Tingkatkan Produksi ala Madagaskar Oleh trubusid Senin, 03 Maret 2008 11:10:43
Klik: 87
Cara Aep Saepudin bertanam padi memang tak lazim. Petani di Sukapada, Kecamatan Pagerageung, Tasikmalaya, itu menggunakan bibit umur 7 hari. Padahal, biasanya petani lain menanam bibit umur 25 hari. Jarak tanamnya pun longgar, 40 cm x 30 cm; lazimnya, 20 cm x 20 cm. Sudah begitu ia tak menggenangi sawahnya. Keruan saja petani-petani lain di daerahnya menganggap aneh. Meski berkali-kali menyampaikan bahwa cara baru itu mendongkrak produksi, tak satu pun rekan-rekannya percaya. Mereka baru percaya setelah 100 hari kemudian Aep menuai padi. Hasilnya? Ia membawa pulang 7 ton dari lahan sehektar ke rumahnya. Produksi itu menjulang ketimbang hasil pekebun lain yang rata-rata cuma 4 ton per hektar. Sejak itu-penghujung 2003-petani-petani di Tasikmalaya mencontoh budidaya ala Aep Saepudin yang sohor dengan sebutan SRI (System of Rice Intensification). Hal paling mendasar dalam budidaya sistem intensifikasi padi adalah menerapkan irigasi intermitten. Artinya, siklus basah-kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah, dan ketersediaan air. Selama kurun waktu penanaman, lahan tidak tergenang, tapi macak-macak-basah tapi tidak tergenang. Cara itu bisa menghemat penggunaan air sampai 46%. Selain itu, sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman. Menurut Dr Tualar Simarmata, dosen sekaligus peneliti di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, penggenangan menyebabkan kerusakan jaringan perakaran akibat terbatasnya pasokan oksigen. Semakin tinggi air, semakin kecil oksigen terlarut. Dampaknya akar tanaman tak mampu 'mengikat' oksigen sehingga jaringan perakaran rusak.
Jarak tanam lebar Selain menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat penggunaan bibit. Sebab, 'Satu lubang tanam hanya ditanami satu bibit,' kata Enceng, petani di Ciamis, Jawa Barat, yang juga menerapkan sistem serupa di sawahnya. Untuk luasan 1 ha, pekebun hanya memerlukan 10 kg benih. Bandingkan dengan sistem konvensional yang menghabiskan 30 kg benih. Itu lantaran petani menanam 9 bibit di satu lubang tanam. Jika harga benih Rp4.000/kg, petani yang menerapkan sistem intensifikasi menghemat Rp80.000 per hektar. Menurut Dr Sarlan Abdulrachman, ahli budidaya padi di Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), Sukamandi, Subang, dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan hara sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Sebaliknya, jika penanaman terdiri atas 9 bibit/lubang, kompetisi hara tak terelakkan. Dalam intensifikasi, digunakan bibit muda. Umurnya 7 hari pascasemai dan terdiri atas 2 daun. Penggunaan bibit muda justru berdampak positif. Menurut Sarlan bibit muda lebih mudah beradaptasi dan tidak gampang stres. Karena perakaran belum panjang, maka penanaman pun tidak perlu terlalu dalam, cukup 1-2 cm dari permukaan tanah. Dalam budidaya konvensional, petani menggunakan bibit berumur 25 hari. Akar memanjang
sehingga ketika dipindahtanamkan acap putus. Akibatnya, Oryza sativa itu pun stres sehingga mengganggu pertumbuhan. Untuk menghasilkan bibit muda yang berkualitas, petani mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50 g/m2 agar bibit cepat besar, karena tidak terjadi persaingan unsur hara. Dengan cara itu bibit sudah siap tanam pada umur 5-14 hari. Pekebun intensif menanam bibit muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm. Total populasi di lahan 1 ha mencapai 83-ribu tanaman. Sementara pada sistem konvensional, berjarak tanam 20 cm x 20 cm atau total terdiri atas 250-ribu tanaman. Dengan jarak tanam longgar, 40 cm x 30 cm, sinar matahari menembus sela-sela tanaman. Tanaman memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis sehingga pasokan makanan tercukupi. Pantas dalam umur 30 hari, dari 1 bibit sudah menghasilkan 65 anakan. Itu jauh lebih banyak ketimbang sistem konvensional yang hanya menghasilkan 29 anakan.
Dongkrak produktivitas Selain efisiensi air dan bibit, intensifikasi padi juga meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas karena pertumbuhan famili Gramineae itu lebih baik dibandingkan dengan yang ditanam secara konvensional. Pertumbuhan optimal menyebabkan produksi padi meningkat. Aep, misalnya, bisa memperoleh 300 butir padi dari 1 malai. 'Bahkan ada juga yang sampai 700 butir,' katanya. Hal itu wajar saja. Menurut Sarlan kunci sukses sistem intensifikasi adalah perkembangan sistem perakaran dan lahan yang tidak tergenang. Hasilnya, perakaran kekar dan jumlah lebih banyak, sehingga bisa menyerap nutrisi dengan baik. Hal senada diungkapkan Joeli Barrison, peneliti dari Department of Crop and Soil Sciences, Cornell University, New York. Hasil penelitian Joeli yang dilakukan pada 2002 menunjukkan perakaran padi yang ditanam dengan sistem intensifikasi jauh lebih banyak daripada yang ditanam dengan metode konvensional. Sistem perakaran yang baik meningkatkan penyerapan nitrogen dan kalium sampai 91% serta unsur fosfor sampai 66%. Meningkatnya produktivitas berarti juga mendongkrak pendapatan petani. Enceng contohnya, pendapatan sebelum menggunakan intensifikasi Rp10-juta dari hasil penjualan gabah kering giling 4 ton. Harga 1 kg gabah hanya Rp2.300/kg. Kini, pendapatannya beberapa kali lipat karena terjadi peningkatan produksi. Apalagi pria kelahiran Ciamis itu menjualnya dalam bentuk beras dengan label organik. Beras dibagi ke dalam dua kelas: kelas pertama dengan bulir utuh Rp8.000/kg dan beras kelas II Rp4.500/kg. Dengan total penjualan 5 ton beras kelas I dan 1,4 ton kelas II diperoleh pendapatan Rp51.240.000. Setelah dikurangi biaya produksi Rp5-juta dan biaya giling Rp2,1-juta, ia mengantongi pendapatan bersih sebesar Rp45.140.000.
Madagaskar SRI sebetulnya bukan barang baru. Sistem itu pertama kali ditemukan oleh Henri de
Laulanie, pastur jesuit asal Perancis yang tinggal di Madagaskar. Pada 1961 Henry berimigrasi ke negara di seberang timur Benua Afrika itu. Di negeri rempah itu beras sebagai makanan pokok. Sayang, produktivitas padi di sana rendah. Itu berdampak pada kehidupan petaninya yang kurang sejahtera. Makanya pada 1981, pria kelahiran 22 Februari 1920 itu mendirikan sekolah pertanian di Antsirabe. Sekolah itu ditujukan untuk kaum muda yang ingin memajukan pertanian di negara seluas 226,597 hektar itu. Di sekolah itu pula ia menemukan metode SRI pada 1983. Melalui metode itu, cara penanaman padi berubah total. Hasilnya mengejutkan, mencapai 20 ton/hektar. Metode temuan Henry diperkenalkan ke dunia luar pada pertengahan 1990-an. Sejak itulah SRI dicoba di berbagai negara seperti China, India, Kamboja, Thailand, dan Bangladesh. Indonesia menerapkannya mulai 1999, dengan hasil sangat memuaskan. Pantas jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat meresmikan penanaman padi SRI, milik Medco Foundation menyatakan, 'Mari kembangkan padi SRI seluas-luasnya,' ujar Presiden. (Lani Marliani/Peliput: Kiki Rizkika)