Nasibmu Sakura ...
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS.Ali Imran ayat 85)
*******************************************************
Bersih mungkin adalah kata pertama yang keluar dari mulut siapa saja yang pernah berkunjung ke negeri sakura atau negeri matahari terbit,Jepang. Dan tak sedikit beberapa kata lain bernada positif terhadap apa yang ada
di
negara
maju
ini,kedisipilinannya,kerja
kerasnya,budaya
membacanya dan ramah lingkungkanya mewarnai kehidupan sehari hari masyarakat Jepang. Beberapa ungkapan positif diatas juga bukanlah hal baru dalam ajaran islam baik itu yang disampaikan dalam kitab suci Al Qur’an maupun melaui sabda dan perbuatan nabi Muhamad saw atau yang disebut dengan hadist.
Apakah yang mendasari kesemuanya itu? Bukankah
orang
Shinto,bahkan
Jepang
menurut
itu
mayoritas
beberapa
menyatakan dirinya tidak beragama.
penganut
penelitian,70%
Budha
orang
dan
Jepang
Terasa
akan
lebih
“bermakna”
jika
kesemuanya
itu
dasar
melakukannya karena Allah dan rasul_Nya memerintahkannya dan meninggalkannya karena Allah dan rasul_Nya melarangnya.
Bisa dimisalkan seperti ini:menjaga kebersihan sebagai salah satu usaha
menjaga
lingkungan
dan
menjaga
kebersihan
karena
kebersihan adalah sebagian dari iman,dalam konteks pelaksanaanya dan hasil yang diperoleh hampir 100% sama yaitu “bersih”.
Pada tindakan pertama:menjaga kebersihan sebagai salah satu usaha menjaga lingkungan adalah salah satu bentuk kepedulian individu terhadap sebuah komunitas yang ada. Apa yang dilakukan tersebut semata mata hanya sebatas agar tercipta situasi yang “nyaman” terhadap komunitas yang ada. ”Nyaman” dalam hal ini bisa dicontohkan seperti ini,jika individu tidak melakukan hal tersebut maka ia akan mendapat “sanksi” dari orang sekitar ataupun pemerintah yang berwenang sehingga terganggulah “kenyamanan” suatu komunitas tersebut.”Sanksi” dalam hal ini bisa bermacam macam,mulai dari tingkat terkecil yakni dikucilkan hingga sanksi yang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Akhirnya menimbulkan sebuah pola pikir “sungguh tidak pantaslah jika
aku
tidak
melakukanya”.Pola terhadap
melakukanya pikir
seperti
kelanggengan
suatu
perbuatan
demi
karena ini
menciptakan
sangat
kebanyakan
orang
berpengaruh
sekali
perbuatan,kelanggengan ke”nyaman”an
suatu
komunitas
ini
terpengaruh sekali oleh “frekuensi kebanyakan orang melakukanya atau
tidak”,jadi
jika
“frekuensi”
tersebut
berkurang
maka
berkuranglah jumlah individu yang melakukan perbuatan itu dan jika “frekuensi kebanyakan orang melakukanya” tersebut hilang maka lenyaplah perbuatan itu.Dalam tingkat terparah,hilanglah kebiasaan untuk melakukan perbuatan tersebut.
Tindakan demi komunitas seperti ini bukanlah suatu hal yang buruk apalagi terlarang akan tetapi tindakan demi komunitas ini tak lebih hanya
akan
mendapatkan
“nilai”
yang
mana
“nilai”
tersebut
berstandar kesepakatan yang ada dalam komunitas tersebut. Dan yang ada di dalam komunitas tersebut adalah manusia,yang mana setiap waktu bisa merubah standarisasi “nilai” terhadap suatu tindakan yang dilakukan seorang individu tergantung perubahan kondisi dan situasi yang ada.
Mungkin dalam kelompok ini tidak mengenal kata “ikhlas” dalam melakukan suatu perbuatan” akan tetapi lebih condong kepada “perbuatan yang telah menjadi kebiasaan” atau “perbuatan karena kebanyakan orang melakukanya”.
Pada
tindakan
kedua:tindakan
menjaga
kebersihan
karena
kebersihan adalah sebagian dari iman atau tindakan karena “sami’na wa ato’na” terasa (‘terasa’ itu memiliki rasa yang berbeda beda tergantung siapa dan bagaimana tindakan ini dilakukan) memiliki nilai yang “lebih” meskipun hasil yang diperoleh sama 100% dengan tindakan pada kasus yang pertama. Ke”lebih”an pada tindakan karena “sami’na wa oto’na” adalah pada tindakan ini melibatkan sesuatu yang abadi,kekal dan tak berubah ubah yaitu Allah swt.Dengan catatan untuk mendapatkan nilai “lebih” itu setiap tindakan harus didasari dg hati yang ikhlas. Sehingga tatkala animo kebanyakan orang berkurangpun perbuatan tersebut tetap dilakukan dan andai saja animo kebanyakan orang itu sirna tetaplah perbuatan itu dilakukan,akan terus dilakukan meskipun orang
lain
tidak
menyukai
perbuatan
itu,senantiasa
dilakukan
meskipun animo mayoritas orang telah sirna,karena perbuatan itu berdasar “sami’na wa ato’na”.Saya mendengar dan saya patuh.
“Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya”. (HR. Abu Dawud)
Keseharian masyarakat Jepang (hanya sebagian dan yang positif saja)
banyak
mengandung
keras,disiplin,cinta
nilai
baca,menjaga
nilai
yang
islami,kerja
kebersihan
adalah
diantaranya.Umat islampun mengenal kesemuanya itu,malah dengan sangat baik,namun disayangkan kebanyakan masih belum mampu melaksanakan
apalagi
menjadikannya
“perbuatan
ikhlas
yang
menjadi kebiasaan”.
Bagaimana nasib “perbuatan” orang Jepang yang memiliki “nilai islami” tersebut?
Setiap “perbuatan baik” memang bisa memiliki nilai yang islami baik itu yang dilakukan oleh umat islam atau bukan karena agama islam
mengajarkan “kebaikan”.Dan untuk bisa melakukan perbuatan baik tidak perlu masuk islam akan tetapi agar perbuatan baik itu “diterima” maka wajib masuk islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayatayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran ayat 19)
Di dalam agama ada unsur iman,kepercayaan atau keyakinan.Di dalam kepercayaan atau keyakinan ini ada perbuatan perbuatan atau yang disebut dengan ibadah,dan ibadah dibagi menjadi dua yaitu ibadah wajib dan ibadah sunnah.Jadi dalam agama terdapat unsur unsur tidakan atau perbuatan. Sehingga suatu perbuatan atau tindakan jika ingin “diterima” atau “diridhai” maka pelaku wajib masuk islam terlebih dahulu.Karena sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS Ali Imran ayat 85)
Sebenarnya islam bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Jepang. Menurut sumber dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Islam mulai masuk kali pertama pada abad ke sembilan belas. Setelah era pengasingan diri Jepang dari dunia berakhir, sejumlah literatur mengenai Islam pun masuk ke Jepang. Kemudian pada 1890, peristiwa yang mempertemukan Jepang dan Islam pun terjadi, melalui sebuah kasus yang terkenal dengan nama “Peristiwa Kapal Ertogrul”. Peristiwa karamnya kapal Turki di perairan Jepang ini memakan korban besar, hingga dari 600 orang penumpang, hanya 69 yang selamat. Pemerintah bersama rakyat Jepang pun menolong para korban kecelakaan ini. Hasilnya baik, antara Jepang dan Turki pun terjalin hubungan kerjasama yang baik. Hal ini pun memunculkan pergerakan bagi perkembangan Islam di Jepang. Dan pada awal abad ke 20,
sudah ada beberapa rombongan umat Muslim di Jepang yang pergi melaksanakan haji. Pada masa Perang Dunia 2, sebagai akibat kebijakan Jepang melakukan ekspansi ke wilayah Asia Tenggara (termasuk Indonesia), timbul kebutuhan untuk mengkaji Islam di Jepang. Walau demikian, kajian yang dilakukan tidak berkembang baik karena pemerintahan militer menganggap Islam dengan Tuhan yang Esa, bertentangan dengan kepercayaan tradisional di Jepang yang menyembah banyak dewa. Setelah Perang Dunia 2, hubungan Jepang dengan negara Islam semakin baik, terutama pada bidang perdagangan dan pendidikan. Jepang mulai membuka program beasiswa, yang diambil oleh pelajar Muslim di negara-negara berkembang. Selain itu, Jepang menjalin hubungan perdagangan dengan negara Timur Tengah dan Indonesia, yang memiliki penduduk beragama Islam cukup besar. Tidak diketahui berapa banyak jumlah orang Islam di Jepang. Selain penduduk lokal, Islam juga dianut oleh para imigran dari Afrika dan Timur Tengah yang menetap di Jepang, juga oleh sebagian pelajar yang melakukan studi di Jepang. Jumlah umat muslim di Jepang sekitar70.000 orang. Jumlah terbesar adalah muslim dari Indonesia,
sekitar 20.000 orang. Muslim asli Jepang sendiri diperkirakan hanya 7000 orang dimana kebanyakan dari mereka masuk Islam melalui pernikahan dengan pasangan muslim dari luar Jepang. Dari jumlah itu, hanya sekitar 500 orang yang terorganisasi di bawah Japan Muslim Association, sebuah organisasi Islam terbesar dan tertua di Jepang.Tidak
diperoleh
data
yang
pasti,
juga
karena
sikap
pemerintah Jepang sendiri yang tidak begitu memperhatikan masalah agama.
Sebenarnya tidaklah kurang usaha dakwah yang dilakukan baik oleh muslim asli Jepang maupun muslim pendatang,namun seperti yang diungkapkan oleh Prof Hassan yang juga adalah Presiden Asosiasi Muslim
Jepang,
bagaikan
mendakwahi
batu.
Nyaris
tak
bergeming,agama menurut mereka sudah out of mid atau keluar dari alam semesta pikiran. Kebanyakan orang Jepang tidak atau hanya sedikit sekali mempunyai perhatian terhadap agama apa pun. Dan menurut mereka agama hanya untuk orang yang mengalami gangguan jiwa. Tapi menurut beliau kegagalan dakwah di Jepang bukan karena sifat orang Jepang
yang seperti itu tapi lebih karena fakta hingga sekarang tidak ada atau sedikit sekali dai yang berkualitas.
Didalam fatwanya Syeikh Jadul Haq menyebutkan pendapat al Ghozali yang membagi manusia menjadi tiga golongan dalam hal bersentuhan dengan da’wah Rasulullah Muhammad saw kepada islam : 1. Orang yang tidak mengetahui islam sama sekali dari sarana manapun. Beliau (Ghozali) mengatakan bahwa orang yang semacam ini akan selamat. 2. Orang yang telah sampai kepadanya da’wah islamiyah dengan tampilan yang sebenarnya namun orang itu tidak ingin melihat kepada
bukti-buktinya
dikarenakan
enggan,
sombong
dan
menentangnya. Beliau mengatakan bahwa orang yang semacam ini akan mendapat siksa. 3. Orang yang telah sampai kepadanya da’wah islamiyah dengan tampilan yang tidak sebenarnya, seperti orang yang telah sampai kepadanya nama Muhammad saw dan tidak sampai kepadanya tentang sifat-sifat beliau saw akan tetapi dia mendengar namanya saw sejak kecil dari musuh-musuhnya yang pendusta dan membenci
nabi saw. Beliau mengatakan bahwa orang yang semacam ini seperti golongan pertama.
Didalam fatwanya beliau menyebutkan bahwa manusia terbagi menjadi tiga golongan : 1.
Orang
yang
beriman
yaitu
yang
mengimani
Allah
saja,
membenarkan seluruh nabi dan rasul-Nya, mengarahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan baik dan mendapatkan hidayah kepada jalan Allah melalui wahyu Al Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw untuk seluruh alam... maka orang-orang ini termasuk yang selamat sebagaimana firman-Nya : ُحِتهَا اْلَأْنهَارُ إِ ّن الّلهَ َيفْ َعلُ مَا يُرِيد ْ ت َجنّاتٍ َتجْرِي مِن َت ِ إِنّ اللّهَ ُيدْ ِخلُ اّلذِينَ آ َمنُوا َوعَ ِملُوا الصّاِلحَا
Artinya : “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”(QS. Al Hajj : 14)
2. Orang yang kafir yaitu orang-orang yang telah sampai kepadanya da’wah islam, kenabian terakhir yang membawa aqidah dan syariat
yang terdapat didalam Al Qur’an yang selalu dibaca, kebenaran yang murni
tanpa
ada
cacatnya,
tidak
bercampur
dengan
berbagai
penyimpangan dan kekacauan dalam makna dan pemahamannya, sebagaimana firman-Nya,”kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia bermasam muka dan merenggut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri.” (QS, Al Mudatsir : 21 – 23). Kemudian
orang
itu
merasa
nyaman
dengan
kekufuran
dan
keingkarannya bagaikan matahari ditengah hari mereka menolak untuk tunduk dengan kebenaran padahal ia memiliki kemampuan untuk menjadikan hatinya mendapat hidayah dan ridho Tuhannya. Dan orang itu—tidak disangsikan lagi—telah berada dalam kekafiran yang jelas, sebagaimana firman Allah ; ْط َأ ْعمَاَلهُم َ َضوَاَنهُ َفأَ ْحب ْ ك ِبَأنّ ُهمُ اّتَبعُوا مَا َأ ْسخَطَ الّلهَ َوكَ ِرهُوا ِر َ ِذَل
Artinya : “Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka
membenci
keridhaan-Nya,
sebab
itu
Allah
(pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad : 28)
menghapus
3. Manusia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak sampai kepadanya da’wah islam dari berbagai jalan penyampaian sehingga ia menerima
atau
membelakanginya
maka
ia
menyandarkan
kehidupannya sesuai dengan warisan dari nenek moyangnya dan tidak mendapatkan keyakinan dan pemikiran apa pun. Dan golongan yang ini banyak terdapat di tengah-tengah manusia dengan berbagai karakter,
tabiat,
lapisan
dan
keyakinan
sehingga
sulit
untuk
menyatukan mereka dalam satu hukum. Dari mereka mungkin ada yang terbuka fitrahnya hingga sempurna, memuliakan akal sehingga menjauhi dosa dan melakukan berbagai perbuatan
mulia dan
memenuhi hak-haknya. Atau ada juga dari mereka ada yang membebek kepada orang lain dan lainnya ....
Lalu bagaimanakah nasib sakura…?? Wallahu’alam bi shawab