MULTIPLE SCLEROSIS
A. Definisi Multiple sclerosis merupakan penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat, sering terdiagnosis pada usia dewasa muda namun dapat juga terjadi pada anak-anak . Penyakit ini menyerang selubung myelin akson pada substansia alba sistem saraf pusat. Kerusakan pada selubung myelin akson ini menyebabkan terganggunya hubungan antar akson dalam susunan saraf pusat pada otak dan korda spinalis (Lutfi, dkk., 2010; Alroughani and Boyko, 2018). Pediatrik multiple sclerosis atau disebut juga dengan Pediatric Onser Multiple Sclerosis (POMS), early onset multiple sclerosis, atau juvenile multiple sclerosis secaara umum didefinisikan sebagai multiple sclerosis yang terjadi sebelum usia 16 tahun (atau sebelum usia 18 tahun) (Alroughani and Boyko, 2018). Multiple sclerosis menjadi beban seumur hidup bagi pasien berusia muda, bahkan lebih berat daripada pasien dewasa, hal ini karena angka serangan pada anak tiga kali lebih tinggi daripada orang dewasa, dan banyak dari mereka yang mengalami gangguan kognitif (Hintzen, 2018). B. Epidemiologi Di Amerika Serikat prevalensi multiple sclerosis berkisar antara 6-177 per 100.000 orang. Sedangkan di Asia dan Afrika penyakit ini relatif jarang ditemukan. Secara umum multiple sclerosis lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1 (Lutfi, dkk., 2010). Menurut Inaloo and Haghbin (2013), perbandingan kejadian multiple sclerosis menurut jenis kelamin bervariasi berdasarkan umur, perempuan dibandingkan laki-laki sebesar 0.8:1 pada penderita berusia dibawah 6 tahun, 1.6:1 pada usia 6 hingga 10 tahun, 2.1:1 pada anak diatas 10 tahun, dan 3:1 pada anak remaja. Multiple sclerosis relatif jarang terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 10 tahun dan paling sering didapatkan pada usia dewasa muda (25-40 tahun) (Lutfi, dkk., 2010). Menurut Alroughani and Boyko (2018), pasien multiple sclerosis berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 3-10% dan kurang dari 1% pasien berusia dibawah 10 tahun. Multiple sclerosis secara umum sering ditemukan pada pasien dengan usia muda dan dewasa usia pertengahan. Diperkirakan 2.7%-5.4% pasien multiple sclerosis mulai timbul tanda dan gejala sebelum usia 18 tahun (Belman, et al., 2016). Menurut Chou et al. (2016), kejadian multiple sclerosis pada pediatrik yaitu kurang dari 5% dari seluruh populasi pasien multiple sclerosis, namun pasien dengan pediatric-onset dapat mencapai disabilitas permanen pada usia muda dibandingkan pasien dengan adultonset. Penyakit multiple sclerosis pada anak hampir selalu ditemukan dalam bentuk relapsremitten (Jancic et al., 2016). C. Etiologi In pediatric hospitals in Canada, MS is increasingly diagnosed in ethnic populations, such as Caribbean, Asian, central and eastern European, more likely caused by genetics, environmental factors, infections, as well as inadequate exposure to sunlight, and consequently vitamin D deficiency. Namely, vitamin D deficiency or a polymorphism of vitamin D receptor gene diminishes its optimal function on the immune system that consequently could lead to increasing risk of MS (Jancic et.al, 2016).
D. Penatalaksanaan
Penanganan multiple sclerosis meliputi terapi relaps, imunomodulator, dan terapi simtomatik. Terapi multiple sclerosis pada anak membutuhkan perawatan multidisiplin meliputi neurologi, oftalmologi, psikologi, fisioterapi, dan bila perlu psikiatri dan farmakologi. (Jancic, et al., 2016). Dasar terapi multiple sclerosis harus bergantung pada obat yang mampu memodifikasi perjalanan penyakit misalnya obat-obatan imunomodulator. Obat imunomodulator secara umum dibagi menjadi dua kategori: lini pertama (interferon beta-1a, interferon beta-1b, glatiramer acetate) dan lini kedua ( natalizumab, mitoxantrone, fingolimod, terinflunomide, azathioprine, rituximab, dimethyl fumarate, daclizumab). Pengobatan kasus relaps menggunakan kortikosteroid intravena dosis tinggi seperti metilprednisolon dosis 20-30mg/kg dengan maksimal dosis 1000 mg perhari diberikan pagi hari selama 3-5 hari disertai pemberian obat gastroprotektif. Bila dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi tidak terdapat perbaikan gejala klinis, diganti dengan pemberian immunoglobulin intravena dengan dosis 0.4g/kg/hari selama 5 hari. Plasmafaresis dapat dilakukan bila terapi sebelumnya tidak memberikan hasil yang memuaskan (Jancic, et al., 2016). Terapi lain yang dapat diberikan yaitu berupa terapi simtomatik yaitu untuk mengatasi gejala yang dapat muncul misalnya nyeri, cemas, depresi, mudah Lelah, kaku (spasme), gangguan urinasi, serta gangguan seksual. Nyeri pada pasien multiple sclerosis merupakan nyeri neuropati dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi penatalaksanaan nyeri neuropati (antidepresan trisiklik, gabapentin dan pregabalin, lidokain 5%, dan tramadol) (Jancic, et al., 2016). E. Prognosis
TINJAUAN PUSTAKA Lutfi, D., Prasetiyono H., Loebis R., Suhartono G., dan Yogiantoro D. 2010. Bilateral Optic Neuritis in Children Due to Multiple Sclerosis. Jurnal Oftalmologi Indonesia 7(4): 171-174. Alroughani, R. and Boyko A. 2018. Pediatric Multiple Sclerosis: a Review. BMC Neurology 18:27. Belman, A.L., Krupp L.B., Olsen C.S., Rose J.W., Aaen G., Benson L., et al. 2016. Characteristics of Children and Adolescents with Multiple Sclerosis. American Academy of Pediatrics. Jancic, J., Nikolic B., Djuric V., et al. 2016. Multiple Sclerosis in Pediatrics: Current Concepts and Treatment Options. Neurol Ther 5:131-143. Hintzen, R.Q. 2018. Paediatric Multiple Sclerosis: Early Diagnosis as a First Step. Lancet Child Adolesc Health 2018. Inaloo S. and Haghbin S. 2013. Multiple Sclerosis in Children. Iran J Child Neurol 7(2):1-10.