi di tahun 2014, dan tidak ada provinsi yang mendapatkan predikat skor sedang di tahun 2015. Tentunya hal ini menunjukkan adanya peningkatan kinerja yang dicapai oleh pemerintah daerah. Selain dengan menggunakan kinerja ekonomi, beberapa penelitian di Indonesia menggunakan kinerja keuangan dan skor kinerja pemda. Kusuma dan Handayani (2017) dalam penelitiannya menyatakan kemakmuran dan belanja daerah berpengaruh positif, sedangkan ukuran pemda, tingkat ketergantungan dan leverage tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan di Kabupaten/Kota. Melalui pemilihan variabel berdasarkan kerangka teori dijelaskan di atas (Teori Pemangku Kepentingan, Teori Intitusional dan Teori Agensi), penelitian kami tujuannya adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi transparansi berkelanjutan di setiap konteks budaya, yang akan memungkinkan kita untuk menentukan ukuran yang bermanfaat untuk pembuat kebijakan dan praktisi tertarik untuk mempromosikan diseminasi informasi ekonomi, sosial dan lingkungan. penelitian ini memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan dan praktisi tentang cara mempromosikan transparansi berkelanjutan di pemerintah daerah, mengusulkan langkah-langkah spesifik yang harus diambil dan instrumen tepat untuk tujuan ini. Oleh karena itu, kami melakukan studi empiris berdasarkan pada Stakeholder Theory, Institutional Theory, dan Agency Theory, untuk menjelaskan perbedaan berbagai tingkat transparansi yang disajikan oleh pemerintah daerah.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas, diangkat masalah penelitian yaitu pengembangan SDM meningkat dan reformasi peraturan juga semakin meningkat, namun kualitas informasi laporan keuangan masih belum memenuhi harapan. Masalah ini penting karena jawaban atas masalah ini akan memberikan petunjuk yang akan membantu pemda untuk merumuskan strategi peningkatan kualitas informasi laporan keuangan. Untuk merespon masalah ini, maka diperlukan penguatan dari pihak pengawas internal dan pengelola laporan keuangan. Untuk itu penelitian ini menganalisis kualitas informasi laporan keuangan pemerintah daerah. Penelitian serupa sebelumnya di wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud belum pernah dilakukan. Berdasarkan pada banyaknya penelitian terdahulu terkait transparansi sebagai alat akuntabilitas, namun belum berhasil terwujud secara sepenuhnya terutama di Indonesia, serta berdasarkan Stakeholder Theory, Institution Theory dan Agency Theory, maka penelitian ini membahas lingkungan budaya yang direpresentasikan dalam empat faktor (demografi, sosiologi, ekonomi dan finansial) yang mempengaruhi transparansi sebagai alat akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan , maka penelitian mempunyai rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah faktor demografi berpengaruh terhadap transparansi pemerintah?
2. Apakah faktor sosiologi berpengaruh terhadap transparansi pemerintah?
DAFTAR PUSTAKA Aituaraum, Ade Indah Wahyuni Achmad. Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah di Pemerintah Kota Bandung). Aliyah, Siti dan Aida Nahar. 2012. Pengaruh Penyajian Laporan Keuangan Daerah dan Aksesibilitas Laporan Keuangan Daerah Terhadap Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Jepara. Jawa Tengah: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nahdlatul Ulama. Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol 8, No 2, p:97-189. Andriani, Wiwik. 2015. Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Dalam Mewujudkan Good Governance Pada Politeknik Negeri Padang. Jurnal Akuntansi dan Manajemen Politeknik Negeri Padang, Vol 10, No 2, p:51-60. Annajwa. 2012. Dasar-Dasar Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Tersedia di
http://rasyidahannajwa.blogspot.co.id/2012/12/dasar-dasargood-governance.html
[diunduh: 1 Pebruari 2017]. Antara Bali. 2010. Kemen PAN-Pemprov Bali Kerja Sama Reformasi Birokrasi. Denpasar: Antara Bali. Aprilia, Popi. 2014. Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean Governance). Batusangkar: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Tersedia di http://pacayoatauindak.blogspot.co.id/2014/11/ makalah-tata-kelola-kepemerintahanyang.html [diunduh: 12 Januari 2017]. Ariani, Anak Agung Mirah. 2017. “Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), Perencanaan Anggaran, dan Teknologi Informasi Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Auditya, Lucy, Husaini, dan Lismawati. 2013. Analisis Pengaruh Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah. Jurnal Fairness Universitas Bengkulu, Vol 3, p:22-40. Azlina, Nur dan Ira Amelia. 2014. Pengaruh Good Governance dan Pengendalian Intern Terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Pekanbaru: Universitas Riau. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, Vol 12, No 2, p:32-42. Boekorsjom, Julianet Farrah dan Ony Widilestaringtyas. 2013. Pengaruh Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Penerapan Good Governance dan Implikasinya Terhadap Kualitas Informasi Keuangan Pada BPKAD Provinsi Papua. Jawa Barat: Universitas Komputer Indonesia. Djiloy, Novita Lerly. 2016. Pengaruh Pengawasan Intern, Perencanaan, dan Pelaksanaan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja SKPD Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi. Sulawesi Tengah: Universitas Tadulako. E-Jurnal Katalogis, Vol 4, No 6, p:70-82. Eko, Sutoro dan Dwipayana, A. A. G. N. Ari. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment. Evicahyani, Sagung Inten. 2015. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Fadilah, Sri. 2011. Analisis Penerapan Good Governance Dilihat Dari Implementasi Pengendalian Intern dan Total Quality Management. Bandung: Universitas Islam Bandung. Jurnal Proisiding SNaPP Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, Vol 2, No 1, p:387-400.
Ghozali, Imam. 2011. Structural Equation Modelin Metode Alternative dengan Partial Least Square. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Giantini, Dini. 2014. Pengaruh Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Terhadap Penerapan Good Governance (Suatu Studi Pada Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Wilayah Bandung). Bandung: Universitas Pasundan. Harahap, Dumasari. 2012. “Analisis Pengaruh Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Terhadap Good Governance dan Pembangunan Daerah Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara” (disertasi). Medan: Universitas Sumatera Utara. Afryansyah, R.D. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Akuntansi di Internet Oleh Pemerintah Daerah. Semarang: Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro. Alwi, Kholida. 2014. Pengaruh Hasil Pemeriksaan BPK dan Faktor Politik terhadap Transparansi Informasi Keuangan dan Kinerja pada Website Pemerintah Daerah di Indonesia. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). 2012. Profil Pengguna Internet Indonesia 2012. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Penggunaan Internet Sektor Bisnis 2013. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2014. Ikhtisiar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2014. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2014. Ikhtisiar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2007. Daftar Nama Provinsi/Kabupaten/Kota Menurut Dasar Hukum Pembentukan Wilayah. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia. Evans III, J. H. & Patton, J. M. 1987. Signaling and Monitoring in Public-Sector Accounting. Journal of Accounting Research Vol. 25, 130-158. Gandia, J.L. & Archidona, M.C. 2007. Determinants of Website Information by Spanish City Council. Online Information Review, Vol. 32, No. 1. 35-57.
Garcia-Sanchez, et al. 2013. Determinants of Corporate Social Disclosure in Spanish Local Government. Journal of Cleaner Production 39, 60-72. Garcia & Garcia-Garcia. 2010. Determinants of Online Reporting of Accounting Information by Spanish Local Government Authorities. Local Government Studies, Vol. 36, No. 5, 679695. Hilmi, A.Z. & Martani. 2011. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jensen, M., & Meckling, W. 1976. Theory of The Firm : Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3, 305-360. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 7 A Tahun 2007 Tentang Tatacara Penyampaian Informasi dan Tanggapan atau Saran dari Mayarakat atas Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturna Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2012. Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 188.52/1797/SJ Tentang Peningkatan Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 2 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2014. Daerah Otonom (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) Di Indonesia per 31 Desember 2013. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2003. Cetak Biru (Blueprint) Sistem Aplikasi e-Government bagi Lembaga Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2003. Panduan Penyusunan Rencana Induk Pengembangan e-Government Lembaga. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 22/PER/M.KOMINFO/12/2010 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Komunikasi dan Informatika d Kabupaten/ Kota. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Khasanah, N.L. & Rahardjo, S. N. 2014. Pengaruh Karakteristik, Kompleksitas dan Temuan Audit terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 3, No. 3, Hal 1-11. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 2011. Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum RI. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 2013. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Angka Tahun 2011 & 2012. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum RI. Laswad, et al. 2005. Determinants of Voluntary Internet Financial Reporting by Local Government Authorities. Journal of Accounting and Public Policy 24. 101-121. Liestiani, A. (2008). Pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia untuk tahun anggaran 2006. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Lindbolm, C.K. 1994. The Implications of Organizational Legitimacy for Corporate Social Performance and Disclosure. New York: Critical Perspectives on Accounting Conference. Mahadeo, et al. 2011. Changes in Social and Environmental Reporting Practices in an Emerging Economy (2004-2007): Exploring the Relevance of Stakeholder and Legitimacy Theories. Accounting Forum 35. 158-175. Martani, et al. 2013. Disclosure of Non-Financial Information about Public Service on the Official Website of Local Governments in Indonesia. Martani, et al. 2014. Financial and Performance Transparency on The Local Government Websites in Indonesia. Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Vol. 60, No. 3. Perez, C.C. et al. 2005. Citizens’ Access to On-line Governmental Financial Information: Practices in European Union Countries. Government Information Quarterly 22, 258-276. Republik Indonesia. 2001. Instruksi Presiden Republik Indonesia No 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2003. Instruksi Presiden Republik Indonesia No 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 33 Tahun 2008 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Republik Indonesia. 2012. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 35 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Singel Window. Jakarta: Pemerintah Indonesia. Sari, Rora Puspita. 2010. Pengaruh Kinerja Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan Sukarela Pemerintah Daerah di Indonesia pada Situs Pemerintah Daerah Tahun 2010. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Sekaran, Uma & Bougie, R. 2009. Research Method for Business: A Skill-Building Approach 6th edition. USA: John-Wiley & Sons. Setyaningrum, D. & Syafitri, F. 2012. Analisis Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2012, Vol. 9, No. 2, Hal 154-170. Suchman, M. C. 1995. Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approachs. Academy of Management Journal , Vol. 20, No. 3, 571-610. Tregidga, H. et al. 2007. Organisational Legitimacy and Social and Environmental Reporting Research: The Potential of Disclosure Analysis. New Zealand Business and Sustainability: Critically Analysing Discourse and Practice. Grant Number 02-UOO-120.
Trisnawati, M. D. & Achmad, K. 2014. Determinan Publikasi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Melalui Internet. Universitas Brawijaya. Wicaksono, P. T. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opini dan Temuan Audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2008-2009. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Winanti, B.A. 2014. Analisis Pengaruh Temuan dan Tindak Lanjut Pemeriksaan BPK, Legitimasi Kepela Daerah serta Pengawasan Pemerintahan Terhadap Opini Audit LKPD 2010-2011. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Yavuz, N. & Welch, E.W. 2014. Factors Affecting Opennes of Local Government Websites: Examining The Differences Across Planning, Finance and Police Departments. Government Information Quarterly 31, 574-583.