Newsletter Juni 09

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Newsletter Juni 09 as PDF for free.

More details

  • Words: 5,285
  • Pages: 22
2009

Edisi : 06 /Juni2009

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya 3/7/2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA Pengantar

Program KB dan Hak Perempuan

M

asihkah Program Keluarga Berencana (KB) mendapat perhatian mamadai sebagai salah satu program dalam kebijakan kependudukan? Pertanyaan tersebut diajukan, mengingat bulan ini, tepatnya hari Senin, 29 Juni 2009, adalah Hari KB Nasional. Mencermati pemberitaan media massa, belum ada berita yang mengungkap akan ada upacara khusus diselenggarakan untuk menyambut hari tersebut. Memang, isu tentang KB bukan merupakan isu yang menarik saat ini. Isu KB jelas kalah menarik ketimbang pemilihan presiden dan debat antar calon. Dan kalau disimak, dalam debat yang telah dilaksanakan, kontestan hanya mengatakan perlu revitalisasi program KB. Revitalisasi seperti apa, tidak diungkap secara kongkrit. Persoalannya, dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta, masalah kependudukan selalu menjadi masalah yang siap menyita seluruh energi bangsa ini apabila tidak disertai kebijakan yang tepat. Pertambahan Edisi: 06/Juni 2009

penduduk yang tidak terkendali akan menimbulkan persoalan menyangkut penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, kemiskinan, dan sebagainya. Program KB lahir sebagai langkah antisipasi agar pertambahan penduduk jangan sampai tidak terkendali. Memang, sejarah pelaksanaan program KB di negeri ini, terutama ketika rezim Orde Baru berkuasa, penuh dengan catatan suram. Sebagai kebijakan pemerintah yang memosisikan diri sebagai penguasa, program KB dilaksanakan melalui pemaksaan, mobilisasi. Tidak ada penghargaan terhadap hak warga, tidak ada kebebasan bagi warga untuk memutuskan sendiri apakah akan menjalankan KB atau tidak, tidak ada kebebasan bagi warga untuk memilih sendiri cara ber-KB yang lebih sesuai. Dan yang menjadi korban utama adalah perempuan. Kaum inilah yang dijadikan sasaran program KB, sementara laki-laki tidak. Kaum perempuan kehilangan hak dan kebebasan atas dirinya sendiri, serta harus memikul segala ekses yang ditimbulkan program KB yang mau tak mau harus dijalankannya.

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Setelah reformasi, rezim Orde Baru menjadi masa lalu. Demokratisasi terus berlangsung hingga kini. Demikian pula semakin tumbuh kesadaran bahwa hak dan kebebasan setiap warganegara harus dihormati, diakui, dan dipenuhi, tak terkecuali perempuan.

berikut: Apakah program KB belakangan ini dilaksanakan secara lebih demokratis, tanpa paksaan dan manusiawi? Apakah program KB yang dilaksanakan kini telah menunjukkan penghargaan dan pengakuan terhadap hak dan kebebasan perempuan?

Akan tetapi, kenyataan bahwa dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa sekarang ini akan menimbulkan persoalan besar apabila laju pertumbuhan penduduk tidak terkendali, mengembalikan ingatan atas pentingnya program KB. Ingatan itu semakin kuat bersamaan dengan Hari KB Nasional, yang jatuh pada Senin, 29 Juni ini.

Media massa jelas bisa menjalankan peran penting melalui laporan-laporan yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Dalam konteks itu, fokus persoalan sudah tentu bukan lagi menyangkut pertanyaan apakah program KB masih diperlukan atau tidak. Fokus persoalan bergeser sebagaimana dirumuskan dalam pertanyaan

Dengan latar belakang tersebut di atas, tulisan tentang peran media dalam menyoroti persoalan sekitar KB dan hak perempuan, menjadi salah satu sajian pada edisi kali ini. Juga ada tulisan mengenai bagaimana media menyoroti sepak terjang pasangan capres/cawapres menjelang pemilihan presiden, mengkritisi penilaian penanggulangan bencana dan tulisan lainnya. Selamat membaca.(Rondang Pasaribu)

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Sekilas Info

RUU Rahasia Negara Ancaman bagi Pers

P

embahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara di legislatif, kini menjelang akhir, karena ditargetkan selesai akhir Juni 2009 dan langsung diajukan ke Panitia Kerja (Panja) dengan target penyelesaian paling lambat September 2009 mendatang.

Di tengah situasi yang belum menentu, terkhusus tentang RUU ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama Yayasan Sains, Estetika & Teknologi (SET) mengadakan diskusi dengan topik RUU Rahasia Negara dan Kebebasan Pers. Acara diskusi digelar di Hotel Cakra Kusuma, Jalan Kaliurang Yogya, Sabtu (27/6), dengan menghadirkan pembicara yaitu Djoko Susilo (anggota Komisi I DPR RI), Ichlasul Amal (Ketua Dewan Pers), Agus Sudibyo (Deputi Direktur Yayasan SET) dan Irsyad Thamrin (Direktur LBH Yogyakarta). Adapun moderator diskusi adalah Masduki, (Prodi Komunikasi UII.) Menurut Djoko Susilo, RUU ini memang merupakan antitesa UU 40/1999 tentang Pers. Angin reformasi yang diwujudkan melalui UU 40/1999 itu seakan balik arah, jika menilik RUU Rahasia Negara ini. Namun, jika harus distop pembahasannya, juga tidak mungkin. Untuk mengubahnya, dibutuhkan waktu lama, mungkin tiga tahun, dan itupun akan ditangani oleh anggota legislatif baru hasil pemilihan legislatif 2009 ini. Agus Sudibyo, dalam diskusi yang dihadiri sekitar 50 orang terdiri dari aktivis LSM, jurnalis dan akademisi itu, memaparkan beberapa klaim rahasia negara seperti yang sering dihadapi pers/masyarakat. Antara lain RAPBN/RAPBD, kebijakan, rencana kebijakan, rencana proyek, rencana kunjungan, sistem penggajian, belanja rutin, aktivitas-aktivitas internal, sidang-sidang DPR-DPRD dan sebagainya. Rahasia Negara bukan hanya problem dalam konteks news gathering, namun juga ancaman nyata bagi profesional media. Gerakan reformasi belum berhasil merivisi 10 pasal pembocoran negara dengan sanksi pidana yang berat dalam KUHP. Maka, sama kondisinya dengan era Orde Baru, pasal-pasal tersebut Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA dapat menyeret wartawan masuk bui karena menyebarkan infomasi yang memojokkan pemerintah atau pejabat tertentu, meski tidak benar-benar merugikan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional. Maka AJI Yogya dalam kesempatan itu menyatakan sikapnya. Dengan tajuk RUU Rahasia Negara Ancaman Serius bagi Kehidupan Pers. Lima butir pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Ketua AJI Yogyakarta, Bambang MBK, itu antara lain: menolak tegas keberadaan RUU Rahasia Negara karena bertentangan dengan semangat UU No 40/1999 tentang Pers. RUU Rahasia Negara jelas mengancam kebebasan pers dan berpotensi mengkriminalkan para jurnalis dengan dalim Rahasia Negara. Selain itu, mendesak

Edisi: 06/Juni 2009

Komisi 1 DPR RI untuk menghentikan proses legislasi RUU Rahasia Negara dan tidak berspekulasi hanya demi “kejar tayang” di akhir masa jabatannya.(awd)

Jurnalisme Berperspektif Gender Diskusi yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-Ham) Solo, di Ramayana Resto, Solo pada 27Juni 2009 lalu merupakan bentuk kepedulian terhadap masih banyaknya berita di media yang masih menyudutkan perempuan. Dengan mengusung tema diskusi “Membangun Jurnalisme Perspektif Gender” diskusi dihadiri oleh pembicara dari LP3Y, Ismay Prihastuti dan Dewi Candraningrum, staf pengajar Universitas Muhammadiyah Solo. Acara yang berlangsung dari pagi hingga siang hari tersebut dihadiri Pemimpin Redaksi Solopos, Soenyoto dan beberapa jurnalis media cetak dan radio. Diskusi yang berlangsung santai dan mengalir tersebut memaparkan keluhan ataupun kendala-kendala di kerja redaksi apabila perspektif gender diterapkan dalam dunia kerja mereka. Idealisme yang terkadang berbenturan dengan selera pembaca menjadi salah satu bahan diskusi siang itu. Hal yang menarik, diingatkan oleh Dewi Candraningrum, bahwa media sebagai agen kemanusiaan punya peran dalam mendidik publik. Sehingga dalam memberitakan dengan bahasa adil gender. (may)

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA Media dan AGKR

Peran Media dalam Menyoroti KB dan hak-hak Perempuan

D

ebat calon wakil presiden (cawapres) pada stasuin televisi TV One pada Selasa (30/6/09) malam lalu, ada yang menarik. Program Keluarga Berencana disinggung dalam tema Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Salah satu cawapres yakni Prabowo Subianto berjanji akan menggalakan kembali program ini.

Apa yang terjadi jika pemerintah tidak ada melaksanakan program KB (Keluarga Berencana) secara serius? Jawabannya sudah pasti akan terjadi peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat dalam kurun waktu singkat (baby booming). Dan implikasi dari itu, kualitas hidup manusia juga dipertanyakan. Program KB yang dicanangkan sejak tahun …….pada era Presiden Soeharto. Dengan Slogan Dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja menjadi catatan sejarah negara ini bahwa program saat itu berhasil dengan baik. Keberhasilan program kala itu juga turut membawa nama harum bangsa Indonesia, sehingga mendapat penghargaan dunia internasional karena kemampuannya menekan jumlah pertambahan penduduk secara signifikan. Namun dibalik keberhasilan Indonesia dalam menjalankan program KB yang pada masa itu terdapat jumlah alat kontrasepsi dengan pilihan, pil, suntik, alat kotrasepsi dalam rahim (IUD) dan susuk (masih jarang) serta kondom sebagai kontrasepsi untuk laki-laki terjadi pelanggaran-pelanggaran berkaitan dengan hak perempuan sebagai pemilik otoritas tubuhnya. Pelanggaran lainnya juga dilakukan oleh negara diwakili aparat-aparatnya turut berperan dalam pemenuhan target. Melalui perangkat hukum atau aturan yang tidak tertulis, program ini seolah dipaksakan kepada pegawai pemerintahan. Sebagai contoh kepemilikan jumlah anak dalam keluarga hanya diakui sampai kesekian atau ketiga misalnya. Sedangkan tunjangan bagi anak keempat atau anak berikutnya tidak diberi tunjangan, entah itu atas biaya hidup atau pendidikan. Peritiswa atau bentuk kasus-kasus yang terjadi di sejumlah daerah adanya perempuan-perempuan yang tidak cocok sehingga sampai menimbulkan efek samping. Dan dalam kasus ini pun petugas terlambat memberi solusi atau penanganan

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA karena petugas tersebut tidak memonitor setiap klien atau perempuan sebagai akseptor. Dalam hal ini terjadi pengabaian terhadap hak perempuan untuk kesehatan dirinya. Persoalan yang menyangkut hak perempuan atas reproduksinya inilah nampaknya yang terus diperjuangkan. KB merupakan salah satu program pemerintah yang perlu ditingkatkan mengingat kemanfaatan dari program ini sangat baik. Namun, tidaklah jika bicara tentang KB ini semata perempuan yang dipersoalkan. Agar tidak terjadi ketidakadilan, lakilaki pun sepatutnya berpartisipasi dalamhal ini. Sehingga alat kontrasepsi berupa kondom perlu disosialisasikan setara dengan alkon lainnya yang ditujukan untuk permepuan. Kita pun tahu adanya stigmatisasi terhadap kondom inilah yang menyebabkan laki-laki enggan membeli kondom. Dan sebaliknya perempuan juga tidak mendukung alkon tersebut jika pasangannya memakai. Padahal dengan stigma tersebut lagi-lagi perempuan yang harus memakai alkon agar tidak terjadi kehamilan.

Realitas tentang KB Diakui program KB saat ini memang tidak sepopuler pada masa pemerintahan orde baru. Apalagi pergantian sistem pemrintahan dengan adanya otonomi daerah,

masing-masing daerah sesuai dengan interes dan kemampuannya (dana) tidak lagi menjadikan KB sebagai program prioritas. BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang dulu punya nadil besar dalam menangani masalah ini tidak lagi bergaung. Slogan baru “Dua Anak Lebih baik, Menuju keluarga berkualitas” belum dibarengi hasil yang berarti karena kegiatannya sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Meski disadari dengan segala perubahan yang dilakukan BKKBN, kendala-kendala berupa dukungan dari perhatian pemerintah maupun dari luar, kelompok tertentu yang tidak mendukung program ini dengan dalil agama. Namun ada realitas yang menarik pada suatu masyarakat adat tertentu. Seperti misalnya suku baduy, meskipun ia tidak menggunakan alkon yang ditawarkan oleh pemerintah, tetapi ia punya metode tersendiri dengan ramuan-ramuan atau tumbuhan yang dipercaya memperlambat proses kehamilan (punya anak). Tumbuhan yang dipercaya …….boga carang. Ataupun saat ini banyak pasangan mandiri yang dengan kesadaran dan biaya sendiri menjadi akseptor KB karena inginnya memiliki keluarga berkualitas. Nah, bagaimana dengan keluarga miskin yang tidak mampu membeli alkon padahal ingin sekali ia ber-KB. (ada klipingnya)

Berkaitan dengan persoalan ini, bagaimana peran media melihat persoalan itu. Sejauhmana media memberikan informasi tentang ini, perkembangannya, petugas lapangan,akseptor dan sebagainya, agar permasalahan ini mendapat perhartian dari pihak-pihak terkait dalam memantau perkembangannya. Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Media massa, terutama media cetak atau suratkabar sejauh ini masih memberitakan persoalan KB ini. Meskipun tema yang dibahas lepas, lepas atau tergantung peristiwa yang berkiatan dengan itu, namun berita tentang KB biasanya lebih sering menyebut angka saja. Seperti misalnya berita tentang KB di suratkabar harian Solopos edisi 14/5/09 lalu yang diberi judul “Jumlah akseptor di Slogohimo turun KB, digencarkan”. Berita tersebut berisi tentang turunnya peserta KB dikarenakan sosialiasi turun. Sosialisasi turun dikarenakan minimnya jumlah petugas KB. (aline 5). Namun pada berita yang terdiri dari 7 allinea itu tidak dijelaskan mengapa petugas KB saat ini minim. Jurnalis hanya mengutip pernyataan camat Slogohimo, Soemardjo yang berjanji akan membenahi kendala-kendala dan akan meningkatkan sosialisasi tersebut. Fakta senada juga terjadi pada suratkabar harian Kedaulatan Rakyat edisi 14/5/09 dengan judul “Tenaga Penyuluh KB Masih Kurang”, Upper, Di Klaten hanya ada 29 Orang. Berita singkat dengan lima alinea ini memberikan informasi tentang berkurangnya jumlah petugas KB di lapangan setelah era otonomi daerah. Padahal dulu jumlah tersebut banyak yakni bisa mencapai 150 –170 penyuluh, namun saat ini tinggal 29 orang. Hampir sama dengan berita sebelumnya, tidak ada keterangan atau alasan mengapa petugas KB sangat minim, apakah karena otonomi daerah, dan kalau disebabkan karena otonomi, seperti apa pengurangan petugas tersebut terjadi? Dalam kasus ini ada dua hal yang dapat disoroti, pertama, jurnalis menulis seolah-olah pembaca sudah paham terhadap persoalan tersebut, sehingga fakta-fakta yang didapat dari narasumber tidak dikritisi ke pertanyaan selanjutnya. Kedua, jurnalis tidak paham betul terhadap persoalan yang ada, sehingga fakta yang digali sangat minim, dan berita yang ada terkesan datar, minim informasi dan hanya berupa seremoni semata. Padahal idealnya, jurnalis dapat menjelaskan alasan-alasan itu mengapa saat ini jumlah petugas minim, apa yang menyebakan demikian, sehingga pembaca tidak bertanya-tanya mengapa saat ini terjadi kesamaan persoalan satu daerah dengan daerah lainnya.

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Bagaimana memberitakan persoalan KB? Akseptor KB laki-laki rendah. Sduah selesai. Padahal implikasi dari rendahnya akseptor KB laki-laki dapat ….….mencegah terjadinya baby booming ….tidak mengarah pada upaya pencegahan HIV dan Penyakit menular. Hubungan implikasi terhdap persoalan ini sesungguhnya dapat dilihat dari selain baby booming juga terlihat dari jumlah bayi HIV yang cenderung meningkat. Apa artinya, bayi tersebut tertular dari ibunya. Padahal si ibu dapat saja ditularkan oleh suaminya yang pecandu atau pelanggan PSK. Biasaya media hanya berhenti pada persoalan tertular dari si ibu (lihat media) malah memberikan stigma pada si ibu lagilagi perempua, bahwa si ibu adalah PSK atau pecandu narkoba suntik. Padahal akibat dengan tingginya bayi yang tertular HIV tersebut dapat disebabkan karena perilaku tidak menggunakan kondom. Tetapi itu tidak muncul berita / media tersebut. Sehingga kondom sebenarnya punya banyak manfaat selain mencegah baby booming. (penjelasan yang b). Bagaimana kaitannya dengan hak-hak perempuan dalam sistem KB ini.

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Media dan Kebencanaan

Mengkritisi Penilaian Penanggulangan Bencana

M

emperingati tiga tahun peristiwa bencana gempa 27 Mei 2006, ada sejumlah acara dilakukan di Yogyakarta, khususnya di Bantul, pada Rabu 27 Mei 2009. Acara peringatan itu antara lain peresmian rumah sakit pusat rehabilitasi penyandang cacat akibat gempa 27 Mei 2006 di Pundong, Bantul; simulasi penyelamatan diri saat gempa di sejumlah sekolah dasar, dan peluncuran Pusat Studi Lingkungan dan Bencana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan seminar internasional bertema Refleksi Tiga Tahun Gempa dan Antisipasi Gempa Bumi di Masa Depan di Yogyakarta di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII). Empat kegiatan tersebut dipublikasikan media keesokan harinya. Tentu dengan angle pemberitaan masing-masing. Menarik untuk dicermati adalah berita yang diangkat dari seminar internasional di UII. Seminar ini diangkat Koran Tempo dan Republika edisi Kamis 28 Mei 2009. Koran Tempo memberi judul Pemulihan Pascagempa di Yogyakarta Terbaik (hal B2), Republika menggunakan judul Modal Sosial Selamatkan Warga dari Bencana (hal 15). Kedua suratkabar ini mengutip narasumber yang sama untuk beritanya, yaitu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif. Hanya saja ada perbedaan keterangan terkait kapan pejabat itu memberikan keterangannya. Koran Tempo menyebutkan …kepada wartawan setelah menjadi keynote speaker dalam seminar…, sedangkan Republika menuliskan …demikian diungkapkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif ketika menjadi keynote speaker pada seminar …. Tapi bukan itu inti persoalan yang menjadi fokus catatan ini.

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA Meskipun Koran Tempo dan Republika berbeda dalam memfokuskan topik berita, ada kesamaan dalam berita keduanya, yaitu mengangkat penilaian mengenai pemulihan pascagempa di Yogyakarta. Perbedaannya, jika Koran Tempo langsung menjadikan hal itu sebagai angle tulisan sekaligus menonjolkannya melalui penjudulan, Republika menyelipkannya di bagian lain berita. Akan tetapi, di luar perbedaan sekaligus persamaan antara keduanya, satu persamaan yang penting dicermati adalah keduanya tidak memberikan informasi penting terkait penilaian mengenai pemulihan pascagempa di Yogyakarta yang disebut-sebut sebagai terbaik. Dikatakan tidak memberikan informasi penting terkait penilaian mengenai pemulihan pascagempa sebab kedua berita tersebut tidak menunjukkan parameter atau ukuran atau indikator yang dipakai sehingga sesuatu dikatakan terbaik. Dalam berita memang disebutkan, penilaian terbaik itu dibandingkan dengan pemulihan di tempat lain (kedua suratkabar pun tidak menunjuk contoh yang dimaksudkan dengan daerah lain, apakah Nias, Aceh, atau mana lagi). Akan tetapi, pertanyaannya tetaplah sama: dalam hal apa, dan apa ukurannya, sehingga penanganan di Yogya terbaik dibanding daerah lain. Jika tidak ada parameter yang dijadikan acuan untuk membandingkan tentu saja patut dipertanyakan kesimpulan penilaian tersebut. Tolok ukur untuk perbandingan dalam penilaian tentu saja penting bagi publik untuk bisa secara bersama-sama melihat apakah memang benar penanganan pascagempa di Yogya lebih baik atau terbaik di antara yang pernah dilakukan. Bahwa penilaian itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif tidak berarti menutup peluang jurnalis untuk mengkritisinya. Jurnalis harus tetap skeptis terhadap pernyataan siapapun, termasuk pejabat negara, agar tidak menerima dan menelan mentah-mentah pernyataan tersebut lalu mempublikasikannya. Terlebih lagi harus disadari betul bahwa pernyataan penilaian disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang artinya disampaikan oleh institusi pemerintah yang sekaligus sebagai pihak pelaksana pemulihan pascagempa. Bahwa penilaian di atas berkemungkinan mengandung bias kepentingan, haruslah disadari jurnalis sedari awal. Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Tentu saja bukan berarti bahwa hasil kerja pemerintah buruk sehingga penilaian terbaik harus dicurigai. Sikap kritis bukan berarti bertujuan untuk menghilangkan prestasi, jika memang demikian adanya. Bukan pula untuk mengecilkan prestasi pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Bantul. Seandainya pun penilaian tersebut berasal dari lembaga independen, jurnalis pun tetap harus mengkritisinya dengan pertanyaan-pertanyaan penting di atas, yaitu apa yang dijadikan ukuran penilaian. Alih-alih menginformasikan parameter yang menjadi dasar penilaian, kedua suratkabar justru (hanya) menyebut faktor penyebab atau pendukung proses pemulihan yang dinilai terbaik itu. Perhatikan kalimat pada lead Koran Tempo berikut ini: Upaya penanganan dan pemulihan kondisi pascabencana….dinilai sebagai yang terbaik oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif, dibandingkan upaya-upaya di daerah lainnya. Alasannya, masyarakat Yogyakarta mempunyai budaya lokal yang menonjolkan kemampuan beradaptasi dan melawan bencana. Kemudian pada alinea ke-4 di Republika: Yogyakarta, kata Syamsul, dinilainya sebagai contoh terbaik tentang penanggulangan pascabencana. Hal ini disebabkan Yogyakarta mempunyai modal sosial sehingga hubungan di antara warga sangat erat dan mereka saling peduli. “Adanya kearifan lokal ini membuat warga Yogyakarta dan sekitarnya cepat dalam penanggulangan bencana,” kata Syamsul. Kalau saja kedua suratkabar itu menunjukkan parameter penilaian, itu akan membantu publik untuk menilai apakah memang pemulihan pascabencana di Yogya benar-benar terbaik daripada di daerah lain. Seberapa baik pencapaian proses pemulihan sebetulnya bisa dicermati dari pencapaian atas sejumlah pekerjaan pada penanganan pascabencana. Penanganan

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

pascabencana meliputi dua aspek besar, rehabilitasi dan rekonstruksi (UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 57) Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut (pasal58): a. Perbaikan lingkungan daerah bencana; b. Perbaikan prasarana dan sarana umum; c.Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; d.Pemulihan sosial psikologis; e. Pelayanan kesehatan; f. Rekonsiliasi dan resolusi konflik; g.Pemilihan sosial ekonomi budaya; h.Pemulihan keamanan dan ketertiban; i.Pemulihan fungsi pemerintahan; dan j. Pemulihan fungsi pelayanan publik. Adapun rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi (pasal 59): a. Pembangunan kembali prasaranan dan sarana; b. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; d. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; e. Partisipasi dan pern serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat; f. Peningkatan kondisi sosial ekonomi, dan budaya; peningkatan fungsi pelayanan publik; dan h. Peningkatan pelayanan umum dalam masyarakat. Dengan melihat berbagai kegiatan pada proses penanganan pemulihan pascabencana, kemudian bisa diperbandingkan antara proses di daerah yang satu dengan lainnya. Dari aspek waktu misalnya, apakah pekerjaan rekonstruksi bangunan di Yogyakarta lebih cepat dari tempat lain? Apakah kegiatan sosial budaya dan ekonomi di Yogyakarta bisa dipulihkan lebih cepat dibandingkan kegiatan di daerah lain? Apakah pelayanan pelayanan publik di Yogya lebih cepat dipulihkan daripada di daerah lain? Apakah proses rekonsiliasi sosial di daerah bencana di Yogya berlangsung lebih cepat dibanding proses di daerah lain? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut “ya”, dengan menunjukkan perbandingan waktu pencapaian proses (misalnya di Yogya 1 tahun, di Nias 2-3 tahun, dan “standar”nya adalah 2 tahun), maka penilaian bahwa pemulihan pascagempa di Yogya terbaik (jika ukurannya adalah kecepatan, bukan kualitas) dibandingkan daerah lain menjadi masuk akal. Artinya, jika publik menilai dengan tolok ukur yang sama, maka penilaian tersebut akan terkonfirmasi. Kemudian, publik pun bisa diyakinkan Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

bahwa penilaian tersebut memang berkesuaian dengan apa yang dilihat dan dialami warga. Tanpa menunjukkan argumen berdasarkan fakta maka berita tentang penilaian upaya pemulihan pascagempa di Yogyakarta sebagai terbaik yang disampaikan Syamsul Maarif sama saja menutup peluang publik untuk bersikap kritis. Di sisi lain juga mengabaikan hak publik untuk mendapatkan informasi (right to know) yang memadai untuk dijadikan dasar dalam menilai sesuatu. Berita tersebut sekaligus menyodorkan kebenaran sepihak (pemerintah), sebab publik tak bisa mengujinya mengingat publik tak memiliki alat uji berupa tolok ukur. Di sinilah pentingnya sikap tidak mudah menerima, menelan dan mempublikasikan setiap pernyataan dari mana pun pernyataan itu berasal tanpa mengkritisinya pada saat pernyataan itu disampaikan kepada jurnalis. Mengenai pernyataan narasumber bahwa penyebab keberhasilan proses pemulihan pascagempa di Yogyakarta adalah modal sosial yang dimiliki warga di daerah bencana, itu boleh-boleh saja sebagai penjelas bagi publik. Justru, jika itu benar, maka informasi ini penting

Edisi: 06/Juni 2009

bagi publik sebagai bahan pembelajaran masyarakat di daerah bencana. Ada pesan sosial di balik itu, bahwa modal sosial merupakan aspek yang tidak boleh diabaikan dalam proses mempercepat proses pemulihan pascabencana. Akan tetapi, ketika proses pemulihan itu dinilai sebagai yang terbaik dibandingkan dengan proses serupa di daerah lain, masyarakat perlu tahu apa ukurannya sehingga di daerah yang satu dikatakan terbaik, di daerah lain tidak. Dalam memberitakan penilaian terhadap pemulihan pascagempa, sebetulnya jurnalis bisa menggunakan alur logika sederhana berikut: Penilaian: Yogya Terbaik Dasar atau ukuran penilaian: apa dasar dinyatakan terbaik? Faktor pendukung pencapai nilai: apa yang menyebabkan Yogya meraih prestasi tersebut? Jika logika tersebut dinarasikan dalam teks berita, maka teks berita itu kira-kira demikian:

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Pemulihan Pascabencana Yogyakarta dinilai terbaik dibandingkan daerah-daerah lain. Hal itu dilihat antara lain dari, (misalnya) proses rekonstruksi rumah warga yang jauh lebih cepat dari rata-rata, di tempat lain mencapai 2-3 tahun, Yogya hanya 1,5 tahun. Pelayanan sosial yang sudah dipulihkan dalam waktu kurang dari setahun, di empat lain 1,5-2 tahun baru pulih. Dst.dst.

Tercapainya “prestasi” penanganan pascabencana tersebut karena didukung modal sosial yang dimiliki warga Yogya. Modal sosial tersebut berupa …dst Ketidaklengkapan informasi pada berita pemulihan pascagempa Yogyakarta di atas tentulah tidak bisa ditimpakan kepada narasumber. Sebab, bisa saja narasumber memang menyengaja menyampaikan pernyataan yang tak lengkap karena motif dan kepentingan tertentu. Tugas jurnalislah untuk membuat informasi menjadi lengkap dan jelas bagi publik. Bukan meneruskan informasi yang tak lengkap dan samar-samar. Jangan-jangan, jurnalis yang menulis berita tersebut juga tak tahu jawabannya jika ditanya apa dasarnya pemulihan pascabencana di Yogyakarta terbaik. Jadi, janganlah jurnalis menulis berita yang dia sendiri tak memahaminya. Dan ingatlah, jurnalis menulis berita hanyalah untuk publik/pembacanya, bukan untuk narasumber. (dedi h purwadi)

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Spesial Info:

Asia Pacific Village :Keberagaman Menyatukan Kita!

J

akarta (26 Juni 2009) – Asia Pacific Village (AP Village) merupakan sebuah terobosan penting di International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) IX Bali, Indonesia. Acara ini digelar untuk memfasilitasi berbagai aspek dan persoalan masyarakat sipil, sekaligus untuk membangun kegiatan bersama antara kampanye AIDS dan seni pertunjukan. Sekitar 15 negara menyatakan akan ambil bagian dalam AP Village, yaitu Malaysia, Thailand, China, Myanmar, Fiji, India, Vietnam, Jepang, Papua New Guinea, Bangladesh, Taiwan, Pakistan, Australia, Samoa, dan Switzerland. Mereka akan menampilkan berbagai tarian tradisional dan kontemporer, drama, serta berbagai kegiatan interaktif tradisional lainnya. ”Melalui AP Village, kesadaran dan pemahaman masyarakat akan keberagaman budaya di wilayah Asia Pasifik diharapkan dapat meningkat. Sekaligus juga memperkenalkan pada publik bagaimana suatu keberagaman budaya mampu menciptakan kesatuan,” jelas Indira Susatio, Asia Pacific Village Officer ICAAP IX. Mengusung konsep ’Kampung Bali’, AP Village menerjemahkan tema utama ICAAP IX, ’Memberdayakan Manusia, Memperkuat Jejaring’ dalam sebuah suasana menyenangkan. ”Wahana ini berfungsi sebagai tempat di mana kita merayakan keberagaman, sekaligus berinteraksi dan terlibat secara pribadi, saling berbagi dan bertukar pengalaman, pengetahuan dan keahlian, membangun koalisi, dan mempromosikan pembelajaran interaktif antarsesama komunitas yang hidup dan terdampak HIV-AIDS, termasuk juga para pengambil kebijakan, peneliti serta kelompok lainnya,” tambah Indira Susatio.

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Inti dari AP Village adalah sarana ruang dialog komunitas ‘Wantilan’ yang terletak tepat di sudut (paling terlihat) di aula AP Village. Ruang dialog komunitas ‘Wantilan’ mendapat dukungan dari UNDP bersama Global Fund dan mereka sekaligus akan menjadi tuan rumah dalam sesi dialog ”Bertemu Dengan Para Pemimpin” yang mengusung tema ”Sistem PBB dan Masyarakat Sipil Dalam Merespon AIDS” serta ”Institusi Keuangan & Masyarakat Sipil”. Di tempat yang sama, juga akan berlangsung sesi pertukaran pengalaman dari beberapa organisasi pemenang Penghargaan Pita Merah (Red Ribbon Award), yaitu sebuah penghargaan yang diberikan kepada berbagai komunitas yang terbaik di bidang penyediaan akses layanan , pengobatan dan dukungan bagi Orang Dengan HIV. Selain itu, penghargaan ini juga diberikan pada mereka yang memperjuangkan hak asasi manusia serta mereka yang menyediakan dukungan bagi anak-anak yang menjadi yatim piatu karena AIDS. Ruang dialog komunitas ini telah dipraktekkan di berbagai negara. Yang unik sarana ini selalu menggunakan nama lokal di masing-masing negara. Pada ICAAP ke-8 di

Colombo, sarana Ruang Dialog Komunitas ini bernama ’Praja Shalava’. Sementara pada Kongres Internasional AIDS ke-17, digunakan nama ‘Tequio’, sebuah kata dari bahasa Zapotec yang bermakna ‘bekerjasama’ serta ’mengatur komunitas menuju tujuan yang sama’. Dalam ICAAP IX ini nama ‘Wantilan’ sengaja dipilih untuk menghormati tradisi Bali. ‘Wantilan’, yang dalam bahasa Bali berarti bangunan, merupakan tempat bagi penduduk desa untuk berkumpul, membahas berbagai aspek dalam kehidupan mereka – dari piodalan (upacara ulang tahun pura), kremasi, pertanian, pengaturan subak (sistem irigasi tradisional) hingga pemilihan kepala desa. Di tempat inilah penduduk desa berkumpul untuk mengambil keputusan. Rangkaian pertunjukan kebudayaan akan digelar di panggung mini yang terletak di ’Wantilan’. Sekitar 27 organisasi, LSM dan CBO yang bergerak di bidang penanggulangan AIDS dari seluruh kawasan Asia dan Pasifik akan memamerkan hasil budaya dan kesenian etnis mereka sekaligus menunjukkan kegiatan-kegiatan organisasi mereka.

Selama ICAAP IX berlangsung, di depan ruang dialog komunitas ‘Wantilan’, juga akan diselenggarakan pameran foto bertajuk ‘Access to Life’ (A2L), sebuah proyek kolaborasi antara GF-ATM dengan Magnum Photos. Pameran ini bertujuan mendokumentasikan dampak pengobatan antiretroviral terhadap jutaan penderita AIDS di seluruh dunia. Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Di sudut lain AP Village, terdapat ruang khusus bagi para remaja yang disebut ‘Sudut Remaja’. Ruang ini disediakan untuk networking serta kegiatan lain seperti lokakarya, drama, rapat terbatas dan pameran. Keterlibatan para peserta remaja tersebut diharapkan dapat mendorong tokoh-tokoh penting di bidang HIV dan AIDS untuk memberi dukungan lebih besar pada program-program remaja. Tepat di sebelah Sudut Remaja, terdapat area ‘Jejaring Komunitas’ – tempat dimana individuindividu lokal dan internasional dapat berkumpul untuk merencanakan dan melakukan kolaborasi serta membuat program mengenai berbagai topik. Dalam ruang ini akan dipamerkan programprogram organisasi komunitas lokal (ODHIV, penasun, interfaith, para pekerja seks, transgender) untuk mengupayakan peningkatan jangkauan serta pemahaman tentang situasi epidemik HIV dan AIDS. Sebuah area santai akan disediakan bagi peserta untuk sejenak melepas ketegangan dari acara utama kongres. Peserta bisa menikmati pijat khas Bali, kepang rambut, hingga pemasangan tattoo non-permanen. * Bertempat di lantai dasar Bali International Convention Center (BICC), AP Village akan digelar pada 10 – 12 Agustus, pukul 09.00-18.00 WITA setiap harinya. AP Village dibuka untuk umum dengan tujuan menggugah pemikiran serta menarik perhatian publik melalui diskusi interaktif, kampanye media, serta pertunjukan seni dan budaya. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Ika Nazaruddin Pacto Convex Ph 62-21 571-9973 [email protected] Congress Coordinator Ph 62-21 571-9973 [email protected]

Edisi: 06/Juni 2009

Elis Widen

Ristya Paramita Public Information Officer Ph. 62-21-39838845/46 [email protected] Indira Susatio Asia Pacific Village Officer Ph 62-39838845/46 [email protected]

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Info Buku :

Menjelajah Cakrawala Politik dari Sisi Komunikasi

INILAH buku tentang realitas komunikasi politik yang relevan dengan situasi mutakhir saat ini. Buku ini menarik dan penting, karena, selain ditulis oleh penulis Indonesia juga membahas persoalan dalam konteks Indonesia. Dua hal yang ternyata masih sangat jarang ditemui. Lantas, di manakah titik temu signifikansi antara komunikasi politik dan politik itu sendiri? Keduanya memiliki dua dimensi sekaligus, yakni dimensi riil kekuasaan tentang siapa memperoleh apa dan dimensi lambang-lambang pesan siapa mengatakan apa. Karena hal demikian, maka dalam konteks politik modern media massa berada pada posisi sentral; tidak ada peristiwa penting berkenaan dengan kepentingan publik luput dari perhatian media massa. Memang, komunikasi politik tidak semata bertumpu pada media massa. Berbagai forum konferensi yang diselenggarakan oleh organisasi politik, forum sidang parlemen dan upaya lobi yang dilakukan kalangan organisasi, misalnya, merupakan gejala komunikasi yang mewarnai kehidupan politik dan masyarakat Indonesia. Begitu juga komunikasi politik yang berlangsung di kalangan internal organisasi atau internal institusi maupun antarorganisasi/antarinstitusi. Dalam setiap realitas kehidupan politik, pasti terjadi komunikasi politik. Komunikasi ini tidak hanya tampil dalam bentuk aksi-aksi protes menuntut hak yang terampas atau menyiarakan aspirasi. Kehidupan politik meniscayakan adanya rapat, pidato, kampanye, kontak antarlembaga, debat dalam sidang parlemen, perundingan, ataupun negosiasi. Semua itu adalah bentuk-bentuk komunikasi politik. (hal 4). Media massa di dalam situasi normal melakukan liputan terhadap peristiwa tertentu dan kemudian menginformasikan kepada publik dengan frame tertentu. Masyarakat umum, elit politik, maupun kalangan pemerintah, memperolah informasi dari media massa tentang realitas sosial yang tejadi di tengah kehidupan masyarakat. Demikian antara lain dipaparkan dalam Bab I, sebagai landasan untuk memahami pengertian tentang komunikasi politik. Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Masih dalam bab sama, penulis mengemukakan tentang definisi komunikasi politik seperti dikemukakan oleh Denton dan Woodward seperti dikutip oleh McNair 19-95:3 yaitu, diskusi publik mengenai penjatahan sumber daya publik, yakni mengenai pembagian pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh publik; kewenangan resmi – yakni siapa yang diberi kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan hukum, membuat peraturan dan melaksanan peraturan itu, dan sanksi-sanksi resmi, yakni apa yang negara berikan sebagai ganjaran atau mungkin hukuman (hal 5). Definisi ini lebih mengedepankan interaksi antara negara (the state) dengan rakyat atau publik (public). Secara keseluruhan, buku ini memang sangat pas dengan situasi mutakhir di negeri ini. Pemilihan presiden (pilpres) periode 2009-2014 kini sudah memasuki tahap-tahap akhir kampanye menuju ke proses selanjutnya, yakni pemungutan suara. Sebelumnya pada bulan April 2009 telah dilaksanakan pemilihan anggota legislatif (pileg). Semua peristiwa politik tersebut bisa menjadi contoh konkret bagaimana hubungan antara teori dan praktek dalam kaitan dengan komunikasi politik, seperti dipaparkan dalam buku ini. Setelah didahului dengan penjelasan mengenai pengertian, proses dan efek komunikasi politik pada bab I, dilanjurkan dengan penjelasan tentang pendekatan teoritik dan metode penelitian komunikasi politik pada bab II. Persoalan yang secara khusus dibahas dalam buku ini adalah mengenai media massa. Untuk mengulas tentang hal ini, dibutuhkan tiga bab dimulai dari halaman 91 hingga halaman 307. Penyediaan ruang yang sungguh sangat leluasa, mengingat persoalan yang dibahas begitu kompleks. Pada bab III, tinjauan tentang media massa mencakup fungsi, kekuasan, dan pengaruhnya berkaitan dengan politik. Media massa memang mempunyai peran besar dalam hal ini. Pada bab selanjutnya (bab IV) masih berkaitan dengan media massa, disoroti secara khsus mengani kampanye pemilihan dan pemasaran politik dan diakhiri di bab V yang masih bertopik tentang media massa. Agaknya terdapat penjelasan penting yang perlu dipaparkan dalam buku ini, yakni pada halaman 15, tentang komunikasi politik sebagai suatu bidang kajian ilmiah. Penulis buku ini memaparkan, bahwa secara sederhana, komunikasi politik sebagai suatu subdisiplin ilmu yang mempelajari gejala-gejala pertukaran pesan memiliki signifikansi dengan Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

politik yang pada umumnya adalah penjatahan sumber daya publik. Gejala ini mencakup spektrum yang luas, misalnya tentang kampanye pemilihan, konferensi pers, pidato politik elite kekuasaan, penyampaian informasi oleh pemerintah mengenai berbagai kebijakan, debat di forum parlemen hingga aksi mogok kerja buruh pabrik menuntut perbaikan kondisi kerja. Menurut penulis buku ini, berdasarkan ilustrasi di atas komunikasi politik sebagai suatu subdisiplin ilmu tergolong ke dalam ilmu perilaku. Komunikasi politik sebagai sub-disiplin ini lebih berorientasi pada persoalan bagaimana manusia saling berbagi atau menyampaikan pesan-pesan berkenaan dengan urusan penjatahan sumber daya publik. Komuniasi pilitik sebagai bidang kajian ilmiah, yakni sebagai suatu sub-disiplin ilmu, memiliki akar yang jauh ke belakang yang dalam banyak hal berhimpit dengan perkembangan ilmu lain, termasuk ilmu komunikasi, ilmu politik, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, dan ilmu bahasa. Berkonteks dengan situasi mutakhir, buku ini menjadi tepat untuk disimak, mengingat, beberapa contoh kasus yang dipaparkan di sini juga sesuai dengan apa yang sekarang sedang terjadi dalam kancah perpolitikan dalam negeri. Misalnya mengenai bagaimana stategi kampanye demi memperebutkan pencitraan melalui media massa, dengan tujuan bisa menggaet publik, sampai pada kebutuhan anggaran untuk mendapatkan kursi kekuasaan tertentu, mulai dari bupati, gubernur hingga presiden (hal 216) Demikianlah, cakrawala politik diteropong dari dimensi komunikasi dan media massa, dibeberkan dalam buku dengan tahun penerbitan Mei 2008 ini. (awd)

Judul:

Komunikasi Politik Media Massa dan Kampanye Pemilihan Penulis : Pawito Ph.D, Penerbit : Jalasutra Tahun Terbit : 2008 , Tebal : xi + 325

Edisi: 06/Juni 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Penanggung Jawab : Ashadi Siregar Pemimpin Redaksi : Slamet Riyadi Sabrawi Redaksi : Ismay Prihastuti, Dedi H. Purwadi, Agoes Widhartono, Rondang Pasaribu. Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo

Edisi: 06/Juni 2009

Related Documents