NEPOTISME DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN KARIER PEGAWAI DI SEBUAH INSTANSI PEMERINTAHAN PENDAHULUAN
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”, secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan atau hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti (1) perilaku yang
memperlihatkan
kesukaan
yang berlebihan
kepada kerabat
dekat;
(2)
kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; (3) tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Sedangkan menurut Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Nepotisme juga dapat diartikan sebagai upaya dan tindakan seseorang (yang mempunyai kedudukan dan jabatan) menempatkan sanak saudara dan anggota keluarga besar, di berbagai jabatan dan kedudukan sehingga menguntungkannya (Pope, 2003). Nepotisme biasanya dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan pemerintah lokal sampai nasional, pemimpin perusahan negara, pemimpin militer maupun sipil, serta tokoh-tokoh politik. Mereka menempatkan para anggota atau kaum keluarganya tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kualitasnya.
Walaupun praktek nepotisme ini sudah berlangsung sejak lama, istilah nepotisme mulai digunakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1998. Pada masa itu, berita mengenai keluarga mantan presiden Soeharto dan para pejabat pemerintahan di masa Orde Baru yang melakukan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (disingkat KKN) sangat gencar diberitakan di media cetak maupun media elektronik. Rakyat Indonesia melalui serangkaian demonstrasi dan perwakilan di DPR dan MPR menuntut dihapuskannya praktek KKN tersebut. DPR dan Presiden BJ Habibie pun mengesahkan Undang-Undang Negara RI No 28 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Faktanya, praktek nepotisme masih kerap dilakukan di Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum dalam proses perekrutan pegawai baru, baik di instansi-instansi Pemerintah dan perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta. Masyarakat masih menganggap bahwa tindakan nepotisme tidak melanggar hukum seperti halnya korupsi. Padahal, pengesahan Undang-undang No 28 Tahun 1999 itu sudah merupakan dasar hukum sah yang melarang praktek nepotisme, bersama dengan korupsi dan kolusi. Menurut Bartono dan Novianto (2005)¸ perusahaan dan para manajernya memiliki suatu tanggungjawab moral terhadap masyarakat, yaitu ikut membantu program pemerintah dalam masalah pemerataan tenaga kerja. Nepotisme malah menjadi kendala bagi tujuan pemerataan itu. Lowongan-lowongan kerja pada akhirnya hanya diisi oleh kerabat-kerabat dan relasi-relasi dari jalur birokrasi. Ada korelasi antara kondisi lapangan pekerjaan yang sempit dan budaya nepotisme yang ada dalam perusahaan-perusahaan, baik BUMN maupun swasta. Praktik nepotisme jelas merugikan dan menyakitkan, karena bertentangan dengan asas keadilan dan hak asasi manusia. Secara prinsip, setiap warga negara berhak untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk bisa menghasilkan pendapatan yang layak pula sehingga mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga. Namun, jika untuk mendapat pekerjaan yang layak harus terganjal oleh adanya praktik nepotisme, maka pastilah banyak rakyat yang harus hidup di bawah standar sejahtera.
Perumusan Masalah Makalah ini mencoba menguraikan masalah dampak praktek nepotisme terhadap jenjang karier pegawai di sebuah instansi pemerintahan. Pembahasannya meliputi perbandingan jenjang karier pegawai yang masuk melalui rekrutmen resmi dan pegawai yang masuk melalui jalur nepotisme. Demi kepentingan kerahasiaan narasumber, nama dan alamat instansi disamarkan. Nama instansi selanjutnya akan disebut “Instansi X” yang beralamat di kota Y. Permasalahan yang terjadi di instansi ini adalah praktek nepotisme yang terjadi secara bertahap namun dalam jangka panjang. Praktek nepotisme dilakukan oleh salah seorang pejabat nepotis yang merekrut saudara-saudara dari keluarga besarnya untuk menjadi pegawai di instansi tersebut. Modus awalnya adalah dengan merekrut kerabatnya tersebut menjadi pegawai honorer, kemudian mereka diutamakan dan didahulukan dalam proses pengajuan pengangkatan menjadi PNS. Instansi tersebut juga memiliki pegawai-pegawai tetap (berstatus PNS) dan peagawai-pegawai honorer yang direkrut melalui jalur rekrutmen resmi. Jalur rekrutmen resmi ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tes tertulis (tes psikologi dan tes kemampuan akademik) serta wawancara dengan pimpinan-pimpinan instansi tersebut, tanpa melibatkan oknum nepotis tersebut. Saat seorang pegawai baru memperkenalkan diri, pertanyaan pertama yang diajukan oleh pejabat nepotis tersebut adalah, “Anda bawaan siapa?” Ketika pegawai tersebut mengatakan bahwa dia masuk melalui rekrutmen resmi, pejabat itu malah mencibir pegawai baru. Praktek nepotisme yang dilakukan oleh oknum tersebut sudah melampaui batas kewajaran. Contoh kasusnya, ada seorang keponakannya yang lulusan SMK jurusan Teknik direkrut menjadi staf bagian keuangan walaupun tidak sesuai dengan kompetensinya. Ketika tiba saatnya pengajuan pengangkatan CPNS, staf keuangan ini tiba-tiba telah menyandang titel Sarjana Ekonomi di belakang namanya. Hal ini terjadi hanya setahun setelah ia masuk kerja. Padahal masih banyak pegawai-pegawai honorer
lain yang masa kerjanya lebih lama, belum mendapat kesempatan untuk diajukan menjadi CPNS. Pegawai-pegawai yang merupakan kerabat pejabat nepotis ini seolah membentuk dinasti atau ‘gank’ tertentu di instansi ini. Hal ini berakibat pada terciptanya iklim kerja dan budaya kantor yang tidak sehat. Para pegawai yang masih berkerabat ini mendapat prioritas dalam pengajuan pengangkatan CPNS, serta mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kesempatan pengembangan karier, seperti penugasan ke luar daerah, kepanitian acara-acara yang diadakan oleh instansi, sampai keikutsertaan dalam diklat, pelatihan dan seminar pengembangan diri. Kondisi lingkungan kerja yang demikian sangat tidak menguntungkan dan tidak adil bagi pegawai lainnya. Hal ini berdampak pada menurunnya motivasi dan semangat kerja, serta penurunan kinerja pegawai yang masuk melalui jalur rekrutmen resmi. Akibatnya, banyak pegawai honorer yang mengundurkan diri. Kondisi ini malah dimanfaatkan oleh si oknum pejabat nepotis itu untuk membuat opini yang menyatakan bahwa proses rekrutmen resmi tidak efisien karena hanya menghabiskan anggaran serta menghasilkan pegawai rekrutmen yang tidak kompeten dan berkinerja buruk. Pejabat tersebut malah membanggakan prestasi kerabatnya dan malah menyarankan kepada koleganya untuk merekrut beberapa kerabatnya lagi.
Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai studi kasus atas dampak praktek nepotisme terhadap jenjang karier pegawai di suatu instansi pemerintahan.
PEMBAHASAN Tujuan Praktek Nepotisme
Nepotisme adalah jenis khusus konflik kepentingan. Nepotisme umumnya dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan jabatan dan kelanjutan kekuasaan, serta terjadi kesetiaan dan rasa takluk dari bawahan yang mendapat kedudukan dan jabatan sebagai balas budi. Nepotisme sering terjadi di sektor swasta, terutama dalam pengangkatan anggota keluarga untuk jabatan-jabatan dalam perusahaan milik keluarga, dan ini dianggap wajar. Dampak dari praktek ini akan terasa pada laba perusahaan dan laba adalah “milik” keluarga (Pope, 2003). Tujuan lain dari nepotisme adalah untuk membina SDM yang solid dan kompak membela kepentingan oknum pejabat nepotis. SDM yang solid dan kompak adalah modal dasar dalam pengelolaan suatu organisasi/perusahaan/instansi untuk mencapai tujuan. Kekompakan antar pegawai bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai, mengingat setiap individu memiliki cara pandang, pemikiran, kepentingan, tingkat intelegensi dan berbagai sifat individu yang unik dan berbeda satu sama lainnya. Walaupun ada pula perusahaan/instansi yang dapat membina kekompakkan para pegawainya dalam waktu yang singkat. Proses membangun kekompakkan pegawai memerlukan waktu yang relatif lama, mengingat banyaknya proses penyesuaian individu yang kompleks dan hambatanhambatan serta gesekan-gesekan yang terjadi dalam proses penyelesaian suatu pekerjaan. Ironisnya, ada beberapa pejabat pemangku kepentingan di tingkat manajerial yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan kekompakan pegawai, atau dengan kata lain untuk merekrut pegawai yang bersedia tunduk kepada semua perkataan dan perintahnya. Nepotisme dianggap sebagai jalan terbaik untuk mencapai tujuan ini. Pegawai yang masuk melalui jalan pintas atau praktek nepotisme ini memiliki perasaan berhutang budi kepada orang yang memberinya pekerjaan atau jabatan, sehingga pegawai yang bersangkutan memiliki rasa segan apabila pendapatnya bertentangan dengan pendapat atasannya tersebut. Pejabat nepotis yang melakukan praktek nepotisme ini menginginkan anak buah yang bersifat patuh dan menuruti seluruh
perintahnya demi mencapai tujuan dan ambisinya. Biasanya, pejabat tipe ini melakukan tindakan nepotisme sepaket dengan korupsi dan kolusi. Menurut Bartono dan Novianto (2005), nepotisme seringkali dikaitkan dengan hak perusahaan untuk menentukan sendiri siapa yang diinginkannya untuk mengisi formasi pekerjaan di dalamnya. Hal tersebut memang cukup rasional. Tetapi harus dicermati dulu apakah hal tersebut memang keinginan perusahaan sebab mungkin yang dimaksud adalah hak seorang pengambil keputusan itu sendiri yang memberi dalih untuk membenarkan
tindakan
nepotisnya
dengan
mengatakan
nepotisme
itu
untuk
kepentingan dan merupakan hak perusahaan. Ada oknum-oknum pejabat (terutama mereka yang mempunyai kuasa dan kekuasaan) yang menginginkan anak-anak dan saudara-saudaranya mempunyai jabatan,
mempunyai
kedudukan
dan
mempunyai
tingkat
ekonomi
yang
memadai. Nepotisme adalah jalan keluar yang cepat. Walaupun, anak-anak dan saudara-saudaranya itu tak punya kualitas, kurang berwawasan, tak berkompeten, tak mampu memimpin. Hal-hal itu tidak penting dalam proses nepotisme, yang penting angkat mereka, taruh mereka di jabatan tertentu (terutama yang bisa korupsi). Mereka pati akan cepat kaya. Mereka juga akan loyal serta menjadi penjilat dan pendukung nomor satu bagi orang yang telah mengangkat mereka. Menurut Pope (2003), nepotisme pada dasarnya meliputi salah satu atau lebih dari hal-hal berikut ini:
Mendorong atau ikut serta dalam, atau menyebabkan penerimaan, pengangkatan, pengangkatan kembali, klasifikasi, klasifikasi-ulang, evaluasi, kenaikan pangkat, pemindahan atau disiplin anggota keluarga dekat atau teman dekat dalam jabatan pemerintahan, atau dalam lembaga yang dipimpin atau dikendalikannya.
Ikut serta dalam menentukan besar gaji anggota keluarga dekat atau teman dekat.
Melimpahkan tugas yang berkaitan dengan penerimaan, pengangkatan, pengangkatankembali, klasifikasi, klasifikasi-ulang, evaluasi, promosi, pemindahan atau disiplin anggota keluarga terdekat atau teman dekat kepada bawahan.
Mengawasi, langsung atau tidak langsung, anggota keluarga dekat atau rekan dekat atau melimpahkan pengawasan kepada bawahan.
Faktor-faktor Penyebab Nepotisme Bartono dan Novianto (2005) memaparkan banyak faktor yang menyebabkan nepotisme menjadi membudaya. Faktor utama adalah sikap individualis para pengambil keputusan yang cenderung memutuskan sesuatu yang menguntungkan keluarga atau diri sendiri meskipun keputusan itu tidak etis atau tidak adil menurut norma masyarakat umum sejauh perusahaannya tidak mempersoalkannya, maka nepotisme itu pun berjalan terus. Faktor lain adalah sempitnya lapangan kerja yang menyebabkan persaingan ketat di antara para pelamar pekerjaan. Kemauan keras para pencari kerja ini menyebabkan mereka tak segan untuk mencari terobosan dengan mengandalkan family yang sudah bekerja di dalam perusahaan dengan cara di luar prosedur. Bahkan ada pula yang menggunakan sarana lain berupa ‘pelicin’ agar dapat diterima secara mudah. Nepotisme di sektor publik berarti calon yang paling memenuhi syarat tidak memperoleh kedudukan atau kenaikan pangkat. Hal ini sangat tidak adil bagi orang-orang yang lebih mampu dan kompeten untuk menduduki jabatan tersebut, jika tidak ada nepotisme (Pope, 2003). Nepotisme juga dapat bersifat situasional. Artinya, si pengambil keputusan sebenarnya tidak menghendaki nepotisme terjadi, namun karena ada desakan-desakan dari luar, misalnya karena adanya surat sakti, memo istimewa, pesanan atau titipan dari jalur birokrasi yang sulit terhindarkan. Si pengambil keputusan menjadi terpaksa melakukan nepotisme dan membiarkan nepotisme berjalan terus.
Menurut Hartanto (2009), lingkungan asal seseorang adalah yang membentuk prototipe etikanya pada waktu dia mulai bergabung menjadi anggota suatu perusahaan atau instansi. Secara tidak sadar, dia akan membawa serta berbagai kebiasaan yang berlaku di lingkungan asalnya. Hal ini seringkali tidak sejalan dengan apa yang diperlukan dunia kerja dan dunia bisnis. Misalnya, di perusahaan ada anggota yang berasal dari suatu masyarakat dimana saling memberi adalah kebiasaan yang baik dan membantu saudara adalah suatu kewajiban. Kemungkinan besar kebiasaan ini akan dibawa anggota tersebut ke tempat kerjanya. Kebiasaan saling memberi ini akan menjadikannya kurang peka terhadap praktek saling memberi yang koruptif. Perlakuan istimewa terhadap saudara yang diskriminatif dan kontraproduktif masih sering dijalankan, meskipun dalam dunia bisnis, praktik tersebut bukanlah hal terpuji. Budaya saling memberi dan membantu saudara digolongkan sebagai korupsi dan nepotisme yang bertentangan dengan etika bisnis yang berlaku secara universal maupun tata nilai kerja yang berlaku umum.
Dasar Hukum dan Etika Pelarangan Nepotisme Larangan nepotisme tidak berarti standar “tertutup bagi anggota keluarga”, tetapi memang melarang pegawai negeri menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik bagi anggota keluarganya. Tujuan larangan itu bukan untuk mencegah anggota keluarga bekerja bersama-sama, tetapi untuk mencegah pegawai negeri mendahulukan keluarga dalam menggunakan wewenang subjektif atas nama publik, untuk menerima orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai administrasi publik (Pope, 2003). Nepotisme bertentangan dengan etika bisnis secara global (Bartono dan Novianto, 2005). Banyak negara yang memilih mendekati aspek yang lebih rinci dari masalah konflik kepentingan dari sisi asas-asas manajemen dan tersebar. Pendekatan ini membutuhkan pembuatan undang-undang tentang jabatan tinggi dalam pemerintahan.
Negara-negara yang memiliki undang-undang anti nepotisme, salah satunya adalah Thailand (Undang-Undang Dasar 1997). Pope (2003), menjelaskan bahwa negara bagian Indiana dan Nebraska di Amerika Serikat dengan jelas dan terperinci mencantumkan pasal anti-nepotisme dalam undangundang mereka. Sebagai contoh pasal larangan dalam Undang-Undang Negara Bagian Indiana, Amerika Serikat, IC 4-15-7-1 berbunyi:
Tidak seorang pun yang ada kaitan sebagai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi, suami, istri, anak laki-lakim anak perempuan, menantu lakilaki, menantu perempuan, keponakan laki-laki atau keponakan perempuan boleh ditempatkan dalam hubungan langsung atasan-bawahan.
Para pelaku nepotisme di Indonesia masih menganggap remeh seolah nepotisme ini bukan suatu perbuatan yang melanggar hukum seperti halnya korupsi. Padahal, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak pelaku nepotisme yaitu Undang-Undang No 28 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar hukum larangan nepotisme juga diperkuat oleh pengesahan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI. Namun kenyataannya, implementasi peraturan perundangundangan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Modus Nepotisme Terselubung Para oknum pelaku nepotisme memiliki cara untuk berkelit dari jerat hukum. Mereka tetap melakukan nepotisme, namun secara terselubung.Nepotisme terselubung adalah ketika perusahaan menempuh alternatif yang aman dengan menggunakan sistem referensi (Bartono dan Novianto, 2005).
Cara referensi tetap menggunakan tes-tes kriteria calon, screening dan wawancara serta berbagai cara lain. Pegawai yang akan dimasukkan lewat famili tetap harus menjalani seluruh tes tersebut sampai dapat lulus tes. Pada tahap akhir, jika hanya tersedia satu lowongan dan diperebutkan oleh beberapa orang, yang sudah lolos ujian, maka pilihan dijatuhkan pada famili yang ikut melamar tadi. Perusahaan pun dapat memberikan argumentasi bahwa semua itu sudah melalui tes dan pimpinan dapat menerangkan bahwa tidak ada prinsip keadilan yang dilanggar. Inilah yang disebut dengan nepotisme terselubung.
Dampak Nepotisme Terhadap Perkembangan Karier Dampaknya secara luas adalah nepotisme ikut menjadi faktor pembentuk pragmatisme pemikiran masyarakat. Jika orang menginginkan anak-anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin, maka idealismenya bukan untuk menjadi pengabdi bangsa, tetapi agar kelak dapat menarik saudara-saudaranya ke dalam lowonganlowongan dengan cara nepotisme daripada harus bersaing ketat melalui prosedur. Contoh kasus nepotisme yang terjadi di instansi X yang telah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Nepotisme yang dilakukan oleh seorang oknum pejabat telah berlangsung secara bertahap dan berkelanjutan. Oknum tersebut telah berhasil menempatkan beberapa orang kerabatnya di berbagai jabatan strategis di instansi tersebut, yaitu di bagian keuangan, administrasi, sekretaris dan resepsionis. Orang-orang bawaannya itu membentuk ‘gank’ tertentu di instansi ini. Hal ini berakibat pada terciptanya iklim kerja dan budaya politik kantor yang tidak sehat. Nepotisme dapat menimbulkan konflik loyalitas dalam organisasi, terutama bila salah seorang anggota keluarga ditempatkan sebagai pengawas langsung di atas anggota keluarga yang lain. Rekan sekerja tidak akan merasa nyaman dalam situasi seperti itu, oleh karenanya hal seperti ini harus dihindari (Pope, 2003).
Susanto et al (2008) menjelaskan bahwa kondisi internal perusahaan atau organisasi dengan political cultures, intrik-intrik internal guna mendapatkan pengaruh dan kemajuan karier mendominasi agenda organisasi. Perusahaan atau organisasi dengan political cultures memiliki misi dan strategi yang dirumuskan dengan jelas, namun tidak diimplementasikan secara konsisten. Inisiatif dan komitmen biasanya berpusat pada seperangkat faktor politik yang terbaru. Loyalitas pegawai kepada atasan tertentu melebihi loyalitas kepada perusahaan secara keseluruhan. Loyalitas yang tinggi kepada atasan sampai pada tahap tertentu mampu memberikan perlindungan bagi karyawan dari intrik-intrik politik yang terus berlangsung (Susanto et al, 2008). Para pegawai yang masih berkerabat ini mendapat prioritas dalam pengajuan pengangkatan CPNS, serta mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kesempatan pengembangan karier, seperti penugasan ke luar daerah, kepanitiaan acara-acara yang diadakan oleh instansi (yang pastinya ada tambahan insentif), sampai keikutsertaan dalam diklat, pelatihan dan seminar pengembangan diri. Sedangkan, pegawai yang lain jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan kesempatan yang sama. Kondisi lingkungan kerja yang demikian sangat tidak menguntungkan dan tidak adil bagi pegawai lainnya. Aksi pembalasan (retaliation) sering digunakan bagi karyawan atau departemen tertentu yang tidak menunjukkan loyalitas yang cukup pada atasan (Susanto et al, 2008). Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan dampak negatif bagi operasi layanan pendukung administrasi. Akibatnya, kinerja perusahaan menjadi tidak konsisten karena mengalami kesulitan mengatasi masalah-masalah politik yang dihadapinya (Susanto et al, 2008). Diskriminasi dalam memperoleh kesempatan pengembangan diri dan karier berdampak pada menurunnya motivasi dan semangat kerja, serta penurunan kinerja pegawai yang masuk melalui jalur rekrutmen resmi. Tingkat perilaku politik yang tinggi dalam organisasi dapat menjadi sumber stress bagi banyak karyawan. Politik kantor secara konsisten dinyatakan sebagai stressor utama dalam organisasi. Aktivitas politik dan pergulatan kekuasaan dapat menciptakan friksi, meningkatkan persaingan
disfungsional antara individu dan kelompok, dan meningkatkan stress (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2005). Stressor kesempatan pengembangan karier merupakan aspek dari lingkungan organisasi yang mempengaruhi persepsi seseorang mengenai kualitas dari kemajuan kariernya. Variabel karier mungkin berperan sebagai stressor ketika mereka menjadi sumber kekhawatiran, kegelisahan atau frustasi. Hal ini dapat terjadi jika seorang pegawai khawatir, dan merasa bahwa kemajuan promosi tidak mencukupi, atau pada umumnya merasa tidak puas dengan kesesuaian antara aspirasi kariernya dan posisi saat ini (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2005). Karyawan merasa terasingkan dan mungkin enggan membuat komitmen jangka panjang bagi perusahaan. Hal ini mengakibatkan tingkat turnover yang tinggi (Susanto et al, 2008). Apabila pegawai yang keluar ini digantikan dengan pegawai hasil praktek nepotisme, maka pengaruh oknum pejabat nepotis tersebut di instansi X akan semakin kuat. Inilah sebabnya praktek nepotisme sangat sulit untuk diberantas.
PENUTUP Kesimpulan Nepotisme yang membudaya dan berkelanjutan, mampu mengikis nilai-nilai moralitas melalui keputusan-keputusan non-etis yang bersimpangan dengan keadilan pada saat proses rekruitmen. Hal ini mencerminkan adanya kendala-kendala bagi tujuan pemerataan dalam masalah-masalah penyediaan lapangan pekerjaan dan masalah di dalam dunia kerja.
Saran Solusi untuk melawan nepotisme adalah dengan meningkatkan SDM secara kualitatif dengan menekankan pada kriteria-kriteria kualitas dalam rangkaian proses
rekruitmen, demi kemajuan usaha bisnis maupun pencapaian tujuan organisasi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bartono dan Novianto. 2005. Today’s Business Ethics. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hartanto, F.M. 2009. Paradigma Baru Manajemen Indonesia: Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebijakan dan Potensi Insani. Penerbit Mizan. Bandung. Ivancevich, J.M., Konopaske, R. dan Matteson M.T. 2005. Organizational Behaviour and Management 7th Edition. McGraw-Hill. Maidenhead-Berkshire. Pope, J. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gramedia. Jakarta. Susanto, A.B. et al. 2008. A Strategic Management Approach: Corporate Culture & Organization Culture. The Jakarta Consulting Group. Jakarta.