Essay Mata Kuliah "GLOBALISASI DAN KAPITALISME" NEOLIBERALISME, KAPITALISME DAN MASYARAKAT (Pengaruh Neoliberalisme dan Kapitalisme Terhadap Pola Hidup Konsumerisme Pada Masyarakat)1 Oleh : Achmad Saptono (F1A006070)2 I. Pendahuluan A. Latar Belakang Kapitalisme tumbuh dan berkembang semakin pesat dengan didorong oleh hukum-hukum progresif dalam dirinya yaitu kebuasan akumulasi modal yang menerjang semua Negara di belahan bumi ini. Pada tingkat lanjut, ketika di dalam negerinya sendiri sudah terlalu sesak untuk mengembangkan kapitalnya maka kapitalisme membutuhkan ruang dan tempat untuk produksi sekaligus distribusi segala kapital yang dihasilkan. Di sinilah sejarah imperialisme mulai tumbuh dan berkembang. Imperialisme merupakan perkembangan tingkat tertinggi dari wajah kapitalisme. Pada teori dan praktiknya, sejarah kolonialisme di Indonesia merupakan bagian dari wujud perkembangan imperialisme terutama dalam mengembangkan tanah-tanah koloni di Negara-negara berkembang. Istilah imperialisme yang sebenarnya sudah akrab di tahun kira-kira 1850-1860, yang dipakai untuk menjelaskan dan menerangkan penyebaran kapitalisme inggris dan kemudian Negaranegara Eropa lainnya ke seluruh dunia pada abad ke-193. Max Weber, dalam “The protestant Ethics and the Spirit of Capitalism”, mendukung gagasan, semangat, dan mentalitas kapitalisme yang bersumber dari ajaran agama. Manusia ditunjukkan sebagai homo economicus, yaitu konsep yang dari dulu hingga sekarang dalam hal penugasan kehidupan ekonomi adalah sesuai. Bahwa tujuan hidup adalah mendapatkan kemakmuran dan kekayaan yang digunakan untuk tugas melayani Tuhan. Weber mengambil ajaran Benyamin Franklin sebagai poros berkembangnya mentalitas kapitalis, yaitu sikap memperhatikan kehidupan dengan berlaku hati-hati, bijaksana, rajin, dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis. Segi utama dari kapitalisme modern adalah memperoleh kekayaan sebanyakbanyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat terhadap pemakaian untuk bermewah-mewah. Prinsip ini mengungkapkan suatu tipe perasaan yang erat 1
Tulisan ini disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah Globalisasi & Kapitalisme. Penulis adalah mahasiswa Sosiologi FISIP-UNSOED Purwokerto Sks 2006. 3 Lihat Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian, Penerbit Institut Global Justice (IGJ), Jakarta, 2003, hal.21. 2
1
hubungannya dengan pemikiran keagamaan. Selanjutnya Weber menunjukkan suatu masyarakat yang sudah diwarnai oleh sifat mental kapitalis akan nampak pada kehidupan yang diarahkan pada alat produksi pribadi, perusahaan-perusahaan bebas, penghematan uang, dan mekanisme persaingan dan rasionalisasi pengelolaan bisnis4. Sifat mental kapitalis masyarakat saat ini semakin diperjelas dengan kondisi masyarakat yang lebih mementingkan gaya hidup "Life Style", fashion serta pola hidup masyarakat yang mengarah kepada konsumerisme. Baudrillard, salah satu tokoh postmodern menjelaskan bahwa dalam sebuah dunia yahng dikontrol oleh kode, persoalan-persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kepuasan atas apa yang umumnya kita kenal sebagai "kebutuhan". Ide kebutuhan berasal dari pembagian subjek dan objek palsu; ide kebutuhan diciptakan untuk menghubungkan mereka. Berawal dari ide kebutuhan tersebut yang kemudian membawa masyarakat ke arah pola hidup konsumen. Bagi orang awam, dunia konsumsi tampak pada permukaan dan benar-benar sebuah kebebasan. Bagaimanapun, jika kita memiliki uang (atau mungkin lebih baik dari hari ini, kartu kredit), kita sepertinya bebas membeli apapun yang kita inginkan. Namun tidak dapat dipungkiri kita bebas mengkonsumsi hanya sebagian kecil objek tanda yang berbeda. Parahnya, dalam konsumsi kita merasa sangat unik, bahkan kenyataannya kita sangat menyerupai orang lain dalam kelompok sosial kita; anggota dari kelompok yang mengkonsumsi sesuatu yang persis sama5. Dampak-dampak yang berpengaruh terhadap pola hidup masyarakat itulah yang kemudian menjadi permasalahan dalam penyusunan makalah ini. Kapitalisme yang berubah bentuk menjadi neoliberalisme yang akhirnya mengkonstruk budaya konsumerisme masyarakat pada umumnya. B. Perumusan Masalah Adanya faham Liberalis-Keyensian yang kini disebut dengan Kapitalisme dan Neoliberalisme di Indonesia menyebabkan adanya globalisasi besar-besaran. Masyarakat semakin mengalami ketergantungan, serta masyarakat hanya menjadi penikmat, pemakai yang dalam hal ini disebut dengan istilah pola hidup konsumerisme. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan pola hidup konsumerisme pada masyarakat tersebut? Konsumerisme yang seperti apa? II. Pembahasan 4
Lihat Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Menuju Kapitalisme Religius, Juni 1999, hal 9 Lihat Teori Sosial Postmodern, Jean Baudrillard: Ide-ide Teoritis Dasar, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006, hal 138. 5
2
Neoliberalisme sebagai gagasan sudah dikenal sejak tahun 1930-an. Sebagai bagian dari perkembangan pemikiran ekonomi kapitalisme, konsep ini adalah kelanjutan dari konsep liberalisme. Sedangkan kapitalisme sendiri, lebih kita definisikan sebagai formasi sosial. Liberalisme klasik, neoliberalisme, Keynesian dan sebagainya adalah konsep tentang mekanisme dalam formasi tersebut, khususnya yang berkenaan dengan pokok-pokok kebijakan ekonomi. A. Kapitalisme, Neoliberalisme dan Agenda yang diusung Neoliberalisme dan kapitalisme tidak hanya Negara-negara eropa, akan tetapi juga sudah semakin mengakar di Negara Indonesia. Anthony Giddens menyatakan kalau modernitas disangga oleh kekuatan kapitalisme, negara bangsa, organisasi militer dan industrialisasi. Kapitalisme merujuk pada sejumlah prinsip struktural yang mendasari praktik akumulasi modal dalam konteks pasar produksi dan tenaga kerja yang kompetitif. Hal ini menunjukkan betapa kapitalisme sangat berorientasi kepada keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme membawa dunia pada sistem perekonomian yang tunduk pada norma serta aturan pasar. Terobosan kapitalisme adalah membentuk sistem pasar yang hegemonik dimana kekuasaan privat juga memiliki kemampuan untuk mencipta pengaruh pada kawasan publik. Mengapa kekuatan kapitalisme bisa sejauh itu dampaknya? Adam Smith adalah peletak dasar pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan individualisme dalam menciptakan keteraturan ekonomi6. Melaluinya, kapitalisme melakukan klasifikasi antara nilai guna dengan nilai tukar yang ada pada setiap komoditi. Ukuran riil dari nilai tukar komoditi, harus dilihat dari kondisi pertukaran, dimana 'ukuran riil' dari nilai komoditi adalah kuantitas dari kerja yang berada dalam barang-barang lain yang dapat dipertukarkan di pasar. B. Kapitalisme, Neoliberalisme dan Dampaknya bagi Dunia Bagi neoliberalisme, ideologi ‘kesejahteraan bersama’ dan ‘pemilikan komunal’ seperti yang dianut oleh kebanyakan masyarakat tradisional, dianggap sebagai rintangan untuk mencapai agenda utama neoliberal. Oleh sebab itu, mereka 6
Kalimat yang popular dari Adam Smith "Bukanlah dari kemurahan hati tukang daging, tukang bir atau tukang roti; kita megnharapkan mendapatkan makanan; melainkan dari penghargaan mereka atas kepentingan diri mereka masing-masing. Kita camkan dalam diri kita, bahwa bukanlah dari rasa kemanusiaan, melainkan dari rasa cinta terhadap diri-sendiri; dan tak akan kita berbicara pada mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan kita bersama, melainkan atas dasar laba yang bisa mereka raih". Lihat Bonnie Setiawan, Peralihan Kapitalisme di Dunia Ke Tiga, Insist Press, 1999.
3
berusaha keras menghambat kedua faham itu dengan berbagai argumen dan promosinya. Akibatnya
mereka
memaksa
untuk
menyerahkan
pengelolaan
sumberdaya alam pada para pakar, bukan kepada kelompok-kelompok masyarakat adat tradisional setempat yang dianggap tidak mampu mengelola secara efisien dan efektif. Padahal justru masyarakat adatlah yang sudah berpengalaman dan memiliki kearifan lokal (local wisdom), serta mengenal secara turun temurun karakter sumber daya alam yang berkembang di sekitar wilayah ingkungannya. Jadi suatu negara yang sudah menganut faham neoliberalisme dan mengikuti arus globalisasi ekonomi secara ringkas terlihat bila negara hanya mengembangkan pola-pola sebagai berikut (Jhamtani, 2005, yang mengutip IFS report 2002): (1) Pertumbuhan tinggi (hypergrowth) dan eksploitasi sumber daya alam serta lingkungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, (2) Swastanisasi (privatisasi) pelayanan publik, (3) Penyeragaman (homogenisasi) budaya dan ekonomi global serta promosi konsumerisme, (4) Integrasi dan konversi ekonomi nasional, dari swasembada menjadi berlandasakan pada pasar, (5) Deregulasi korporat dan perpindahan modal lintas-batas negara tanpa penghalang atau pembatas, (6) Pemusatan korporasi menjadi segelintir perusahaan besar saja, (7) Penghapusan bantuan atau subsidi program pelayanan kesehatan dasar masyarakat, pelayanan sosial lainnya, dan pemeliharaan lingkungan hidup, karena dianggap sebagai biaya, (8) Penggusuran kekuasaan negara demokrasi dan masyarakat lokal oleh birokrasi korporasi global. C. Pola Hidup Konsumerisme Masyarakat Konsumerisme merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa. Bila kita telesuri makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal 4
telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200). Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen. Konsumerisme berkaitan dengan "kepemilikan yang sistematis dan tidak terbatas tanda objek konsumsi" (Baudrillard, dalam Poster, 1988: 25). Tanda objek dan kode etika ketika ia berperan, tidak "nyata". Dari sudut pandang ini, jika kita membeli sebuah Big Mac di McDonald, kita tidak (hanya, sebagian besar) membeli makanan saja, tetapi kita lebih memperoleh apa yang Big Mac tandakan mengenai kita (misalnya, kita adalah bagian dari orang yang sibuk, masyarakat aktif atau kita tidak diperbolehkan makan daging sapi yang tebal dan empuk). D. Konsumerisme Mengkonstruk Masyarakat Instant dan ketergantungan Dalam dunia konsumerisme, dunia yang diproduksi dan disebarluaskan setiap hari, setiap saat, adalah dunia keindahan, eksotika, kecantikan, roman, harmoni keluarga, dan lain-lain yang serba elok. Kita hidup di zaman di mana kenyataan sehari-hari telah mengalami "estetikasi" atau "proses pengindahan". Televisi, iklan, majalah-majalah wanita adalah agen-agen yang membuat hidup di sekeliling kita
5
"indah" belaka. Gambaran perempuan cantik adalah tinggi, langsing, putih dan berambut lurus. Hal ini mendesak kesadaran kita, bahwa pada kenyataannya: lihatlah baik-baik wajah dan tubuh kita di cermin. Jangan-jangan kita akan berdecap: "Iya ya, rambut saya kayaknya perlu di-rebounding.” Dari model kecantikan dan ketampanan, keluarga, harmoni, kehidupan ekonomi, cara memperoleh uang banyak (serba mudah, seperti ditunjukan kuis-kuis televisi), penampilan, semua mengalami estetikasi. Pada dunia konsumsi, itu semua melatarbelakangi bagaimana proses orang membeli atau mengonsumsi sesuatu dan kemudian bereksistensi. Kita membeli sesuatu bukan semata-mata karena urusan butuh, lalu mempertimbangkan secara rasional ukuran-ukuran ekonomi menyangkut harga dan nilai barang itu, gunanya, dan sebagainya. Sebaliknya, ada dimensi yang sifatnya lebih emosional dalam urusan membeli dan mengonsumsi sesuatu ini, karena di situ juga ada persoalan "identitas". Pada merek pakaian yang kita pakai itulah, kita seolah menemukan identitas diri, juga pada rumah, kosmetik, minyak wangi, mobil, mal atau plaza yang kita kunjungi bahkan juga pengalaman. Bunyi filsafat lama Descartes "aku berpikir maka aku ada" telah berganti menjadi "aku membeli, maka aku ada...." Dalam hal menjalani pengalaman hidup manusia kontemporer, pengalaman nongkrong di Kafe pasti dianggap berbeda dibanding makan Jagung bakar di jalan H.R.Boenyamin. Piknik ke Mall atau Careffure jelas berbeda dengan piknik ke tempat wisata Baturaden Sekarang, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru tidak lama lagi. Yang pertama-tama membunyikan beduk atau lonceng peringatan akan tibanya hari besar yang dinanti banyak orang itu adalah pusat-pusat perbelanjaan, mal, dan toko-toko. Segera pusat-pusat perdagangan memasang spanduk-spanduk dan banner bahwa lebaran, natal, tahun baru akan segera tiba. Mereka menawarkan berbagai produk, dan segera pula akan disertai perang diskon. Dalam hal ini -apa boleh buat- kita memang sudah terbiasa dengan keadaan bahwa semua hal termasuk Hari Besar itu mengalami proses komersialisasi. Lagu-lagu relijius yang Islam atau Kidung Natal yang datang duluan, bukanlah lagu yang menyentak nilai spiritual kita, melainkan jingle iklan para pedagang yang menyuruh kita untuk segera berbelanja. Banyaknya media yang berhasil dikuasai oleh Kapitalisme-Neoliberalisme di indonesia termasuk iklan dalam berbagai media masa menjerat seluruh lapisan masyarakat agar menjadi pengonsumsi produk-produk yang ditawarkannya. Dengan jargon lebih cepat, mudah, murah dan
6
lain sebagainya mereka mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tidak aneh, jika saat ini banyak masyarakat yang mulai menyukai produk-produk KapitalismeNeoliberalisme. Budaya ketergantungan masyarakat terhadap kapitalismeneoliberalismne semakin diperjelas dengan fenomena masyarakat yang belanja di Supermarket. Berdasarkan observasi yang dilakukan, orang-orang yang berbelanja di Supermarket rata-rata tidak semuanya membeli barang-barang yang sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Misalnya : Saya pergi ke Supermarket, sebelumnya hanya ingin membeli air mineral; sesampainya di dalam supermarket saya tertarik dengan makanan atau cemilan yang tersedia, maka akhirnya saya membeli banyak makanan atau cemilan tersebut. III. Penutup Pandangan seorang pemikir tentang para tirani dapat dipakai untuk menggambarkan dosa kapitalisme neoliberalisme terhadap umat manusia saat ini. Dikatakannya bahwa "Kejahatan mereka yang terbesar bukanlah karena mereka telah menindas dan menyengsarakan hidup kami, melainkan karena mereka telah memperkenalkan dan mengajarkan cara-cara yang jahat." Adanya kapitalisme dan neoliberalisme telah mengakibatkan pengambilan hak-hak ekonomi banyak orang di seluruh dunia; Kapitalisme dan Neoliberalisme menghabiskan banyak sumber daya alam dan merusak lingkungan; Kapitalisme telah menyengsarakan hidup banyak manusia. Keberhasilan kapitalisme dan neoliberalisme terlihat pada mencitrakan pola konsumsi yang metropolis, gaya hidup global (budaya pop) yang cukup mengejutkan. Pola hidup masyarakat yang lebih memilih untuk menjadi konsumen adalah salah satu bentuk keberhasilan dari Kapitalisme dan Neoliberalisme. Bukan hanya itu, saat ini banyak masyarakat yang lebih suka kepada budaya global yang notabene lebih mementingkan penampilan serta gaya hidup kebarat-baratan (Life-style). Referensi : Ritzer, George, 2003. TEORI SOSIAL POSTMODERN, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Rizky, Awalil, 2006. Agenda Neoliberalisme di Indonesia "Merumuskan Sikap dan Aksi HMI", PB-HMI, Jakarta. Setiawan, Bonnie 2003. Globalisasi Pertanian, Penerbit Institut Global Justice (IGJ), Jakarta.
7