Multiple Fraktur-1.docx

  • Uploaded by: siti aisyah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Multiple Fraktur-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,895
  • Pages: 58
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian (Helmi, 2012). Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur juga dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006). Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan pembuluh darah di sekitarnya karena tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan, tetapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang berakibat pada rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Smeltzer & Bare, 2002). Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi (Depkes RI, 2005). Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang

1

mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Walaupun peran fibula dalam pergerakan ektremitas bawah sangat sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat menimbulkan adanya gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki. Terjadinya fraktur tersebut termasuk didalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga, bencana kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya (Mardiono, 2010). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan di dunia, yang didalamnya termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2013 didapatkan data kecenderungan peningkatan proporsi cedera transportasi darat (sepeda motor dan darat lain) dari 25,9% pada tahun 2007 menjadi 47,7%. Fraktur menjadi salah satu masalah kegawatdaruratan yang dapat mengancam nyawa apabila tidak ditangani segera. Sehingga diperlukannya manajemen kegawatdaruratan yang maksimal dalam penanganan terutama terhadap pasien dengan fraktur multiple. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi adalah

2

prosedur yang sering dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002).

B. Rumusan Masalah Bagaimana manajemen kegawatdaruratan pasien dengan fraktur multiple dihubungkan dengan asuhan keperawatan NANDA NIC-NOC?

C. Tujuan 1. Tujuan umum Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir secara ilmiah dalam melaksanakan praktik manajemen kegawatdaruratan pasien dengan fraktur multiple serta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan masalah. 2. Tujuan khusus Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang fraktur multiple: a. Pengertian b. Etiologi c. Web Of Caution (WOC) d. Tanda dan gejala e. Pemeriksaan fisik (fokus pada penyakit) f. Pemeriksaan penunjang

3

g. Komplikasi h. Asuhan Keperawatan i. Algoritma penanganan kasus (mandiri dan kolaborasi) j. SOP k. Evidance Based Nursing (EBN)

D. Manfaat 1. Bagi Penulis Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan fraktur multiple. 2. Bagi Institusi Pelayanan Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien fraktur multiple. 3. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien fraktur multiple.

E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I

: Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika

4

penulisan. Bab II

: Berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari konsep dasar dasar penyakit dan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan fraktur multiple.

Bab III

: Berisi tinjauan kasus yang terdiri dari bentuk asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan fraktur multiple.

Bab IV

: Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian

Gambar 2.1 Hasil Foto Rontgen Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Bruner & Suddart, 2013). Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis (Silvia A. Prince, 2000). Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan lebih dari satu garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan gangguan fungsi pada area fraktur.

6

B. Klasifikasi Fraktur dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan dunia luar menjadi fraktur terbuka (Open/simple fracture) dan fraktur tertutup (closed/ compound fracture). Penilaian ini kiranya cukup ditegakkan secara klinis dengan melihat ada tidaknya jaringan tulang yang patah dan menembus ke permukaan kulit hingga terlihat oleh mata (Price et al., 2013). Gustillo membagi derajat fraktur terbuka menjadi: 1. Derajat I: luka kecil kurang dari 1 cm, bersih, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringam lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, transversa, oblik pendek atau kominutif. 2. Derajat II: laserasi kulit melebihi 1 cm, tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit.fraktur yang terjadi biasanya fraktur sederhana/ simpel. 3. Derajat III: trauma tumpul yang hebat, fraktur hebat disertai kerusakan jaringan yang luas disertai gangguan neurovaskular. Dibagi dalam 3 subtipe: a. tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah, b. tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak, c. tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera (Mahartha et al., 2013).

7

Fraktur dapat dibagi pula menjadi fraktur lengkap (complete fracture) dan fraktur tidak lengkap (incomplete fracture). Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak di sekitarnya akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Pada foto radiologi fraktur lengkap hanya tampak garis fraktur linier yang radiolusen dengan allignment tulang baik (Mahartha et al., 2013).

8

Gambar 2.2 Berturut-turut: fraktur transversal, fraktur oblik, fraktur spiral, fraktur segmental, fraktur kompresi, fraktur patologis

Berdasarkan

lokasinya,

fraktur

dapat

mengenai

bagian

proksimal (plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal. Fraktur pada diafisis tulang panjang seperti femur, humerus, dan lain-lain, biasa dibagi lagi menjadi fraktur 1/3 proksimal, 1/3 medius, dan 1/3 distal (Price et al, 2013). Berdasarkan ada tidaknya perubahan posisi, dikenal fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat yang patah, fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal (Mahartha et al., 2013). Berdasarkan sudut fraktur atau garis patahnya, fraktur lengkap (complete fracture) dapat diklasifikasi menjadi fraktur transversal, fraktur oblik/ diagonal, dan fraktur spiral. Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang

9

tulang. Fraktur semacam ini umumnya stabil ketika segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya semula. Biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips sebagai fiksator (Price et al., 2013). Fraktur oblik/ diagonal adalah fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhdapa sumbu memanjang tulang. Akibat kemiringannya, fraktur ini tidak stabil dan sullit diperbaiki hanya dengan tindakan pembidaian. Fraktur spiral timbul akibat torsi/ perputaran pada ekstremitas. Fraktur-fraktur ini khas pada cedera main ski, dimana ujung ski terbenam pada tumpukan salju dan ski terputar sampai tulang patah. Yang menarik adalah bahwa jenis fraktur rendah energi ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak, dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar (Price et al., 2013). Berdasarkan jumlah fragmen fraktur, dibedakan menjadi fraktur simpel dan fraktur segmental. Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpatahnya segmen sentral dari suplai darahnya. Fraktur semacam ini sulit ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan dalam keadaan ini mungkin memerlukan pengobatan secara bedah. Comminutes fracture adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan di mana terdapat lebih dari dua fragmen tulang (Price et al., 2013).

10

Fraktur impaksi adalah fraktur di mana fragmen-fragmen saling tertekan satu-sama lain, tanpa adanya garis fraktur yang jelas.6fraktur impaksi dibagi menjadi fraktur kompresi dan depresi. Fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra dengan dua vertebra lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat didiagnosa dengan radiogram. Pandangan

lateral

dari

tulang

punggung

akan

menunjukkan

pengurangan tinggi vertikal dan atau sedikit membentuk sudut pada satu atau beberapa vertebra.pada orang muda fraktur kompresi vertebra dapat disertai dengan perdarahan retroperitoneal yang cukup berat. Sedangkan dikatakan fraktur depresi bila fraktur tulang menimpa jaringan lunak di bawahnya. Fraktur semacam ini mengenai pada tulang-tulang pipih akibat trauma tumpul, seperti pada tulang tengkorank (calvaria) (Price et al., 2013). Fraktur berdasarkan kelainan yang mendasarinya dibedakan menjadi fraktur fisiologis dan fraktur patologis. Fraktur fisiologis terjadi pada tulang akibat hantaman dari suatu trauma yang kuat sehingga tulang akhirnya fraktur walaupun mineralisasi yang baik dan tanpa kelainan atau penyakit tulang. Sedangkan, fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena suatu kelainan, seperti tumor atau proses patologik lainnya. Tulang seringkali menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang

11

paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor baik primer ataupun metastasis (Price et al., 2013). Fraktur greenstick adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. Tulang anak bersifat fleksibel, sehingga fraktur dapat berupa bengkokan tulang di satu sisi dan patahan korteks di sisi lainnya. Korteks tulang yang pada sisi tulang yang bengkok masih utuh, demikian juga periosteumnya. Fraktur-fraktur ini akan sembuh segera dan segera mengalami remodelling ke bentuk dan fungsi normal (Price et al., 2013).

Gambar 2.3 A) fraktur beban/ stress fracture, B) fraktur greenstick, C) fraktur avulsi

Salter-Harris classification. Klasifikasi

Salter

Harris

merupakan

klasifikasi

fraktur

yang

melibatkan epifisis tulang panjang. Jenis fraktur ini terjadi pada anakanak, dimana lempeng epifisis masih aktif berdiferensiasi. Kalsifikasi ini dibedakan menjadi lima tipe berdasarkan tingkat keparahannya:

12

I

Injury through the epiphyseal plateonly.

II

Fracture through the epiphyseal plate and metaphysis.

III Fracturethrough the epiphyseal plate and epiphysis. IV Fracture through the epiphyseal plate, metaphysis and epiphysis. V

Crush fracture of the epiphyseal plate.

Gambar 2.4 Klasifikasi Salter-Harris

C. Etiologi Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan, terutama tekanan membengkok, memutar dan menarik. Trauma musculoskeletal yang dapat mengakibatkan fraktur adalah: 1. Trauma langsung Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena trauma yang tiba tiba mengenaii tulang dengan kekuatan dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. 13

2. Trauma tidak langsung Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan lunak tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik 3. Trauma patologis Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses patologis. Contohnya: a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang, karena trauma minimal. b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah. c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi dan tulang rawan. (Arif Muttaqin, 2008)

14

D. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala dari multiple fraktur antara lain sebagai berikut : 1. Nyeri terus menerus sampai tulang diimobilisasi 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang dapat diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal, ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot. 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. 4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antra fragmen satu dengan yang lainnya. 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal, pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smeltzer, Suzanne C., 2001 )

15

E. WOC Trauma

Multiple fraktur

Open fraktur humerus

Fraktur klavikula

Close fraktur

Tibia dan fibula

Multiple trauma

B1

B2

B3

B4

B5

B6

Fraktur costae

Perdarahan

TIK 

Perfusi ginjal ↓

Penekanan langsung pada muntah

Tulang patah

Perdarahan pada saluran napas

Syok hipovolemik

Kesadaran ↓

Jml. urine ↓ dan retensi cairan 

Saluran napas tersumbat

Bradikardi

Muntah proyektil

Ujung-ujung patah tulang bergeser satu sama lain

MK: Ketidakseimbangan volume cairan Krepitasi

Kulit pucat ↓ Oksigenasi (hipoksia)

Perubahan bentuk tulang MK: Syok MK: Hambatan Mobilitas Fisik

16

17

F. Komplikasi 1. Komplikasi segera a. Lokal : 1) kulit : abrasi, laserasi, penetrasi 2) pembuluh darah : robek 3) sistem syaraf : sumsum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik 4) otot 5) organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa, kandung kemih b. Umum : 1) ruda paksa multipel 2) syok : hemoragik, neurogenik 2. Komplikasi intermediet (muncul pada saat terapi) a. Lokal : Sindrom kompartmen, nekrosis kulit, gangren, osteomyelitis, dll b. Umum : ARDS, emboli paru, tetanus (infeksi). 3. Komplikasi lama a. Lokal : 1) sendi : ankilosis fibrosa, dll 2) tulang gagal taut/taut lama/salah taut 3) patah tulang ulang 4) osteomyelitis, dll 5) otot/tendon: ruptur tendo, dll 6) syaraf: kelumpuhan saraf lambat b. Umum : batu ginjal (akibat imobilisasi lama ditempat tidur) 4. Komplikasi penyembuhan fraktur

18

a. Delayed union artinya penyatuan yang tertunda, yaitu patah tulang yang tidak menyatu dalam waktu 3-6 bulan, tidak terlihat ada pertumbuhan tulang yang baru, kalaupun ada sangat sedikit, kalus (tulang muda) di sekitar daerah patahan pun sangat kurang. Ciri-ciri yang terlihat pada kasus delayed union yaitu : 1) nyeri pada saat berjalan 2) terdapat pembengkakan 3) nyeri pada saat ditekan di daerah patahan 4) tulang bertambah bengkok ( bisa bengkok, bisa tidak) 5) terdapat gerakan yang abnormal pada daerah patahan b. Non union artinya tidak menyatu atau tidak ada penyatuan, non union merupakan kasus lanjutan dari delayed union. Jadi, bila patah tulang tidak menyatu dalam waktu 6-8 bulan dinamakan non union. Penyebab delayed union dan non union : a. terlalu banyak bergerak b. kurangnya asupan nutrisi untuk tulang (protein, kalsium, magnesium dan zat mineral lainnya) c. terlalu stres d. jarang berjemur e. pernah jatuh atau terpeleset

19

Gambar 2.5 komplikasi fraktur: nonunion

c. Mal union adalah dimana tulang yang patah menyatu dalam waktu yang

tepat

(3-6

bulan)

tetapi

tulangnya

menjadi

bengkok.

Penyebabnya bisa karena terlalu banyak bergerak, pernah terpeleset sehingga fragmen tulangnya bergeser, sering duduk atau tidur dengan posisi yang tidak tepat, pengobatan dengan dipijit (karena tidak dilihat langsung, posisinya kurang pas).

Gambar 2.6 Komplikasi fraktur: malunion

20

d. Osteomielitis adalah proses inflamasi yang terjadi pada tulang baik itu pada sumsung tulang, kortex, periosteum atau jaringan lunak sekitarnya yang meupakan manifestasi oleh infeksi mikroorganisme. Berdasarkan durasi, osteomielitis terbagi menjadi osteomielitis akut dan osteomielitis kronik. Berikut perbedaan antara osteomieltis akut dan osteomielitis kronik.

Durasi Gambaran radiologi (foto polos)

Osteomielitis akut < 2 minggu Periosteal reaction Osteolitik > sklerotik Swelling (+)

Osteomielitis kronik > 2 minggu Korteks menebal dan irreguler Osteolitik < sklerotik Swelling (-)

Gambar 2.7 Osteomielitis akut

21

Gambar 2.8 Osteomeilitis Kronik

22

G. Algoritma Penatalaksanaan Fraktur Multiple

23

H. Penanganan Pasien dengan Multiple Trauma Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan. Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera. Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera sangat penting untuk mempertahankan nyawa pasien. The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan pernapasan, atau komplikasi lain.

24

Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan evaluasi dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel trauma memerlukan tindakan dari tim yang terkoordinasi untuk menyelamatkan pasien. Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha penyelamatan pasien. Komposisi tim berbeda-beda dari tempat ke tempat yang lain, terapi biasanya terdiri atas paling tidak satu satu dokter, satu perawat, dan petugas perawat tambahan. 1. Survei Primer (Primary Survey) Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyediakan metode perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi mengancam nyawa seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat dideteksi melalui survei primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat segera dilakukan intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi pasien. Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :

25

A : Airway (jalan napas) B : Breathing (pernapasan) C : Circulation (sirkulasi) D : Disability (defisit neurologis) E : Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol lingkungan) A : Airway (Jalan Napas) Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada penanganan pasien trauma. Penilaian jalan napas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher dengan menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long spine board. Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui pita suara. Jika tidak ada suara, buka jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau manuver modified jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan) atau serpihan kecil seperti gigi, makanan, atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suctioning, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan napas. Alat-alat nasofaring,

untuk

orofaring,

cricothyrotomy

mempertahankan LMA,

mungkin

pipa

jalan

trakea,

dibutuhkan

untuk

napas

seperti

Combitute,

atau

membuat

dan

mempertahankan kepatenan jalan napas.

B : Breathing (Pernapasan) Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering terjadi kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius pada status neurologis pasien. Untuk menilai pernapasan, perhatikan proses respirasi spontan dan catat kecepatan, kedalaman,

serta

usaha

melakukannya.

26

Periksa

dada

untuk

mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat respirasi. Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah. Lakukan auskultasi suara pernapasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya. Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan volume tidal yang cukup, gunakan non-rebreather mask dengan reservoir 10-12 l/menit. b. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan. Gunakan bag-valve-mask untuk mendorong tekanan positif oksigen pada pasien saat kondisi respirasi tidak efektif. Pertahankan jalan napas efektif dengan intubasi trakea jika diperlukan dan siapkan ventilator mekanis. c. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi, pastikan posisi pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan. Perhatikan gerakan simetris naik turunnya dinding dada, auskultasi daerah perut kemudian paru-paru dan perhatikan saturasi oksigen melalui pulseoximeter. d. Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang serius. Tutup luka dada selama proses pengisapan, turunkan tekanan pneumotoraks, stabilisasi bagian-bagian yang flail, dan masukkan pipa dada. e. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien yang meliputi pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah (arterial blood gase).

27

C : Circulation (Sirkulasi) Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan perfusi. a. Pendarahan Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan tekan langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang mengalami pendarahan sampai di atas ketinggian jantung. Kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi di dalam tubuh. b. Denyut nadi Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi, kualitas, laju, dan ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung

sesudah

trauma,

hipotermia,

hipovolemia,

dan

vasokonstriksi pembuluh darah yang disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens. Raba denyut nadi karotid, radialis, dan femolar. Sirkulasi dievaluasi melalui auskultasi apikal. Cari suara degupan jantung yang menandakan adanya penyumbatan perikardial. Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang jelek, terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada populasi pasien trauma, selalu pertimbangkan tekanan pneumotoraks dan adanya sumbatan pada jantung sebagai penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat kembali normal

apabila

dilakukan

needle

thoracentesis

dan

pericardiocentesis. c. Perfusi kulit Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat, sianosis, atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat, dan capillary refill. Waktu capillary refill adalah ukuran perfusi yang

28

cocok pada anak-anak, tapi kegunaanya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok tersebut belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga tampak pada orang lain, misalnya oliguria, perubahan tingkat kesadaran, takikardi, dan disritmia. Selain itu, perlu diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan pembuluh darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang IV line dua jalur dan infus dengan cairan hangat. Gunakan blood set dan bukan infuse set karena blood set mempunyai diameter yang lebih lebar dari infuse set sehingga memungkinkan tetesannya lebih cepat dan apabila ingin memberikan transfusi darah, maka bisa langsung digunakan tanpa harus diganti. Berikan 1-2 l cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal saline atau Ringer’s lactate). Pada anak-anak, pemberiannya berdasarkan berat badan yaitu 20 ml/kgBB. Dalam pemberian cairan perlu diperhatikan respons pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan crystalloids. Pada kondisi multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan akut volume darah. Secara umum volume darah orang dewasa adalah 7% dari berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anak-anak berkisar antara 8-9% BBI. Jadi orang dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan memiliki volume darah sekitar 5 l. Klasifikasi perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%) Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Pada penderita yang sebelumnya sehat tidak perlu dilakukan transfusi. Pengisian

29

kapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam. b. Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%) Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan komponen distolik karena pelepasan katekolamin. Katekolamin bersifat inotropik yang menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah perifer. Tekanan sistolik hanya sedikit berubah sehingga lebih tepat mendeteksi perubahan tekanan nadi. Perubahan sistem saraf sentral berupa cemas, ketakutan, dan sikap bermusuhan. Produksi urine sedikit terpengaruh yaitu antara 20-30 ml/jam pada orang dewasa. Ada penderita yang terkadang memerlukan transfusi darah, tetapi kebanyakan masih bisa distabilkan dengan larutan kristaloid. c. Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%) Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu ada yaitu takikardi, takipnea, penurunan status mental dan penurunan tekanan darah sistolik. Penderita ini sebagian besar memerlukan transfusi darah. d. Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%) Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah sistolik yang besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan distolik tidak teraba), produksi urin hampir tidak ada, kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan pucat. Transfusi sering kali harus diberikan secepatnya. Bila kehilangan darah lebih dari 50% volume darah, maka akan menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.

Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah cairan kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hukum 3 for 1 rule artinya jika terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu

30

diberikan cairan kristaloid 3 x 1.000 ml yaitu 3.000 ml cairan kristaloid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan IV secara agresif pada pasien trauma dapat memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini karena dapat menurunkan hemostatic plugs yang terbentuk untuk menghentikan pendarahan, tetapi kondisi ini hanya terjadi pada beberapa kelompok pasien saja. Secara umum, apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak stabil secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-3 l, sebaiknya pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan dengan jenis dan golongan darah pasien.

D : Disability (Status Kesadaran) Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan mnemonic AVPU. Sebagai tambahan, cek kondidi pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survei primer, penilaian neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes) harus dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi hipoglikemi berat, maka diberikan Dekstrose 50%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah pemeriksaan survei sekunder. Mnemonic AVPU meliputi: awake (sadar); verbal (berespons terhadap suara/ verbal); pain (berespons terhadap rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak berespons).

31

E : Exposure and Environmental Control (Pemaparan dan Kontrol Lingkungan) a. Pemaparan (Exposure) Lepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien secara umum, catat kondisi tubuh, atau adanya bau zat kimia seperti alkohol, bahan bakar, atau urine. b. Kontrol Lingkungan (Environmental Control) Pasien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting karena ada kaitannya dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu normal tubuh dengan mengeringkan pasien dan gunakan lampu pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem penghangat udara, dan berikan cairan IV hangat.

2. Survei Sekunder (Secondary Survey) Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait dengan jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah survei sekunder. Pada survei sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head to toe. Berbeda dengan survei primer, dalam pemeriksaan survei sekunder ini apabila didapatkan masalah, maka tidak diberikan tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya. Jika pada saat tertentu, pasien tiba-tiba mengalami masalah jalan napas, pernapasan atau sirkulasi, maka segera lakukan survei primer dan intervensi sesuai dengan indikasi. Mnemonic yang digunakan untuk mengingat survei sekunder ialah huruf F ke I.

32

F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of Family

Presence

(Tanda-tanda

vital,

5

intervensi,

dan

memfasilitasi kehadiran keluarga) a. Full Set of Vital Signs (TTV) Tanda-tanda vital ini menjadi dasar untuk penilaian selanjutnya. Pasien yang kemungkinan mengalami trauma dada harus dicatat denyut nadi radial dan apikalnya; nilai tekanan darah pada kedua lengan. Termasuk suhu dan saturasi oksigen sebaiknya dilengkapi pada tahap ini, jika belum dilakukan. b. Five Interventions (5 Intervensi) Lima intervensi ini meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Pemasangan monitor jantung. b. Pasang nasogastrik tube atau orogastrik tube (jika ada indikasi). c. Pasang folley kateter (jika ada indikasi). d. Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah lengkap, kimia darah, urinalysis, urine, kadar ethanol, toxicologic screens (urine, serum), clotting studies (prothrombin time, activated partial thromboplastin time, fibrinogen, D dimer) untuk pasien dengan yang mengalami gangguan koagulopati. e. Pasang oksimetri. c. Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran Keluarga) Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan untuk bersama pasien meskipun berada dalam situasi yang mengancam nyawa, tetapi hal ini masih menjadi hal yang kontroversial

sampai

sekarang.

Berdasarkan

kesepakatan

Emergency Nurses Association (ENA), keluarga diberikan kesempatan untuk bersama dengan pasien selama proses invasif dan resusitasi. Rumah sakit atau klinik yang mengizinkan kehadiran keluarga pasien harus memiliki standar prosedur tentang

33

bagaimana cara menenangkan, mendukung, dan memberikan informasi pada anggota keluarga.

G : Give Comfort Measures (Memberikan Kenyamanan) Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan kondisi fisik dan psikologis. Metode farmakologis dan non-farmakologis banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan intervensi bila dibutuhkan.

H : History and Head-to-Toe Examination a. Riwayat Pasien (History) Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien untuk memperoleh informasi tentang pengobatan, alergi, dan riwayat penyakit yang bersangkutan. Anggota keluarga pasien bisa juga menjadi sumber untuk memperoleh data ini. Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai di rumah sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian pasien dan intervensi didapatkan dari petugas EMS. Untuk mempermudah dalam melakukan pengkajian yang berkaitan dengan riwayat kejadian pasien, maka dapat digunakan mnemonic MIVT yaitu mechanism (mekanisme), injuries suspected (dugaan adanya cedera), vital sign on scene (TTV di tempat kejadian), dan treatment received (perawatan yang telah diterima). Head-to-toe Examination (Pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki) a. Kepala (Head) Kepala dilakukan inspeksi secara sistematis dan dinilai adanya luka-luka yang tampak, perubahan bentuk, dan

34

kondisi kepala yang tidak simetris. Raba tengkorak untuk mencari fragmen tulang yang tertekan, hematoma, laserasi, ataupun nyeri. Perhatikan area ekimosis atau perubahan warna. Ekimosis di belakang telinga atau di daerah periorbital adalah indikasi adanya fraktur tengkorak basilar (fraktur basis cranii). Berikut adalah intervensi yang dapat dilakukan : 1) Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau hipoksia. 2) Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan tekanan intrakranial. 3) Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk, harus dipertimbangkan pemberian terapi hiperventilasi untuk menurunkan PaCO2 dari 30-35 mmHg. 4) Observasi tanda-tanda peningkatan TIK dan persiapkan pasien jika diperlukan tindakan bedah. b. Muka (Face) Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka paada wajah pasien dan kondisi wajah yang tidak simetris. Perhatikan adanya cairan yang keluar dari telinga, mata, hidung, dan mulut. Cairan jernih yang berasal dari hidung dan telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal sampai diketahui sebaliknya.

Evaluasi

kembali

pupil

yang

meliputi

kesimetrisan, respons cahaya, dan akomodasi mata, serta periksa juga fungsi ketajaman penglihatan. Minta pasien untuk membuka dan menutup mulut untuk mengetahui adanya malocclusion, laserasi, gigi hilang atau goyah, dan/atau benda asing. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut : 1) Scan noncontrast computerized axial tomographic.

35

2) Panoramic radiographic views of the jaw. Intervensi yang dapat dilakukan adalah memberikan perawatan luka. c. Leher (Neck) Periksa kondisi leher pasien dan pastikan pada saat melakukan pengkajian posisi leher tidak bergerak. Lakukan palpasi dan inspeksi terhadap adanya luka, jejas, ekimosis, distensi pembuluh darah leher, udara di bawah kulit, dan deviasi trakea. Arteri karotid juga dapat diauskultasi untuk mencari suara abnormal. Lakukan palpasi untuk mengetahui perubahan bentuk, kerusakan, lebam, jejas di tulang belakang. Trauma penetratif pada leher jarang mengakibatkan cedera tulang belakang. Meski begitu,

kerusakan

tulang

belakang

sebaiknya

dipertimbangkan sampai dibuktikan sebaliknya dengan penilaian klinis atau radiografis. Empat pengamatan radiorafis yang dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran tulang belakang secara utuh adalah sebagai berikut : 1. Cross-table lateral (harus tampak C1-T1). 2. Anterior-posterior. 3. Lateral. 4. Open-mouth odontoid. d. Dada (Chest) Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan, perubahan bentuk, trauma penetrasi atau luka lain, lakukan auskultasi jantung dan paru-paru. Palpasi dada untuk mencari perubahan bentuk, udara di bawah kulit dan area lebam/jejas. Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut :

36

1. Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat duduk tegak untuk sudut posterior-anterior dan lateral. 2. Lakukan perekaman ECG 12-lead pada pasien yang diduga atau memiliki trauma tumpul pada dada. 3. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan BGA jika pasien menunjukkan distress napas atau telah memakai ventilator mekanik. e. Abdomen (Perut) Periksa perut untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi, atau onjek yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut di semua empat kuadran, dan secara lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa adanya kekakuan, nyeri, rebound pain atau guarding. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut : 1.

Periksa FAST (focused abdominal sonography for trauma) yaitu proses pemeriksaan sonografi pada empat

wilayah

perisplenik,

perut

dan

(perikardial,

pelvis)

perihepatik,

digunakan

untuk

mengidentifikasi cairan intraperitoneal pada pasien dengan trauma tumpul pada perut. 2.

Diagnosis peritoneal lavage (jarang digunakan karena sudah tersedia CT-scan).

3.

CT scan bagian perut (dilakukan dengan tingakat kontras medium).

4.

Urutan pemeriksaan radiografis perut atau ginjaluretra-kandung kemih.

37

f. Pelvis (Panggul) Periksa panggul untuk mengetahui adanya pendarahan, lebam, jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki, periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah, feses, atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan untuk mengukur sphincter tone, adanya darah, dan untuk mengetahui posisi prostat. Letak prostat pada posisi high-riding, darah pada urinary meatus,

atau

kontraindikasi

adanya untuk

scrotal

hematoma

dilakukannya

kateter

adalah sampai

uretrogram retrograde dapat dilakukan. Untuk mengetahui stabilitas panggul lakukan penekanan secara halus ke arah dalam (menuju midline) pada iliac crests. Lakukan palpasi pada daerah simfisis pubis jika pasien mengeluh nyeri atau terdengar adanya gerakan, hentikan pemeriksaan dan lakukan pemeriksaan X-rays. g. Ekstremitas (Extremity) Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentuk, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa sensorik-motorik dan kondisi neurovaskular pada masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidaknormalan suhu. Jika ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovaskular distal secara teratur dan sistematis. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan yang mengalami gangguan.

38

X-rays pada ekstremitas

Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Balut bidai. 2. Perawatan luka.

I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian Belakang) Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim menilai keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda jejas, lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi tulang belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran, atau nyeri. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan pada tahap ini apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada kesempatan ini juga bisa digunakan untuk mengambil baju pasien yang berada di bawah tubuh pasien. Apabila pada pemeriksaan tulang belakang tidak didapatkan adanya kelainan atau gangguan pada pasien dapat telentang, maka backboard dapat diambil (dengan mengikuti protokol institusi). Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut : 1. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks, pinggang). 2. CT scan tulang belakang. Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Jaga tulang belakang agar tidak bergeser, sampai pasien sudah normal. 2. Pertimbangkan memberi lapisan atau mengambil papan. Lihat tanda-tanda kerusakan kulit.

39

I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Primary survey 1) Airway Penilaian kelancaran airway pada pasien yang mengalami fraktur, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh mengakibatkan hiperekstensi leher. Cara melakukan chin lift dengan menggunakan jari-jari satu tangan yang diletakan dibawah mandibula, kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika diperlukan ibu jari dapat diletakkan didalam mulut dibelakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Jaw trust juga merupakan tekhnik untuk membebaskan jalan nafas. Tindakan ini dilakukan oleh dua tangan masingmasing satu tangan dibelakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan memakai face-mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik. Jika kesadaran klien menurun

40

pembebasan jalan nafas dapat dipasang guedel (oro-pharyngeal airway) dimasukkan kedalam mulut dan diletakkan dibelakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah dengan tongue spatel

dan

mendorong

lidah

kebelakang,

karena

dapat

menyumbat fariks. Pada klien sadar tidak boleh dipakai alat ini, karena dapat menyebabkan muntah dan terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan memasukkan guedel secara terbalik sampai menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 180o dan diletakkan dibelakang lidah. Naso-pharyngeal airway juga merupakan salah satu alat untuk membebaskan jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah satu lubang hidung yang tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya terletak di fariks. Jika pada saat pemasangan mengalami hambatan berhenti dan pindah kelubang hidung yang satunya. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher. 2) Breathing Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada klien harus dibuka untuk melihat

41

pernafasan yang baik. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Evaluasi kesulitan pernafasan karena edema pada klien cedera wajah dan leher. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothoraks dan hemathotoraks massif. Jika terjadi hal yang demikian siapkan klien untuk intubasi trakea atau trakeostomi sesuai indikasi. 3) Circulation Kontrol pendarahan vena dengan menekan langsung sisi area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan area perdarahan. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus. Darah yang keluar berkaitan dengan fraktur femur dan pelvis. Pertahankan tekanan darah dengan infuse IV dan plasma. Berikan transfusi untuk terapi komponen darah sesuai ketentuan setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena obstruksi jantung paru menyebabkan penurunan suplai oksigen pada jaringan menyebabkan kolaps sirkulasi.

42

Pembebatan ekstremitas dan pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang menyertai fraktur. 4) Disability/evaluasi neurologis Evaluasi keadaan neurologis secara cepat, yaitu tingkat kesadaran ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen atau penurunan perfusi ke otak atau perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi. 5) Exporsure Di RS klien harus dibuka keseluruhan pakainnya, untuk evaluasi klien. Setelah pakaian dibuka, penting agar klien tidak kedinginan, harus diberikan selimut hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. b. Survey sekunder 1) Kaji riwayat trauma, mengetahui riwayat trauma, karena penampilan luka kadang tidak sesuai dengan parahnya cedera, jika ada saksi seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara petugas melakukan pemeriksaan klien. 2) Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki secara sistematis, inspeksi adanya laserasi, bengkak, dan deformitas. 3) Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple:

43

a) Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian sering disertai dengan trauma pada lumbal b) Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat disertai dengan trauma panggul c) Trauma lengan sering menyebabkan trauma pada siku sehingga lengan dan siku harus dievakuasi bersamaan d) Trauma proksimal fibula dan lutut sering menyebabkan trauma pada tungkai bawah e) Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi f) Kaji adanya krepitasi pada area fraktur g) Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur pelvis dan femur h) Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka, tertutup dapat menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup sehingga menyebabkan penekanan saraf i) Kaji TTV secara berkelanjutan.

44

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN FRAKTUR MULTIPLE A. Multiple Trauma

Gambar 3.1 Kondisi Pasien

1. Kasus Tn. B (18 tahun) datang ke IGD RSUD A. W. Sjahranie Samarinda dibawa oleh masyarakat sekitar dalam keadaan tidak sadarkan diri dan sulit bernafas. Pasien merupakan korban tabrak lari antara sepeda motor dan mobil. Kondisi pasien tampak perdarahan hebat di kaki sebelah kiri, dan terdengar snoring dan gurgling. Saat dilakukan pengkajian di triage pasien mendapatkan gelang merah dan dibawa ke ruang resusitasi.

45

a. Pengkajian 1) Primary survey A : Airway dengan kontrol servikal Pada pasien Tn. B terdengar snoring dan gurgling saat pasien bernapas, keluar darah dari mulut dan hidung pasien. Pasien dicurigai fraktur basis cranii. SaO2 : 44% Analisa masalah : 1. Pola napas tidak efektif 2. Ketidakefektian bersihan jalan napas Intervensi : 1. Jaw trust 2. Pemasangan servicall collar 3. Kolaborasi intubasi 4. Suction 5. Pemberian O2 6. Observasi SaO2 Implementasi : 1. Pemasangan NRM 10L/menit 2. Pemasangan mayo 3. Suction 4. Menganjurkan jaw trust 5. Kolaborasi intubasi ETT

46

Evaluasi : 1. Jaw trus tidak dilakukan 2. SaO2 : 69% 3. Gurgling 4. Darah hasil suction: 150 cc.

B : Breathing dan ventilasi a) Pergerakan dada tidak simetris b) RR : 34x/ menit c) Terdengar ronchi saat diauskultasi d) Tidak tampak adanya jejas pada dinding thorak e) Perkusi : hipersonor (kanan), sonor (kiri) f) Palpasi : tidak ada krepitasi g) SaO2 : 69%. Analisa masalah : 1. Pola napas tidak efektif 2. Gangguan pertukaran gas. Intervensi : 1. Berikan O2 maksimal melalui NRM 2. Observasi SaO2

47

Implementasi : 1. Memberikan O2 maksimal melalui NRM 2. Dilakukan punksi paru pada pasien dan dilakukan foto thorak: pneumothorak 3. Dilakukan drainage sederhana pada pasien. Evaluasi : 1. SaO2 : 58% kemudian turun menjadi 40% 2. Kemudian pasien mengalami apnea. Diagnosa baru : Gangguan ventilasi spontan Memberikan O2 melalui Bag Valve Mask (BVM) dengan aliran maksimal. E : Pasien masih apnea, SaO2 38% dan terus menurun sampai tidak terbaca alat.

C : Circulation dengan kontrol perdarahan a) TD : 80/ palpasi b) Nadi teraba lemah dan cepat c) N : 110x/ menit d) Akral dingin dan pucat e) Mukosa bibir sianosis f) Perdarahan melalui mulut dan hidung g) Close fraktur femur dextra

48

h) Terdapat luka sayat iris di betis dengan kedalaman sampai serabut otot. Analisa masalah : 1. Ketidakefektifan perfusi jaringan Perencanaan : 1. Kolaborasi pemberian infuse 2 jalur 2. Observasi nadi dan tekanan darah 3. Pemasangan monitor jantung. Implementasi : 1. Memberikan infus RL dengan 2 jalur 2. Observasi nadi dan tekanan darah 3. Memasang monitor jantung. Evaluasi : 1. Infus RL terpasang 2 jalur di kaki kanan dan tangan kanan habis sebanyak 7 kolf (3500cc) 2. Dilakukan RJP sebanyak 5 siklus 3. Diberikan epinefrin 4. Akral dingin.

D : Disability a) Tingkat kesadaran A = Allert V = Respon to voice

49

P = Respon to pain U = Unresponsive b) Pupil/ tanda lateralisasi lain Ukuran pupil kanan dan kiri (Midriasis) Respon pupil terhadap cahaya (-)

E : Exposure 1. Buka pakaian penderita: a) Terdapat close fracture di femur sebelah kanan b) Terdapat luka sobek terbuka di betis kaki kiri.

2) Secondary survey a) Pemeriksaan Head to toe 1. Kepala D : perubahan bentuk pada dahi C : Lebam di daerah mata dan dahi A:P:B:T:L:S : bengkak di mata dan dahi.

50

2. Wajah D:C : lebam di mata dan dahi A:P:B:T:L:S : bengkak di bibir, dagu, dahi dan pipi. 3. Servikalis dan leher a. JVP tidak terkaji karena pasien dicurigai fraktur basis cranii b. Tidak ada deviasi trakea c. DCAPBTLS tidak ada. 4. Thorak I : tampak gerakan dinding dada tidak simetris. DCAPBTLS tidak ada. P : krepitasi (-), ternerness (tidak terkaji) P : sonor (paru kiri), hipersonor (paru kanan) A : ronchii di semua lapang paru. 5. Abdomen I : DCAPBLS tidak ada P : tidak terkaji tenderness

51

P : tidak dilakukan A : tidak dilakukan. 6. Pelvis a. Tidak dilakukan pengkajian pelvis karena masih terbalut celana pasien b. Tidak dilakukan DCAPBTLS TIA. 7. Ekstremitas D : ekstremitas atas kiri C : ekstremitas bawah kanan A : ekstremitas bawah kiri dan telapak kaki kanan dan tangan kiri P:B:T : tidak terkaji L : betis kaki kiri S:8. Bagian punggung Tidak terkaji. b. Diagnosa Keperawatan 1) Bersihan jalan napas tidak efektif 2) Pola napas tidak efektif 3) Gangguan pertukaran gas 4) Penurunan curah jantung

52

5) Gangguan perfusi jaringan perifer 6) Gangguan perfusi jaringan cerebral 7) Nyeri dada 8) Kelebihan volume cairan 9) Kekurangan volume cairan 10) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan 11) Gangguan termoregulasi (hiper dan hipo) 12) Kecemasan/ panic 13) Risiko cedera 14) Hambatan mobilitas fisik. c. Rencana Tindakan Keperawatan 1) Observasi, pemantauan/ monitor 2) Tindakan mandiri keperawatan a) Airway : head till chin lift, jaw trust, heimilich manufer, suction, pasang OPA, NPA b) Breathing : posisi semifowler, observasi RR, irama, latihan napas dalam, latihan batuk, bagging. c) Circulation : BHD, monitor TTV, monitor intake output, monitor tetesan infus, menghentikan perdarahan dengan balut tekan. 3) Kolaborasi a) Airway : pemasangan intubasi, krikotirotomi b) Breathing : terapi oksigen, nebulizer

53

c) Circulation : pemberian terapi cairan, pemasangan kateter. 4) Pendidikan kesehatan. d. Evaluasi Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pasien dapat 5 menit, 15 menit, 30 menit, atau 1 jam sesuai dengan kondisi pasien/ kebutuhan.

54

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan lebih dari satu garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan gangguan fungsi pada area fraktur. Akibat dari fraktur multiple menyebabkan multiple trauma dan memerlukan penanganan segera. Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan. Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera. Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima dalam satu jam pertama

(golden

period)

sesudah

55

cedera

sangat

penting

untuk

mempertahankan nyawa pasien. The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan pernapasan, atau komplikasi lain.

B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang gangguan pada sistem muskuloskeletal, baik dari konsep maupun pengkajian dan pemeriksaan fisik serta penatalaksanaan awal yang harus diberikan, sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update ilmu pengetahuan. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi. 3. Bagi Mahasiswa Diharapkan

mahasiswa

mampu

mengetahui

pengkajian

dan

pemeriksaan fisik kegawatdaruratan muskuloskeletal sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

56

DAFTAR PUSTAKA Price, A.S.,

Wilson M.L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Alih Bahasa: Dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta Ecg. Janquiera, Luiz Carlos., Carneiro, Jose., 2006. Basic Histology. Alih Bahasa: Dr. Jan Tambayong. Penerbit. Jakarta Ecg. Netter, Frank H. 2008. Atlas Of Human Anatomy 5th Edition. Saunders. Gerard J Tortora Bd. Principles Of Anatomy & Physiology. 13 Ed2012. Mahartha, Gde Restu Adi; Maliawan, Sri; Kawiyana, Ketut Siki. Manajemen Fraktur Pada Trauma Muskuloskeletal. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2013. P1-13. Young, Jeremy W. R. Skeletal Trauma: General Consideration. In Sutton, David, Seventh Eds. Textbook Of Radiology And Imaging. London: Elsevier Science Ltd. 2003. P 1371-87. Rogers, Lee F.; Taljanovic, Mihra S.; Boles, Carol A. Skeletal Trauma. In Grainger & Allison's Diagnostic Radiology, 5th Ed. London: Churchill Livingstone. 2008. Price, Sylvia A.; Wilson, Lorraine M. Pathophysiology:Clinical Concepts Of Disease Processes 6th Edition. Vol.2. Alih Bahasa: Dr. Brahm U. Pendit. Jakarta: Ecg. 2013. P 1365-72. Mettler, Fred A. Essential Radiology Second Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005. Patel, Pradip R. Lecture Notes: Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. P 221-3. Broughton Ns. A Textbook Of Pediatric Orthopaedic: Global Help; 1997. Wanke P. Mercer's Textbook Of Orthopaedics And Trauma: Edward Arnold Ltd; 2012. Ducworth T Bcm. Lecture Notes Orthopaedic And Fracture 2010. Greene W. Netter's Orthopaedics: Elsevier; 2006.

57

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kemenkes RI.2013. Daniel P Lew FAW. Osteomyelitis: Elsevier Science Ltd; 2004. Carlos Pineda RE. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography,

Computed

Tomography,

Ultrasonography,

Magnetic

Resonance Imaging, and Scintigraphy. Seminar in Plastic Surgery. 2009;23th.

58

Related Documents

Multiple
May 2020 27
Multiple
June 2020 31
Antahkarana Multiple
November 2019 16
Multiple Ks
April 2020 13
Multiple Integrals
May 2020 10

More Documents from ""

Dkbm.xls
April 2020 24
Menu Balita.docx
April 2020 21
Jadwal Dokter.docx
December 2019 30
Pemeriksaan Luar.docx
December 2019 27