New Microsoft Word Document.doc

  • Uploaded by: dewi arum
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View New Microsoft Word Document.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 4,901
  • Pages: 17
KAUM YANG TERTINDAS

PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia sedang pada tahap klimaks atau pada titik keritis menetukan berhasil atau tidaknya perjuangan mengapai cita-cita. Pemerintah dan seluruh jajaranyan menetapkan dan membuat peraturan yang sekiranya dapat untuk mewujudkan cita-cita bangsa indonesia yang tertera dalam pembukan UUD 1945 antara lain untuk memajukan kesejahteraan bersama, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial.

Terkusus pada bunyi UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan bangsa dan mencerdasakan kehidupan bangsa. Dari kedua itu dapat diwujudkan melalui pendidikan yang baik, hal ini tidak lepas dari peran pendidikan sendiri sebagai penopang sumberdaya manusia untuk mempertahankan hidupnya ,dimana manusia atau terdidik dipandang sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki hak yang tidak dapat di gangu keberadaannya. Dengan demikian perubahan perubahn pola pikir,kebutuhan dan tututan hidup manusia secara otomatis mengharuskan untuk perubahan aktivitas dan sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang memanusiakan kembali manusia yang merupakan pemikiran dari seorang Paulo Freire tokoh pendidikan yang sangat fenomenal di Brazil dalam bukunya yang berjudul “ Pedagogy of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas)”. Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang terbelakang dan identik dengan kemiskinan.

Sejak kecil Paulo Freire sudah terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat pergumulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum- kaum tertindas” lahirlah buah-buah pemikiran yang brilian dan kontroversial. Freire mempunyai latar belakang pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorang

pengacara. Kemudian Freire menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun (1941-1947). Sekitar tahun 1944 Freire menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan.

Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). Di kemudian hari, Freire bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, Freire menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, Freire diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer.

Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Freire memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia. Dari Bolivia Freire pindah ke Chili dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform Movement. Dalam masa lima tahun ini, Freire dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 Freire sempat menjadi visiting professor di Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, Freire pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-an inilah Freire menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed. Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 Freire ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada.

Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, Freire menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Freire juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO‟s Peace Prize tahun 1987,

dan dari The Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding Christian Educator ,pada tahun 1985.

Di Indonesia, persebaran pemikiran Freire dapat dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama setelah tumbangnya Orde Baru. bukunya Buku yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul Pedagogy of The Oppressed , yang diterbitkan oleh LP3ES. Pada buku versi bahasa Inggris, kata pengatar diberikan oleh Richard Shaull, sedangkan pada buku terjemahannya terdapat prawacana yang diberikan oleh F Danuwinata. Pada buku yang berjudul Pedagogy of the Oppressed inilah Freire menuangkan buah pikirannya mengenai bagaimana seharusnya pelaksanaan pendidikan bagi kaum tertindas. Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” pada pembahasan buku pendidikan kaum yang tertindas ini di buat menjadi 4 bab. Bab pertama berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh para penindas, maka dibutuhkan suatu pendidikan bagi “kaum-kaum tertindas”.

Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap.

“Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng”(hal 27-28).

Oleh karena itu dari kedua tahap tersebut bisa di simpulkan bahwa Paulo Freire ingin mengajarkan kepada masyarakat agar berjuang untuk membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian memanusiakan kaum penindasnya, dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas berhasil mengambil alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika kekuasaaan hanya berpindah. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum tertindas yang berjuang harus dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan

dalam pendidikan, agar pendidikan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaumkaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan”, (hal 52).

Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”.

“Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihanpengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan murid di sisi lain, (hal 64).

Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan betapa pentingnya adanya dialog di dalam pendidikan kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia, (hal 77).

Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai

dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.

RESUME BAB I Secara aksiologi humanisasi selalu dipandang sebagai masalah utama manusiayang menimbulkan

keprihatinan.

Keprihatinan

terhadap

masalah

humanisasi

ini

mengarahkan kita pada pengakuan akan adanya masalah dehumanisasi. Bukan saja sebagai sebuah kemungkinan ontologis, tetapi juga sebagai sebuah realitas sejarah. Ketika orang menyadari maikn meluasnya gejala dehumanisasi itu, dia akan menanyakan diri sendiri apakah humanisasi masih merupakan sebuah kemungkinan yang dapat dipertahankan. Dalam sejarah,dalam konteks yang kongkret dan objektif,baik masalah humanisasi maupun dehumanisasi keduanya merupakan kemungkinan yang selalu tersedia bagi seseorang sebagai makhluk yang tidak sempurna menyadri ketidak sempurnaanya.

Namun sepanjang humanisasi atau demhumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertamalah yang merupakan fitrah manusia. Fitrah inilah yang selalu diingkari namun melalui pengingkaran tersebutlah fitrah tersebut diakui. Dehumanisasi, ditandai oleh mereka (kaum tertindas) yang telah dirampas kemanusiaanya, namun juga dialami oleh kaum penindas yang telah merampas kemanusiaan orang lain walaupun dalam bentuk yang berbeda. Perampasan tersebut adalah suatu bentuk penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Perjuangan untuk humanisasi, untuk emansipasi kaum pekerja, untuk mengatasi keterasingan, untuk pengesahan manusia sebagai pribadi-pribadi akan bermakna. Perjuangan sangat mungkin dilakukan karena dehumanisasi merupaka fakta sejarah yang nyata yang bukan merupakan takdir yang diterima begitu saja, tetapi merupakan hasil dari tatanan tidak adil yang melahirkan kekejaman pada kaum penindas, yang kehudian melahirkan dehumanisasi terhadap kaum tertindas.

Dengan demikian maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang menentang mereka yang telah membuat mereka menjadi demikian. Agar perjuangan mereka mejadi lebih bermakana, maka kaun tertindas yang berusaha merebut kembali kemanusiaannya tidak boleh berbalik menjadi penindas kaum penindas, namun memulihkan kembali kemanusiaan keduanya (kaum tertindas dan kaum penindas) Berbagai usaha memperlunak kekuasaan kaum penindas dengan alasa untuk lebih menghormati kelemahan kaum tertindas hampir selamanya mewujudkan diri dalam kemurah hati yang palsu. Untuk mengkekalkan kemurah hati yang palsu, maka kaum penindas juga harus mengekalkan ketidakadilan. Suatu tatanan sosial yang tidak adil, merupakan alasan yang harus ada bagi eksistensi kemurah hatian ini, yang selalu dibayangi oleh bayangan maut keputusasaan, dan kemiskinan. Hal inilah yang mendorong kaum penindas menjadi gelap mata terhadap ancaman paling kecil sekalipun atas kemurah hati palsu meraka. Kemurah hati yang sejati justru terdapat pada usaha menghancurkan sumber-sumber penyebab yang telah menghidupi kedermawanan palsu tersebut. Kemurah hati yang sejati terletak dalam

memperjuangkan agar tangan-tangan yang terulur untuk meminta perlindungan tidak usah diulurkan untuk memohon dan makin menjadi tangan-tangan manusiawi yang bekerja, dan dengan bekerja dapat mengubah dunia. Kendati demikian, pelajaran dan praktik ini haruslah datang dari kaum tertindas itu sendiri atau dari mereka yang benar-benar berpihak pada mereka. Dengan berjuang dan menata kembali kemanusiaan mereka, sebagai pribadi atau anggota masyarakat, mereka sesungguhnya tengah berusaha menegakkan kembali kemurahan hati sejati. Yang dapat memahami arti pembebasan yang lebih baik adalah melalui perjuangan pembebasan dan juga melalui pengenalan akan arti penting dari pembebasan itu sendiri. Perjuangan untuk kaum tertindas merupakan tindakan cinta melawan ketiadaan rasa cinta yang bersarang dalam jantung kekejaman kaum penindas, ketiadaan cinta yang sekalipun berkedok kemurahan hati palsu. Sejak awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukannya mengusahakan pembebasan tetapi cenderung menjadikan dirinya sebagai penindas. Struktur pikiran mereka telah dibentuk oleh kontradiksi dalam situasi ekstensial yang kongkret. Tujuan mereka memang menjadi manusia, tetapi bagi mereka,menjadi seorang 'manusia' adalah menjadi seorang penindas. Inilah model harkat kemanusiaan bagi mereka. Gejala inidapat dijelaskan dari fakta bahwa kaum tertindas pada momentum tertentu, dalam pengalaman ekstensial mereka, cenderung mengambil sikap "melekat" pada penindasnya. Pada taraf ini pandangan mereka terhadap diri sendiri sebagai lawan kaum penindas belum merupakan suatu pelibatan diri dalam perjuangan untuk mengatasi kontradiksi (pertentangan dialektis antara kekuatan sosial yang saling berlawanan) tersebut, yakni sebagai sisi yang bukannya menginginkan kebebasan, tetapi menginginkan indentifikasi dengan sisi lawan. Kaum tertindas kesulitan untuk melihat 'manusia baru',karena manusia tersebut harus dilahirkan dari pecahnya kontradiksi ini, dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan ke arah pembebasan. Bagi mereka manusia baru tersebut adalah diri mereka sendiri yangkemudian menjadi penindas. Rasa "takut kebebasan" yang meninpa kaum tertindas, ketakutam yang baik mendorong mereka untuk menginginkan peranan sebagai penindas maupun mengurung mereka tetap sebagai orang tertindas, harus

ditelaah. Adanya pemolaan merupakan salah satu unsur dasar dari hubungan antarakaum penindas dengan kaum tertindas. Setiap pemolaan merupakan pemaksaan pilihan seseorang terhadap orang lain, mengubah kesadaran orang yang dipola agar cocok dengan kesadaran orang yang memilih pola itu. Perilaku tertindas adalah perilaku terpola, menuruti apa yang telah digariskan oleh kaum penindas. Kaum tertindas menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut menjadi bebas. Untuk mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus mengenali secara kritis sumber penyebabnya, kemudian melakukan tindakan perubahan dimana mereka dapat menciptakan situasi baru, situasi yang mungkinkan terciptanya manusia yang lebih utuh. Perjuangan untuk menjadi manusia seutuhnya, telah dimulai dalam perjuangan otentik untuk mengubah situasi. Kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dalam struktur penindasan dimana mereka tenggelam dan pasrah terhadapnya. Perjuangan mereka untuk merebut kebebasan tidak saja mengancam kaum penindas, tetapi juga rekan-rekan senasib yang takut akan kemungkinan penindasan yang lebih hebat. Kaum tertindas mengidap sikap mendua yang tumbuh di dalam diri mereka yang paling dalam. Mereka menemukan bahwa tanpa kebebasan mereka tidak dapat mengada secara otentik. Mereka adalah dirinya sendiri sekaligus para penindasnya, yang alam pikirannya telah meteka internalisasi. Pertentangan itu terletak dalam memilih antara menjadi diri sendiri secara utuh atau menjadi diri yang terbelah (antara melawan atau tidak melawan kaum tertindas). Inilah dilema menyedihkan dari kaum tertindas yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mereka.

Pendidikan kaum tertindas merupakan suatu pendidikan yang harus diolah bersamabukan untuk kaum tertindas dalam perjuangan tanpa henti merebut kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan tersebut menjadikan penindas dan sebab-sebabnya sebagai renungan bagi kaum tertindas, dan dari renungan itu akan muncul rasa wajib untuk terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka. Pendidikan kaum tertindas adalah sebuah perangkat agar mereka mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari humanisasi. Kaum

tertindas dapat mengatasi kontradiksi dimana mereka terjebak hanya jika pengetahuan itu mendorong mereka berjuang membebaskan diri. Salah satu rintangan terberat untuk mencapai kebebasan adalah realitas yang menindas dapat memukau mereka yang berada di dalamnya dan karena itu menundukkan alam pikiran mereka. Secara fungsional, penindasan berarti penjinakan. Agar tidak berlarut-larut menjadi korban pengaruhnya, maka seseorang harus bangkit melawannya. Hal itu hanya dapat terwujud melalui praksis: refleksi dan tindakan atas dunia mengubahnya. Dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Namun, tindakan hanya manuasiawi jika bukan semata-mata sebuah pekerjaan rutin tapi juga merupakan suatu perenungan yang mendalam. Pendidikan kaum tertindas merupakan pendidikan bagi manusia yang terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka berakar dari praksis. Tidak ada pendidikan yang sungguh-sungguh membebaskan yang tetap membuat jarak dari kaum tertindas, dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang tidak beruntung dan menyajikan model pelajaran tiruan yang berasal dari kaum penindas. Kaum tertindas harus menjadi contoh bagi diri sendiri dalam perjuangan bagi pembebasan mereka. Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelaskan penindasan itu sendiri. Hal tersebut merupakan perangkat dehumanisasi, maka pendidikan kaum tertindas tidak dapat diselenggarakan oleh kaum penindas. Akan menjadi kontradiksi bila kaum penindas tidak hanya membela kaum tertindas tapi juga melaksanakan pendidikan yang membebaskan. Pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tapimenjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini diperlukan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara cultural pula. Pada tahap pertama, perlawanan terjadi dalam diri kaum tertindas yang menyadari dunia penindasan. Pada tahap kedua, perlawanan dilkukan untuk memberantas mitos-mitos yang

diciptaan dan dikembangkan pada masa dahulu yang membayangi perubahan revolusioner. Menghalangi seseorang untuk mencapai afirmasi diri sebagai seorang manusia yang bertanggungjawab adalah bentuk penindasan. Tindak kekejaman selalu dimulai oleh mereka yang menindas dan bukan oleh mereka yang menindas. Disadari atau tidak pemberontakan kaum tertindas justru dapat menumbuhkan cinta kasih. Ketika kaum tertindas yang berjuang untuk menjadi lebih manusiawi berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan kaum penindas sebagai alat untuk menguasai dan menekan sebenarnya mereka sedang berusaha untuk menulihkan harkat kemanusiaan kaum penindas yang telah pupus selama melakukan penindasan. Hanya kaum tertindaslah yang dapat membebaskan dirinya sendiri dan kaum penindasnya. Jadi, tujuan kaum tertindas untuk menjadi manusia yang seutuhnya tidak dapat dicapai hanya dengan mengubah posisi sebagai kaum penindas saja. Kesadaran kaum penindas cenderung untuk mengubah segala sesuatu disekitarnya menjadi objek kekuasaan mereka yang semuanya direduksi menjadi objek yang berda di bawah kemauannya. Kaum penindas mengembangkan semacam keyakinnan bahwa adalah mungkin bagi mereka mengubah segala sesuatu menjadi objek daya beli mereka.

Disinilah dasar dari konsep kehidupan materialistic mereka yang kokoh. Kaum penindas tidak menyadari monopoli mereka untuk memiliki lebih banyak sebagai suatu hak istimewa justru menjadikan orang lain dan diri mereka sendiri tidak manusiawi. Bagi mereka, memiliki lebih banyak adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat. Salah satu cirri dari kesadaran kaum penindas dan pandangan dunia mereka yang nekrofilis adalah sadism. Karena kesadsaran kaum penindas adalah mencoba menekan jiwa yang gelisah dan mencari pelepasan serta daya kreatif yang menjadi ciri kehidupan, maka berarti dia membunuh kehidupan. Kaum tertindas, sebagai objek, sebagai „benda‟. Tidak memiliki tujuan apapun selain yang telah digariskan oleh penindasnya. Kemurahan hati kaum penindas ditunjang oleh tatanan yang tidak adil, yang terus-menerus dipertahankan agar dapat mengesahkan kemurahan hati tersebut.

Kaum tertindas tidak dapat memahami dengan jelas “tatanan” yang melayani kepentingankepentingan kaum penindas yang citra dirinya telah mereka internalisasi. Tidak menghargai diri sendiri adalah sifat lain dari kaum tertindas yang berasal dari internalisasi pendapat penindas tentang diri mereka sendiri. Mereka sering sekali mendengar bahwa mereka tidak berguna, tidak tahu apapun dan tidak mampu

mempelajari apapun. Hampir tidak pernah merka menyadari bahwa mereka sebenarnya juga “mengetahui sesuatu” yang mereka pelajari dalam pergaulan mereka dengan dunia dan orang lain. Dengan adanya lingkungan yang telah menciptakan sifat dualitas mereka, maka wajar bila mereka tidak oercaya pada diri mereka sendiri. Selama sikap mendua mereka bertahan, kaum tertindas segan untuk melakukan perlawanan, dan benar-benar kekurangan kepercayaan yang berlebihan dan magis akan kekebalan dan kekuasaan kaum penindas. Kaum tertindas harus membuktikan kekebalan kaum penindas sehingga keyakinan sebaliknya dapat tumbuh dalam diri mereka. Sebelum hal tersebut terjadi, maka mereka akan tetap merasa diri ketakutan, dan kalah. Selama kaum tertindas tidak menyadari sebab-sebab dari keadaan mereka, secara “fatalistic” mereka menerima pemerasan atas diri mereka.

Bagi kaum tertindas, pada saat-saat tertentu dalam pengalaman ekstensial mereka, mengada bukan berarti menyerupai kaum penindas, tetapi berada dibawahnya, bergantung kepadanya. Oleh sebab itu kaum tertindas secara emosional tergantung. Ketergantungan emosional total semacam ini mengarahkan kaum tertindas pada perilaku nekrofilis (perusakan kehidupan-kehidupannya sendiri atau sesame kawan tertindas). Dalam seluruh tahap pembebasan mereka, kaum tertindas harus melihat diri sendiri sebagai manusia yang berjuang atas dasar fitrah ontologism dan kesejarahan untuk menjadi manusia seutuhnya. Tindakan politik yang berpihak pada kaum tertindas harus merupakan tindakan yang mendidik dalam arti kata yang sesungguhnya, dank arena itu merupakan tindakan yang dilakukan bersama kaum tertindas. Pembebasan, sebuah gejala manusiaw, tidak dapat diperoleh dengan cara setengah manusiawi. Setiap usaha memperlakukan manusia dengan cara setengah manusiawi hanya akan membuat mereka tidak manusiawi. Cara yang tepat bagi suatu kepemimpinan revolusioner dalam melakukan tugas pembebasan bukanlah “propaganda pembebasa”, namun terletak dalam dialog. Keyakinan kaum tertindas bahwa mereka harus berjuang untuk pembebasan mereka bukanlah suatu hadiah yang dianugerahkan oleh kepemimpinan revolusioner, tetapi hasil dari penyadaran diri mereka sendiri. Kaum tertindas yang telah dibentuk oleh iklim mematikan dari suasana penindasan harus menemukan jalan menuju humanisasi, melalui perjuangan mereka.

Dalam rangka merebut kembali harkat kemanusiannya, mereka harus berhenti menjadi benda dan berjuang sebagai manusia. Perjuangan ini dimulai dari kesadaran bahwa mereka selama ini telah dihancurkan.

Satu-satunya perangkat efektif adalah sebuah bentuk pendidikan yang manusiawi dimana kepemimpinan revolusioner dapat membangun hubungan dialog yang ajek dengan kaum tertindas. Oleh karena itu seorang pemimpin revolusi harus menerapkan pendidikan ko-intensional, Guru dan murid yang bersama-sama mengamati realitas, keduanya adalah subje, tidak saja dalam tugas menyingkap realitas itu untuk dapat mengetahuinya secara kritis, tetapi juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan itu. Ketika mereka mengatahui pengetahuan tentang realitas ini melalui pemikiran dan kegiaatan bersama, mereka menyadari dirinya sebagai pencipta kembali pengetahuan tetap . Dengan cara ini, kehadiran kaum tertindas dalam perjuangan bagi pembebasannya akan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu bukan merupakan keikutsertaan semu namun keterlibatan sepenuh hati.

BAB 2 Suatu analisis yang cermat menganai hubungan antara guru-murid pada semua tingkatan, baik di dalam maupun di luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar di dalamnya. Hubungan ini melibatkan seorang subjek yang bercerita (guru) dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan berceriat-dengan guru sebagai narrator-mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Semakin penuh dia mengisi wadah itu, semakin baik pula seorang guru, Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi, semakin baik pula mereka sebagai murid. Oleh karena itu pendidikan semacam ini merupakan sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengan dan guru penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi melainkan guru menyampaikan pernyataan- pernyataan dan guru “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimanaa ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.

Dalam konsep penididikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah naugerah yang dihibahkan oleh mereka yang mengganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh orang lain secara mutlak merupakan sebuah ciri dari ideology penindasa, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.

Pendidikan yang membebaskan, sebaliknya terletak pada usaha rekonsiliasi. Pendidikan ini harus dimulai dengan pemecahan kontradiksi guru-murid tersebut, dengan merujuk kutub-kutub kontradiksi tersebut, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah guru dan murid. Pemecahan tersebut tidak mungkin ditemukan oada penididikan gaya bank. Sebaliknya, pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan berikut yang mencerminkan suatu keadaan masnyarakat tertindas secara keseluruhan.

1.Guru mengajar, murid belajar 2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa 3.Guru berpikir, murid dipikirkan 4.Guru bicara, murid mendengarkan 5.Guru mengatur, murid diatur 6.guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurut 7.Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru 8.Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan 9.Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid .Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya. Konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Kemampuan pendidikan gaya bank untuk mengurangi atu menghapuskan daya kreasi para murid, serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau berubah. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. Oleh karena itu mereka akan selalu menentang setiap usaha percobaan dalam bidang pendidikan yang akan merangsang kemampuan kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap dunia yang berat sebelah, tetapi selalu mencari ikatan yang menghubungkan satu hal dengan hal lain atau satu masalah dengan masalah lain. Sebenarnya kepentingan kaum penindas adalah “menggubah kesadaran kaum tertindas, bukan situasi yang menindas mereka”, karena dengan lebih mudahnya kaum tertindas dapat diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan situasi itu maka akan lebih mudah mereka dapat dikuasai. “Humanisme” dari pendekatan gaya bank menutupi suatu usaha yang untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (autonom), yang merupakan suatu oenolakan fitrah

ontologism mereka untuk menjadi manusia seutuhnya. Jika manusia adalah pejuang yang yakin bahwa fitrah ontologisnya adalah humanisasi, maka cepat atau lambat mereka akan menyadari kontradiksi yang dipertahankan melalui pendidikan gaya bank bagi mereka, dan kemudian melibatkan diri ke dalam perjuangan bagi pembebasan diri mereka. Salah satu konsep dari pendidikan gaya bank adalah anggapan akan adanya dikotomi antara manusia dengan dunia: manusia semata-mata berada di dalam dunia, bukan bersama dunia atau orang lain: manusia adalah penonton bukan pencipta. Dalam pandangan ini manusia bukanlah makhluk berkesadaran, dia lebih merupakan pemilik sebuah kesadaran: suatu “jiwa” kosong yang secara pasif terbuka untuk menerima apa saja yang disodorkan oleh realitas dunia luar. Pandangan ini tidak membedakan antara dapat disadari dengan memasuki kesadaran. Manusia terdidik adalah manusia yang telah disesuaiakan, karena dia lebih “cocok” bagi dunia. Konsep ini sesuai dengan tujuan-tujuan para penindas yang ketenteramannya tergantung pada seberapa cocok manusia bagi dunia yang telah mereka ciptakan, dan seberapa mereka mempermasalahkan hal ini. Pendidikan gaya bank bertolak dari suatu pengertian keliru tentang manusia sebagai objek, maka dia tidak mampu mengembangkan biofili , tetapi justru mengembangkan nekrofili.

Penindasan merupakan nekrofilis, yang ditumbuhkan dari rasa cinta pada kematian, bukan kehidupan. Konsep pendidikan gaya bank yang mengabdi pada kepentingan-kepentingan penindasan merupakan tindakan nekrofilis. Berdasar pada pandangan tentang kesadaran yang mekanistis, statis, naturalistis dan terkotak, dia menjadikan murid sebagai objek yang harus menerima. Selalu berusaha untuk mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar menyesuaikan diri terhadap dunia dan mengahalangi kemampuan kreatif mereka. Pendidikan sebagai bentuk pengekangan mendorong lahirnya sikap membeo dikalangan para murid, dengan penekanan ideologis yang mengindoktrinasi mereka agar menyesuaikan diri dengan situasi penindasan. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian para kaum humanis sejati pada fakta bahwa mereka tidak dapat menggunakan metode-metode pendidikan gaya bank untuk mencapai kebebasan, karena metode tersebut hanya akan mengingkari usaha tersebut. Pembebasan adalah sebuah praksis, yaitu tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk dapat mengubahnya. Tujuan pendidikan sebagai usaha tabungan harus ditinggalkan dan menggantinya dengan penghadapan pada masalah-masalah manusia dalam

hubungannya dengan dunia. Pendidikan “hadap-masalah” ( problem-posing) yang menjawab hakikat kesadaran (intensionalitas) akan menolak pernyataan-pernyataan serta mewujudkan komunikasi. Konsep ini mewakili sifat khas dari kesadaran, yaitu sadar akan objek-objek tetapi juga terhadap dirinya sendiri (sadar akan kesadaran). Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (act of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi.

Pendidikan yang membebaskan merupakan sebuah situasi belajar dimana objek yang dapat dipahami menghubungkan para pelaku pemahaman (guru di satu sisi dan murid di sisi lain). Pendidikan hadap masalah, yang menolak pola hubungan vertical dalam pendidikan gaya bank, dapat memenuhi fungsinya sebagai praktik kebebasan hanya jika dia dapat mengatasi kontradiksi antara guru dan murid. Melalui dialog guru-nya-murid dan murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana barum yaitu guru-yang-murid dengan murid-yang-guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan murid, yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar.Mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka berkembang. Dalam proses ini, pendapat-pendapat yang didasarkan pada “wewenang” tidak berlaku lagi. Wewenang hanya dapat berfungsi bula berpihak kepada kebebasan, bukan menentang kebebasan. Konsep pendidikan gaya bank membedakan dua tahap kegiatan seorang pendidik. Pertama, pendidik mengamati sebuah objek yang dapat diamati selama dia mempersiapkan bahan pelajaran di kamar atau dilaboratoriummya. Kedua, dia menceritakan kpada murid tentang objek tersebut. Para murid tidak diminta untuk mengerti, tapi menghafal apa yang diceritakan oleh guru. Murid juga tidak berpraktik melakukan pengamatan, karena objek yang menjadi sasaran pemahaman adalah milik guru, dan bukan merupakan medium yang mengundang refleksi kritis dari guru maupun murid. Metode oendidikan hadao masalah tidak membuat dikotomi kegiatan guru-murid. Guru selalu “menyerap”, baik ketika mempersiapkan bahan pelajaran maupun berdialog dengan para murid. Objek yang dipamahi bukanlah milik pribadi, tapi sebagai objek refleksi para murid dan dirinya sendiri. Dengan demikiaan, pendidika hadap-masalah secara kontinyu dapat memperbaharui refleksinya di dalam refleksi para murid. Peran seorang pendidik hadap-masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana dimana pengetahuan pada tahap doxa

diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu ( logos ). Pendidikan hadap-masalah menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terusmenerus. Murid, karena mereka lebih banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehadiran mereka di dan bersama dengan dunia, akan semakin ditantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini. Jawaban mereka terhadap tantangan itu menimbulkan tantangantantangan baru, kemudian disusul dengan pemahaman baru pula, dan akhirnya secara bertahap mereka akan merasa memiliki keterlibatan. Pendidikan sebagai praktik kebebasan , berlawanan dengan pendidikan sebagai praktik dominasi, yang menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang abstrak, terpencil, berdiri sendiri, dan tidak terikat pada dunia. Pendidikan sebagai praktik kebebasan juga menolak anggpan bahwa dunia mengada sebagai sebuah realitas yang terpisah dari manusia. Refleksi yang sejati mengganggap bahwa tidak ada mausia abstrak dan tidak ada dunia tanoa manusia, tetapi manusua dalam kaitannya dengan dunia. Dalam pendidikan hadap-masalah, manusia mengembangkan pengetahuannya untuk memahami secara kritis cara mereka mengada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan diri sendiri. Konsep pendidika gaya bank berusaha dengan memitoskan realitas, menyembunyikan fakta-fakta tertentu yang menjelaskan cara manusia mengada di dunia ini, sementara itu pendidikan hadap-masalah bertujuan untuk menghapus mitos tersebut. Pendidikan gaya bank menolak dialog, sementara itu pendidikan hadapmasalah menganggap dialog sebagai prasyarat laku pemahaman untuk menguak realitas. Pendidikan gaya bank memperlakukan murid sebagai objek yang harus ditolong, sementara pendidikan hadap-masalah menjadikan mereka pemikir yang kritis. Pendidikan gaya bank menghalangi kreativitas dan menjinakan intensionalitas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang dengan demikian menolak fitrah ontologism dan kesejarahan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan hadap-masalah mendasari dirinya atas kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas dan dengan cara iu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi makhluk sejati hanya jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif. Teori dari pendidikan gaya bank sebagai kekuatan yang membelenggu dan menekan, tidak mampu menampilkan manusia sebagai makhluk menyejarah, sedangkan teori dan praktik praktik pendidikan hadap-masalah menjadikan kesejarahan manusia sebagai pangkal-tolak. Pendidikan hadap-masalah menegaskan manusia sebagai

mankhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, makhluk yang tidak pernah sempurnadalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Justru dalam ketidaksempurnaa dan kesadaran akan ketidaksempurnaan itulah terletak akar pendidikan sebagai suatu bentuk pengejawantahan yang khas manusiawi. Sifat belum selesai dari manusia dan sifat yang terus berubah dari realitas mengharuskan pendidika untuk menjadi kegiatan yang terus-terus berlangsung. Oleh karena itu, pendidikan selalu diperbaharui dalam praksis. Pendidikan hadap-masalah adalah sikap revolusioner terhadap masa depan. Oleh karena itu, pendidikan hadap-masalah adalah nubuatan (penuh harapan), dan dengan bigetu akan sesuai dengan watak kesejarahan manusia. Pendidikan hadap-masalah menekankan manusia sebagai makhluk yang melampaui dirinya,melangkah maju dan memandang kedepan, yang mengartikan kebekuan sebagai suatu ancaman berbahaya, dan melihat masalalu hanyalah suatu sarana untuk memahami lebih jelas apa dan siapa mereka agar dapat lebih bijak membangun masa depan. Dengan demikia, bentuk pendidikan ini merupakan gerakan yang melibatkan manusia sebagai makhluk yang

sadar atas

ketidaksempurnaannya, sebuah gerakan kesejarahan yang memiliki titik tolak, pelaku-pelaku, serta tujuan sendiri.

Related Documents


More Documents from "AlexaAndra"

Permentan242011.pdf
November 2019 37
Cover 1.docx
June 2020 31
Udang.docx
June 2020 22
1. Rpp Pola Bilangan.docx
October 2019 36
Lilis.docx
June 2020 24