Gerakan Membiarkan Terorisme
Foto Noordin M Top dan dua sketsa wajahnya beberapa tahun lalu (wikipedia). Astagfirullah!!! Di tengah kita sedang menikmati rasa aman nasional, tiba-tiba bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009 pukul 07.47 – 08.00, meluluh lantakkan segalanya. Sebanyak 9 orang tewas, dan 40 orang luka-luka dan sebagian akan cacat seumur hidup. Keluarga yang ditinggalkan pasti akan menyesali kematian dan kecacatan para korban. Di balik itu, atas nama perjuangan, ada sekelompok orang yang sedang tertawa-tawa menikmati kejayaan. Mereka hidup, makan, minum dan mencari nafkah di tanah air Indonesia. Tapi pekerjaan mereka, memporak-porandakan kedamaian tanah yang dipijaknya. Polisi dan para pakar teror (Sidney Jones, Al Chaidar) menduga, teror bom kemarin, lagi-lagi diotaki Noordin M Top, warga negara Malaysia yang telah 8 tahun ini mengobok-obok Indonesia bersama kawannya, Dr. Azahari (yang telah tewas oleh serbuan Polri di Batu, Malang). Bila dugaan Polisi dan para pakar terorisme itu benar, malang nian negeri ini. Nasib Indonesia, detik demi detik, ternyata ditentukan oleh seorang gembong teroris asal negeri jiran bernama Noordin M Top. Noordin M Top, yang konon telah melepaskan diri dari JI (Jamaah Islamiyah), namun masih bertaut dengan Al Qaeda, benar-benar top! Ia seperti tak punya hambatan untuk membangun jaringan demi jaringan, dan merekrut para ‘pejuang’ keblinger yang bekerja sebagai mesin pembunuh massal sekaligus pembunuh diri. Mengherankan, mengapa Noordin M Top memiliki ruang gerak sedemikian luas dalam mengobrak-abrik negara kita? Lepas dari kepiawaian aparat keamanan dalam menangani terorisme, kiranya banyak orang di negeri ini menjadi pendukung gerakan Noordin M Top. Menengok Akar Rumput Tahun-tahun belakangan ini, ketika demokrasi kita menjamin kebebasan sebebas-bebasnya kepada setiap warga negara untuk mengemukakan pendapat dan berserikat, harus diakui ada sebuah ekses yang sangat mengkhawatirkan, yakni menguatnya suatu paham yang telah meningkat menjadi gerakan Islam puritan, atau sering disebut fundamentalisme Islam. Di kalangan akar rumput di negeri ini, sudah bukan rahasia lagi, Osama bin Laden telah menjadi “pahlawan”, dan Barat (Amerika dan sekutunya) adalah musuh besar. Jika Anda melebur dalam obrolan sehari-hari masyarakat, akan Anda peroleh persepsi umum, pendudukan Amerika dan sekutunya atas Irak adalah perang terhadap Islam. Penyerbuan Israel atas Gaza Palestina, adalah perang terhadap Islam. Pendek kata, setiap perbuatan atau perang (yang mungkin atas alasan politik lain) yang dilakukan terhadap negara yang mayoritas penduduknya muslim, digeneralisasikan sebagai memerangi Islam.
Sementara teror yang dilakukan ’atas nama Islam’, dibenarkan dan dibela. Padahal, bagi seluruh umat manusia, perang (yang dilakukan Amerika dan sekutunya) maupun teror yang merupakan pembalasannya, adalah malapetaka. Korban suatu perang dan teror adalah manusia dalam arti yang hakiki, beserta seluruh lingkungan alam dan aset-aset yang dipergunakan manusia untuk menopang hidupnya. Lebih jauh lagi, teror mencederai peradaban manusia. Penyederhanaan masalah di atas telah menarik garis “pihak kita” dan “pihak musuh”. Dalam khotbah di masjid-masjid pun kerap kita dengar upaya membangun sikap curiga terhadap umat agama lain. Bahkan cita-cita kekhalifahan untuk Indonesia sudah sangat terbuka dibicarakan dan jamak terdengar. Tak heran ketika Amrozi-Imam Samudera-Ali Gufron/Muchlas dieksekusi mati, banyak masyarakat (terutama masyarakat tempat para almarhum berasal) menyambut secara emosional dan menjuluki para terpidana mati itu sebagai “syuhada Islam”! Banyak situs web dan milis buatan anak-anak Indonesia ikut membangun radikalisme Islam dan mengompori pentingnya ‘perjuangan’ atau perang melawan kebathilan Amerika plus Inggris dan Australia (terutama dikaitkan dengan kemelut Irak, Afghanistan). Para pengelola negara ini seharusnya mulai sungguh-sungguh memperhatikan tumbuh pesatnya paham yang telah menjadi gerakan radikal bersifat global tersebut. Paham ini, hebatnya, telah mengalahkan semangat Islam yang cinta damai dan memiliki kasih sayang terhadap seluruh umat manusia, yang menjadi ciri kalangan Islam moderat yang dimotori NU, Muhammadiyah dan kalangan intelektual Islam. Hebatnya lagi, semangat membela agama secara berlebihan, beberapa tahun terakhir ini telah ditangkap dan dimanfaatkan (dengan baik) oleh beberapa partai hingga LSM berbasis Islam untuk memperluas simpatisannya. Yang paling merisaukan, paham tersebut telah menisbikan Indonesia sebagai tanah air dan bangsa. Dampak lain yang sangat-sangat mengganggu kegiatan masyarakat adalah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai salah satu palagan peperangan paham ini dalam melawan musuh besar mereka. Jaringan Internasional Di lain pihak, aparat yang berwenang di Indonesia, memandang masalah terorisme dalam skala sempit. Setiap kali teror terjadi di teritori Indonesia, skenario utama adalah teror itu dikaitkan dengan JI dan atau sempalannya. Mereka tidak atau sedikit sekali mengaitkan teror di sini dengan (kemungkinan) strategi teror global. Padahal, pengakuan Amrozi cs dalam sidang menyatakan, aksi mereka adalah pembalasan terhadap kezaliman AS di Afghanistan. Dalam kaitan eksekusi mati terhadap Amrozi cs pun, orang kedua dalam jajaran Al Qaeda, Ayman al-Zawahiri dalam video yang dirilis As-Shahab Media, memuji Amrozi cs sebagai “Pahlawan Islam” (baca: “Antara London-Bali dan Jakarta”, Maruli Tobing, Kompas Minggu, 02/08/2009 – referensi tambahan penulis). Ketika teror bom sungguh-sungguh mengancam kehidupan normal di negeri ini, anehnya, tidak satupun tokoh partai dan pendekar-pendekar Islam yang sering muncul di televisi mengutuk perbuatan keji tak berperikemanusiaan di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton 17 Juli lalu itu. Sudah seharusnya tokoh-tokoh yang setiap hari berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari rakyat ikut cawe-cawe membantu aparat keamanan dalam membongkar kejahatan teror, serta meluruskan jalan pikiran penganut paham sektarian global yang tidak menguntungkan ketertiban dan kedamaian negeri ini serta mengancam semangat kebangsaan kita. Telah terjadi gerakan pembiaran terhadap terorisme. Masih membahagiakan, tokoh Islam moderat KH Hasyim Muzadi (NU) dan Din Syamsudin (Muhammadiyah), memotori Doa Bersama Tokoh-tokoh Agama, Senin 20/07/09 di Jakarta. Teman-teman yang budiman, tokoh-tokoh yang berat hati mengutuk terorisme (dan lebih suka mengikuti ‘trend pasar’, yakni menjual isu Palestina, Irak, Afghanistan atas nama agama), bisa jadi akan duduk dalam kabinet mendatang.