Nur Intan B.daerah.docx

  • Uploaded by: jihan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Nur Intan B.daerah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,857
  • Pages: 8
Nama

: Nur Intan

Prodi

: PGSD

Semester

: IV (Empat)

MK

: B. Daerah

Definisi bahasa Daerah Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi. Bahasa Daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 Angka 5 UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan). Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipungkiri adanya bahasa Indonesia yang muncul seiring dengan perkembangan bahasa daerah itu sendiri. Karena bahasa daerah dan bahasa Indonesia saling melengkapi. Terutama dalam hal berkomunikasi antar masyarakat. Dengan adanya dua bahasa ini menimbulkan kedwibahasaan di negara Indonesia. Dalam Seminar Pengembangan Bahasa Daerah (1976) itu, yang merumuskan tujuaan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai berikut : a) Di bidang struktur bahasa, tujuannya ialah terbinanyabahasa daerah yang strukturnya terpelihara dan sesuai dengan keperluan masa sekarang. b) Dibidang pemakai, tujuan pembinaan adalah agar kedwibahasaan itu tetap (stabil), yaitu pemakai itu menguasai kedua bahasa itu seimbang, dan tidak menjadi ekabasahawan semata-mata. Jumlah pemakai itu hendaknya tetap berkembang dan tidak sebaliknya menyusut. c) Di bidang pemakaian, pembinaan bertujuan agar bahasa daerah dipergunakan secara penuh sesuai dengan fungsinya, dalam keseimbangan dengan bahasa Indonesia seperti ditetapkan dalam Politik Bahasa Nasional. Jadi antara bahasa Indonesia dan bahasa Daerah telah terjadi kontak sosial dan budaya yang aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa Daerah telah bertemu. Kedua bahasa saling bersangkutan dan memperhatikan. Akhirnya kedua bahasa saling mempengaruhi. pengaruh penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan “mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka. Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab. Beberapa kata dari bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa Indonesia yang baku, antara lain kata nyeri (Sunda) dan kiat (Minangkabau). Dampak yang akan timbul Berikut beberapa dampak penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia: Dampak Positif:     

Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata. Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah. Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi. Sebagai alat pemersatu antar budaya dan bangsa.

Dampak Negatif   

Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain. Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah. Dapat menimbulkan kesalah pahaman.

Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa Indonesia di karenakan masyarakat dalam berkomunikasi setiap hari lebih cenderung menggunakan bahasa daerah di bandingkan menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Ketidaktahuan terhadap bahasa daerah lain juga akan mempengaruhi dalam berkomunikasi masyarakat. Bahasa Indonesia sering digunakan sesuai dengan kondisi daerah jadi belum sepenuhnya masyarakat menggunakannya. Dengan demikian antara bahasa Indonesia dan bahasa Daerah telah terjadi kontak sosial dan budaya yang aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa Daerah telah bertemu. Kedua bahasa saling bersangkutan dan memperhatikan. Akhirnya kedua bahasa saling mempengaruhi. Hakekat Bahasa Daerah PADA era globalisasi dan modernisasi ini, berbicara tentang bahasa daerah—yang umumnya merupakan bahasa ibu di Nusantara tercinta—boleh jadi bukan sesuatu yang menarik dan menantang. Pembaca tak perlu terkejut akan hal ini karena kenyataan menunjukkan bahwa pamor bahasa daerah sudah kalah (jauh) dibandingkan dengan bahasa nasional kita, apalagi dengan bahasa Inggris—yang dijuluki bahasa internasional—walaupun sebenarnya belum separo penduduk dunia menggunakannya sebagai alat komunikasi antarbangsa. Tetapi

barangkali ada orang yang tergelitik untuk bertanya: Jika demikian, mengapa masih ada sejumlah orang yang terus mengurusi bahasa daerah walaupun usaha mereka itu boleh dikatakan ibarat mengutak-atik gerbong tua yang diharapkan kembali berjalan di atas rel yang baru? Orang boleh saja mencibir bahasa daerah yang dianggap tidak mendatangkan aliran tunai ke kantong atau rekeningnya. Namun dari sudut pandang budaya, orang yang (masih) mencintai budaya bangsanya akan menangis dalam hati memikirkan nasib bahasa-bahasa daerah yang pada umumnya tak kunjung mengalami perbaikan dan kemajuan, malah makin tersudut dalam percaturan kebahasaan di dusun global ini. Disadari atau tidak, hegemoni bahasa sedang terjadi di dalam masyarakat dan lingkungan hidup kita. Dan tentu saja bahasabahasa “besar” yang dianggap “lebih bermanfaat” itulah yang memiliki hegemoni.

Karena asas manfaat itu pula, maka setiap orang yang hendak mempelajari sebuah bahasa baru biasanya memperhatikan terlebih dahulu manfaat (ekonomi) dari bahasa itu. Apakah bahasa yang baru dipelajari itu akan mendatangkan keuntungan material bagi dirinya? Bahasa-bahasa “besar” pun kadang-kadang menjadi objek pertimbangan untung-rugi. Misalnya ketika hendak belajar bahasa Spanyol atau Mandarin, orang akan bertanya mana di antara kedua bahasa tersebut yang lebih menguntungkan, misalnya dalam pasar kerja internasional. Tidak ada salahnya, karena mempelajari bahasa baru juga merupakan investasi. Tetapi tentu prinsip untung-rugi ini akan berdampak sangat negatif jika diterapkan juga pada bahasa daerah.

Apabila setiap pribadi mengedepankan aspek di atas dalam menyikapi bahasa daerah, maka sudah nyaris pasti bahwa bahasa-bahasa daerah, karena dianggap tidak berguna secara ekonomi, akan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika orang berkata: “Untuk apa capai-capai dan buang waktu belajar bahasa yang tidak laku di pasar?” Para orang tua yang berpikir bahwa bahasa daerah tidak ada faedahnya bagi kehidupan masa depan tidak akan bersedia mewariskan bahasa ibunya kepada anak-anaknya.

Lain halnya dengan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Menyadari betul betapa pentingnya bahasa ibu bagi kehidupan umat manusia, maka pada tanggal 21 Februari 1991 di Paris, lembaga PBB ini mencanangkan Hari Bahasa Ibu Sedunia, yang diharapkan dapat berlangsung setiap tahun guna memajukan keanekaragaman budaya dan bahasa dunia. Diharapkan dengan peringatan hari bahasa ini setiap individu, lembaga, dan pemerintah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi

pelestarian dan kelestarian bahasa ibu di setiap negara, khususnya melalui pendidikan, dengan mengenalkan bahasa ibu/daerah sejak dini kepada anak-anak agar bahasa ini tidak punah, karena mereka adalah generasi penerus bangsa.

Latar belakang Hari Bahasa Ibu Sedunia Tanggal 21 Februari dipilih menjadi hari untuk mempromosikan keanekaragaman budaya dan bahasa dunia, mengingat peristiwa berdarah yang terjadi di Pakistan Timur pada tanggal 21 Februari 1952, di mana empat orang mahasiswa Universitas Dhaka tewas diterjang peluru polisi setempat demi memperjuangkan diakuinya bahasa Bengali sebagai bahasa nasional. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1948 pemerintah Pakistan menetapkan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional padahal bahasa Bengali—bahasa pujangga tersohor Rabindranath Tagore ini—memiliki jumlah penutur mayoritas.

Makna Hari Bahasa Ibu Sedunia bagi kita Terdapat sangat banyak bahasa daerah di Indonesia. Situs www.ethnologue.com, sebagaimana dilaporkan

di

situs

Fakultas

Sastra

Universitas

Leiden,

Belanda

(http://www.let.leidenuniv.nl), mencatat bahwa ada 7.000 bahasa di seantero planet ini, 700 bahasa terdapat di Indonesia, dan sekitar 60-70 bahasa di NTT. Jadi 10% dari seluruh bahasa di dunia terdapat di Indonesia, dan 1% ada di NTT.

Dalam kaitan dengan hal ini, dengan adanya otonomi daerah di Negara Kesatuan Rupublik Indonesia dewasa ini dan diberlakukannya muatan lokal pada pendidikan dasar, pemerintah daerah (pemda)—dalam hal ini dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten—beserta para guru muatan lokal, perlu bergandengan tangan dalam upaya mengejawantahkan undangundang tersebut di atas. Agar pengajaran bahasa daerah berhasil, perlu dirancang materi dan digunakan metode pengajaran yang tepat.

Demi pelestarian dan kelestarian bahasa daerah, maka pada Hari Bahasa Ibu Sedunia tahun ini, saya ingin mengajak pembaca, khususnya di NTT tercinta ini, untuk melihat secara sepintas beberapa fungsi dan peranan bahasa daerah sebagai berikut:

a. Alat ungkap kebudayaan Bahasa daerah adalah alat yang paling tepat untuk mengungkapkan kekayaan budaya suatu suku bangsa. Perlu disadari bahwa tidak setiap aspek budaya suatu suku bangsa dapat

diungkapkan secara tepat dalam bahasa lain dengan tetap mempertahankan daya, bobot, dan keindahannya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menyusun suatu tutur indah bagi pembangunan suatu rumah adat dalam bahasa Indonesia atau Inggris yang sama bobotnya dengan tutur yang lazim disampaikan dalam bahasa daerah. Dan setiap bagian rumah adat memiliki nama-nama yang belum tentu memiliki padanan dalam bahasa lain. Hal ini disadari betul oleh para penerjemah yang menjembatani informasi antarbudaya.

b. Identitas suku bangsa Para perantau sadar betul bahwa pada waktu dan tempat tertentu hal yang masih bisa mengikat kuat dirinya dengan tempat asalnya adalah bahasa daerah. Di perantauan, biasanya identitas budaya lain seperti makanan dan pakaian dari daerah asal akan ditinggalkan dan digantikan dengan yang baru, apalagi jika si perantau telah tinggal lama di tanah orang dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Orang Kupang, misalnya, tidak mungkin selalu bisa makan jagung bose dan bunga pepaya dengan daging se’i di perantauan, karena belum tentu ada. Sama pula halnya ia tidak mungkin berpakaian agak tipis di daerah yang beriklim sangat dingin. Jadi satu-satunya identitas yang masih bisa melekat dan tetap terpelihara adalah bahasa daerah. Tidak jarang kita mendengar orang menggunakan bahasa daerahnya untuk menelepon sanak keluarga atau hadai taulannya dari perantauan. Boleh jadi ada orang tertentu yang menganggap hal ini lucu dan kurang bergengsi, juga terkesan kampungan. Tetapi demi pelestarian dan kelestarian bahasa daerah, hal itu sudah merupakan langkah terpuji. Memang kita tidak boleh melupakan budaya sendiri walaupun tinggal di tempat lain. Tentang hal ini, Julius Kambarage Nyerere (1922-1999), presiden pertama Tanzania dan penerjemah Julius Kaisari (versi Swahili dari Julius Caesar karya William Shakespeare), pernah berkata: “…belajar dari kebudayaan lain tidak berarti harus melupakan milik kita sendiri.”

c. Bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia dan dunia Sebagai identitas suku bangsa, bahasa daerah merupakan bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia. Dengan sendirinya bahasa daerah merupakan kekayaan budaya bangsa yang dilindungi undang-undang dan patut dilestarikan. Jika kita sedang gencar mengusahakan hak paten bagi lagu, tarian, dan makanan daerah yang terancam diklaim bangsa asing, mengapa kita tidak lebih giat mengusahakan pelestarian bahasa daerah di Indonesia?

Sebagai identitas berbagai suku bangsa di NKRI, bahasa daerah telah menjadi sasaran penelitian para ahli bahasa mancanegara. Di satu pihak, hal ini membanggakan karena kekayaan budaya kita telah menarik minat bangsa lain untuk meneliti dan mempelajarinya sehingga ia pun diakui sebagai bagian dari mosaik kebudayaan dunia. Tetapi di lain pihak, sangat mungkin kita—pemilik aset budaya ini—menjadi manja dan sangat mengharapkan uluran tangan dan kerja keras para peminat dari luar negeri.

d. Jembatan antargenerasi Tidak berlebihan jika bahasa daerah dikatakan sebagai jembatan antargenerasi. Mengapa? Karena berbicara bahasa daerah berarti kita menggunakan bahasa orang tua dan leluhur kita, tanpa melepaskan diri dari tuntutan kebahasaan masa kini. Tak dapat dipungkiri bahwa kita akan lebih mudah mengenal kehidupan generasi-generasi sebelumnya dalam suatu suku bangsa jika kita dapat berbicara bahasa daerah—bahasa warisan mereka. Artinya bahasa daerah adalah kunci untuk memahami masa lalu kita, yang mengantar kita ke masa sekarang. Tetapi apakah kita—generasi masa kini—sanggup mengantar bahasa daerah ke masa depan? Itu adalah tugas dan tanggung jawab kita masing-masing sebagai penutur (asli). Sebagai penerus dan pewaris, masihkah kita berbicara bahasa daerah?

e. Bahasa pengantar di sekolah Perlu ditekankan di sini bahwa bahasa daerah tidak dimaksudkan untuk secara total menggantikan posisi bahasa Indonesia di dalam kelas, kecuali untuk mata pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal. Pemanfaatan positif dan kreatif yang demikian akan meningkatkan martabat bahasa daerah dan sekaligus mendewasakannya di ranah pendidikan formal. Melalui penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurangkurangnya di tingkat dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda harapan daerah dan nasional, sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat bahasa daerah telah berakar kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga untuk menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari. Demi kemajuan pelestarian dan kelestarian bahasa daerah di Provinsi NTT, kiranya dipandang bijak bila kita mencontoh kebiasaan menggunakan bahasa Jawa secara luas di kalangan para murid SD di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tanpa mengabaikan pentingnya bahasa Indonesia dan bahasa asing.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa—terlepas dari sikap dan persepsi yang berbeda tentang eksistensinya—bahasa daerah tetap memiliki posisi penting dan relevansi dalam kehidupan masyarakat kita pada masa kini dan masa yang akan datang, dan penetapan Hari Bahasa Ibu Sedunia adalah sebuah langkah penting UNESCO yang patut didukung dalam melestarikan bahasa ibu/daerah dan menjamin keanekaragaman budaya dan bahasa di planet kita. Dan hari peringatan semacam ini akan banyak arti dan manfaatnya jika pribadi, masyarakat (khususnya keluarga), lembaga pendidikan (sekurang-kurangnya SD), dan pemerintah (khususnya pemda yang kini memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk pengembangan bahasa daerah) sebagai pemegang mandat konstitusional bahu-membahu dalam mengusahakan pelestarian dan kelestarian bahasa daerah di NKRI tercinta. Dirgahayu bahasa daerah!

Namun, meskipun Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional, peran Bahasa Daerah dan Bahasa Asing juga turut memperkuat identitasnya. Bahasa daerah memiliki fungsi sebagai pemasok kosa kata di dalam Bahasa Indonesia yang belum ada padanannya. Sementara untuk Bahasa Asing, Prof. Dadang menjelaskan kedudukannya berfungsi sebagai penunjang komunikasi internasional seperti diplomasi dan politik. Selain ini, juga menjadi pentransfer ilmu pengetahuan dan sumber pengayaan kosa kata Bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia haruslah ditanamkan secara turun temurun, karena berfungsi sebagai alat kekuasaan dan hegemoni sosial. Sekali lagi bayangkan, bagaimana jadinya bila tidak ada Bahasa Indonesia?” papar Prof. Dadang.* 1. Hakikat bahasa : Suatu bentuk ungkapan yang bentuk dasarnya ujaran. selain itu bahasa dapat pula dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bentuk dasar bahasa berupa ujaran, tetapi tidak semua bunyi hasil alat ucap manusia dapat dikatakan bahasa. syarat ujaran yang dapat dikatakan kata harus memiliki makna. a. Bahasa sebagai Simbol Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, perasaan, pikiran, benda, dan tindakan secara arbitrer, konversional, dan representatifinterpretatif. Manusia senantiasa bergelut dengan simbol. Melalui simbol, manusia memandang, memahami, dan menghayati alam dan kehidupannya. Simbol itu sendiri sebenarnya merupakan kenyataan hidup, baik kenyataan lahiriah maupun batiniah yang disimbolkan, karena di dalam simbol terkandung ide, pikiran, dan perasaan, serta tindakan manusia. b. Bahasa Sebagai Bunyi Ujaran Bunyi ujaran merupakan sifat kesemestaan atau keuniversalan bahasa. Tak satupun bahasa di dunia ini yang tidak terjadi dari bunyi . Bahasa sebagai ujaran, mengimplikasikan bahwa media komunikasi yang paling penting adalah bunyi ujaran. Jika kita mempelajarai suatu bahasa kita harus belajar menghasilkan bunyi- bunyi suara.

c. Bahasa Bersifat Arbitrer arbitrer dalam studi bahasa adalah manasuka, asal bunyi, atau tidak ada hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan. Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan sehingga ciri khusus bahasa tidak dapat diramalkan secara tepat. d. Bahasa bersifat Konvensional Konvensional dapat diartikan sebagai satu pandangan atau anggapan bahwa kata- kata sebagai penanda tidak memiliki hubungan instrinsik atau inhern dengan objek, tetapi berdasarkan kebiasaan, kesepakatan atau persetujuan masyarakat yang didahului pembentukan secara arbitrer. Tahapan awal adalah manasuka/ arbitrer, hasilnya disepakati/ dikonvensikan, sehingga menjadi konsep yang terbagi bersama (socially shared concept). Setiap kita berbicara, kita terlibat dalam konvensi. Jika seseorang melihat kata kursi atau mendengar bunyi kursii , secara langsung dapat mengetahui bahwa kata itu merujuk pada sesuatu yang lain. Kita tahu bahwa tidak ada hubungan yang inhern antara kata kursi dengan benda kursi. Kata itu merujuk pada benda karena ada konvensi penamaan atau penyebutan benda tertentu dengan suatu nama tertentu. e. Bahasa Sebagai Sistem Setiap bahasa memiliki sistem, aturan, pola, kaidah sehingga memiliki kekuatan atau alasan ilmiah untuk dipelajari dan diverifikasi. Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki dua jenis sistem yaitu sistem bunyi dan sistem arti. Sistem bunyi mencakup bentuk bahasa dari tataran terendah sampai tertinggi (fonem, morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat, frase, paragraf, dan wacana). Sistem bunyi suatu bahasa tidak secara acak- acakan, tetapi mempunyai kaidah- kaidah yang dapat diterangkan secara sistematis. Sistem arti suatu bahasa merupakan isi atau pengertian yang tersirat atau terdapat dalam sistem bunyi. Sistem bunyi dan sistem arti memang tidak dapat dipisahkan karena yang pertama merupakan dasar yang kedua dan yang kedua merupakan wujud yang pertama. f. Bahasa Bermakna Makna adalah arti, maksud atau pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan untuk menghubungkan bentuk kebahasaan tersebut dengan alam di luar bahasa atau semua hal yang ditunjuknyaBahasa Bersifat Produktif Hal ini diartikan sebagai kemampuan unsur bahasa untuk menghasilkan terus- menerus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur- unsur baru. Prefik /meN-/ dan /di-/, misalnya dapat melekat pada setiap kata kerja dan fungsinya masing- masing membentuk kata kerja aktif dan kata kerja pasif dalam bahasa Indonesia. g. Bahasa Bersifat Universal Bahasa merupakan sesuatu yang berlaku umum dan dimiliki setiap orang. Pada sifat internal bahasa, universal adalah kategori linguistikyang berlaku umum untuk semua bahasa. h. Bahasa Bersifat Unik Hal ini terlihat dari studi bahasa adalah kategori bahasa yang tersendiri bentuk dan jenisnya dari bahasa lain. Setiap bahasa ada perbedaan dengan bahasa lain meskipun termasuk dalam bahasa serumpun.

Related Documents

Nur Intan B.daerah.docx
December 2019 38
Nur
August 2019 59
Intan Yusnizar
May 2020 30
Intan Geo
May 2020 35

More Documents from "Intan Nur Cahyaningsih"