BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Seperti yang selama ini kita ketahui, rumah sakit adalah tempat orang yang
sedang sakit untuk mencari perawatan. Namun rumah sakit selain tempat untuk mencari perawatan, juga menjadi sarang bagi berbagai macam bakteri penyebab utama infeksi. Infeksi terutama terjadi di ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU). Ini terjadi karena ICU terkontaminasi oleh bakteri dan mikroba lain, sementara pasien di ICU seringkali dalam keadaan imunocompromise, tindakan dan monitoring secara invasive, dan seringnya kontak antara staf rumah sakit dan pasien menyebabkan munculnya infeksi nosokomial. Tingginya penggunaan antibiotik juga menyebabkan resistensi, yang akan menyulitkan terapi dan mempermudah penyebaran infeksi. Sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2009-2010 di ICU RS Fatmawati Jakarta menunjukkan bahwa bakteri gram negatif terbanyak yang menyebabkan infeksi di ICU rumah sakit tersebut adalah Pseudomonas sp, Klebsiella sp, Escherichia coli. Sedangkan yang termasuk gram positif adalah Streptococcus β haemoliticus, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus. Bakteri-bakteri tersebut resisten terhadap ampicillin, amoxicillin, penicillin G, tetracycline dan chloramphenicol.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Intensive Care Unit (ICU) Intensive Care Unit (ICU) adalah instalasi di bawah direktur pelayanan
dengan staf dan perlengkapan khusus yang bertujuan untuk observasi, perawatan dan terapi pada pasien yang menderita penyakit cedera atau yang mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana, prasarana dan peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan kritis pada pasien (Menkes RI, 2010). Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit=ICU) adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012). Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengakapan khusus terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit yang mengancam nyawa dengan prognosis dubia. Pelayanan kesehatan kritis diberikan kepada pasien yang sedang mengalami keadaan penyakit yang kritis selama masa kedaruratan medis dan masa krisis. Pelayanan intensif adalah pelayanan spesialis untuk pasien yang sedang mengalami keadaan yang mengancam jiwanya dan membutuhkan pelayanan yang komprehensif dan pemantauan terus-menerus (Murti 2009). Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di rumah sakit, ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulitpenyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversible (Kemenkes RI, 2010).
2.1.1
Jenis - Jenis pasien ICU Adapun pasien yang layak dirawat di ICU antara lain (Kemenkes RI
2011c): 1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care; 2
2. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan terus menerus dan metode terapi titrasi;
3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
2.1.2
Klasifikasi Pelayanan di ICU 2.1.2.1 ICU Primer Ruang perawatan intensif primer memberikan pelayanan pada pasien yang memerlukan perawatan ketat (high care). ICU primer mampu melakukan resusitasi jantung paru dan memberikan ventilasi bantu 24-48 jam. Kekhususan yang dimiliki ICU primer adalah: -
Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang rawat pasien lain;
-
Memiliki kebijakan/kriteria pasien yang masuk dan yang keluar;
-
Memiliki seseorang anestesiologi sebagai kepala;
-
Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung paru;
-
Konsulen yang membantu harus siap dipanggil;
-
Memiliki 25% jumlah perawat yang cukup telah mempunyai sertifikat pelatihan perawatan intensif, minimal satu orang per shift;
-
Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi.
-
Mampu resusitasi jantung paru
-
Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan ventilasi mekanik
-
Terapi oksigen
-
Pemasangan kateter vena sentral
-
Pemantauan EKG, pulseoksimetri dan tekanan darah non infasif
-
Pelaksanaan terapi secara titrasi 3
-
Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
-
Pemeriksaan
laboratorium
khusus
dengan
cepat
dan
menyeluruh -
Fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat
-
Kemampuan melakukan fisioterapu dada
2.1.2.2 ICU Sekunder Pelayanan ICU sekunder adalah pelayanan yang khusus yang mampu memberikan ventilasi bantu lebih lama, mampu melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan yang dimiliki ICU sekunder adalah: - Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat, dan ruang rawat lain; - Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan - Tersedia dokter spesialis
sebagai
konsultan
yang dapat
menanggulangi setiap saat bila diperlukan; - Memiliki seorang kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensive care atau bila tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung paru (bantuan hidup lanjut); - Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun; - Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha – usaha penunjang hidup; - Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi. - Mampu resusitasi jantung paru - Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan ventilasi mekanik 4
- Terapi oksigen - Pemasangan kateter vena sentral - Pemantauan EKG, pulseoksimetri dan tekanan darah non infasif - Pelaksanaan terapi secara titrasi - Pemberian nutrisi enteral dan parenteral - Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh - Fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat - Kemampuan melakukan fisioterapu dada - Melakukan prosedur isolasi - Melakukan hemodialysis interminten dan continue
2.1.2.3 ICU Tersier Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek intensif, mampu memberikan pelayanan tinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multi sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang
tidak
terbatas
serta
mampu
melakukan
bantuan
renal
ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskuler invasif dalam jangka waktu terbatas. Kekhususan yang dimiliki ICU tersier adalah: -
Tempat khusus tersendiri dalam rumah sakit;
-
Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan;
-
Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap saat bila diperlukan;
-
Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau dokter ahli konsultan intensive care yang lain, yang bertanggung jawab secara keseluruha. Dan dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut),
-
Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun;
-
Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan intensif baik invasif maupun non invasif;
5
-
Mampu dengan cepat melayani pemerikaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi;
-
Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medik dan perawat agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien;
-
Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.
-
Mampu resusitasi jantung paru
-
Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan ventilasi mekanik
-
Terapi oksigen
-
Pemasangan kateter vena sentral
-
Pemantauan EKG, pulseoksimetri dan tekanan darah non infasif
-
Pelaksanaan terapi secara titrasi
-
Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
-
Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh
-
Fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat
2.1.3
-
Kemampuan melakukan fisioterapu dada
-
Melakukan prosedur isolasi
-
Melakukan hemodialysis interminten dan kontinyu
Indikasi Masuk dan Keluar ICU Apabila sarana dan prasarana ICU disuatu rumah sakit terbatas
sedangkan kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU. Bila kebutuhan masuk ICU melebihi tempat tidur yang tersedia, kepala ICU menentukan berdasarkan prioritas kondisi medic, pasien mana yang akan dirawat di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara rinci untuk tiap ICU.
6
2.1.3.1 Kriteria Masuk Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih didahulukan dibandingkan dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan prioritas masuk ICU. 1. Golongan Pasien Prioritas 1 (satu) Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti dukungan atau bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ atau system yang lain, infus obat-obat vasoaktif atau inotropic, obat anti aritmia, serta pengobatan lain-lainnya secara kontinyu. Sebagai contoh antara lain: pasien paca bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa. Institusi setempat dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah tertentu. terapi pada golongan pasien prioritas 1 (satu) demikian, umumnya tidak mempunyai batas, 2. Golongan Pasien Prioritas 2 (dua) Golongan pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan pulmonary arterial catheter. Sebagai contoh antara lain pasien yang menderita penyakit dasar jantung paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas 2, tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa berubah. 3. Golongan Pasien Prioritas 3 (tiga) Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. 4. Pengecualian 7
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitis ICU yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga). Pasien yang tergolong demikian antara lain: a. Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi perwatan yang aman saja. Ini tidak menyingkirkan paien dengan perintah DNR (Do Not Resuscitate). Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin akan mendapatkan manfaat dari tunjangan
canggih
yang
tersedia
di
ICU
untuk
meningkatkan kemungkinan survivalnya. b. Pasien dalam keadaan vegetative permanen c. Paien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak namun hanya karena kepentingan donor organ, maka paien dapat dirawat di ICU. Tujuan perwatan di ICU hanya untuk menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan organ untuk donasi
2.1.3.2 Kriteria Keluar Prioritas
pasien
dipindahkan
dari
ICU
berdasarkan
pertimbangan medis oleh kepala ICU dan atau tim yang merawat pasien, antara lain: 1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut. 2. Secara perkiraan dan perhitungan atau pemantauan intensif tidak bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus (seperti ventilasi mekanis). Contoh golongan pasien demikian, antara lain pasien yang menderita penyakit stadium akhir (misalnya ARDS stadium 8
akhir). Sebelum dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU.
2.1.3.3 End of Life Care (Perawatan Terminal Kehidupan) Disediakan ruangan khusus bagi pasien diakhir kehidupannya.
2.2
Bakteri 2.2.1. Klasifikasi Bakteri a. Bakteri Gram Positif Golongan bakteri ini akan memberikan warna ungu bila dilakukan pewarnaan Gram. Golongan ini memiliki peptidoglikan setebal 20-80 nm dengan komposisi terbesar teichoic, teichuronic acid, dan berbagai macam polisakarida. Asam teikhoat berfungsi sebagai antigen permukaan pada Gram positif. Letaknya berada antara lapisan membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan. Selain itu, golongan ini memiliki 40 lembar peptidoglikan pada dinding selnya, yang merupakan 50% dari seluruh komponen penyusun dinding sel. Polisakarida dan asam amino pada lembar peptidoglikan bersifat sangat polar, sehingga pada bakteri Gram positif yang memiliki dinding sel yang sangat tebal, dapat bertahan dari aktivitas cairan empedu di dalam usus. Sebaliknya, lembar peptidoglikan rentan terhadap lisozim sehingga dapat dirusak oleh senyawa bakterisidal (Prasetyo 2009). b. Bakteri Gram Negatif Golongan ini memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis (5-10 nm) dengan komposisi utama: lipoprotein, membran luar, dan lipopolisakarida. Membran luar pada Gram negatif juga memiliki sifat hidrofilik, namun komponen lipid pada dinding selnya justru memberikan sifat hidrofobik. Selain itu terdapat saluran khusus yang terbuat dari protein yang disebut porins yang berfungsi sebagai tempat masuknya komponen hidrofilik seperti gula dan asam amino yang penting untuk kebutuhan nutrisi bakteri. Lipoprotein merupakan komponen yang mendominasi dinding sel Gram negatif dan berfungsi menjaga stabilitas membran luar dan tempat perlekatan pada lapisan peptidoglikan. Membran luarnya merupakan
9
struktur bilayer; komposisi lembar dalamnya mirip dengan membran sitoplasma, hanya saja fosfolipid pada lapisan luarnya berupa molekul lipopolisakarida (Prasetyo 2009).
2.2.2. Epidemiologi Di Indonesia, riset yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2013 didapatkan berbagai macam penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), Pneumonia, dan TB paru. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur 41,7%, Papua 31,1%, Aceh 30,0%, Nusa Tenggara Barat 28,3%, dan Jawa Timur 28,3%. Lima provinsi yang mempunyai prevalensi pneumonia tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur 10,3% Papua 8,2%, Sulawesi Tengah 5,7%, Sulawesi Barat 6,1%, dan Sulawesi Selatan 4,8%. Sedangkan prevalensi TB paru, prevalensi lima provinsi tertinggi adalah Jawa Barat 0,7%, Papua 0,6%, DKI Jakarta 0,6%, Gorontalo 0,5%, dan Banten 0,4% (Kemenkes RI 2013).
2.3.
Antibiotik
Seperti diketahui, angka komplikasi pada pasien penyakit kritis sangat tinggi, khusunya pada kelompok pasien yang menjalani perawatan di ICU (Intensive Care Unit). Beragam komplikasi, seperti sepsis, komplikasi gagal organ, dan syok, sangat rentan terjadi pada kelompok pasien kriti. 2.3.1. Penggolongan Antibiotik Berdasarkan struktur kimianya, penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Katzung 2007): 1. Golongan
Penisilin.
Penisilin diklasifikasikan sebagai obat
golongan β-lactam karena cincin laktam yang unik. Golongan ini memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, efek klinis, dan karakteristik imunologi yang mirip dengan sefalosporin, monobactam, carbapenem, dan β-laktamase inhibitor, yang juga merupakan senyawa β-lactam. a. Penisilin (misalnya Penisilin-G). jenis penisilin ini memiliki aktivitas terkuat terhadap organisme gram positif, kokus gram negatif, dan mikroorganisme anaerob yang tidak 10
menghasilkan β-lactamase. Akan tetapi, jenis inin hanya sedikit efektif terhadap batang gram-negatif. b. Penisilin antistafilokokus (misalnya nafsilin). Jenis penisilin ini resisten terhadap β-lactamase stafilokokus. Jenis ini efektif terhadap stafilokokus dan streptokokus tapi tidak efektif terhadap enterokokus, bakteri anaerob, dan kokus serta batang gram-negatif. Untuk infeksi stafilokokus se\istemik yang berat, nafsilin diberikan sebanyak 8-12 g/hari diberikan melalui infus intravena interminten sebesar 1-2 g setiap 4-6 jam (50-100 mg/kgBB/hari untuk anak) (Katzung, 2012). c. Penisilin
berspektrum
antipseudomonas). Jenis
luas
(ampisilin
dan
penislin
penisilin ini tetap memiliki
spectrum antibakteri seperti penisilin ini tetapi efektivitasnya meningkat terhadap gram negatf. Ampisilin pada dosis 4-12 g/hari intravena, bermanfaat mengobati infeksi berat yang disebabkan oleh orgnisme yang rentan penislin (Katzung, 2012). 2. Golongan
Sefalosporin.
Sefalosporin
merupakan
antibiotik
spektrum luas yang digunakan untuk terapi septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan infeksi saluran urin. Aktivitas farmakologi dari sefalosporin sama dengan penisilin, diekskresi sebagian besar melalui ginjal. Sefalosporin generasi ketiga termasuk sefoperazon, sefotaxim, ceftazidim, seftizoksim, ceftriaxone, cefixime, dan moksalaktam. Dibandingkan generasi kedua obat ini memiliki cakupan gram negatif yang lebuh luas, dan beberapa obat mampu melintasi sawar darah otak. Infus intravena 1 g sefalosporin parenteral menghasilkan kadar serum sebesar 6—140 mcg/mL. sefalosporin dapat mempenetrasikan cairan dan jaringan tubuh dengan baik kecuali sefoperazon dan semua sefalosporin oral. Waktu paru pemberian dan interval pemberian obat sangat bervariasi: a. Ceftriaxone (waktu paruh 7-8 jam) dapat disberikkan sekali tiap 24 jam pada dosis 15-50 mg/kgBB/hari. Dosis tunggal 11
sebesar 1 g per hari cukup diberikan untuk kebanyakan infeksi berat, tetapi pada terapi meningitis, dapat dianjurkan dosis tunggal 4g per hari. b. Sefoperazon (waktu paruh 2 jam) dapat disuntikkan setiap 812 jam dalam dosis 25-100 mg/kgBB/hari. c. Obat lainnya dalam kelompok ini (waktu paruh 1-1,7 jam) dapat disuntikkan setiap 6-8 jam dalam dosis antara 2 dan 12 g/hari, bergantung pada derajat keparahan infeksi. d. Cefixime dapat diberikan per oral (200 mg dua kali sehari atau 400 mg sekali sehari) untuk infeksi saluran nafas atau kemih. Sefalosporin generasi ke tiga digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi berat yang disebabkan organisme yang resisten terhadap kebanyakan obat lain (Katzung, 2012). Sefalosporin generasi keempat salah satu contohnya adalah sefepim. Obat ini lebih resisten terhadap hidrolisis oleh beta-laktamase kromosomal yang diproduksi oleh enterobakter.
Sefepim cukup
relative mengatasi P. aeruginosa, Enterocacteruaceae , S. aureus, dan S. Pneumonie. Sefepim sangat efektif terhadap hemofilus dan naiseriaserta cukup mempenetrasi cairan serebrospinal. Sefepim cukup efektif terhadap kebanyakan galur sterptokokus yang resisten terhadap penisilin dan mungkin saja bermanfaat dalam terapi infeksi enterobakter. Di luar itu peran klinisnya serupa dengan sefalosporin generasi ketiga (Katzung, 2012). 3. Monobaktam. Monobaktam adalah obat yang memiliki cincin βlactam monosiklik. Obat ini aktif terhadap batang gram negatif. Obat ini menyerupai Golongan aminoglikosida dalam hal spectrum efektivitasnya (Katzung, 2012). a. Aztreonam diberikan secara intravena tiap 8 jam dalam dosis 1-2 g, menghasilkan kadar serum puncak sebesar 100 mcg/mL. waktu paruhnya 1-2 jam dan sangat memanjang pada gagal ginjal.
12
4. Karbapenem. Struktur karbapenem berkaitan dengan antibiotic βlactam.
Ertapenem,
imipenem,
dan
meropenem
distejui
penggunaannya di AS (Katzung, 2012). a. Imipenem memiliki spectrum yang luas dengan aktivitas yang baik terhadap banyak batang gram-negatif, termasuk P. aeruginosa, organisme gram positif, dan anaerob. Dosis imipenem biasanya 0,25-0,5 g yang diberikan secara intravena setiap 6-8 jam (waktu paruh 1 jam). b. Dosis meropenem untuk dewasa adalah 1 g secara intravena tiap 8 jam. c. Ertapenem mempunyai waktu paruh yang terpanjang
(4
jam) dan diberikan dalam dosis tunggal 1 g setiap harinya secara
intravena
atau
intramuscular.
Ertapenem
intramuscular bersifat iritatif sehingga obat dibuat dalam sediaan bersama dengan lidokain 1% untuk pemberian intravena. d. Karbapenem diindikasikan untuk infeksi disebabkan oleh mikroorganisme
yang rentan terhadapnya, seperti P.
aeruginosa, yang resisten terhadap obat lain, serta infeksi campuran cakteri aerob dan anaerob. 5. Antibiotik Golongan Aminoglikosida. Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gulaamino di dalam molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis.
Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli Gramnegatif. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah bakteri Gram-positif. Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin (Neal 2006). 6. Antibiotik
Golongan
Tetrasiklin,
khasiatnya
bersifat
bakteriostatis, hanya melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya luas 13
dan meliputi banyak kokus Gram positif dan Gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin. Dosis parenteral dalam suntikan intravena adalah 0,10,5 g setiap 6-12 jam (serupa dengan dosis oral). Dosis doksisiklin 100 mg setiap 12-24 jam (Katzung, 2012). 7. Antibiotik Golongan Makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama bakteri Gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin-G. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya singkat, maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari. Contoh obat golongan ini adalah eritromisin. a. Eritromisin efektif terhadap organisme gram positif terutama pneumokokus,
streptokokus,
stafilokokus,
dan
korinebakteria. Eritromisin merupakan obat pilihan pada infeksi korinebakterium (difteri, sepsis korinebakterial, eritrasma) pada infeksi pernapasan, neonates, mata dan klamidia genital dan pada terapi pneumonia yang didapat daei masyarakat karena spectrum aktivitasnya meliputi pneumokokus, mikoplasma, dan legionella. Dosis eritromisin intravena adalah 0,5-1,0 g setiap 6 jam untuk orang dewasa dan 20-40 mg/kg/hari untuk anak. b. Azitromisin sedikit kurang aktif dari pada eritromisin terhadap stafilokokus dan streptokokus serta sedikit lebih aktif terhadap H. influenza. Azitromisin sangat aktif terhadap klamidia. Waktu paruh dalam jaringan adalah sebesar 2-4 hari). Dosis tunggal 1 g/kg/hari. 8. Antibiotik Golongan Linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis. Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit dar ipada makrolida,n terutama terhadap kuman Gram positif 14
dan anaerob. Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin. a. Klindamisin. dosis klindaisin sebesar 600 mg setiap 8 jam secara intravena. Klindamisin diindikasikasikan untuk terapi infeksi anaerob yang disebabkan oleh bakteroides dan anaerob lain yang sering berperan dalam infeksi campuran (Katzung, 2012). 9. Antibiotik Golongan Fluorokuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi. 10. Antibiotik Golongan Kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman Gram positif dan sejumlah kuman Gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol. Dosisnya sebesar 50-100 mg/kg/hari dalam empat dosis terbagi. Apabila pemberian secara parenteral berupa bu 100 mg yang dilartkan untuk disuntukkan (Katzung, 2012). 11. Vankomisin. Vankomisin adalah antibiotic yang dihasilkan oleh Streptococcus orientalis. Vankomisin hanya aktif terhadap bakteri gram positif khusunya stafilokokus. Dosis parenteral harus diberikan secara intravena. Infus intravena selama 1 jam dalam dosis 1 g menghasilkan kadar dalam darah sebesar 15-30 mcg/mL selama 1-2 jam. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam tubuh. Indikasi utama vankomisin adalah sepsis atau endocarditis yang disebabkan oleh stafilokokus yang resisten terhadap metisilin. Akan tetapi tidak seefektif penislin antistafilokokus dalam terapi infeksi berat, seperti endocarditis yang disebabkan oleh galur yang rentan terhadap metsilin. Dosis yang dianjurkan adalah 30 mg/kgBB/ hari dalam dua atau tiga dosis terbagi (Katzung, 2012).
15
2.3.2
Terapi Empiris Antibiotik pada Pasien Pneumonia dengan Ventilator Pneumonia yang didapat saat pasien dirawat di rumah sakit disebut
Pneumonia Nasokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP). Delepan puluh persen dari Pneumonia Nasokomial ini berhubungan dengan penggunaan ventilator mekanis dan disebut dengan ventilator-associated pneumonia (VAP). Jenis organisme yang menginfeksi juga mempengaruhi tingkat mortalitas, dimana peningkatan terjadi pada infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa atau Acinetobacter spp (Putu Kessi, 2016). Terapi empiris antibiotika yang adekuat dan appropriate merupakan pilihan pertama dalam meningkatkan tingkat kesembuhan pasien dengan VAP. Berdasarkan Guidelines dari American Thoracic Society: Guidelines for the Management of Adults with Hospital Acquired, Ventilator associated, and Health Care associated Pneumonia tahun 2005, pemilihan antibiotika untuk pasien pneumonia dibagi dalam dua panduan utama: VAP dengan faktor risiko multiple drug resisten (MDR) dan VAP tanpa risiko MDR (Putu Kessi, 2016). Terapi empiris antibiotic pada pasien VAP diberikan berdasarkan penggolongan VAP, yaitu early onset dan late onset. Jika pada hasil kultur menunjukkan adanya faktor risiko bakteri MDR seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Acinetobacter species maka akan dimasukkan ke golongan late onset (Putu Kessi, 2016). Sampel pasien VAP dengan terapi empiris antibiotic yang tidak sesuai dengan ATS Guidelines 2005 jenis antibiotic sebagai berikut: 1. Late
onset:
ceftriaxone,
cefixime,
levofloksasin,
sefoperazon-
sulbactam 2. Early onset: amoksisilin Ceftriaxone dan cefixime termasuk dalam antibiotika golongan sefalosporin generasi ke-3. Sefalosporin generasi ke-3 memiliki tingkat keaktifan yang lebih rendah pada gram positif aerobic coccid an tingkat keaktifan yang tinggi pada gram negatif aerobes seperti Hemophilus influenza, Enterobacteriaceae (ex: Escherichia coli, Klebsiella species, Proteus mirabilis, Providencia). Ceftriaxone tidak efektif untuk Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan cefixime tidak efektif terhadap methicillin-susceptible staphylococcus aureus, dan tidak bisa dipakai secara rutin mengeliminasi 16
Streptoccus pneumoni. Pemberian antibiotika tambahan yang diberikan adalah sefoperazone sulbactam. Sefaroperazone termasuk ke dalam golongan sefalosporin yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding bakteri, sedangkan sulbactam yang bekerja untuk meningkatkan aktifitas antibakteri dari sefoperazone (Putu Kessi, 2016).
2.3.3
Pemberian Antibiotik pada Pasien SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome) di ICU Sepsis dapat didefinisikan sebagai Systemic Inflamatory Response
Syndrome yang disebabkan oleh infeksi. Dimana SIRS merupakan respon dari berbagai hasil klinik dengan kondisi etiologi infeksi maupun noninfeksi. Infeksi yang terjadi berasal dari mikroorganisme yang mengganggu atau karena toksin mikroba pada pembuluh darah yang menyebabkan nyeri. Etiologi
pathogen
paling
umum
adalah
baktri
gram
positif
yaitu
Staphylococcus aureus, Streptoccocus pneumonia, Staphylococcus coagulase negative, dan Entercoccus. Bakteri gram negatif Escheria coli dan Pseudomonas aeruginosa. Dikatakan SIRS bila memiliki dua atau lebih keadaan berikut ini: temperatur tubuh >38oC atau >36oC, denyut jantung >90x/menit, frekuensi nafas >20x/menit dan sel darah putih >12000/mm3, <4000/mm3, atau >10% belum matang (Abdullah et al, 2015). Sepsis berat terjadi 3% dirumah sakit dengan 11-14% di ruang ICU. Pada pasien sepsis berat yang dirawat di rumah sakit, sekitar setengah dari pasien tersebut berasal dari ruang ICU.
17
Terapi
antbiotika
spectrum
luas
seharunya
diberikan
setelah
memperoleh spesimen mikroskopi dan kultur termasuk kultur darah tanpa menunggy hasil keluar. Pemeilihan antibiotic empiris berdasarkan tempat infeksi. 1. Apabila infeksi pada saluran urin maka dapat diberikan ciprofloksasin, levofloksasin atau ceftazidim atau ceftriaxone. 2. Pada saluran pernafasan diberikan piperasalin, ceftazidim atau cefepim. 3. Pada intraabdominal diberikan piperasilin atau tazobakta m atau karbapenem. 4. Pada jaringan kulit diberikan beta lactam kombinasi atau klindamisin + ciprofloksasin atau karbapenem 5. Pada pasien yang menggunakan kateter dapat diberikan vankomisin ]apabila infeksi atau tempat tidak diketahui dapat diberikan penisilin atau ceftazidim, cefepim atau imipenem, meropenem.
18
BAB III PENUTUP
Terapi antibiotic yang diberikan pada pasien yang berada di ICU adalah seperti Golongan penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, klorokuinolon, kloramfenikol, dll. Pemberian antibiotic yang diberikan pada pasien di ICU biasanya diberikan secara intravena. Penggunaan antibiotic harus diberikan secara rasional untuk mengurangi kejadian resistensi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ramatillah, D.L and Eff. 2015 . Drug Related Problems that Occurred in Patient Sepsis Macrovascular Disease Complications General Hospital Treatment Room Central of the Army (Army Hospital ) Gatot Subroto. Global Journal of Medical Research. Vol XV, issue III, Version 1, p. 11-13.
Depkes RI. 2012. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Perwatan Intensif. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/Menkes/SK/ XII/ 2010 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Intensive care Unit di Rumah Sakit.
Katzung, Bertarm. 2012. Farmakologi Dasar Klinik. Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Indonesia, Jakarta.
Murti. 2009. Mendesak: Kebutuhan untuk Memperbaiki Pelayanan Intensif . Jurnal Kedokteran Indonesia. 1(1): 1-3.
Putri Kessi Vikaneswari. 2016. Kesesuaian Terapi Empiris Antibiotik Pada Pasien Dengan Ventilator-Associated Pneumonia di RSUP Sanglah Dengan ATS Guidelines 2005. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Undayana . E-Jurnal Medika 5(8): 3-4.
20