POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community)
OLEH: NABIL AHMAD FAUZI NIM: 103033227824
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/ 1429 H
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh: Nabil Ahmad Fauzi NIM: 103033227824
Di Bawah Bimbingan
Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP: 150 299 478
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/ 1429 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 31 Maret 2008
Sidang Munaqasyah Ketua,
Sekretaris,
Dr. Masri Mansoer, M.A. NIP. 150 244 493
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A NIP. 150 270 808
Penguji I,
Penguji II,
Drs. Zakky Mubarak, M.A. NIP. 150 371 093
Drs. Idris Thaha, M.Si. NIP.150 317 723
Pembimbing,
Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP.150 299 478
KATA PENGANTAR
SubhanAllah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha IllAllah, Allahu Akbar. Segala puji hanya milik Allah yang melimpahkan ketentraman dan ketenangan di batin yang terdalam. Berkat rahmat dan kuasa-Nya serta kekuatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan melimpah kepada penghulu agung, rasul junjungan Muhammad Saw beserta para sahabat, keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan dan kelemahan penulis, skripsi ini tidak akan bisa terselesaikan tanpa adanya bantuan, sokongan serta dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis bermaksud mengucapkan ribuan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya kepada: 1. Ayahanda tercinta Yusman Namud beserta Ibunda terkasih Titin Indrayani yang tiada henti memberikan cinta, kasih sayang, perhatian serta dukungan penuh kepada penulis baik dalam semua hal. Terimakasih atas kesabaran menanti kelulusan ananda. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan. 2. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si. selaku dosen pembimbing yang menyempatkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertahankan eksistensi FUF dari ancaman hedonisme
yang menggerogoti nalar
intelektualitas dan moralitas mahasiswa. 4. Bapak Drs. Agus Darmadji M.Fil., dan Ibu Drs.Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Terima kasih atas petunjuk serta kemudahan yang diberikan selama proses studi dan skripsi ini. 5. Segenap Dosen di Jurusan PPI. Ibu Haniah M.Si., Ibu Suryani, Bapak Nawiruddin,
Bapak Bakir Ihsan M.Si.,
Bapak Idris Thaha M.Si.,
Ust.Sobahussurur, para “guru besar”dan dosen-dosen senior Bapak Prof. Dr, Din Syamsuddin, Bapak Dr. Bachtiar Effendy, Bapak Dr. Saiful Mujani (harus
ada peningkatan intensitas dan kualitas kehadirannya di kelas) serta dosendosen lainnya tanpa mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmunya dapat bermanfaat. 6. Segenap karyawan tata usaha FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga sistem administrasi dan pelayanannya semakin baik. 7. Saudara Mochammad Sidiq, S.Sos. dan Ifa Djuliah, S.Sos. atas segala saran dan masukan bagi skripsi ini. 8. Saudara Amirul Hasan, S.Sos. selaku ”pembimbing kedua”. Semoga kerjasama dan persahabatn kita tetap terus terjalin dan semoga sukses dalam mengarungi kejamnya kehidupan ibukota. 9. Keluarga Besar Markaz Dakwah Kabupaten Tangerang atas segala bantuan dan fasilitas yang mendukung proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah membalasnya dengan kemajuan dan ’kemenangan’ dakwah di masa yang akan datang. 10. Keluarga Besar KAMMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan ”warna baru” bagi kehidupan penulis, serta segala ruang kreativitas, intelektualitas dan aktivitas dalam merekonstruksi cara pandang penulis terhadap dunia. 11. Keluarga Besar Partai Intelektul Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala ruang aktualisasi pemikiran politik penulis. Mungkin kemenangan itu bukan ditakdirkan pada periode ini, namun yakinlah janji Allah adalah pasti. 12. Ust. Hasanih dan teman-teman pengajian, semoga senantiasa Istiqomah. 13. Kawan-kawan di PPI angkatan 2003 yang memberikan cakrawala berpikir bagi penulis dalam seluruh proses dialektika. Ditunggu kiprahnya dalam merekonstruksi bangunan Indonesia baru, sebagai sebuah entitas peradaban dunia. 14. Para Direksi PIONEER INSTITUTE dengan seluruh pengalaman pahit dan manisnya membangun institusi bisnis. Semoga Allah mempermudah segala upaya kita agar ’kekayaan’ itu berada dalam genggaman para mukminin. Kekayaan itu bukan keinginan, tapi keharusan. 15. Seluruh pihak yang telah berperan dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga mendapat balasan terbaik dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa ada banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya penulis sangat mengharapakan dan terima kasih atas segala saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Ciputat, Maret 2008
Nabil Ahmad Fauzi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………iii DAFTAR ISI……………………………………………………………….......vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................................9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………….10 D. Metodologi Penelitian…………………………………………………...11 E. Sistematika Penelitian…………………………………………………...11 BAB II TINJAUAN UMUM POLITIK LUAR NEGERI A. Pengertian Politik Luar Negeri………………………………………….14 B. Kepentingan Nasional…………………………………………………...19 C. Peran dan Diplomasi…………………………………………………….22 D. Kerjasama Regional……………………………………………………..28 BAB III GAMBARAN UMUM ASEAN DAN ASEAN COMMUNITY A. Selayang Pandang ASEAN......................................................................30 1. Sejarah Berdirinya ASEAN………………………………………….30 2. Posisi ASEAN dalam Politik Luar Negeri Indonesia………………..37 B. Profil Singkat ASEAN Community……………………………………....42 1. Pengertian Umum ASEAN Community……………………………....42 2. ASEAN Security Community (ASC)………………………………..44 3. ASEAN Economic Community (AEC)……………………………...45 4. ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)……………………….45
BAB
IV
POLITIK
LUAR
NEGERI
INDONESIA
DALAM
PROSES
PEMBENTUKKAN ASEAN COMMUNITY A. Kepentingan-Kepentingan Indonesia…………………………………...47 1. Stabilitas Politik, Keamanan dan Ekonomi………………………...47 2. Peran Regional Power Center di ASEAN………………………….49 3. Pengembalian Citra…………………………………………………52 B. Peranan Indonesia………………………………………………………56 C. Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia………………………………...65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………..71 B. Saran……………………………………………………………………72 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………73 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan para pemimpin pemerintahan sepuluh negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nations), yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja, menyepakati Bali Concord II pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN IX tanggal 7 Oktober 2003 lalu menjadi momentum yang sangat penting. Bali Concord II merupakan pencapaian penting dalam proses menuju integrasi ASEAN, dengan dibentuknya ASEAN Community (Komunitas ASEAN) yang ditargetkan berlaku pada tahun 2015. Melalui sebuah komunitas, ASEAN berjuang untuk mengubah statusnya dari sekedar “perhimpunan bangsa-bangsa “ menuju satu kesatuan masyarakat yang terdiri atas bangsa-bangsa (transforming it self from an association of states into a real community of nations).1 Dengan kata lain, ASEAN memulai proses transformasi dari kumpulan negara yang berasosiasi ke arah komunitas kawasan yang lebih terintegrasi. Sampai tahun 2007, kesepakatan pembentukkan ASEAN Community dan kesepakatan ASEAN Charter (Piagam ASEAN) merupakan
pencapaian tertinggi
dalam sejarah empat puluh tahun berdirinya perhimpunan ini. Sejak terbentuknya pada 8 Agustus 1967 silam di Bangkok, Thailand, yang ditandai dengan Deklarasi Bangkok, ASEAN mengalami perkembangan yang tidak terlalu signifikan. Perhimpunan kerjasama regional Asia Tenggara ini awalnya dipelopori oleh Menteri
1
Ahmad Dahlan, “Kepemimpinan Indonesia di ASEAN”, diakses pada tanggal 11 Maret 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0710/24/opi04.htm.
Luar Negeri (Menlu) Adam Malik dari Indonesia, Deputi Perdana Menteri (PM) Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam.2 Dalam perkembangannya terkini, anggota ASEAN telah mencapai sepuluh negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yakni para negara pelopor dan negara-negara anggota baru, yaitu Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja.3 Ada tiga pilar utama dari ASEAN Community ini, yaitu
ASEAN Security
Community (Komunitas Keamanan ASEAN) disingkat ASC, ASEAN Economic Community (Komunitas Ekonomi ASEAN) disingkat AEC, dan ASEAN SocioCultural Community (Komunitas Sosial Budaya ASEAN) disingkat ASCC. Ketiga pilar tersebut merupakan prasyarat utama yang dianggap mampu menerjemahkan visi integrasi ASEAN sebagaimana amanat ASEAN Vision 2020.4 Adapun kerangka umum Bali Concord II yang berisi pembentukkan ASEAN Community tersebut menggariskan bahwa ; An ASEAN Community shall be established comprising three pillars, namely political and security cooperation, economic cooperation, and sociocultural cooperation that are closely interwined and mutually reinforcing for the purpose of ensuring durable peace, stability and shared prosperity in the region.5 Kerangka tersebut secara tegas mengupayakan suatu pendekatan yang dibangun untuk mewujudkan ASEAN yang damai, stabil dan sejahtera. Oleh karena itu, politik,
2
James Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar Kawasan Yang Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan (Jakarta: Kompas-Grasindo, 1998), h. 35. 3 Brunei Darussalam bergabung di ASEAN pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam menjadi anggota ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Laos dan Myanmar bergabung pada tanggal 23 Juli 1997 dan Kamboja menjadi negara terakhir yang bergabung pada tanggal 30 April 1999. S. Pusphanathan, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1. 4 Dian Triansyah Djani, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th Anniversary”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1. 5
S. Pusphanathan, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, h. 1.
keamanan, ekonomi dan sosial budaya menjadi bidang prioritas dan vital untuk menuju Komunitas ASEAN. Setidaknya ada beberapa latar belakang yang menjadikan ASEAN Security Community sebagai pilar pertama dalam kerangka ASEAN Community yakni untuk menjamin ASEAN mengatur stabilitas keamanan regional oleh para negara anggotanya. Hal ini penting untuk memastikan serta menangkal pengaruh kekuatan negara-negara besar luar kawasan (Amerika Serikat, Cina, Australia dan Rusia) secara langsung. Selain itu, ASEAN Security Community akan semakin memperkuat posisi ASEAN dalam konstelasi geopolitik internasional. Dalam kaitan yang lebih luas, meminjam pendapat Juwono Sudarsono, “era pasca-Perang Dingin”, “globalisasi ekonomi” dan “Dunia Tanpa Tapal Batas”, masalah-masalah perimbangan kekuatan militer antar bangsa tetap menjadi sentral dalam hubungan internasional menuju abad-21.6 Oleh karena itu kerjasama keamanan kawasan diperlukan untuk mengimbangi kepentingan nasional negara anggota ASEAN dalam membangun pertahanan dan persenjataan domestiknya. Selain itu untuk menjamin setiap penyelesian permasalahan dalam lingkup ASEAN diselesaikan tidak dengan pendekatan militer. Unsur ekonomi yang diwujudkan dalam ASEAN Economic Community merupakan elemen lain yang juga penting. Pertama, untuk mempercepat langkah meminimalisir jurang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antar negara anggota yang masih besar. Kedua, memperkuat pertahanan ekonomi kawasan agar tidak mengulangi krisis ekonomi tahun 1997 yang dipicu oleh krisis mata uang Thailand yang dengan mudahnya menyebar kesemua negara di Asia Tenggara. Tuntutan untuk
6
James Luhulima, Asia Tenggara, h. viii.
terintegrasi terhadap pasar bebas dunia juga menjadi motivasi utama kerjasama ekonomi ini. Sedangkan aspek ASEAN Socio-Cultural Community dalam
ASEAN
Community diperlukan dalam upaya mempercepat visi integrasi ASEAN. Kedekatan sosial budaya yang dibangun di tingkatan elit diharapkan mampu berdampak pada integrasi sosial budaya pada level masyarakat (civil society) dari negara-negara anggota. Selama ini, kurangnya rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kekitaan (we feeling) dari masyarakat negara-negara anggota ditengarai sebagai faktor lambatnya perkembangan kerjasama integrasi ASEAN. Sejak awal, ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi berdirinya perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan forum bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.7 Pada awalnya, terlihat motivasi politik yang sangat besar melatar belakangi berdirinya ASEAN ini, namun para negara pendiri masih terlalu riskan untuk menempatkan masalah politik dan keamanan dalam mainstream kebijakan perhimpunan. Hal mendasar yang melandasi sikap kehati-hatian ini adalah masalah politik dan keamanan masih merupakan hal yang terlalu sensitif. Pasalnya ini akan menyentuh masalah vital di mana beberapa negara pendiri baru memulihkan hubungan diplomatiknya. Selain itu, perbedaan perspektif dalam menyikapi kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara masih menjadi persoalan penting. Sehingga dikhawatirkan pembahasan yang terlalu berat dalam wilayah politik dan keamanan dapat mengancam kelangsungan hidup ASEAN yang masih baru.
7
Ibid., h. 35.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan peta politik internasional yang ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada awal era 1990-an, ASEAN bergerak menuju ranah penguatan kerjasamanya. Terlebih ketika tahun 1992 Amerika Serikat secara resmi keluar dari Filipina yang sejak lama didudukinya semakin memotivasi negara-negara anggota ASEAN untuk mulai merumuskan kembali pola kerjasama regional yang lebih luas tanpa terlalu dicampuri oleh kepentingan-kepentingan negara luar kawasan. Pengalaman
negara-negara
ASEAN
yang
selama
puluhan
tahun
“dipermainkan” oleh negara luar kawasan, menjadi titik awal kesadaran negara – negara ASEAN untuk menciptakan kerjasama kawasan yang lebih konkret. Hal ini diwujudkan dengan lahirnya konsep ASEAN Security Community, di mana tema politik dan keamanan menjadi isu sentral. Selain itu, badai krisis ekonomi yang menerjang Asia Tenggara pada tahun 1997 juga menyadarkan ASEAN bahwa diperlukan suatu kerjasama yang erat dalam bidang ekonomi. Kesadaran akan Pasar Tunggal ASEAN sebagai wujud respon negara-negara anggota dalam menghadapi globalisasi juga menjadi alasan penting. Oleh karena itu, lahirlah gagasan pembentukkan ASEAN Economic Community. Terlebih, eksistensi ASEAN masih menjadi komoditas para elit politik negaranegara anggota. Hal ini menjadikan ASEAN tidak mengakar dalam kehidupan sosial budaya masyarakat negara anggota. Karena itu pembentukan ASEAN Socio-Cultural Community menjadi sangat penting. Ketiga faktor di atas menjadi pilar dalam kerangka pembentukkan
ASEAN Community, di mana hal ini
menjadi sebuah
keniscayaan dalam peta konstelasi sosial politik dunia internasional kontemporer. Dalam perspektif yang lebih khusus, proses pembentukan ASEAN Community ini merupakan bagian penting dalam ranah politik luar negeri Indonesia terhadap
ASEAN. Peran Indonesia dalam hal ini sangat besar, dengan menjadi pelopor pembentukan ASEAN Community ini. Hal ini terbukti di mana kelahiran Bali Concord II pada KTT ASEAN IX di Bali di awali dengan konsep ASEAN Security Community yang digagas oleh Indonesia. Jika mengacu pada sejarahnya, tidak heran jika Indonesia mengambil peran yang besar dalam proses politik di ASEAN. Sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto mengambil kebijakan strategis dengan menempatkan kawasan Asia Tenggara dalam prioritas politik luar negeri Indonesia. Hal ini merupakan langkah strategis dalam konteks kebijakan politik luar negeri Indonesia saat itu. Soeharto lebih memilih memperkuat kawasan Asia Tenggara daripada lingkup politik internasional yang lebih luas, seperti Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok. Hal ini diimplementasikan dengan menjadikan Indonesia sebagai pelopor dan pendiri ASEAN. Indonesia beranggapan bahwa stabilitas kawasan merupakan elemen penting dalam menopang stabilitas nasional. Oleh karena itu, Indonesia menempatkan ASEAN dalam ruang yang khusus dalam politik luar negeri Indonesia sejak saat itu. Kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN ini setidaknya dilandasi oleh 3 (tiga) faktor utama,
8
yakni; pertama, orientasi politik luar negeri
Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu ”…Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi…”.9
8
Kebijakan politik luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mecapai tujuan nasional yang spesifik yang ditujukan dalam terminologi kepentingan nasional. A.A. Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 49. 9 UUD 1945, P-4 dan GBHN (Jakarta: Depdiknas, 1997), h. 1.
Kedua, patron politik luar negeri Indonesia yakni Bebas dan Aktif. Sebagaimana yang digariskan oleh pernyataan Muchtar Kusumaatmadja (mantan Menlu Indonesia era Orde Baru), Orientasi “Bebas” berarti Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang ada, karena pemihakan kepada salah satu kekuatan pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang mana dicerminkan dalam Pancasila dan politik Bebas-Aktif. Adapun “Aktif
diartikan bahwa dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif.10 Ketiga, Indonesia beranggapan bahwa “dalam strategi internasional, kawasan ini berada dalam jalur yang sangat potensial dilihat dari segi sosio-ekonomi dan sosiopolitik di mata negara-negara adikuasa.”11 Faktor geografis ini menjadi penting bagi Indonesia.12 Karenanya Indonesia menganggap sangat diperlukan mekanisme kerjasama regional yang kuat untuk menjamin kehidupan bernegara dan bertetangga yang aman, damai dan stabil sebagai penopang stabilitas nasional. Dengan kerangka di atas, maka tidak heran jika Indonesia menjadi negara penting
dalam
perkembangan ASEAN.
Keberhasilan
ASEAN
membangun
masyarakat yang aman untuk bagian terbesar adalah berkat pendekatan kerja sama dan kemitraan yang dipelopori oleh Indonesia sejak tahun 1967, yaitu politik luar negeri
yang diabdikan untuk
kepentingan
nasional dengan mendahulukan
pembangunan nasional. Strategi dasar inilah yang ditempuh Indonesia, diterima sebagai hal yang membangun tindak percaya (confidence building measure) di
10
Muchtar Kusumatmadja, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa ini (Bandung: Alumni, 1983), h. 7. 11 Harry Kawilarang, Dunia di Tengah Kemelut; Bunga Rampai Masalah Internasional 19831984 (Jakarta: UI Press, 1984), h. xi. 12 Faktor geografis merupakan salah satu dari atribut nasional yang mempengaruhi politik luar negeri selain atribut populasi, ekonomi, politik domestic, sosial , kekuatan militer dan lain sebagainya. Theodore A. Coulombis dan James H. Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional; Keadilan dan Power, terj.Mercedes Marbun (Bandung: Abardin, 1990), h. 127.
kalangan negara-negara Asia Tenggara yang kemudian diakui oleh negara–negara besar di Asia Pasifik.13 Namun, perubahan peta politik domestik yang ditandai dengan runtuhnya era Orde Baru menjadikan posisi Indonesia cenderung melemah dalam konstelasi politik regional ASEAN. Kesibukan dengan pergulatan masalah-masalah domestik sedikit melemahkan tarikan politik luar negeri Indonesia. Belum lagi citra kerusuhan, konflik SARA (Suku, Adat, Ras dan Agama), separatisme sampai terorisme menambah buruknya citra Indonesia dalam peta dunia internasional dan ASEAN. Namun, pada KTT ASEAN IX di Bali itulah yang menjadi titik balik kembalinya peran penting Indonesia di ASEAN. Manuver Indonesia yang sejak awal menggagas terbentuknya ASEAN Security Community menjadi fenomena tersendiri. Terlebih gagasan Indonesia ini kemudian menggelinding menghasilkan multiplier effect. Terbukti dengan terwujudnya kepakatan ASEAN Community dalam Bali Concord II. Bahkan hingga kini, Indonesia masih tetap fokus untuk mengawal pengembangan dan pembangunan ASEAN Community dalam bingkai ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dalam forum-forum regional.14 Maka muncul beberapa pertanyaan, yakni peran dan kepentingan apa yang melandasi manuver politik luar negeri Indonesia tersebut. Oleh karena itu, fenomena tersebut menjadi penting dan sangat menarik untuk diangkat dalam penelitian akademik. Karenanya penulis mengajukan ini sebagai skripsi dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community ) ”.
13
James Luhulima, Asia Tenggara, h. ix. ASEAN Charter merupakan penyempurnaan dari ASEAN Community. Piagam ASEAN ini merupakan pijakan hukum atau yuridiasi internasional bagi negara-negara anggota ASEAN. Piagam ini ditandatangani pada KTT ASEAN di Singapura tahun 2007 lalu. Dian Triansyah Djani, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th Anniversary”, h. 6. 14
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, tetapi tetap fokus pada pokok-pokok persoalan yang diangkat, maka penulis membatasi masalah pada politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community.
2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah: a. Bagaimana politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN? b. Apa yang dimaksud dengan ASEAN Community? c. Bagaimana politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN. b. Untuk mengetahui gambaran umum ASEAN Community. c. Untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah mampu memberikan kontribusi akademis dan ilmiah mengenai politik luar negeri Indonesia dan ASEAN di lingkungan jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum.
D. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library reseach), sumber data penelitian ini sepenuhnya berdasarkan pada riset kepustakaan, buku-buku tentang politik luar negeri, data dan informasi primer dari Sekretariat Jendral ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia serta tulisan lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Adapun metode pembahasan penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis kritis. Penulisan skripsi ini, secara umum mengacu pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008.
E. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Pendahuluan meliputi latar belakang masalah yang membahas tentang kondisi ASEAN sebagai sebuah organisasi regional. Selain itu, mengangkat peran politik luar negeri Indonesia dalam pembentukkan ASEAN Community. Dalam pembatasan masalah, penulis fokus pada proses pembentukkan ASEAN Community. Pada perumusan masalah hanya dititik beratkan pada politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN, pengertian ASEAN Community dan politik luar negeri Indonesia pada proses pembentukan ASEAN Community. Selain itu, terdapat tujuan dan manfaat penelitian. Dalam metodologi penelitian, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Terakhir, sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Politik Luar Negeri Meliputi pengertian dan teori-teori politik luar negeri di mana penulis mengklasifikasikan secara umum dalam tiga perspektif; realis, pluralis dan global. Terdapat juga pengertian kepentingan nasional yang merupakan pilar tertinggi dari politik luar negeri setiap negara. Pada definisi peran dan diplomasi dalam politik luar negeri, penulis fokus pada fungsi utama dari diplomasi. Pengertian kerjasama regional turut dimasukan sebagai landasan dalam memadang ASEAN.
Bab III Gambaran Umum ASEAN dan ASEAN Community Bab ini terdiri dari dua bagian, yakni, pertama, menguraikan tentang sejarah kelahiran ASEAN yang dideklarasikan pada 1967 dengan lima negara pendiri awal. Posisi ASEAN dalam politik luar negeri Indonesia menempati posisi vital dan merupakan soko guru. Kedua, membahas pengertian umum ASEAN Community yang merupakan sebuah konsep ASEAN yang terintegrasi sebagai sebuah masyarakat antar bangsa. Dalam penjelasan tentang ASEAN Security Community (bidang politik dan keamanan), ASEAN Economic Community (bidang ekonomi) dan ASEAN SocioCultural Community (bidang sosial budaya) difokuskan pada penegrtian umumnya.
Bab IV Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Proses Pembentukkan ASEAN Community. Membahas kepentingan-kepentingan Indonesia yang dilandasi pada; status regional power center, stabilitas politik, kemanan dan ekonomi serta pengembalian citra. Peranan Indonesia yang sangat besar dalam pembentukan ASEAN Community serta beberapa peluang dan tantangan besar bagi Indonesia dalam ASEAN Community.
Bab V Penutup Berisi kesimpulan bahwa Indonesia menempatkan ASEAN pada posisi vital politik luar negerinya dan berperan penting dalam pembentukan ASEAN Community. Saran yang penulis sampaikan difokuskan pada perbaikan sistem hukum nasional serta membumikan semangat ASEAN Community tersebut.
BAB II TINJAUAN UMUM POLITIK LUAR NEGERI
A. Pengertian Politik Luar Negeri Politik luar negeri merupakan sebuah komponen penting dalam pemerintahan suatu negara. Hal ini lebih disebabkan kebijakan politik luar negeri suatu negara berdimensi ganda, yakni; dimensi domestik dan negara lain. Karena itu, studi politik luar negeri atau hubungan internasional berdimensi luas yang meliputi dimensi politik, ekonomi dan sosial budaya. Pada dasarnya, politik luar negeri merupakan “action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan internasional. Dari dimensi nasional, dukungan rakyat merupakan prasayarat bagi presiden dalam mengemudikan politik luar negeri.15 Namun seringkali otoritas presiden melebihi legitimasi publik dalam penentuan kebijakan luar negeri. Hal ini kemudian melahirkan gap besar antara kebijakan dengan legitimasi publik yang berdampak lemahnya dukungan masyarakat. Selain itu, politik luar negeri dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang telah diformulasikan sedemikian rupa oleh satu pihak (dalam hal ini state) untuk memperjuangkan dan mencapai kepentingan nasional satu pihak.16 Dalam konsep
15 Hans. J. Morgenthau, Politik Antar-Bangsa, terj.S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 225. 16 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks for Understanding, (Boston: Allyn & Bacon, 1997), p. 134.
Holsti,17 pokok dalam membuat politik luar negeri pada umumnya dititik beratkan pada usaha untuk memecahkan berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan masalah dalam maupun luar negeri dan diwujudkan melalui berbagai cara yang bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya yang direfleksikan melalui perumusan kebijakan politik luar negerinya. Sehingga menurutnya, kebijakan luar negeri dibuat sebagai suatu reaksi negara terhadap lingkungan eksternal, keseimbangan dan ketidakseimbangan semua unit dalam sistem. Berdasarkan hal tersebut, setiap kebijakan luar negeri yang dibuat sebuah negara akan bersifat spesifik dan tentunya sesuai dengan kebutuhan negara. Sebagaimana akan penulis paparkan dalam BAB IV penelitian ini, langkah Indonesia mengusung pembentukan ASEAN Security Community yang berkembang menjadi ASEAN Community merupakan implementasi dari pendapat tersebut. Dalam konteks lain, kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.18 Menurut Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan kebutuhan eksternal (eksternal needs).19 Politik luar negeri merupakan dua komponen yang berbeda tetapi membentuk sebuah pengertian umum. Memahami konsep politik luar negeri dapat dielaborasi dengan jalan memisahkannya dalam dua komponen: politik dan luar negeri.
17
K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 175-176. 18 Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional (Bandung: Abardin, 1999), h. 5. 19 A. A. Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 49.
Politik atau kebijakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah diterapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep ”pilihan (choices)”: memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu dalam upaya memahami konsep politik luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan keluar wilayah suatu negara.20 Dengan kata lain, studi politik luar negeri berada intersection (persilangan) antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. 21 Pengaruh proses persentuhan atau persilangan ini merupakan substansi dari perumusan kebijakan politik luar negeri, di mana pemerintahan dituntut untuk dapat mengkompromikan kepentingan domestik dengan kepentingan internasional di sisi lain. Dengan menggunakan teori analisa politik luar negeri James N. Rosenau dan Gavin Boyd, ada empat faktor sumber yang secara umum yang telah meliputi dimensi internal dan eksternal. Sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan luar negeri, yaitu: pertama, sumber sistemik (systemic sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber ini menjelaskan struktur hubungan antara negara-negara besar, pola-pola aliansi yang terbentuk antara negara-negara dan faktor situasional eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis. Kedua, sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari
20 21
Banyu Perwita dan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, h. 48. Ibid., h. 48.
lingkungan internal. Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial dan perubahan opini publik. Ketiga, sumber pemerintahan (governmental sources) merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggung jawaban politik dan struktur dalam pemerintahan. Keempat, sumber idiosinkratik (idiosyncratic sources) merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri.22 Keempat faktor dalam terminologi Rosenau dan Boyd tersebut merupakan faktor-faktor yang tampak dalam menganalisis politik luar negeri suatu negara. Beberapa faktor akan terlihat dominan di atas faktor lainnya. Dengan demikian, politik luar negeri suatu negara ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negaranya. Kemudian politik luar negeri dalam aspeknya yang dinamis adalah sebuah sistem tindakan suatu pemerintahan terhadap pemerintahan lain atau suatu negara terhadap negara lain. Ia termasuk jumlah keseluruhan hubungan luar negeri suatu bangsa. Penyusunan politik luar negeri mungkin merupakan fungsi politik paling tinggi dalam suatu negara. Kesalahan dalam perumusannya bisa membawa pada akibat yang paling serius. Karena itu, perumusan politik luar negeri telah menjadi hak prerogatif pimpinan eksekutif suatu negara.23 Namun demikian, beberapa perkembangan kontemporer menggariskan keterlibatan unsur pimpinan negara lainnya serta peran partisipatif dari publik turut serta mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri. Mengacu pada pendapat Zainudin Djafar,24 terdapat beberapa klasifikasi teori yang sering dipakai dalam mengkaji politik luar negeri, yakni;
22
Ibid., h. 57. S.L. Roy, Diplomasi (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 33. 24 Zainudin Sardar, dkk, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), h. 60-62. 23
1. Realis Kaum realis mendasarkan diri pada empat asumsi. Pertama, negara merupakan aktor yang prinsipil dan penting dalam hubungan internasional. Kedua, negara adalah aktor yang merupakan satu kesatuan (unitary actor). Ketiga, negara adalah aktor yang rasional. Keempat, bahwa isu-isu internasional mempunyai hierarki di mana national security menempati urutan paling pertama, oleh karenanya tidaklah mengherankaan kalau power menjadi konsep kunci dalam perspektif realis. 2. Pluralis Yang tidak kalah menarik adalah perspektif kaum pluralis yang berasumsi; pertama, bahwa aktor non state merupakan entitas penting dan tidak boleh diabaikan dalam hubungan internasional. Kedua, bahwa negara bukanlah aktor yang satu kesatuan. Ketiga, karena negara adalah yang rasional maka negara akan berupaya mencapai konsensus (kesepakatan). Keempat, bahwa agenda politik internasional bersifat ekstensif, artinya masalah internasional tidak melulu diwarnai oleh masalah keamanan, militer, tetapi juga meluas ke masalah ekonomi dan sosial. 3. Global Untuk kaum globalis yang baru muncul, mereka berasumsi; pertama, bahwa titik awal analisis hubungan internasional adalah konteks global, di mana negaranegara sebagai entitas yang berinteraksi satu sama lain. Kedua, bahwa sangat penting dan bahkan diharuskan untuk melihat hubungan internasional dari perspektif historis. Ketiga, mereka secara tipikal sangat memperhatikan masalah ketergantungan (interdependensi) antar negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan utama dalam konteks politik luar negeri, yakni; seni memajukan kepentingan nasional dalam pola relasi
hubungan dengan negara lain. Karenanya, kepentingan nasional menjadi faktor determinan dalam politik luar negeri.
B. Kepentingan Nasional Kepentingan nasional (national interest) didefinisikan sebagai kepentingan negara yang dicapai melalui kebijakan nasional.25 Kebijakan luar negeri suatu negara merupakan produk dari berbagai faktor dan kondisi baik yang bersifat tetap maupun berubah untuk suatu waktu tertentu. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, kebijakan luar negeri jelas merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang direncanakan dan dilaksanakan demi kepentingan nasional. Adapun kepentingan nasional tersebut, menurut pendapat Moenir Ari Soenada,26 pada dasarnya terbagi atas dua faktor yaitu faktor tetap dan faktor berubah yang dikaitkan dengan waktu dan totalitas bangsa. Pertama, faktor-faktor yang tetap itu pada umumnya diputuskan sesuai dengan sistem politik dan koridor konstitusinya, yang menyangkut perlindungan bangsa seperti kemerdekaan politik, kemampuan memelihara kesatuan wilayah dan penduduk, dan keselamatan lembaga-lembaga masyarakat dan negara untuk tumbuh berkembang. Muatan dari faktor tetap tersebut dapat turut memuat sejumlah unsur prinsipil seperti mitos nasional dan falsafah negara yang disetujui rakyat. Kedua, faktor-faktor yang berubah diputuskan oleh eksekutif karena tekanan-tekanan kebutuhan baik oleh pemerintah itu sendiri, oleh badan legislatif atau oleh berbagai kelompok kepentingan yang dapat mempengaruhi para pembuat keputusan. Kepentingan nasional merupakan sebuah faktor yang agak bias dalam kebijakan politik suatu negara. Hal ini lebih dikarenakan rumitnya menentukan faktor-faktor penentu sebuah hal dikatakan atau didefinisikan sebagai kepentingan 25
Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 43. Moenir Ari Soenada, “Kebijakan Luar Negeri dan Strategi Indonesia di Kawasan Asia Pasifik”, diakses pada tanggal 9 Desember 2007dari www.deplu.go.id. 26
nasional, terlebih membedakan antara kepentingan elit politik pembuat kebijakan dengan kepentingan nasional secara umum. Kepentingan nasional adalah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi kehidupan bangsa dan negara. Hal itu jelas berbeda dengan kepentingan golongan, yang lebih kecil konteks permasalahannya. Walaupun demikian, terdapat kepentingan golongan besar dari masyarakat yang dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah menjadi kepentingan nasional. Dalam hal ini, Papp27 memberikan beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai penentu apakah suatu kepentingan dapat dikatakan sebagi kepentingan nasional. Kriteria tersebut adalah: kriteria ekonomi, ideologi, yang berkaitan dengan penambahan power (kekuatan atau pengaruh), keamanan militer, dan moralitaslegalitas. Namun, tidak semua kriteria tersebut terdapat dalam landasan kepentingan nasional suatu negara. Berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan perekonomian suatu negara maka dapat dilihat sebagai national interest. Kebijakan tersebut dapat meningatkan neraca perdagangan negara yang bersangkutan, memperkuat dasar perindustrian suatu negara, menjamin akses terhadap kebutuhan minyak serta sumber-sumber energi lainnya dapat dikatakan sebagai national interest yang dilihat dari kriteria ekonomi.28 Ideologi merupakan salah satu faktor yang dalam beberapa kesempatan memegang peran vital dalam perumusan kebijakan nasional suatu negara. Hal ini dipengaruhi oleh sistem ideologi negara yang mengikat sehingga proses perumusan kebijakan nasionalnya bergantung pada kepentingan nasional berbasis ideologinya. Pengaruh terbesar ideologi dalam perumusan kepentingan nasional dapat kita lihat pada negara-negara berideologi komunisme dan marxisme seperti Uni Sovyet, Cina, 27 28
Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 44-45. Ibid., h. 45.
Vietnam Utara, Korea Utara, Kuba. Kutub ideologi seringkali menarik sebuah negara dalam pusaran konflik dengan negara musuh dalam peta ideologi mereka. Power, didefinisikan oleh Hans Morgenthau sebagai sesuatu yang membuat satu pihak (dalam hal ini state) dapat mendirikan dan memelihara kendali (control) terhadap pihak (state) lain. Menurutnya, power membuat negara bertahan, dan karena itu semua negara berkepentingan untuk memperolehnya. Oleh karena itu, argumentation of power adalah adalah salah satu cara mendefinisikan national interest. Kebijakan apapun yang dapat meningkatkan power suatu negara merupakan national interest negara yang bersangkutan.29 Dengan kata lain, power menjadi instrumen determinan yang mampu menempatkan posisi sebuah negara dalam konstelasi politik internasional. Karena itu, perebutan terhadap power menjadi bagian penting dalam hubungan internasional serta dalam memahami setiap kebijakan politik luar negeri suatu negara. Kepentingan militer atau military security and/or advantage adalah kriteria yang paling utama dalam menentukan national interest. Secara alami, negara hanya berusaha untuk mempertahankan keamanan militernya yang dijadikan minimum determinant dalam national interest mereka karena tanggung jawab suatu negara adalah menjamin keamanan warga negaranya.30 Dalam konteks ini, terdapat benang merah antara upaya perebutan power dengan sebuah kepentingan militer atau lebih tepatnya disebut dengan penggunaan kekuatan militer. Singkatnya, penambahan power selalu dilakukan seiring dengan penambahan kekuatan militer suatu negara. Moralitas-legalitas dalam sebuah kepentingan nasional merupakan peran etika dan budaya politik suatu negara. Hal ini dilandasi sebuah pemahaman bahwa budaya politik merupakan perwujudan dari nilai-nilai moral dan kultur masayarakat suatu 29
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle For Power and Peace, second edition, (New York: Alfred A. Knopf, 1956), h. 25-31 30 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 45.
negara. Namun, hal ini seringkali tersingkirkan oleh basis moralitas-legalitas elit politik pembuat kebijakan yang kemudian menentukan kapentingan nasional negaranya. Kepentingan nasional terkandung di dalam cita-cita, aspirasi dan tujuan bangsa dan negara serta menetukan sikap satu bangsa terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Kepentingan nasional ini pulalah yang menentukan cara untuk menerjemahkan cita-cita dan wawasan suatu bangsa ke dalam bentuk-bentuk yang nyata, baik secara bilateral, maupun secara regional ataupun internasional. Identifikasi kepentingan nasional merupakan langkah pertama dalam penentuan politik luar negeri suatu negara. Setelah itu barulah ditentukan tingkat atau derajat intensitas kepentingan itu dalam bentuk strategi dan terakhir kepentingan tersebut dicapai melalui tindakan nyata atau langkah-langkah dalam bentuk foreign policy.31
C. Peran dan Diplomasi Peran merupakan implementasi dari perumusan kebijakan politik luar negeri suatu negara. Beberapa peran yang dimainkan oleh suatu negara dalam politik luar negeri seperti pelopor pembentukan organisasi regional, multilateral, sanksi-sanksi, mediator konflik negara vis a vis negara, negara vis a vis separatis, serta aksi militer atau invasi. Keseluruhan peran tersebut termasuk dalam konteks diplomasi dalam aspek luasnya. Adapun diplomasi, merupakan kata kunci dalam studi hubungan internasional. Kata tersebut merupakan hal yang signifikan yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik luar negeri. Diplomasi diyakini berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Hal ini berhubungan dengan pola yang digunakan dalam memberlakukan surat jalan lintas wilayah di masa Kekaisaran Romawi masa 31
C.P.F. Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: CSIS, 1997), h. 217.
itu. Adapun surat jalan tersebut disebut sebagai ‘diplomas’.32 Kata ini kemudian berkembang dalam hubungan antar negara pada saat itu, kemudian menjadi kata baku yang terkandung dalam hubungan internasional. Terdapat banyak definisi tentang diplomasi, salah satunya adalah The Oxford English Dictionary memberikan konotasi diplomasi adalah; “manajemen hubungan internasional melalui negosiasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil bisnis atau seni para diplomat.
33
Namun, dalam konteks
hubungan internasional, definisi KM. Panikkar dalam bukunya The Principle and Practice of Diplomacy terasa lebih tepat. Ia menyatakan, “diplomasi, dalam hubungannya dengan politik internasional, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.34 Dari pendapat di atas tersebut sebenarnya ada elemen-elemen pokok dalam definisi diplomasi ini yakni, negosiasi, kepentingan nasional, seni. Tetapi juga patut dikedepankan di sini bahwa diplomasi ada untuk tujuan damai maupun perang. Hal ini mengingat faktor terpenting dalam diplomasi adalah kepentingan nasional. Maka apabila kepentingan nasional suatu negara merasa terancam, pilihan kebijakan ancaman maupun perang besar kemungkinan akan diambil. Dengan demikian, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa diplomasi adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi, dengan cara-cara damai dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan sebagai cara untuk memperoleh tujuan-tujuan itu.35 Berbagai pilihan
32
S.L.Roy, Diplomasi, h. 1. Ibid., h. 2. 34 Ibid., h. 3. 33
35
Ibid., h. 5.
tersebut diambil jika kemudian kepentingan nasional menggariskan ketentuan pilihanpilihan tersebut dalam kebijakan politik luar negeri suatu negara. Bagi negara manapun, tujuan utama diplomasinya adalah pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara-negara yang sehaluan dan menetralisir negara yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina dan sahabat-sahabat baru diperoleh melalui negosiasi yang bermanfaat. Ini akan lebih mudah apabila terdapat persamaan kepentingan. Namun demikian tujuan-tujuan politik diplomasi suatu negara harus seimbang dengan sumber daya dan power nya. Hal ini mengingat daya bargaining position dari diplomasi sangat ditentukan kedua faktor tersebut. Oleh karena itu, efektifitas diplomasi suatu negara bergantung pada sejauh mana kekuatannya. Sebaliknya sebuah negara besar dan kuat yang dilanda pertentangan sipil, ketidakstabilan pemerintah yang kronis atau kebangkrutan keuangan, dan sebagainya akan gagal untuk menimbulkan kepercayaan dari negara lain. Dalam kasus seperti itu diplomasi jarang menghasilkan tujuan yang diinginkan.36 Faktor ekonomi ternyata juga tidak kalah penting dibanding dengan pertimbangan politik yang menjadi faktor determinan dalam diplomasi. Selama ratusan tahun diplomasi komersial sebagai tujuan kebijaksanaan nasional telah memperoleh landasannya yang kuat. Negara-negara yang secara teknologi maju telah berusaha mengeksploitasi negara-negara yang secara ekonomi lemah dan terbelakang. Penggunaan sebutan seperti ‘imperialisme ekonomi’, diplomasi dollar dan sebagainya membuktikan kenyataan ini.
36
Ibid., h. 8.
Dengan lahirnya laissez faire dan sistem perdagangan bebas serta menimbulkan dampak atas penekanan ekonomi nasional, negara-negara maju maupun terbelakang telah menjumpai kenyataan bahwa perdagangan dan keuangan bisa digunakan sebagai alat utama kebijaksanaan nasional. Akibatnya, pencapaian perolehan-perolehan ekonomi telah menjadi tujuan penting dari diplomasi.37 Dalam konteks ini sebenarnya merupakan penggambaran dari dimensi lain mengenai keterkaitan erat antara politik dengan ekonomi. Artinya, aktivitas politik selalu memiliki dampak ekonomi. Selain kedua faktor determinan di atas, faktor sosial dan kebudayaan menempati posisi yang cukup penting dalam diplomasi. Untuk menggambarkan betapa sisi kerjasama sosial budaya menjadi faktor diplomasi dapat dilihat dari meningkatnya aktivitas pertukaran budaya antar negara. Kekuatan utama diplomasi sosial budaya terletak pada nilai politiknya yang cenderung lebih rendah daripada diplomasi politik dan ekonomi. Penawaran dan negosiasi merupakan bagian utama dari diplomasi. Adapun kedua hal tersebut adalah bagian dari sebuah proses yang kompeks, begitu rumitnya sehingga ditandai dengan adanya dua faktor. Pertama, banyak negara yang melalui dua level dalam penawaran yang ingin berlanjut; penawaran internasional antar negara dan penawaran harus sesuai dengan keinginan perunding, wakil negara dan begitu beragamnya konstituen domestik, keduanya harus menerima posisi negosiasi dan harus “mengakui” kesepakatan antar dua negara. Kedua, penawaran dan negosiasi, dalam konteks ini, sebuah kegiatan batas budaya.38 Artinya dua komponen negara yang berbeda kultur menegaskan pentingya
37
Ibid., h. 10. Karen Mingst, Essentials of International Relations, (New York: W.W. Norton & Company,1999), h. 122. 38
pendekatan kultural dalam proses diplomasi. Dalam hal inilah, batas budaya seringkali menjadi halangan dalam menghasilkan satu persepktif bersama dari hasil yang diinginkan. Jika melihat proses umum dari diplomasi tersebut, memang terlihat diplomat sebagai aktor dari proses diplomasi dituntut untuk memainkan peran besar dalam proses penawaran dan negoisasi. Banyak faktor yang kemudian berperan dalam mendukung hal tersebut. Dalam hal ini kerangka tugas menjadi penting. Adapun kerangka diplomasi memiliki empat tugas, di antaranya: 1. Diplomasi harus menentukan tujuannya selaras dengan kemampuan yang ada. 2. Diplomasi harus menilai tujuan-tujuan negara lain dan kemampuannya untuk mencapai tujuan-tujuan itu. 3. Diplomasi harus menentukan sampai sejauh mana tujuan-tujuan yang berlainan itu cocok satu sama lain, dan 4. Diplomasi harus menggunakan cara-cara yang selaras dengan pencapaian tujuan-tujuannya.39 Diplomasi juga memiliki peraturan-peraturan yang bisa menjadi acuan dalam melakukan interaksi dengan negara-negara lain baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Peraturan-peraturan tersebut adalah: a. Diplomasi harus didasarkan kepada semangat juang yang tinggi. b. Tujuan-tujuan politik luar negeri haruslah di dasarkan kepada kepentingan nasional dan perlu didukung oleh kekuatan yang memadai. c. Diplomasi harus memandang pentas politik itu dari sudut pandang bangsa lain. d. Bangsa-bangsa harus bersedia melakukan kompromi terhadap isu yang dianggap vital bagi mereka.40 39
Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, h. 256.
Corak politik luar negeri suatu negara sebenarnya dapat terlihat dari pola diplomasinya. Kecenderungan negara dengan pola diplomasi menekan hanya dapat dilakukan ketika bargaining position negara tersebut di atas atau lebih kuat dari negara lainnya. Karena itu dalam hubungan internasional akan selamanya membentuk konstelasi dari tipologi-tipologi negara kuat-negara lemah, negara maju-negara berkembang, Utara-Selatan dan pola-pola dikotomistis lainnya. Berdasar paparan tersebut, di sinilah letak diplomasi memainkan peran penting dari suatu negara. Bagaimana sebuah negara dengan berbagai perbedaannya dengan negara lain mampu memajukan kepentingan nasionalnya melalui kekuatan diplomasi. Jika mengacu pada pemaparan ini, akan terlihat bahwa implementasi diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap negara anggota ASEAN dalam upaya pembentukkan ASEAN Community sangat kompleks, sebagaimana akan dibahas pada BAB IV penelitian ini.
D. Kerjasama Regional Dalam melakukan kerja sama internasional, sekurang kurangnya harus dimiliki dua syarat utama. Pertama, adanya keharusan untuk menghargai kepentingan nasional masing-masing anggota yang terlibat. Tanpa adanya penghargaan, tidak mungkin dapat dicapai suatu kerjasama seperti yang diharapkan semula, bahkan sebaliknya akan menimbulkan konflik yang tidak diharapkan. Kedua, adanya keputusan bersama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul. Untuk mencapai keputusan bersama (komitmen) diperlukan komunikasi dan konsultasi secara berkesinambungan. Bahkan, kedua hal itu lebih penting daripada komitmen yang biasanya dilakukan sewaktu-waktu saja bila diperlukan. 40
Dahlan Nasution, Perang Atau Damai Dalam Wawasan Politik Internasional, (Bandung: Remaja Karya, 1981), h. 215.
Pada dasarnya, kerjasama regional merupakan bentuk saling ketergantungan yang diatur berdasarkan kedekatan geografis yang bisa berkembang menjadi berbagai kepentingan bersama. Oleh karena itu, regionalisme merupakan tahap yang diperlukan masyarakat internasional dalam menuju globalisme yang di cita-citakan.41 Tahap-tahap kerjasama regional dan subregional biasanya dibagi kepada dua bagian: 1) tahap vertikal dan 2) tahap horisontal. Yang dimaksud dengan tahap vertikal adalah tiga tahap sebagai berikut: 1. Tahap kerjasama (cooperation), yang didalamnya negara-negara anggota masih belum dihadapkan kepada penyerahan kedaulatan apapun. Meskipun demikian dalam tahap ini sudah diperlukan kebulatan tekad dan kesungguhan niat untuk menuju cita-cita kerjasama regional serta perlu menyingkirkan hambatan intra regional serta rumusan bidang kerjasama. 2. Tahap koordinasi (coordination) di mana sudah diharuskan penyerahan sebagian dari kedaulatan demi mencapai tingkat interdependensi yang lebih tinggi dan lebih teatur. Koordinasi sama artinya dengan harmonisasi usahausaha nasional yang menyangkut kepentingan bersama seperti kebijaksanaan ekonomi, rencana pembangunan dan lainnya 3. Tahap integrasi (integration) merupakan tahap
akhir dalam proses
perkembangan kerjasama regional. Apabila suatu kerjasama regional telah sampai pada puncaknya, maka tahap itu disebut tahap integrasi, di mana negara-negara anggota telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada
41
17
Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h.
suatu badan supranasional yang mempunyai yuridiksi mengatur kepentingan bersama.42 Adapun tahap horisontal adalah mencakup bidang ekonomi dan kebudayaan. Kedua bidang ini merupakan pilihan yang biasanya dijadikan starting point dalam pembentukkan dan pertumbuhan sebuah kerjasama dan organisasi regional. Bahkan, seringkali kedua bidang tersebut dijadikan landasan utama bagi kerjasama yang dibangun. Mengingat kedua bidang inilah yang memiliki efek perbedaan dan sensitifitas yang lebih rendah dibanding bidang politik.
42
M. Sabir, Politik Bebas Aktif, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987), h. 221-222.
BAB III GAMBARAN UMUM ASEAN DAN ASEAN COMMUNITY
B. Selayang Pandang ASEAN 1. Sejarah Berdirinya ASEAN Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan Sekutu yang terdapat di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama Komando Asia Tenggara (South East Asia Command).43 Komando ini berpangkalan di Kolombo, Sri Langka, wilayah Asia Selatan, hal ini dikarenakan wilayah Asia Tenggara sedang diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia ke-II berlangsung. Pasukan ini memang khusus disiapkan sebagai bagian dari strategi merebut kawasan Asia Tenggara dari Jepang dalam Perang Asia Pasifik. Adapun yang termasuk dalam wilayah Komando Asia Tenggara itu adalah negara-negara yang sekarang bernama Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina dan Indonesia. Jauh sebelumnya, kawasan ini oleh orang Eropa disebut sebagai Wilayah Timur (oriental) atau Timur Jauh (far east), Cina menyebutnya Wilayah Selatan (nan yang), India menyebut Hindia Belakang, Jepang menyebut “Nan Yo” (Asia Timur Raya) dan PBB menyebutnya Asia Timur Jauh.44 Pada dekade awal 1960-an, Asia Tenggara merupakan kawasan yang sarat konflik dan terpecah belah. Hal ini disebabkan oleh sangat kuatnya pengaruh negaranegara luar kawasan yang mencengkram sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini merupakan efek yang ditimbulkan oleh kemunculan dua negara
43 44
Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, h. 17. Ibid., 18.
super power “pemenang” Perang Dunia ke-II yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kemudian melahirkan sekutu-sekutu dalam bentuk pakta pertahanan seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan Pakta Warsawa. Dengan konstelasi demikian, tidak heran jika kawasan Asia Tenggara, menjadi lahan perebutan dari kekuatan dua super power tersebut. Sebut saja Inggris yang “bermain” di Malaysia (dulu bernama Malaya) dan Singapura, Amerika Serikat di Filipina dan Uni Soviet di kawasan Indo Cina (Kamboja, Vietnam dan Laos). Menyikapi fenomena ini, maka muncul upaya-upaya untuk melepaskan kawasan Asia Tenggara dari pengaruh kekuatan negara luar kawasan. Regionalisme Asia Tenggara pertama kali dimunculkan Dr. Abu Hanifah ketika Asian Relations Conference berlangsung di New Delhi, India, pada tahun 1947. Ide pembentukan kelompok Asia Tenggara muncul pada konferensi itu sebagai jawaban atas keyakinan para anggota delegasi Asia Tenggara bahwa negara-negara besar, India, dan China tidak dapat diharapkan untuk mendukung perjuangan nasional mereka. Pada pertemuan itu, tulis Abu Hanifah, para anggota delegasi Indonesia, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, serta Malaya (Singapura dan Malaysia) membahas tentang suatu perhimpunan negara-negara Asia Tenggara yang secara erat bekerja sama. Pada awalnya hanya dalam masalah ekonomi dan kebudayaan, dan dalam perkembangan berikutnya barulah merajut kerja sama politik. Beberapa delegasi bahkan bermimpi lebih jauh, yakni terbentuknya suatu Federasi Asia Tenggara.45
Pembahasan
tentang
kegunaan
regionalisme
pada
waktu
itu
mencerminkan ketidakmampuan negara-negara Asia Tenggara untuk meraih kepercayaan diri tanpa usaha bersama.
45
C. P. F. Luhulima, “Regionalisme dan Politik Luar Negeri Indonesia”, diakses pada tanggal 22 Februari 2008 dari www.csis.com..
Kemudian muncul upaya yang dilakukan oleh Thailand, Filipina dan Malaysia yang membentuk ASA (Association of Southeast Asia) pada tahun 1961 yang bertujuan untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Indonesia yang menganut kebijakan non-blok, menyatakan tidak tertarik untuk bergabung dalam ASA. Faktor utamanya adalah status Thailand dan Filipina yang saat itu masih tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization)46 yang diprakarsai oleh Amerika Serikat dan status Malaysia yang masih dikuasai oleh Inggris. Namun, nasib ASA ini tidak berumur panjang. Faktor nya adalah konflik berkepanjangan antara Malaysia dan Filipina dalam permasalahan perebutan wilayah Sabah dan kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia47 semakin membuat suram potensi kerjasama regional.48 Seiring dengan berputarnya bandul perjalanan sejarah, kepemimpinan Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto dengan bendera Orde Baru di tahun 1966 berdampak pada perubahan kebijakan politik luar negeri Indonesia, khususnya terhadap kawasan Asia Tenggara. Sejak itu, kebijakan politik luar negeri Orde Baru 46
SEATO adalah perskutuan delapan negara yang menandatangani Perjanjian Pertahanan Kolektif Asia Tenggara (South East Collective Defense Treaty) di Manila, Filipina tanggal 8 September 1954. Kedelapan negara itu adalah Australia, Prancis, Inggris, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thailand dan Amerika Serikat. Perjanjian yang diprakarsai oleh Menlu Amerika Serikat John Foster Dulles un tuk membendung menyebarnya komunisme di Asia Tenggara. Bantuan ekonomi menjadi kompensasi bagi negara yang mau bergabung dalam persekutuan ini. Namun, karena dianggap gagal dalam membendung komunisme, SEATO akhirnya dibubarkan secara resmi pada tanggal 30 Juni 1977. James Luhulima, Asia Tenggara, h. 33. 47
Kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dipicu oleh pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura dan wilayah Kalimantan Utara (Sabah dan Sarawak). Kebijakan ini diambil oleh Presiden Soekarno akibat kebijakan Inggris dan Malaysia yang memutuskan tetap membentuk Federasi Malaysia dengan mengabaikan Perjanjian London yang disepakati dengan Indonesia dan ditandatangani pada 9 Juli 1963 di mana disepakati adanya Plebisit yang menyebutkan bahwa rakyat di Kalimantan Utara diberikan hak menentukan pendapatnya terhadap pembentukan federasi. Konsekuensinya Indonesia tidak akan mengganggu proses pembentukan Federasi Malaysia. Namun Federasi Malaysia akhirnya tetap dibentuk pada 29 Agustus 1963, padahal hasil plebisit belum diketahui. Akibat konfrontasi tersebut, Malaysia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Indonesia pada 17 September 1963. Hal ini semakin membuat ‘panas’ Indonesia. Puncak dari “kemarahan” Indonesia adalah kebijakan fenomenal Presiden Soekarno yang menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan di PBB (Perhimpunan Bangsa-Bangsa) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-HanoiPeking (kini Beijing)-Pyong Yang. Ibid., h. 34-35. 48 “ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.countrystudies.com/indonesia/asean.html.
adalah memberi prioritas pada kawasan Asia Tenggara dan normalisasi hubungan bilateral maupun internasional dengan berbagai pihak. Keduanya merupakan satu rangkaian kebijakan yang saling terkait. Kebijakan normalisasi hubungan ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim kondusif di kawasan Asia Tenggara, sehingga akan lebih mudah bagi Indonesia untuk mendorong kerjasama yang lebih maju dan konstruktif. Salah satunya adalah kebijakan untuk menormalisasi hubungan dengan Malaysia yang beku akibat kebijakan konfrontasi. Normalisasi ini dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1966, ketika Menlu Adam Malik dan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak bertemu di Jakarta dan menandatangani persetujuan normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.49 Membaiknya hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, serta Malaysia dengan Filipina, memicu munculnya pemikiran untuk membangun sebuah perhimpunan kerjasama regional baru di Asia Tenggara. Beberapa pendapat yang mengemuka adalah menghidupkan kembali ASA. Namun hal ini ditolak mentah-mentah oleh Indonesia yang masih berpendapat ASA adalah kepanjangan tangan dari SEATO buatan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia tidak menginginkan status keanggotaan baru dari perhimpunan yang sudah ada. Sebagai jalan keluar, Indonesia mengajukan usul untuk membentuk suatu perhimpunan regional yang semua anggotanya memiliki status dan hak yang sama. Pada awalnya, nama yang diusulkan bagi perhimpunan tersebut adalah SEAARC (South East Asian Association for Regional Cooperation). Namun hal ini ditolak oleh Menlu Thailand Thanat Khoman yang berpendapat nama tersebut mirip dengan kata shark (ikan hiu). Akhirnya, nama usulan Menlu Adam Malik, yakni
49
James Luhulima, Asia Tenggara, h. 40-41.
ASEAN (Association of South East Asian Nations) disepakati sebagai nama bagi perhimpuan regional baru di Asia.50 Negara-negara pendiri ASEAN tersebut menginginkan keikutsertaan seluruh negara di Asia Tenggara untuk bergabung dalam perhimpunan ini. Akan tetapi situasi politik saat itu sangat tidak memungkinkan. Upaya yang pernah dilakukan oleh Indonesia untuk mewujudkan keikutsertaan negara lain adalah
diplomasi terhadap
Myanmar dan Kamboja. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan image ASEAN sebagai organisasi pro-Barat, dikarenakan seluruh pendirinya adalah negara-negara nonkomunis. Namun, Myanmar dan Kamboja menolak bergabung dan tetap memilih untuk netral, namun tidak akan menentang pembentukan ASEAN. Akhirnya, setelah melalui serangkaian proses panjang, pada tanggal 8 Agustus 1967 bertempat di Bangkok, Thailand, draft Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Adam Malik dari Indonesia, Perdana Menteri (PM) Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam.51 Para negara tersebut tercatat sebagai pendiri sekaligus anggota pertama dari perhimpuan regional baru di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya terkini, anggota ASEAN telah mencapai sepuluh negara Asia Tenggara yakni para negara pendiri dan negara-negara anggota baru, yakni Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja.52 Berangkat dari konteks kelahirannya, ada tiga alasan utama yang melatar belakangi berdirinya perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan
50
Ibid., h. 42. Ibid., h. 35. 52 Brunei Darussalam bergabung di ASEAN pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam menjadi anggota ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Laos dan Myanmar bergabung pada tanggal 23 Juli 1997 dan Kamboja menjadi negara terakhir yang bergabung pada tanggal 30 April 1999. S. Pusphanathan, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, h. 1. 51
pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan forum bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.53 Satu hal yang disadari semua pihak dalam pembentukkan ASEAN, bahwa setiap kerjasama regional tidak akan berguna dan bertahan lama, jika tidak didasarkan pada landasan yang kuat. Yang dimaksud dengan landasan yang kuat adalah bidangbidang yang paling sedikit mengandung unsur perbedaan dan paling banyak mengandung kepentingan bersama, serta yang berkemampuan menunjang bidang lainnya.54 Keputusan untuk menentukkan bidang ekonomi sebagai dasar ASEAN mencerminkan jauhnya pandangan serta penyesuaian dengan kondisi ideal masa itu. Bagaimana tidak, konfrontasi antar negara baru berakhir, hubungan antar negara masih diselimuti sikap kecurigaan. Oleh karena itu bidang ekonomi merupakan pilihan tepat pada saat itu. Kemudian diikuti dengan bidang budaya mengingat dalam bidang itu tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Namun yang perlu ditegaskan, hal tersebut akan berubah mengikuti kebutuhan dan situasi dunia internasional yang terus berubah. Dalam perjalanannya, ASEAN pernah terancam bubar oleh dua permasalahan besar, yakni; pertama, krisis pada bulan Maret 1968. Saat itu muncul ketegangan dalam hubungan Malaysia dan Filipina akibat sebuah krisis yang disebut sebagai The Corregidor Affairs.55 Pokok persoalannya adalah adanya isu pemanfaatan Pulau Corregidor sebagai tempat pemusatan latihan tempur bagi satuan militer khusus Muslim oleh pemerintah Filipina untuk menyerang wilayah Sabah. Maka, meledaklah konflik diplomatik yang 53
James Luhulima, Asia Tenggara, h. 35. M. Sabir, Politik Bebas Aktif, h. 224. 55 James Luhulima, Asia Tenggara, h. 36. 54
puncaknya adalah pemutusan hubungan dilomatik kedua negara pada tahun 1968. Namun, atas peran besar Indonesia melalui Presiden Soeharto sebagai mediator, konflik ini dapat diatasi. Terbukti, pada bulan Desember 1969, kedua negara menyepakati pemulihan hubungan diplomatiknya. Ancaman kedua yakni, ketika Pemerintah Singapura menjatuhkan hukuman mati terhadap dua anggota KKO (Korps Komando AL) Indonesia yang tertangkap saat melakukan sabotase di era konfrontasi Indonesia-Malaysia pada bulan Oktober 1968.56 Pada titik inilah,
Indonesia
menunjukkan sikap
kedewasaan dan
kepemimpinannya dengan tidak melakukan tindakan gegabah. Proses penyelesaian masalah ini dijalankan tetap dalam koridor diplomasi. Hal ini dilakukan agar kelangsungan hidup ASEAN tetap terjaga. Setelah sempat beku, hubungan kedua negara membaik setelah pada bulan Mei 1973, PM Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia dan melakukan acara tebar bunga di kedua makam prajurit yang digantung di Singapura. Walaupun seringkali diguncang dengan memanasnya hubungan antar negara anggota, ASEAN sejak pendiriannya sampai dengan dekade 1990-an mendapatkan pujian dari dunia internasional sebagai salah satu organisasi kawasan yang sukses di kalangan negara-negara berkembang. ASEAN dinilai mampu menyatukan negaranegara di kawasan yang dikenal sebagai Balkan of the East (Balkan di Timur) atau kawasan yang penuh pergulatan,57 sebagaimana yang dipaparkan di atas. Yang unik dari organisasi ASEAN adalah selama empat puluh tahun, keberadaan dan bentuk kerja sama berlangsung efektif meski tanpa konstitusi, anggaran dasar atau piagam resmi. ASEAN bergerak hanya berdasarkan dokumen pendirian yakni Deklarasi Bangkok 1967. Sementara itu, deklarasi hanyalah 56 57
Ibid., h. 37. “Dulu, ASEAN Pernah Berjaya”, Republika, 22 November 2007, h. 16.
merupakan pernyataan politik yang tidak mengikat dan memerlukan ratifikasi. Karena itu kerja sama ASEAN bersifat longgar dan informal, berdasarkan musyawarah atau konsensus dan sering dijuluki sebagai “The ASEAN Way”. Hal ini berlangsung sampai dengan adanya Piagam ASEAN yang baru disepakati pada KTT ASEAN XIII di Singapura, tahun 2007 lalu. Meski demikian, ASEAN mampu menciptakan dan menjaga
perdamaian
serta
stabilitas
regional.
2. Posisi ASEAN dalam Politik Luar Negeri Indonesia Kepemimpinan Soeharto sejak era Orde Baru telah menggariskan bahwa ASEAN merupakan soko guru politik luar negeri Indonesia. Sejak awal Soeharto berpendapat kawasan Asia Tenggara yang stabil, aman, damai dan kondusif ditinjau dari berbagai aspek merupakan modal dasar yang penting untuk pembangunan di dalam negeri. Asia Tenggara yang diidam-idamkan Soeharto ialah suatu Asia Tenggara yang integrated, yang merupakan benteng dan pangkalan paling kuat untuk menghadapi pengaruh atau intervensi dari luar. Soeharto memberi prioritas utama pada hubungan yang dekat dan harmonis pada penggalangan kerja sama yang mantap dengan negara tetangga, sebab di sinilah terletak kepentingan nasional paling vital. Karena itu, penciptaan kestabilan dan kerja sama regional di Asia Tenggara akan mendapat prioritas tinggi. Dengan demikian, peran aktif Indonesia dalam mengupayakan pembentukkan ASEAN sebagai wadah tunggal di kawasan Asia Tenggara dapat dimaknai sebagai implementasi dari pandangan strategis Asia Tenggara dan ASEAN dalam kacamata kebijakan politik luar negerinya. Hal ini sejalan dengan pendekatan lingkaranlingkaran konsentris yang digunakan oleh Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya.
Sesuai dengan pendekatan lingkaran konsentris ini, kawasan Asia Tenggara merupakan lingkaran konsentris pertama Indonesia. Sebagaimana yang terdapat dalam tujuan nasional, Departemen Luar Negeri sebagai pemegang otoritas eksekusi kebijakan luar negeri dari pemerintah Indonesia, menekankan pada kerja sama diplomatik dengan negara-negara di dunia internasional dalam seri lingkaran konsentris (concentric circles). Adapun yang menempati lingkaran pertama adalah ASEAN yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya.58 Sejak semula, pemerintah Indonesia memberikan prioritas utama kepada hubungan harmonis dengan negara-negara tetangga untuk menciptakan kestabilan dan kerjasama regional di Asia Tenggara. Indonesia berkeinginan dan berkeyakinan bahwa Asia Tenggara dapat berkembang menjadi kawasan yang mandiri dan cukup kuat bertahan dari pengaruh negatif atau gangguan dari luar, mengingat luasnya wilayah, besarnya kekayaan alam dan potensi tenaga kerja yang tersedia di kawasan ini. Sejalan dengan alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menggariskan bahwa salah satu tujuan menyelenggarakan hubungan dan politik luar negeri adalah untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu melindungi kepentingan bangsa dan negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut menjaga perdamaian dan ketertiban dunia. Selain itu, kepentingan nasional Indonesia diterjemahkan ke dalam visi Departemen Luar Negeri yang menegaskan poin tentang; 58
Lingkaran konsentris kedua adalah ASEAN + 3 (Jepang, China, Korea Selatan). Di luar hal tersebut, Indonesia juga mengadakan hubungan kerja sama yang intensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang merupakan partner utama ekonomi Indonesia. Dalam lingkaran konsentris yang ketiga, Indonesia mengakui pentingnya menggalang kerja sama dengan like-minded developing countries. Itulah yang menyebabkan Indonesia secara aktif ikut serta dalam keanggotaan Non-Aligned Movement (NAM) atau Gerakan Non-Blok, the Organization of the Islamic Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam, the Group of 77 (G-77) dan the Group of 15 (G-15). Moenir Ari Soenada, “Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”, diakses pada tanggal 9 Desember 2007 dari www.deplu.go.id.
peningkatan peranan dan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN; peran aktif di Asia-Pasifik; membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika serta hubungan antar sesama negara berkembang; memperkuat hubungan dan kerja sama bilateral, regional dan internasional di segala bidang; meningkatkan prakarsa dan kontribusi Indonesia dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional; serta memperkuat multilateralisme. 59 Sejak awal berdirinya ASEAN, Indonesia telah mempromosikan suatu bentuk kehidupan masyarakat regional di Asia Tenggara yang menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghormati, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, penolakan penggunaan kekerasan serta konsultasi dan mengutamakan konsensus dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu contoh betapa besar peran Indonesia dalam membidani kelahiran ASEAN ini dinyatakan oleh Mely Caballero-Anthony dari Institute of Defence and Strategic Studies di Singapura, bahwa mekanisme pengambilan keputusan di ASEAN dijiwai semangat musyawarah atau diterjemahkan sebagai consultation dan mufakat atau consensus.60 Sebuah praktik yang berciri khas pedesaan di Indonesia. Selain itu, ahli Amerika Serikat, Bernard K. Gordon (dalam The Dimension of Conflict in South East Asia) mengatakan kerjasama regional Asia Tenggara; tanpa Indonesia, usaha apapun di kawasan itu tidak akan lebih dari hal yang sambil lalu saja. Dengan partisipasi Indonesia, usaha baru dalam kerjasama regional akan merupakan langkah raksasa ke arah stabilitas.61 Hal ini ditopang oleh kedudukan Indonesia yang strategis sebagai negara yang menempati separuh dari wilayah Asia
59 “Tujuan Politik Luar Negeri”, diakses pada tangggal 9 Desember 2007 dari www.deplu.go.id,. 60 “Dulu, ASEAN Pernah Berjaya”, h. 16. 61 M. Sabir, Politik Bebas Aktif, h. 216.
Tenggara, penduduknya terbanyak dan ditambah dengan kekayaan alamnya yang terlengkap. Salah satu penggambaran menarik mengenai pentingnya posisi Indonesia dalam ASEAN semasa kepemimpinan Presiden Soeharto adalah; “Dalam kurun waktu yang cukup lama, Indonesia dan mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai pemimpin atau big brother ASEAN. Pada masa itu, dalam setiap persidangan yang digelar ASEAN, maka sikap yang diambil indonesia pada umumnya kemudian diadopsi menjadi sikap bersama ASEAN. Indonesia kemudian menjadi negara yang paling berpengaruh di kawasan, sehingga -tercatat dalam sejarah lahirnya APEC- Indonesia menjadi penentu keberlangsungan gagasan pembentukan organisasi kerja sama perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik tersebut. APEC lahir setelah Indonesia secara eksplisit menyatakan dukungannya, yang kemudian diikuti oleh semua negara anggota ASEAN lain”.62
Salah satu peran penting Indonesia dalam rangka mempertahankan dan menjaga stabilitas regional adalah dengan berpartisipasi aktif di ASEAN. Dalam setiap partisipasinya, Indonesia selalu menekankan dan memprioritaskan cara-cara damai (confidence building measures) dalam menyelesaikan segala macam bentuk konflik yang terjadi dengan tetap berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri bebas aktif. Selain itu secara konsisten terus mendukung setiap usaha menjaga perdamaian di kawasan dengan memperhatikan prinsip-prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah dan kedaulatan negara. Terkait kepemimpinan Indonesia di dalam ASEAN, dapat dikemukakan bahwa berdasarkan kondisi objektif, potensi kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia Tenggara masih tetap besar. Namun Indonesia berkeyakinan bahwa kepemimpinan yang bijak adalah kepemimpinan yang tidak dipaksakan, melainkan yang diraih melalui kualitas diplomasi dan kontribusi konkrit Indonesia kepada kawasan Asia Tenggara. Dalam kaitan ini, dapat dikatakan bahwa sejak 1997/1998,
62
Ahmad Dahlan, “Kepemimpinan Indonesia di ASEAN”.
dengan dicurahkannya perhatian pada proses reformasi politik dan penanggulangan krisis ekonomi dalam negeri, telah terdapat dampak yang kurang menguntungkan terhadap peran Indonesia dalam ASEAN. Namun demikian, seiring dengan pemulihan kondisi dalam negeri, maka dalam kurang lebih dua tahun terakhir, Indonesia telah mampu meningkatkan kembali perhatiannya kepada ASEAN. Upaya-upaya untuk meningkatkan peran Indonesia di ASEAN terus dikembangkan. Bagi politik luar negeri Indonesia, ASEAN berfungsi sebagai kendaraan utama untuk melaksanakan hubungan luar negeri atau kerja sama antar negara-negara kawasan Asia Tenggara dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Melalui ASEAN, Indonesia juga dapat memproyeksikan norma dasarnya –prinsip regional resilience and non-interference- terhadap wilayah sekitar kawasan. Oleh karena itu, lingkungan yang kondusif dapat diciptakan secara kolektif untuk kemajuan ekonomi bersama.63 Walaupun terdapat perbedaan budaya, kondisi geografis, sistem politik dan tingkat kesejahteraan, negara-negara anggota ASEAN telah menunjukan kesamaan itikad dalam mengutamakan kerja sama untuk mencapai keuntungan dan kemakmuran bersama. Berdasarkan hal ini, Indonesia berpandangan ASEAN di era globalisasi harus dapat membangun dan memelihara kerja sama yang lebih luas dan efektif untuk memperoleh kemajuan yang subtantif dalam bidang politik, keamanan, ekonomi serta sosial dan budaya di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan kondisi alam geografis, kemampuan ekonomi dan kemauan politiknya untuk bergabung dalam proses regional, Indonesia akan terus memainkan peran strategis demi kemajuan dan terciptanya integrasi ASEAN. Peranan Indonesia ini diperkuat dengan ASEAN Community sebagai pilar regional yang utama di masa depan.
63
Moenir Ari Soenada, “Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”.
B. Profil Singkat ASEAN Community 1. Pengertian Umum ASEAN Community Dalam khazanah ilmu sosial, terminologi komunitas merujuk pengertian nilainilai bersama, norma-norma, dan simbol-simbol yang memberi identitas atau perasaan kekitaan (sense of we-ness atau we feeling). Karena itu, secara sederhana, istilah pembangunan komunitas dapat diartikan sebagai pembangunan perasaan kekitaan. Sedangkan dalam disiplin ilmu hubungan internasional, pembangunan komunitas sering dianggap kerja raksasa. Alasan utamanya karena pembangunan komunitas menyiratkan upaya meruntuhkan keyakinan kalangan pemikir realis yang menyatakan, logika fundamental yang mengatur hubungan antarnegara di tataran internasional adalah anarki. Menurut kalangan realis, norma-norma, simbol-simbol, dan identitas kebersamaan hanya dapat diwujudkan pada tataran nasional, bukan pada tataran internasional.64 Mengacu pada pernyataan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda, -selaku Ketua KTT ASEAN saat itu,65 hakikat dari suatu ASEAN Community adalah terwujudnya suatu integrasi penuh kawasan yang damai dan sejahtera. Komunitas ASEAN tersebut akan ditandai dengan semakin besarnya interaksi bidang politik dan keamanan. Adanya pasar tunggal dan basis produksi dengan aliran bebas barang, jasa, modal, dan orang. Terwujudnya masyarakat yang peduli dan berbagi, yang menitikberatkan pada pembangunan sosial, pendidikan dan pengembangan manusia, kesehatan masyarakat, kebudayaan dan informasi, serta perlindungan lingkungan.
64
Makmur Keliat, “Pembangunan Komunitas ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www2.kompas.com/kompas-cetak/0412/01/opini/1407756.htm. 65
“40 Tahun ASEAN, Komunitas Harus Jadi Kepentingan Indonesia”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.indonesiaseoul.org/ indonesia/rubrik/view.php?kat=7&id=66.
Oleh karena itu, pembentukan ASEAN Community yang ditetapkan pada KTT IX di Bali tahun 2003 merupakan langkah raksasa dalam konteks meneguhkan rasa kekitaan (sense of we-ness) sebagai sebuah komunitas masyarakat dan bangsa di kawasan Asia Tenggara. Untuk menuju pada tujuan tersebut, ASEAN Community ditopang dengan tiga pilar, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Adapun para penanda tangan Bali Concord II saat itu adalah Presiden Megawati Soekarnoputri, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, PM Singapura Goh Chok Tong, PM Thailand Thaksin Shinawatra, Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, PM Vietnam Phan Van Kai, PM Kamboja Hun Sen, PM Laos Bounyang Vorachit dan PM Myanmar Khin Nyunt.66 Dalam pengertian umum, ASEAN Community akan terwujud dengan ditopang oleh tiga pilar, yakni kerjasama politik dan keamanan, kerjasama ekonomi dan kerjasama sosial dan budaya di mana ketiganya berperan untuk mendekatkan pada tujuan untuk mewujudkan kawasan yang damai, stabil dan sejahtera. Namun demikian, perlu ditekankan di sini bahwa kesemua itu baru merupakan langkah awal mengingat implementasi atau pemberlakuan ASEAN Community baru akan diberlakukan pada tahun 2015 mendatang. Karena itu, sampai sejauh ini proses pembangunan berbagai elemennya masih dan dan akan berlangsung. Sejak disepakati pada KTT ASEAN IX di Bali tahun 2003, telah berlangsung proses penyempurnaan dari ASEAN Community ini, yakni; KTT ASEAN X di Vientiane, Laos tahun 2004 menyepakati Plan of Actions (PoA) untuk ASC dan
66
“Declaration of Bali Concord II”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.aseansec.org.
ASCC.67 Kesepakatan program dan sektor prioritas dalam integrasi ASEAN dan menyepakati implementasi AEC pada tahun 2020 secara penuh. Pada KTT ASEAN XI di Kuala Lumpur tahun 2005 melahirkan Deklarasi Kuala Lumpur untuk penetapan Piagam ASEAN. KTT ASEAN XII di Cebu, Filipina pada Januari 2007 menyepakati poin penting mengenai percepatan implementasi ASEAN Community dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.68 Dan akhirnya, pada KTT ASEAN XIII di Singapura, November 2007 lalu, Piagam ASEAN ditanda tangani. Sejauh ini, perkembangan menuju ASEAN Community terus berjalan dalam proses diplomasi dengan kerangka kerjasama yang kian kokoh. Tentu di luar dari berbagai riak-riak hubungan bilateral antar negara yang seringkali memanas.
2. ASEAN Security Community (ASC) Dalam konteks komunitas politik dan keamanan, yang ingin dicapai adalah ASEAN akan menyelesaikan perbedaan di antara negara anggota bukan dengan cara kekerasan atau dengan ancaman penggunaan kekerasan. ASC ditujukan untuk membangun sebuah kawasan yang hidup dalam damai dengan lingkungan yang demokratis dan harmonis. Selain itu, ASC ini juga bukanlah merupakan pakta pertahanan ASEAN, tetapi lebih merupakan sebuah mekanisme kerjasama politik dan keamanan untuk mencegah penggunaan kekuatan fisik atau militer dalam menyelesaikan permasalahan di internal ASEAN. Adapun rencana aksi (Plan of Actions) untuk mewujudkan ASC, yakni; mulai dari pembangunan politik (seperti menciptakan lingkungan yang adil, harmonis dan demokratis), pembentukan norma (dengan memperkuat rezim Treaty of Amity of
67
Dian Triansyah Djani, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th Anniversary”. h. 1. 68 Ibid., h. 1.
Cooperation dan membentuk Piagam ASEAN), hingga pencegahan konflik, resolusi konflik dan pembangunan perdamaian pasca konflik.69
3. ASEAN Economic Community (AEC) Pencapaian dalam konteks komunitas ekonomi adalah pencapaian Visi ASEAN 2020, yang akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Hal tersebut melahirkan aliran barang jasa dan investasi yang bebas dan aliran modal lebih bebas sehingga menjadi lebih kuat, dinamis, dan kompetitif secara ekonomi dalam pasar global. Bentuk konkret dari AEC ini ditandai dengan adanya FTA (Free Trade Area) di ASEAN mulai tahun 2003. Adapun rencana aksi (Plan of Actions) untuk mewujudkan AEC, yakni; dicanangkan agenda kerja menyeluruh, mulai dari FTA (Free Trade Area), perdagangan barang (seperti menyelesaikan skema rules of origins, transparansi dan tindakan
non tarif),
jasa (melalui tindakan
liberalisasi),
menyeimbangkan
pembangunan ekonomi, meminimalisir kemiskinan, investasi, hingga menyentuh masalah hak milik intelektual dan mobilitas modal.70
4. ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Dalam konteks komunitas sosio-kultural yang ingin dicapai ASEAN adalah membangun masyarakat yang peduli (building caring society). Adapun rencana aksi (Plan of Actions) untuk mewujudkan ASCC, yakni; mulai dari upaya menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan kesetaraan (antara lain melalui pembukaan pendidikan dasar seluas-luasnya dan kesetaraan jender), mengelola dampak sosial dari integrasi
69 70
Ibid., h. 1. Ibid., h. 1.
ekonomi (misalnya melalui pembentukan pasar tenaga kerja yang efisien, memperkuat sistem asuransi, menangani dampak liberalisasi pada kesehatan). Pada sisi lain juga mempromosikan sustainability lingkungan hidup (antara lain melalui operasionalisasi ASEAN Center for Transboundary Haze Pollution Control, memperlambat laju kerusakan keanekaragaman hayati). Memperkuat kohesi sosial regional untuk memperkuat identitas ASEAN (antara lain melalui dialog antarbudaya peradaban dan agama, dan mendorong pembentukan sikap bersama ASEAN pada berbagai forum internasional).71
71
Ibid., h. 1.
BAB IV POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM PROSES PEMBENTUKAN ASEAN COMMUNITY
A. Kepentingan-Kepentingan Indonesia Kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN Community dilandasi oleh kepentingan nasionalnya. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi kedaulatan negara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, melindungi keselamatan dan kehormatan bangsa, dan ikut serta secara aktif dalam usaha-usaha perdamaian dunia. Oleh sebab itu, persatuan bangsa dan keutuhan kesatuan wilayah Indonesia merupakan geopolitik bangsa Indonesia. Geopolitik tersebut berkembang dalam dua dimensi pemikiran dasar, yakni kewilayahan sebagai suatu realita dan kehidupan masyarakat sebagai suatu fenomena hidup.72 Kepentingan ini dirumuskan dalam upaya Indonesia mengembalikan posisinya dalam konstelasi politik regional dan internasional. Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa kepentingan yang penulis tangkap dari upaya Indonesia mendorong pembentukkan ASEAN Community ini adalah:
1. Stabilitas Politik, Keamanan dan Ekonomi. Salah satu tujuan politik luar negeri Indonesia adalah mewujudkan dan memelihara lingkungan kawasan yang stabil, aman dan mengarah pada kemakmuran bersama. Hanya dengan lingkungan kawasan yang kondusif, Indonesia dapat 72
Tim Dephan RI, “Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia”, diakses pada tanggal 16 Februari 2008 dari http://www.dephan.go.id/buku_putih/bab_iv.htm
berkonsentrasi untuk menata kehidupan politik dan memulihkan kehidupan ekonomi nasional yang sedang terpuruk. Oleh karena itu, tidak heran jika ASEAN di tempatkan sebagai
pilar utama politik luar negeri Indonesia. Hal ini sebagai bagian dari
perwujudan kepentingan nasional yang kemudian terumuskan dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia. Pengaruh globalisasi yang sulit dibendung memungkinkan untuk melemahkan simpul-simpul persatuan dan kesatuan bangsa maupun ketahanan nasional. Demikian pula dengan kondisi dalam negeri yang tidak stabil dan permasalahan multidimensi yang dihadapi akibat krisis nasional yang belum teratasi, menjadi peluang bagi peningkatan
gangguan terhadap
keamanan
nasional. Peningkatan gangguan
memberikan dampak negatif yang cukup serius bagi kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Gangguan terhadap ketertiban publik seperti teror, konflik komunal yang berlatar belakang primordial (etnis dan agama) radikalisme, kerusuhan atau pembangkangan masal, perdagangan narkoba, perjudian dapat meningkat dan berkembang
menjadi ancaman terhadap kepentingan nasional.73 Kondisi ini
kemudian diperparah dengan tindakan kejahatan lintas batas, separatisme yang ada di berbagai negara serta serangan terorisme yang semakin merusak stabilitas nasional dan regional. Berbagai persoalan tersebut semakin merusak citra Indonesia sebagai negara yang aman dan stabil. Terlebih implikasi utama dari hal tersebut adalah sulitnya untuk keluar dari lingkaran krisis ekonomi nasional. Stagnasi roda ekonomi nasional dipersulit dengan belum adanya mekanisme riil dalam ASEAN yang menjamin perlindungan dan stabilitas regional. Sekalipun telah ada komitmen untuk melaksanakan AFTA (ASEAN Free Trade Area) dalam 73
Ibid,.
kerangka kerjasama ekonomi, namun hal tersebut tidak berjalan pada proses implementasinya. Sehingga yang tampak adalah kesibukan masing-masing negara dalam menggerakkan ekonominya. Hal ini menyebabkan fundamental pertahanan ekonomi regional menjadi sangat rapuh. Padahal sebagaimana rumus tradisional bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai dengan kondisi negara atau kawasan yang stabil secara politik dan keamanan. Oleh karena itu, berpijak pada pemikiran di atas, Indonesia mendorong pembentukkan ASEAN Community yang ditopang oleh tiga pilar utama yang saling terkait yakni ASC, AEC dan ASCC. Pembentukkan ketiga pilar tersebut di dasari dengan pemikiran bahwa penguatan kerjasama ekonomi, tanpa adanya jaminan keamanan, maka perekonomian tidak akan berjalan baik begitu pula sebaliknya, keamanan tanpa didukung pembangunan ekonomi juga akan melahirkan masalah baru. Salah satu poin penting dalam AEC ini adalah penyeimbangan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut bertujuan untuk memperkecil jurang perbedaan ekonomi antar angggota sehingga mampu membentuk sabuk stabilitas ekonomi regional dengan basis ekonomi yang lebih kokoh. Dengan demikian, integrasi kerjasama politik, keamanan dan ekonomi mampu menciptakan kawasan yang stabil dan nyaman bagi pertumbuhan ekonomi.
2. Peran Regional Power Center di ASEAN Sebagai negara pelopor dan pendiri ASEAN, Indonesia memang memiliki posisi penting dalam konstelasi hubungan kerjasama di ASEAN.
Proses
kepemimpinan Indonesia, baik secara tradisional maupun dalam jabatan struktural,
telah berlangsung lama. Namun demikian, terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berubah menjadi krisis multidimensional pada tahun 1998 menjadikan Indonesia kehilangan peran tersebut. Praktis, sejak saat itu bargaining position Indonesia di mata ASEAN menjadi lemah. Proses kepentingan Indonesia untuk kembali menjadi regional power center dapat dilihat dari kepemimpinannya sebagai Ketua Standing Committee ASEAN pada periode Juli 2003 sampai dengan Juli 2004. Dalam periode tersebut Indonesia terbukti mampu menjadi sosok penting dengan memaksimalkan kepemimpinan di kawasan ASEAN. Pencapaian itu dibuktikan dengan lebih produktif menghasilkan pemikiran dan berbagai konsep baru, nyata dan realistis sehingga ASEAN bukan hanya sekedar simbol saja. Namun, konsep yang akan menghasilkan akselerasi demi kemajuan ASEAN. Terlebih dalam hal ini Indonesia mendapat otoritas lebih luas dengan jabatan resminya tersebut. Pada momentum ini pula menjadi sarana penegasan bagi Indonesia untuk menempatkan ASEAN sebagai pilar utama politik luar negerinya. Setelah mengkaji perjalanan ASEAN sejak berdiri hingga saat Indonesia menjabat Ketua Standing Committtee ASEAN, beberapa persoalan utama yang diinventarisir oleh Indonesia adalah persoalan kerjasama politik dan keamanan yang masih harus di tingkatkan, kerjasama di bidang ekonomi yang belum begitu kuat serta penguatan proses integrasi masyarakat ASEAN yang masih terhalang oleh kurangnya kerjasama di bidang sosial dan budaya. Secara khusus telah dicatat oleh Indonesia, bahwa permasalahan politik dan keamanan di antara negara anggota ASEAN selalu tidak pernah berhasil diselesaikan secara terbuka, dikarenakan adanya kecenderungan ASEAN selama ini bersifat ”swept the issues under the carpet” antara sesama negara anggota.
Selain itu fokus kerjasama ASEAN selama ini cenderung pada masalah bidang ekonomi, padahal menurut Indonesia perekonomian dan keamanan adalah terkait satu sama lain. Sehingga jika salah satu itu tidak ada maka kedua-duanya tidak akan tercapai. Artinya memperkuat keamanan tanpa memperkuat perekonomian akan siasia.74 Oleh karena itu, diplomasi Indonesia dengan mendorong pembentukkan ASC sebagai pilar penguatan kerjasama menuju ASEAN Community yang kemudian diikuti dengan pembentukkan AEC dan ASCC sebagai pilar penopang lainnya, merupakan sebuah terobosan penting dan maju bagi ASEAN. Gagasan dan diplomasi Indonesia tersebut menjadikan negeri ini semakin diakui perannya, terlebih lagi jika ASEAN telah mampu menjadi motor kelembagaan yang solid untuk menggerakkan iklim demokratisasi di kawasan. Selain itu gagasan ini merupakan hal luar biasa dialami oleh ASEAN pada perkembangannya, karena dibalik ide tersebut ASEAN dapat kembali memformulasikan ulang kebijakannya dan menyegarkan kembali kerjasamanya melalui proses pembangunan politik di kawasan guna mengatasi perbedaan sistem politik. Dengan pembentukkan ASEAN Community, Indonesia mendorong ASEAN yang demokratis, pengelolaan pemerintahan yang bersih yang menghargai dan melindungi HAM, serta memiliki norma-norma pergaulan antar negara yang lebih terbuka dan maju namun juga dihormati bersama.75 Oleh karena itu, melalui konsep besar ASEAN Community yang digagas Indonesia menjadikan negeri ini mampu meraih kembali kepemimpinannya di kawasan regional. Sebagaimana yang diakui oleh Menlu Hasan Wirayuda,76 bahwa pembentukkan ASEAN Community merupakan lompatan sejarah bagi ASEAN yang akan menjadi cetak biru integrasi regional hingga tahun 2020, karena di dalamnya
74
“Peringatan untuk KTT ke-9 ASEAN di Bali,” Kompas, 5 Oktober 2003. “ ASEAN’s Collective Leadership,” The Jakarta Post, 1 Oktober 2003. 76 “Peringatan untuk KTT ke-9 ASEAN di Bali.” 75
terdapat kerangka komperhensif untuk kerjasama politik dan keamanan, ekonomi dan sosial budaya. Sehingga kepentingan Indonesia pada skala regional sudah dapat tercapai dan diperkuat dengan diterimanya usulan pembentukkan ASEAN Community, khususnya ASC. Perlu juga dicatat bahwa terobosan Indonesia dan ASEAN dengan melahirkan ASEAN Community menjadi pintu utama dalam memuluskan langkah organisasi tersebut menyepakati Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang disepakati pada tahun 2007. Piagam ASEAN ini merupakan
landasan hukum (yuridiksi) kelembagaan
ASEAN pertama yang menjadikan organisasi ini memiliki pijakan hukumnya.
3. Pengembalian Citra Keterpurukkan citra Indonesia di mata dunia internasional sesungguhnya sudah dimulai sejak krisis ekonomi yang menerjang Indonesia di tahun 1997. Parahnya, krisis ekonomi ini kemudian menjadi bola salju yang kemudian semakin membesar dan mengekang Indonesia dalam penjara krisis multidimensi yang menyentuh seluruh sendi kehidupan negara dan masyarakat. Kurun waktu tiga tahun sejak tahun 1998 membuat dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia cukup memprihatinkan. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi tiga kali pergantian kepemimpinan nasional yang menggambarkan lembaga kepemimpinan nasional yang rapuh dan tatanan politik yang belum mapan. Lembaga supra dan infra struktur politik masih mencari tatanan politik yang tepat. Reformasi yang bertujuan untuk menegakkan kehidupan yang demokratis dan pemerintahan yang bersih dan baik, mendapat rintangan yang berat. Krisis ekonomi yang belum teratasi menimbulkan dampak terhadap bidang lain yaitu instabilitas
politik dan perekonomian nasional, serta gangguan keamanan yang cenderung meningkat. Sebagai ekses dari kekacauan politik dan keamanan, ekonomi Indonesia ikut terpuruk dan sulit untuk bangkit. Terlebih sektor ekonomi yang pertama kali menjadi penyakit krisis bangsa ini. Negara hampir gagal dalam upayanya memenuhi hak rakyat berupa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Tidak bergeraknya sektor riil ekonomi nasional berdampak pada gejolak di bidang sosial dan budaya. Dengan demikan, dalam menyikapi kondisi ini pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri77 melakukan beberapa upaya perbaikan di dalam dan luar negeri dengan melakukan peningkatan hubungan bilateral, regional maupun multilateral di berbagai negara. Perbaikan sektor dalam negeri ditujukan pada upaya pengembalian stabilitas keamanan nasional dari berbagai ancaman separatisme. Hal ini diwujudkan dengan adanya kebijakan penerapan status darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam yang belangsung selama satu tahun. Dalam status darurat militer tersebut secara serentak dilancarkan operasi militer terbatas dan berbagai kegiatan lainnya secara terpadu, yang bertujuan secepatnya memulihkan kehidupan masyarakat, tegaknya hukum, berjalannya fungsi pemerintahan dan terjaminnya keamanan. Dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme setelah tragedi serangan yang terjadi di Indonesia, pemerintahan Megawati semakin mengintesifkan upaya-upaya pencegahan terhadap aksi-aksi terorisme. Pada tataran politik luar negeri, Indonesia semakin keras menyuarakan bahwa perang terhadap terorisme harus dilakukan dengan membangun koalisi global yang komperhensif, dengan mekanisme PBB 77
Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden Indonesia menggantikan posisi KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang digulingkan melalui Sidang Istimewa MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pada tahun 2001. Sebelumnya Megawati adalah Wakil Presiden dan juga menjabat sebagai Ketua Umum PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang merupakan partai pemenang Pemilu 1999.
sebagai alat utama, yang melibatkan semua peradaban dan semua agama. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa jaringan terorisme bersifat lintas negara dan hanya dapat dikalahkan oleh jaringan kerjasama antar negara. Karena itu harus terus dibangun kerjasama internasional, baik secara bilateral, regional dan global. Keseriusan Indonesia dalam memberantas aksi terorisme ditandai dengan keberhasilan aparat keamanan negara menangkap pelaku peledakan Bom Bali Oktober 2002 sekaligus membongkar jaringannya. Hal ini sekaligus menjawab keseriusan Indonesia dalam usaha memberantas terorisme. Dengan keberhasilan ini mampu mendorong penguatan bargaining position Indonesia dalam konstelasi politik internasional. Proses pengembalian kepercayaan dunia internasional merupakan salah satu pijakan untuk memulihkan citra negara. Sejak saat itu, Indonesia terus membangun kemampuan mengatasi ancaman dan bahaya terorisme, dengan memanfaatkan berbagai forum kerja sama bilateral, regional dan global. Jauh sebelum Indonesia menjabat Ketua Standing Committee ASEAN pada tahun 2003, Indonesia telah melakukan diplomasi pro-aktif dalam bidang politik dan keamanan. Beberapa di antaranya seperti mendukung upaya ASEAN dalam mengantisipasi ancaman terorisme melalui langkah regional bersama, jauh sebelum serangan terorisme menghantam dunia melalui Tragedi WTC 11 September 2001, tragedi Bom Bali Oktober 2002 maupun peledakkan Bom Marriott Agustus 2003. Beberapa langkah politik Indonesia tersebut adalah: (1) ASEAN Declaration
on
Transnational Crime 1997, (2) Hanoi Plan of Action yang ditetapkan pada KTT ASEAN di Hanoi, Vietnam 1998, dan (3)
ASEAN Plan of Action to Combat
Transnational Crime 1999. 78
78
Moenir Ari Soenanda, “Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”.
Maka sejak tahun 2001, Indonesia turut mendorong deklarasi ASEAN untuk memerangi terorisme ”ASEAN Declaration on Join Action to Counter Terrorism” yang dihasilkan pada KTT ASEAN ke-VII di Brunei Darussalam pada November 2001. Selain itu terdapat beberapa upaya pendekatan kerja sama regional yang dilakukan Indonesia untuk semakin meyakinkan keseriusan Indonesia mengembalikan stabilitas politik dan keamanan yang pada akhirnya akan melahirkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang semakin membaik. Selain fokus pada masalah politik dan keamanan, upaya mengembalikan citra negara juga dilakukan dengan turut serta dalam berbagai kerja sama internasional di bidang ekonomi dan sosial budaya. Beberapa isu yang menjadi pembahasan Indonesia juga adalah pemberantasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, pemberantasan obat-obat terlarang, kejahatan lintas negara, serta penanganan beberapa virus penyakit seperti HIV/AIDS dan SARS. Perkembangan positif yang ditunjukkan Indonesia dengan diplomasi pro-aktifnya dalam berbagai forum dialog dan kerjasama internasional turut mendorong tumbuhnya semangat kebersamaan dan kepercayaan sesama anggota ASEAN. Indikasinya tampak dalam pertemuan tahunan para Menlu ASEAN di Phnom Penh, Kamboja pada bulan Juli 2003, yang menunjukkan gejala positif dengan pembahasan bersama atas beberapa persoalan sensitif dalam negeri negara anggota. Indonesia, pada pertemuan tersebut turut menyampaikan informasi seputar persoalan Aceh dan kebijakan darurat militernya. Hal ini menghasilkan kepercayaan terhadap Indonesia serta komitmen negara lain untuk mendukung integrasi nasional. Demikian pula dengan Myanmar yang turut menyampaikan informasi seputar upaya rekonsilisasi nasional, terutama seputar nasib Aung San Suu Kyi yang telah menjadi isu politik internasional. Beberapa kemajuan ini menunjukkan perkembangan ASEAN
yang mengarah pada proses menuju integrasi regional. Terlebih selama ini negaranegara anggota memilih untuk bungkam terhadap isu-isu domestiknya. Dengan berbagai pertimbangan serta di latar belakangi oleh berbagai upaya Indonesia untuk memulihkan citranya maka pada KTT ASEAN ke-IX di Bali pada 2003, Indonesia mendorong dibentuknya suatu ASEAN Community dengan pilar utamanya ASEAN Security Community sebagai bagian dari strategi dan kepentingan nasional untuk menciptakan kestabilan kawasan ASEAN. Hal ini secara langsung berdampak pada pemulihan citra Indonesia di mata dunia internasional, khususnya kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, sesungguhnya Indonesia telah mendorong upaya ASEAN menuju perdamaian, kestabilan disegala bidang dan kemakmuran sehingga negara anggota ASEAN dapat mewujudkan kawasan yang aman, stabil dan makmur.
B. Peranan Indonesia Gencarnya isu terorisme dan separatisme membawa persoalan yang rumit bagi Indonesia. Misalnya, perang terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini menjadi isu besar
mengenai perlindungan terhadap
kebebasan
sipil di tengah proses
demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.79 Terlebih, fakta yang tersaji di depan mata pada saat hampir bersamaan, pemerintah Malaysia dan Singapura memilih memberlakukan Undang-Undang ISA (Internal Security Act) yang sangat represif sebagai jalan untuk memerangi terorisme. 79
Philips. J Vermonte, Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri, dalam Bantarto Bandoro, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), h. 36.
Hal ini yang kemudian menjadikan komunitas civil society di Indonesia menjadi khawatir terhadap kemungkinan langkah politik domestik yang akan diambil pemerintahan Megawati. Namun demikian, kondisi tersebut menjadi suatu motivasi politik yang dikedepankan pemerintahan Megawati untuk menstabilkan politik dalam negeri. Ditambah dengan upaya serius dari pemerintah dalam upaya memberantas terorisme yang pada akhirnya menumbuhkan stabilitas nasional dan kepercayaan dari dunia internasional. Upaya Indonesia untuk bangkit dari “serangan” terorisme tersebut menghasilkan sebuah apresiasi positif, sehingga hal ini diyakini menjadi modal penting dalam penguatan basis politik luar negeri Indonesia. Hal tersebut dicanangkan sebagai pra-kondisi yang akan menunjang kebangkitan politik luar negeri Indonesia, khususnya cita-cita untuk mengembalikan peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Karenanya, pada saat itu, Megawati memberikan porsi yang besar bagi Departemen Luar Negeri (Deplu) untuk merancang langkah strategis untuk mewujudkan hal tersebut. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Deplu kemudian melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka meemproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.80
80
Ibid., h. 36.
Arah dan substansi politik luar negeri negara manapun pada akhirnya akan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar negeri. Indonesia tidak dapat menghindar dari keharusan menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Konsekuensi dari perubahan–perubahan tersebut adalah upaya merestrukturisasi politik luar negeri Indonesia. Sejak Januari 2002, Deplu menunjukkan komitmennya untuk membangun struktur kebijakan dan birokrasi baru. Tujuan restrukturusasi ini adalah untuk melibatkan seluruh sektor masyarakat Indonesia dalam profil diplomatik Indonesia.81 Proses pembenahan yang dilakukan Deplu ini merupakan bagian dari sikap responsif terhadap situasi politik dunia internasional yang berubah dengan cepat dan sangat dinamis. Karenanya, keputusan yang diambil pemerintahan Megawati dinilai sangat tepat dalam upaya untuk membangun pola dan perspektif baru politik luar negeri Indonesia. Perkembangan kondisi domestik Indonesia yang semakin menunjukkan gejala perbaikan merupakan momentum awal bagi penguatan peran politik luar negeri Indonesia. Ketika hal ini telah dirasa cukup kuat, maka Indonesia beranggapan bahwa prakondisi politik domestik telah cukup kuat untuk menopang kebijakan politik luar negeri Indonesia yang akan memfokuskan kepada ASEAN. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Indonesia bertujuan mengembalikan peran kepemimpinan regional ASEAN yang sejak krisis tahun 1998 lepas dari Indonesia. Dalam lingkup ASEAN, Indonesia mendapatkan momentum penting dalam upayanya memainkan peranan penting dalam kancah politik luar negeri, yakni posisi 81
Bantarto Bandoro, The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Bantarto Bandoro, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), h. 44.
Indonesia sebagai Ketua Standing Committee ASEAN pada periode Juli 2003 sampai dengan Juli 2004. Sebagai bagian dari strategi politik luar negeri Indonesia, peran kepemimpinan Indonesia yang secara tradisional telah diakui sebagai natural leader dari ASEAN mendapatkan legitimasi kelembagaan. Dengan demikian upaya Inonesia untuk memberikan sebuah dorongan besar untuk kemajuan ASEAN mendapatkan situasi, kondisi dan momentum yang ideal. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia yang telah lama concern pada upaya mewujudkan sebuah kerangka kerjasama yang lebih luas dalam bidang politik dan keamanan sebagai upaya menuju integrasi ASEAN, menggulirkan sebuah proposal pembentukkan ASEAN Security Community sebagai pelengkap dari kerjasama ekonomi ASEAN yang selama ini telah berjalan. Proses membangun keseimbangan antara bidang ekonomi dengan politik dan keamanan ini merupakan proyek besar Indonesia untuk menjadikan ASEAN lebih “bergigi”. Hal ini dikarenakan wilayah politik dan keamanan merupakan sektor yang sangat sensitif dan paling dihindari selama ini oleh negara anggota ASEAN. Dalam konteks kepentingan nasional, Indonesia berpandangan bahwa stabilitas kawasan merupakan pagar utama dalam mewujudkan stabilitas nasional. Fakta bahwa serangan terorisme dan jaringannya yang telah menggurita dan bersifat transnasional,
khususnya di Asia
Tenggara menyadarkan Indonesia
untuk
memperkuat pertahanan kawasan sebagai bagian pertahanan nasional. Selain itu, Indonesia juga termotivasi untuk menghasilkan sebuah lompatan besar bagi ASEAN yang akan dihasilkan di Bali, yang merupakan tempat penyelenggaraan KTT ASEAN ke IX pada 7-8 Oktober 2003. Berdasarkan
kajian
tersebut,
maka
Indonesia
meluncurkan
gagasan
pembentukan ASC sebagai proyek besar yang akan dibawa pada KTT ASEAN ke IX
di Bali. ASC adalah sebuah konsep komunitas yang menempatkan diplomasi sebagai first-liner pertahanan negara di masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk sebuah masyarakat Asia tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunanan kekerasan atau instrumen militer dalam menyelesaikan konflik.82 ASC juga dimaksudkan untuk mewujudkan Visi ASEAN 2020, -yang dilahirkan pada KTT ASEAN tahun 1997, di mana dimaksudkan untuk mengintegrasikan ASEAN. Sebagai sebuah proyek dan gagasan besar, maka proposal ASC ini kemudian dibawa oleh para diplomat Indonesia dalam bagian proses diplomasi dengan negara anggota ASEAN yang lain. Dengan status sebagai Ketua ASEAN Standing Committee, Indonesia mendapat keleluasaan untuk mengupayakan hal tersebut. Proposal ASC Indonesia ini kemudian mendapatkan respon positif serta bergulir menjadi konsep Bali Concord II. Konsep ini sendiri mengacu pada Bali Concord I yang telah dilahirkan pada KTT ASEAN di Bali tahun 1976. Dokumen utama dalam draf Bali Concord II, akan berisi konsep AEC, ASCC dan konsep yang digagas Indonesia, ASC. Hal ini membuktikan bahwa gagasan Indonesia menjadi multiplier effect sehingga mencakup bidang ekonomi dan sosial budaya. Konsep Bali Concord II sendiri sudah dirumuskan dan dibahas dalam berbagai pertemuan informal SOM (Special Official Meeting), antara lain di Lombok dan Jakarta pada September 2003, dan telah diputuskan pada pertemuan tingkat menteri luar negeri di New York, 29 September 2003. Pada SOM informal terakhir yang berlangsung 20-21 September di Jakarta,83 para wakil negara-negara ASEAN telah menyepakati keseluruhan aspek utama yang akan dimasukkan dalam Bali Concord II 82
Philips. J Vermonte, Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra
Diri, h. 38. 83
“Luncurkan Bali Concord II'', diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.balipost.com/BaliPostcetak/2003/10/4/b20.htm
diajukan untuk ditandatangani para pemimpin ASEAN dalam KTT pada 7-8 Oktober 2003. Pada tahap ini, sudah terlihat sebuah langkah maju dihasilkan oleh Indonesia dalam upayanya mendorong gagasan ASC. Kemudian, rangkaian persiapan KTT ASEAN IX dimulai pada Jumat, 3 Oktober 2003 dengan dilakukannya pertemuan tingkat pejabat tinggi untuk menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dihasilkan dalam pertemuan para kepala negara atau pemerintahan ASEAN pada 7-8 Oktober 2003. Pertemuan para pejabat ASEAN setingkat dirjen itu dipimpin oleh tuan rumah Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu Indonesia Makarim Wibisono, dan akan berlangsung hingga Sabtu, 4 Oktober 2003.84 Lalu pertemuan tingkat Menlu negara-negara ASEAN tanggal 5-6 Oktober 2003 menyepakati direkomendasikannya Bali Concord II untuk disahkan pada pertemuan pemimpin ASEAN pad 7-8 Oktober 2003. 85 Akhirnya, setelah melalui jalan panjang proses diplomasi dari satu forum ke forum, pada tanggal 7 Oktober 2003 Bali Concord II, -yang menggariskan pembentukkan ASEAN Community berdasarkan tiga pilarnya, yakni ASC, AEC dan ASCC, di tanda tangani oleh para pemimpin negara/pemerintahan negara anggota ASEAN. Presiden Megawati mengatakan, disahkannya deklarasi Bali Concord II merupakan bagian dari pernyataan kembali ASEAN sebagai satu kelompok negara di Asia Tenggara yang terkait dalam kemitraan, pembangunan dinamis, dan masyarakat yang peduli.86 Pada saat itu pula disepakati untuk menyusun rencana aksi yang akan di sepakati pada KTT ASEAN X di Vientiane, Laos, 2004 sebagai tindak lanjut dari Bali 84
Ibid,. “RI akan Usulkan Pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www2.kompas.com/utama/news/0308/27/021854.htm. 86 “Bali Concord II diTandatangani Siang Ini”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www2.kompas.com/utama/news/0308/27/021854.htm. 85
Concord II. Konsep ASEAN Community ini kemudian didorong maju selangkah ke depan dengan disetujuinya rencana-rencana aksi atau Plan of Actions (PoA). PoA merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan konsep ASEAN Community ini dalam ketiga bidangnya. Proses perumusan dan pembentukkan ASEAN Community dalam Bali Concord II merupakan buah dari diplomasi intensif dan negosiasi serta lobi kuat yang dilakukan oleh elemen Pemerintahan Indonesia dalam mendorong upaya ini. Pada saat itulah Indonesia menunjukkan prestasi dengan menjadikan ASEAN dari suatu organisasi yang bersifat loose menjadi suatu organisasi yang lebih mengikat (community). Pada titik ini sebenarnya Indonesia telah menunjukkan dirinya sebagai leader di dalam ASEAN. Dengan demikian, Indonesia telah berhasil mewujudkan tujuan nasionalnya untuk mengembalikan status kepemimpinan ASEAN. Hal ini kemudian berefek dengan mulai kembali pulihnya kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia dan posisi pentinganya dalam kawasan Asia Tenggara.
C. Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. 1. Peluang Sebagai negara utama yang mendorong pembentukan ASEAN Community, Indonesia menempatkan peluang-peluang yang akan didapat pada komponen penting implementasi kebijakannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari premis yang menyebutkan kepentingan nasional di atas politik luar negeri sebuah negara. Setidaknya, pemaparan kepentingan-kepentingan di atas telah memberikan gambaran awal mengenai berbagai peluang potensial yang dapat diperoleh Indonesia. Namun demikian, penulis melihat beberapa peluang potensial yang dapat dimanfaatkan Indonesia dari pembentukkan ASEAN Community ini.
Secara umum, peluang terbesar Indonesia adalah kembalinya pengakuan sebagai regional power center di ASEAN. Peluang ini semakin besar jika mengacu pada proses penyusunan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang menempatkan Indonesia sebagai negara perumus. Pada sisi lain, sebagai tuan rumah dari kantor Sekretariat ASEAN, menjadikan Jakarta secara otomatis akan menjadi tempat dilahirkannya keputusan-keputusan penting ASEAN, tak ubahnya dengan New York sebagai kota tempat Sekretariat PBB berada. Imbas dari peluang besar ini adalah akan menaikkan leverage (bobot) Indonesia di mata dunia. Secara tidak langsung pada gilirannya nanti akan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih disegani dan dihormati dalam pergaulan intenasional. Posisi ini menjadi penting sebagai jembatan utama bargaining position dalam konstelasi politik, ekonomi dan sosial-budaya dalam interaksi internasional tingkat regional dan dunia pada umumnya. Tetapi jika dipaparkan lebih rinci, peluang Indonesia sangat besar dalam setiap elemen ASEAN Community ini, yakni ASC, AEC dan ASCC. Pertama, peluang Indonesia dalam ASC. Indonesia merupakan negara pengusung gagasan ASC. Oleh karena itu, beberapa peluang potensial bagi Indonesia adalah memperkuat sikap damai dari para negara anggota dan para mitra ASEAN. Ini menjadi langkah utama dalam menerapkan kehidupan damai dan dialogis dalam hubungan regional di ASEAN. Selain itu, memperkuat sikap saling percaya dan yakin di antara negara anggota. Mempromosikan perdamaian kawasan sebagai pilar stabilitas kawasan dan stabilitas nasional. Kemudian, ASC ini menjadikan Indonesia dan negara anggota lainnya lebih terikat pada penyelesaian konflik dengan dialog, pembangunan sikap perdamaian dan penyelesaian konflik melalui mekanisme internal organisasi.
Kesemua peluang tersebut, jika mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia, maka peran Indonesia sebagai stabilitator dan dinamisator ASEAN mampu meningkatkan prestise dan bargaining position Indonesia di ranah politik dan keamanan internasional. Kedua, peluang Indonesia dalam AEC. Secara ekonomi, ASEAN merupakan pasar yang menjanjikan. Kawasan ASEAN dengan penduduk 540 juta jiwa dan GDP 723 miliar dollar AS punya potensi untuk menjadi sebuah komunitas yang lebih terintegrasi.87 Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa negara-negara di kawasan ini menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabilitas keamanan yang relatif baik. ASEAN akan menjadi pemain penting dalam ekonomi dan politik internasional. Secara makro ekonomi, Indonesia mulai menunjukkan tren positif. Hal ini ditunjang dengan stabilitas yang semakin membaik. Peluang potensial Indonesia terdapat dalam memperbesar dan memudahkan akses ekonomi kepada pasar yang sangat beragam. Memperkuat ketahanan ekonomi regional sebagai salah satu pilar pertahanan dari kemungkinan serangan krisis ekonomi, kerjasama dalam pengentasan kemiskinan. Memperkecil biaya perdagangan yang dapat mempermurah biaya produk Indonesia ke pasar regional. Pada sisi lain, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan pasar investasi dan industri pariwisata serta peningkatan daya saing industri nasional. Selain itu, kekayaan sumber alam Indonesia yang tidak ada duanya di Asia Tenggara merupakan local-advantage yang tetap menjadi peluang besar. Terakhir, jumlah penduduk terbesar yang dapat menyediakan tenaga kerja murah dapat menguntungkan Indonesia. Ketiga, peluang Indonesia dalam ASCC. Memperkuat kerjasama melalui mekanisme kerja pemberantasan perdagangan manusia, perdagangan obat lintas 87
”ASEAN: Catatan dari Kuala Lumpur”, diakses tanggal 14 Februari 2008 dari www.p2p-lipi.go.id/menu/issue.aspx?kdi=53.
negara serta penanggulangan penyakit massal seperti HIV/AIDS dan flu burung. Mempromosokan perlindungan sosial dan identitas budaya Indonesia ke negara lain. Memperbesar ranah kerjasama people-to-people di antara negara anggota, seperti cultural and education exchange.
2. Tantangan Beberapa peluang bagi Indonesia memang terlihat menggiurkan. Namun demikian, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam implementasi ASEAN Community ini jauh lebih besar. Sehingga harus segera diambil kebijakan strategis untuk meminimalisir tantangan ataau hambatan ini serta mengubahnya menjadi peluang. Dalam hemat penulis, tantangan utama bagi Indonesia dalam ASEAN Community ini adalah implikasi akan penguatan kerjasama. Sebagai konsekuensi logis dari pembentukkan ASEAN Community, negara anggota ASEAN akan semakin memperkuat elemen-elemen kerjasama menuju proses integrasi sepenuhnya. Artinya, penulis ingin menyampaikan bahwa harus segera ada perubahan paradigma dan sikap dari seluruh komponen bangsa dalam menyikapi hal ini. Beberapa tantangan bagi Indonesia yaitu: pertama, tantangan dalam aspek politik. Indonesia harus melakukan perubahan mendasar dalam aspek legalitas hukum nasional, institusi dan penyelarasan berbagai aturan dengan aturan-aturan dalam kesepakatan pembentukkan ASEAN Community. Faktor-faktor inilah yang merupakan tantangan terbesar. Pemerintah harus mampu meyakinkan kepada seluruh stakeholder negara ini akan dampak positif dari ASEAN Community bagi Indonesia. Pada sisi lain, ASEAN Community ini juga mengandung konsekuensi penyerahan sebagian kedaulatan negara. Inilah elemen paling sensitif dalam proses menuju integrasi penuh. Selain itu, kemampuan Indonesia untuk menjaga stabilitas
politik domestik dengan penegakan proses demokratisasi yang konsisten merupakan elemen lain dalam memenuhi ekspektasi negara anggota lain.
Hal ini akan
berdampak pada keyakinan akan status Indonesia sebagai regional power center di ASEAN. Kedua, dari aspek ekonomi. Sekalipun pangsa ekspor Indonesia ke negaranegara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina) cukup besar yaitu 13.9% (2005) dari total ekspor. Namun terdapat dua permasalahan yang terletak pada sektor daya saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Singapura, Malaysia dan Thailand serta percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibanding dengan negara ASEAN lainnya.88 Hal ini merupakan fenomena sisa dari krisis ekonomi 1997-1998 yang belum juga hilang dari negeri ini. Dampak lainnya adalah rendahnya pertumbuhan investasi baru (khususnya arus Foreign Direct Investment) atau semakin merosotnya kepercayaan dunia usaha, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Faktor buruknya infrastruktur ekonomi, instabilitas makro-ekonomi, ketidakpastian hukum dan kebijakan, ekonomi biaya tinggi akibaat korupsi dan pungli menjadi beban tambahan. Mengutip dari pendapat Noer Azam Achsani,89 menyatakan salah satu indikator kekurangsiapan Indonesia terlihat dari efek pembangunan ekonomi paskakrisis ekonomi tahun 1997-1998. Indonesia di sejajarkan dengan Filipina sebagai New Industrialized Country (NIC). Akan tetapi keduanya terkena krisis berkepanjangan sejak tahun 1997 dan sampai saat ini belum juga pulih. Kedua negara ini juga
88
Jhanghiz Syahrivar, “Towards ASEAN Community 2015”, diakses tanggal 11 Maret 2008 dari www.president.ac.id/. 89
Noer Azam Achsani, “Integrasi ASEAN+3: Antar Peluang dan Ancaman”, diakses pada tanggal 11 Maret 2008 dari http://brighten.or.id.
menghadapi masalah ekonomi yang sangat besar, yang ditandai dengan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran serta kurangnya infrastruktur. Beberapa faktor di atas membuat posisi Indonesia berada di bawah negara “unggulan” ASEAN seperti Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam sekalipun. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri, agar tidak
menjadi
pelengkap
di
ASEAN
Community
tahun
2015.
Terakhir, dalam aspek sosial budaya. Tantangan bagi Indonesia adalah menjadikan ASEAN Community sebagai mainstream and common issue bagi masyarakatnya. Hal ini sangat penting jika mengingat bahwa ASEAN baru menjadi isu bagi sekelompok masyarakat saja. Terlebih, proses menuju integrasi penuh merupakan proses yang panjang. Dalam konteks ini, integrasi sosial sangat sulit dibangun pada masyarakat plural, jika tidak didukung oleh gerakan sosial dan derajat interaksi yang signifikan. Indonesia harus mampu membangun sebuah masyarakat terbuka, ramah dan kompetitif. Hal ini penting untuk menopang implementasi ASEAN Community yang menjadikan ASEAN sebagai sebuah komunitas. Masyarakat Indonesia harus siap berinteaksi penuh dengan warga masyarakat dari negara anggota ASEAN lainnya dalam berbagai bidang. Sampai saat ini, belum terlihat adanya upaya ke arah itu. Beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia masih bersifat simbolik, sehingga kita patut khawatir bahwa toleransi dan solidaritas Indonesia bagi ASEAN itu hanya menjadi wacana dan diskusi saja, tetapi tidak mengakar dalam struktur sosial. Oleh karena itu, diperlukan komitmen lebih besar dan kuat dari pemerintah Indonesia untuk mendorong penyelesaian berbagai permasalahan yang masih ada di internal maupun yang terkait dengan negara anggota ASEAN lainnya. Dengan
demikian, proses pembangunan ASEAN Community semakin mudah mengingat waktu tujuh tahun ke depan merupakan pertaruhan besar bagi Indonesia dan ASEAN. Hendaknya sisa waktu yang tidak lama itu bisa dimanfaatkan secara maksimal dan efektif untuk membenahi segala sesuatu yang diperlukan agar Indonesia betul-betul menjadi lebih siap dan tidak kedodoran menyambut pembentukan dan implementasi ASEAN Community tahun 2015.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis tentang politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN dalam proses pembentukan ASEAN Community, maka penulis menyimpulkan: 1. Politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN menempati posisi penting dan merupakan lingkaran kosentris pertama dalam hubungan internasional. Sebagai soko guru politik luar negeri, Indonesia merupakan pendiri sekaligus regional power center di ASEAN selama era kepemimpinan Soeharto. Pembentukan ASEAN Community merupakan salah satu peran penting kepeloporan Indonesia di ASEAN. 2. ASEAN Community adalah produk dari ASEAN yang terdapat dalam Bali Concord II dan pembentukannya disepakati pada KTT ASEAN IX di Bali, Indonesia tahun 2003. ASEAN Community dimaksudkan sebagai proses institusional menuju integrasi penuh negara-negara ASEAN pada tahun 2015 di bidang politik, keamanan, ekonomi dan sosial budaya. ASEAN Community terdiri atas tiga pilar, yaitu; ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). 3. Politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community adalah titik tolak kebangkitan Indonesia di ASEAN. Peran Indonesia dalam pembentukkan ASEAN Community di latar belakangi kepentingan untuk mengembalikan citra positif, stabilitas politik dan keamanan demi perbaikan ekonomi nasional serta meraih kembali status regional power center di
ASEAN. Indonesia merupakan pelopor konsep ASC yang berkembang menjadi ASEAN Community. B. Saran 1. Indonesia hendaknya tetap berperan dalam upaya mengawal proses implementasi ASEAN Community ini. Selain itu, pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan politik, perangkat-perangkat aturan dan produk hukum nasional
yang
mengatur
langkah-langkah
strategis
untuk
mengimplementasikan ASEAN Community. Tindakan ini demi menyelaraskan perangkat aturan dan kepentingan nasional dengan segala ketentuan dalam ASEAN Community. 2. Hendaknya
Indonesia mengambil kebijakan ekonomi strategis
yang
difokuskan pada upaya-upaya; stabilisasi moneter, pertumbuhan ekonomi, skill dan kompetensi tenaga kerja serta peningkatan kualitas industri nasional beserta produk-produknya. Semua ini diperlukan agar Indonesia mampu menjadi pemimpin pasar dan tidak hanya menjadi penonton dalam era ASEAN Community nanti. 3. Pemerintah Indonesia harus menerapkan strategi kampanye nasional yang bertujuan untuk “membumikan” dan memasyarakatkan konsep ASEAN Community ini kepada seluruh komponen stakeholder negara dan civil society. Sehingga ASEAN Community tidak lagi menjadi isu elitis, akan tetapi mampu menjadi isu bersama bagi seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, Noer Azam, “Integrasi ASEAN+3: Antar Peluang dan Ancaman”, diakses pada tanggal 11 Maret 2008 dari http://brighten.or.id.
Bandoro, Bantarto, The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Bandoro, Bantarto, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, Jakarta: CSIS, 2005
Coulombis, Theodore A. dan Wolfe, James H., Pengantar Hubungan Internasional; Keadilan dan Power, terj.Mercedes Marbun, Bandung: Abardin, 1990
Dahlan, Ahmad, “Kepemimpinan Indonesia di ASEAN”, diakses pada tanggal 11 Maret 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0710/24/opi04.htm.
Dam, Sjamsumar dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995
Djani, Dian Triansyah, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th Anniversary”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Holsti, K.J., Politik Internasional: Kerangka Analisa,, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987
Kawilarang, Harry, Dunia di Tengah Kemelut; Bunga Rampai Masalah Internasional 1983-1984, Jakarta: UI Press, 1984
Keliat, Makmur, “Pembangunan Komunitas ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari
2008
cetak/0412/01/opini/1407756.htm.
dari
www.kompas.com/kompas-
Kusumatmadja, Muchtar, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa ini, Bandung: Alumni, 1983
Luhulima, C.P.F., ASEAN Menuju Postur Baru, Jakarta: CSIS, 1997
Luhulima,
James,
Asia
Tenggara
dan
Negara
Luar
Kawasan
yang
Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan, Jakarta: KompasGrasindo, 1998 Luhulima,C. P. F., “Regionalisme dan Politik Luar Negeri Indonesia”, diakses pada tanggal 22 Februari 2008 dari www.csis.com.
Mingst, Karen, Essentials of International Relations, New York: W.W. Norton & Company, 1999
Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: Struggle For Power and Peace, second edition, New York: Alfred A. Knopf, 1956
Morgenthau, Hans. J, Politik Antar-Bangsa, terj. S. Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990
Nasution, Dahlan, Perang Atau Damai Dalam Wawasan Politik Internasional, Bandung: Remaja Karya, 1981
Papp,
Daniel S.,
Contemporary
International
Relations:
Frameworks
for
Understanding, Boston: Allyn & Bacon, 1997
Perwita, A.A. Banyu dan Yani, Yanyan M., Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Rosda Karya, 2005
Plano, Jack C. dan Olton, Roy, Kamus Hubungan Internasional, Bandung: Abardin, 1999
Pusphanathan, S, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
RI, Tim Dephan, “Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia”, diakses pada tanggal 16 Februari 2008 dari http://www.dephan.go.id/ buku_putih/bab_iv.htm
Roy, S.L., Diplomasi, Jakarta: Rajawali Press, 1991
Sabir, M., Politik Bebas Aktif, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987
Sardar, Zainudin, dkk, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1996
Soenada, Moenir Ari, “Kebijakan Luar Negeri dan Strategi Indonesia di Kawasan Asia Pasifik”, diakses pada tanggal 9 Desember 2007 dari www.deplu.go.id.
Soenada, Moenir Ari, “Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”, diakses pada tanggal 9 Desember 2007 dari www.deplu.go.id. Syahrivar, Jhanghiz, “Towards ASEAN Community 2015”, diakses tanggal 11 Maret 2008 dari www.president.ac.id/.
UUD 1945, P-4 dan GBHN, Jakarta: Depdiknas, 1997.
Vermonte, Philips. J, Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri, dalam Bandoro, Bantarto, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, Jakarta: CSIS, 2005
“ASEAN”,
diakses
pada
tanggal
14
Februari
2008
dari
www.country-
studies.com/indonesia/asean.html
“ASEAN’s Collective Leadership,” The Jakarta Post, 1 Oktober 2003
”ASEAN: Catatan dari Kuala Lumpur”, diakses tanggal 14 Februari 2008 dari www.p2p-lipi.go.id/menu/issue.aspx?kdi=53.
“Bali Concord II Ditandatangani Siang Ini”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.kompas.com/utama/news/0308/27/021854.htm.
“Declaration of Bali Concord II”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.aseansec.org
“Dulu, ASEAN Pernah Berjaya”, Republika, 22 November 2007
“Luncurkan Bali Concord II'', diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.balipost.com/BaliPostcetak/2003/10/4/b20.htm.
“RI akan Usulkan Pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.kompas.com/utama/news/ 0308/27/ 021854.htm.
“Peringatan untuk KTT ke-9 ASEAN di Bali,” Kompas, 5 Oktober 2003 “Tujuan Politik Luar Negeri Indonesia”, diakses pada tangggal 9 Desember 2007 dari www.deplu.go.id,.
“40 Tahun ASEAN, Komunitas Harus Jadi Kepentingan Indonesia”, diakses pada tanggal
14
Februari
2008
indonesia/rubrik/view.php?kat=7&id=66
dari
www.indonesiaseoul.org/