Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Case Report Session
SUDDEN DEAFNESS
Oleh: Arjuna Fiqrillah Okta Rahmanda
1740312254 1740312262
Preseptor : dr. Jacky Munilson, SpTHT-KL (K), FICS
BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M. DJAMIL PADANG 2019
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
1
Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Meet The Expert
Sudden Deafness Arjuna Fiqrillah, Okta Rahmanda1
Affiliasi penulis : 1. Profesi Dokter FK UNAND (Fakultas Kedokteran Universitas Andalas); PENDAHULUAN Tuli mendadak atau Sudden Deafness atau bisa juga disebut Sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) adalah penurunan fungsi pendengaran sensorineural yang mendadak, minimal 30 dB atau lebih. Penurunan fungsi sensorineural ini minimal terjadi pada tiga frekuensi berturut-turut dan terjadi selama 3 hari. Insidensi diperkirakan 5-20/10.000 per tahun. 1,2 Kasus tuli mendadak dapat sembuh spontan pada 32%-65% kasus.Pemulihan ini tergantung pada berbagai faktor, yakni: usia, adanya vertigo saat onset, tingkat gangguan pendengaran, konfigurasi audiometri, onset gangguan dan cepat mendapat pengobatan. 3 Meskipun etiologi dari Sudden Deafness masih diklasifikasikan kedalam kelompok idiopatik, infeksi virus, penyakit imun dan kerusakan mikrosirkulasi pada koklea dipercaya penyebab dari Sudden Deafness ini. 1,2 Iskemik koklea diduga merupakan penyebab utama terjadinya Sudden Deafness. Keadaan ini terjadi akibat spasme, trombosis, atau perdarahan arteri audtiva interna yang merupakan end artery sehingga apabila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini akan menyebabkan kerusakan pada koklea. Kerusakan pada koklea ini biasanya bersifat permanen dan kecepatan dalam mendapatkan pengobatan akan mempengaruhi prognosis. Sudden Deafness ini masuk kedalam kegawatdaruratan neurotologi 1,3
TINJAUAN PUSTAKA ANATOMI TELINGA DALAM Labirin ( telinga dalam ) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan, terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari : 1. Labirin bagian tulang, terdiri dari : kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea. 2. Labirin bagian membran, yang terletak didalam labirin bagian tulang, terdiri dari : kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus serta koklea. Antara labirin bagian tulang dan membran terdapat suatu ruangan yang berisi cairan perilimfe yang berasal dari cairan serebrospinalis dan filtrasi
dari darah. Didalam labirin bagian membran terdapat cairan endolimfe yang diproduksi oleh stria vaskularis dan diresorbsi pada sakkus endolimfatikus.4,5 Vestibulum Vestibulum adalah suatu ruangan kecil yang berbentuk oval, berukuran ± 5 x 3 mm dan memisahkan koklea dari kanalis semisirkularis. Pada dinding lateral terdapat foramen ovale ( fenestra vestibuli ) dimana footplate dari stapes melekat disana. Sedangkan foramen rotundum terdapat pada lateral bawah. Pada dinding medial bagian anterior terdapat lekukan berbentuk spheris yang berisi makula sakkuli dan terdapat lubang kecil yang berisi serabut saraf vestibular inferior. Makula utrikuli terletak disebelah belakang atas daerah ini. Pada dinding posterior terdapat muara dari kanalis semisirkularis dan bagian anterior berhubungan dengan skala vestibuli koklea. 4,5 Kanalis Semisirkularis Terdapat 3 buah kanalis semisirkularis : superior, posterior dan lateral yang membentuk sudut 90° satu sama lain. Masing-masing kanal membentuk 2/3 lingkaran, berdiameter antara 0,8 – 1,0 mm dan membesar hampir dua kali lipat pada bagian ampula. Pada vestibulum terdapat 5 muara kanalis semisirkularis dimana kanalis superior dan posterior bersatu membentuk krus kommune sebelum memasuki vestibulum. 4,6 Koklea Terletak didepan vestibulum menyerupai rumah siput dengan panjang ± 30 – 35 mm. Koklea membentuk 2 ½ - 2 ¾ kali putaran dengan sumbunya yang disebut modiolus yang berisi berkas saraf dan suplai darah dari arteri vertebralis.4,6
Gambar 1. Anatomi Koklea Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
2
Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sakulus dan utrikulus Terletak didalam vestibulum yang dilapisi oleh perilimfe kecuali tempat masuknya saraf didaerah makula. Sakulus jauh lebih kecil dari utrikulus tetapi strukturnya sama. Sakulus dan utrikulus ini berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus utrikulo-sakkularis yang bercabang menjadi duktus endolimfatikus dan berakhir pada suatu lipatan dari duramater pada bagian belakang os piramidalis yang disebut sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu. Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang dikelilingi oleh sel-sel penunjang yang terletak pada makula. Pada sakulus terdapat makula sakuli dan pada utrikulus terdapat makula utrikuli.5 Perdarahan Telinga dalam memperoleh perdarahan dari a. auditori interna (a. labirintin) yang berasal dari a. serebelli inferior anterior atau langsung dari a. basilaris yang merupakan suatu end arteri dan tidak mempunyai pembuluh darah anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini bercabang 3 yaitu : 1. Arteri vestibularis anterior yang mendarahi makula utrikuli, sebagian makula sakuli, krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus dan sakulus. 2. Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli, kanalis semisirkularis posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran basal dari koklea. 3. Arteri koklearis yang memasuki modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri spiral yang mendarahi organ Corti, skala vestibuli, skala timpani sebelum berakhir pada stria vaskularis.
bercabang dua sebagai N. vestibularis dan N. koklearis. Pada dasar meatus akustikus internus terletak ganglion vestibulare dan pada modiolus terletak ganglion spirale.5
Gambar 3. Persyarafan Telinga Dalam FISIOLOGI PENDENGARAN Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe dan membran basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang N. VIII, kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.2 FISIOLOGI VESTIBULER
Gambar 2. Perdarahan Telinga Dalam Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena auditori interna mendarahi putaran tengah dan apikal koklea. Vena akuaduktus koklearis mendarahi putaran basiler koklea, sakulus dan utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akuaduktus vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena ini mengikuti duktus endolimfatikus dan masuk ke sinus sigmoid.4 Persarafan N. akustikus bersama N. fasialis masuk ke dalam porus dari meatus akustikus internus dan
Kanalis semisirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik dan terangsang oleh gerakan yang melingkar, sehingga kemana saja arah kepala, asal gerakan itu membentuk putaran, maka gerakan itu akan tertangkap oleh salah satu, dua atau ketiga kanalis semisirkularis bersama-sama. Pada manusia, kanalis semisirkularis horizontal yang mempunyai peran dominan oleh karena manusia banyak bergerak secara horizontal. Utrikulus dan sakulus merupakan alat keseimbangan statik, yang terangsang oleh gerak percepatan atau perlambatan yang lurus arahnya, dan juga oleh gravitasi. Utrikulus terangsang oleh gerakan percepatan lurus dalam bidang mendatar, sedangkan sakulus terangsang oleh gerakan percepatan lurus dalam bidang vertikal.2 Dalam keadaan diam, gravitasi berpengaruh terhadap utrikulus maupun sakulus. Hubungan sistem Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
3
Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas vestibuler dengan otot-otot mata erat sekali, sehingga semua gerakan endolimfe selalu diikuti oleh gerakan bola mata. Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga kelainan sistem vestibuler bisa menimbulkan gejala pada sistem tubuh yang bersangkutan. 2.2 SUDDEN DEAFNESS 2.2.1 Definisi Tuli mendadak atau Sudden Deafness atau bisa juga disebut Sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) adalah penurunan fungsi pendengaran sensorineural yang mendadak, minimal 30 dB atau lebih. Penurunan fungsi sensorineural ini minimal terjadi pada tiga frekuensi berturut-turut dan terjadi selama 3 hari. 1,2 2.2.2 Epidemiologi Insiden Sudden Deafness adalah 5-20 per 100.000. Insiden Sudden Deafness ini mungkin lebih tinggi dari perkiraan ini karena individu yang terkena dampak yang pulih dengan cepat tidak hadir untuk perawatan medis. Meskipun individu dari segala usia dapat dipengaruhi, insiden puncaknya adalah antara dekade kelima dan keenam kehidupan. Sudden Deafness terjadi dengan kejadian yang sama pada pria dan wanita. Hampir semua kasus bersifat unilateral; kurang dari 2% pasien memiliki keterlibatan bilateral dan biasanya keterlibatan bilateral adalah kelanjutan dari kasus unilateral.7 2.2.3 Etiologi Penyebab pasti tuli mendadak kadang sulit untuk diketahui, umumnya diakibatkan gangguan pada saraf telinga (pada rumah siput/koklea) oleh berbagai hal seperti trauma kepala, bising yang keras, infeksi virus, perubahan tekanan atmosfer dan adanya kelainan darah, autoimun, obat ototoksik, sindrom meniere, dan neuroma akustik. Tetapi yang biasanya dinggap sebagai etiologi adalah iskemia kolklea dan infeksi virus.8 Sekitar 7-45% pasien SSNHL dapat diidentifikasi penyebabnya (SSNHL non idiopatik). Suatu meta analisis dari 23 studi SSNHL mengidentifikasi penyebab paling banyak SSNHL non idiopatik adalah infeksi (12,8%) diikuti dengan penyakit otologi (4,7%), trauma (4,2%), vaskular atau hematologik (2.8%), neoplastik (2,3%) dan penyebab lainnya (2,2%) seperti reaksi konversi dan pemberian obat-obat ototoksik. Lebih dari 90% pasien SSNHL tidak diketahui penyebabnya dan diklasifikasikan sebagai SSNHL idiopatik. Hipotesis penyebab SSNHL idiopatik yang paling banyak diterima adalah kelainan vaskular, ruptur membran intrakoklear dan proses infeksi virus.7,9 Beberapa faktor resiko tuli mendadak diantaranya penyakit metabolik (Diabetes), penyakit kardiovaskuler (Hipertensi, dislipidemia; hiperkolesterol, hipertrigliserida dan hiperfibrinogenemia), infeksi virus (Varicela/ Herpes simpleks), psikosoial (Stress), neoplasma (Neuroma
akustik, Cerebellopontin angle tumor), autoimun (Sindroma Wagener), kelelahan dan sebagainya.10 2.2.4 Patofisiologi Terdapat empat teori yang dapat menjelaskan terjadinya tuli mendadak yaitu, kelianan vaskuler labirin, ruptur membran intrakoklear, infeksi virus, dan penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan imun. 1. Kelainan vaskular Aliran darah koklea berasal dari 2 arteri terminal. Kecilnya diameter pembuluh darah arteri dan tanpa ada pembuluh darah kolateral menyebabkan koklea rentan terhadap cedera yang melibatkan pembuluh darah. Kelainan vaskular sebagai penyebab SSNHL bisa juga terjadi akibat adanya perdarahan vaskular akut, oklusi emboli dan penyakit vaskular, vasospasme atau akibat perubahan viskositas darah.7,11 2. Ruptur membran intrakoklea Trauma pada koklea dengan robekan atau ruptur pada membran telinga dalam menyebabkan keluhan kehilangan pendengaran mendadak disertai dengan sensasi “pop” yang terjadi saat aktivitas berat atau peningkatan tekanan intrakranial. Akibat dari ruptur membran intrakoklear terjadi percampuran cairan perilimfe dan endolimfe. Pemeriksaan histopatologi postmortem pada tulang temporal pasien SSNHL idiopatik menyokong teori ruptur membran sebagai patofisologi SNHL idiopatik.7,12 3. Infeksi virus Infeksi atau reaktivasi virus pada telinga dalam menyebabkan terjadinya inflamasi koklea dan kerusakan struktur telinga dalam. Data klinis, studi hewan invitro dan studi histopatologi pada tulang temporal pasien SSNHL menyokong etiologi ini. Peningkatan signifikan kadar serum antibodi antiviral termasuk antibodi terhadap sitomegalovirus, herpes simplek tipe 1, herpes zoster, influenza B, mumps, enterovirus dan rubeola berhasil diisolasi dari serum pasien SSNHL idopatik. Tulang temporal pasien SSNHL idiopatik menunjukkan pola histologis yang sama dengan labirintitis viral yaitu atropi pada organ korti, membran tektorial, stria vaskularis dan end organ vestibular.7 4. Penyakit autoimun Ketulian sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun telinga dalam tapi proses ini masih belum jelas. Aktivitas imunologik koklea menunjukkan fakta yang tinggi.13 SSNHL bilateral sangat jarang terjadi dan merupakan kondisi sistemik serius dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mekanisme penyebab umum SSNHL bilateral adalah toksik, autoimun, neoplastik dan vaskular. SSNHL bilateral merupakan kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan segera untuk menyingkirkan kondisi yang mengancam jiwa atau kondisi-kondisi yang reversibel.14 Kerusakan pendengaran secara permanen terjadi akibat rusaknya sel rambut dan struktur telinga dalam pada pasien SSNHL yang dapat diidentifikasi penyebabnya (SSNHL non idiopatik). Sebaliknya sebagian besar (85-90%) pasien SSNHL idiopatik akan mengalami perbaikan fungsi pendengaran. Studi placebo-kontrol menunjukkan terjadinya perbaikan fungsi pendengaran tanpa pemberian terapi pada 32Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
4
Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 65% pasien (rata-rata 46,7%) umumnya dalam dua minggu onset. Studi lainnya mendapatkan sekitar 45% pasien SSNHL idiopatik mengalami perbaikan spontanfungsi pendengaran 10 dB dibandingkan dengan sisi kontralateral. Lama durasi hilangnya pendengaran dihubungkan dengan kemungkinan perbaikan pendengaran dan umumnya defisit yang durasinya lebih dari 2-3 bulan menjadi permanen. 7,12 2.2.5 Diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Berdasarkan pedoman klinis tuli sensorineural mendadak dari American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) pada tahun 2013, langkah pertama dari penegakan diagnosis tuli mendadak adalah klinisi harus mampu membedakan tuli sensorineural (SNHL) dengan tuli konduksi (CHL) karena sangat penting untuk menentukan terapi dan prognosis. Keduanya bisa dibedakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti tes garputala dan audiometri. Penanganan tuli konduksi dan tuli sensorineural sangat berbeda misalnya pada tuli konduksi akibat sumbatan serumen, terapi bisa diberikan secara efektif dan prognosis baik. 7,12 Anamnesis yang harus ditanyakan adalah adanya riwayat trauma, nyeri pada telinga luar dan saluran telinga, drainase telinga, demam dan gejala sistemik lainnya. Pasien SNHL biasanya melaporkan adanya tinnitus, rasa penuh pada telinga atau vertigo. Pemeriksaan saluran telinga dan membran timpani penting untuk membedakan CHL dan SNHL. Penyebab CHL antara lain adanya sumbatan serumen, otitis media, benda asing, otosklerosis, trauma dan kolesteatoma. Anamnesis lainnya adalah adanya riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral yang bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal. Pasien SSNHL dengan riwayat kehilangan pendengaran yang bersifat fluktuatif harus dievaluasi kemungkinan penyebabnya adalah penyakit Meniere, kelainan autoimun, sindrom Cogan dan sindrom hiperviskositas. Penyakit Meniere merupakan penyebab paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang unilateral. Penyakit telinga tengah autoimun dan sindrom Cogan biasanya melibatkan telinga bilateral. Semua kondisi tersebut menyebabkan penurunan pendengaran yang bertahap dan fluktuatif, namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.7,14 Tuli mendadak disertai dengan gejala dan tanda neurologis fokal mengindikasikan keterlibatan sistem saraf pusat. Oklusi arteri auditorik interna paling sering terlibat dalam mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Arteri auditorik interna mendapatkan suplai dari arteri serebelar inferior anterior (AICA). Area yang terkena biasanya adalah pedunkulus serebelum media dan pons lateral. Hampir sebagian besar infark labirin terkait distribusi AICA dihubungkan dengan hilangnya pendengaran unilateral dan gangguan vestibular akut. Tuli mendadak unilateral bisa merupakan manifestasi dari Transient Ischemic Attack pada distribusi AICA. Gejala yang menyertai tuli mendadak akibat oklusi AICA antara lain sindrom horner ipsilateral (paresis okulosimpatetik yang terdiri dari miosis, ptosis dan anhidrosis), diplopia, nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral dan kesemutan, ataksia, vertigo, slurred speech,
kekakuan ektremitas unilateral, kehilangan kontrol nyeri dan suhu kontralateral. 7,11 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan audiometri nada murni (pure tone audiometry) wajib dikerjakan untuk diagnosis pasti SSNHL karena dapat membedakan CHL dengan SNHL dan menetapkan frekuensi ambang pendengaran. Pasien memerlukan pemeriksaan serial audiometri untuk menilai adanya pemulihan pendengaran, memonitor terapi, menentukan perlunya rehabilitasi auditorik, skrining adanya relaps dan menyingkirkan adanya ketulian pada telinga kontralateral. Pemeriksaan garputala Weber dan Rinne test penting dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan audiometri atau pada kondisi tidak tersedianya pemeriksaan audiometri.7,12,15 Tabel 1. Kriteria tuli mendadak
Pemeriksaan Auditory Brainsteam Response (ABR) digunakan untuk menyingkirkan adanya lesi pada serebelopontin angle (CPA) atau kanal auditorik internal (IAC) sebagai penyebab tuli unilateral. ABR sangat berguna pada kondisi tidak tersedianya MRI atau kontra indikasi dilakukan MRI. Sensitivitas pemeriksaan ABR untuk mendiagnosis tumor lebih rendah dibandingkan dengan MRI yaitu 88% dibandingkan dengan 99%. Namun pada tumor yang ukurannya <1 cm, pemeriksaan ABR memiliki sensitivitas yang lebih tinggi sekitar 95% dengan spesifisitas sampai 88% dibandingkan dengan MRI.7,12 Pemeriksaan MRI kepala dilakukan untuk mendeteksi kelainan retrokoklea yaitu lesi struktural pada nervus vestibulokoklear, batang otak dan otak. Adanya kelainan pada ABR dan audiometri merupakan indikasi dilakukan pemeriksaan MRI untuk penilaian lebih lanjut. Pemeriksaan CT scan tidak tepat digunakan untuk penilaian awal pasien dengan dugaan SSNHL karena tidak memperoleh informasi untuk meningkatkan penanganan awal pasien. Kecuali pada pasien dengan defisit neurologi fokal, adanya riwayat trauma dan penyakit telinga kronis, serta pada kondisi yang tidak memungkinkan dilakukan MRI seperti pasien menggunakan pace maker, klaustropobia atau ada masalah pembiayaan.7,12 Pemeriksaan laboratorium rutin tidak diperlukan untuk mendiagnosis SSNHL idiopatik karena berkaitan dengan pembiayaan dan potensial terjadi bias positif palsu. Pemeriksaan laboratorium spesifik berguna untuk mengidentifikasi penyebab potential yang spesifik seperti pemeriksaan marker inflamasi dan pemeriksaan infeksi yang spesifik seperti ELISA untuk penyakit Lyme yang kemudian dikonfirmasi dengan Western Blot, pemeriksaan cairan likuor otak untuk infeksi meningitis, pemeriksaan VDRL untuk penyakit sifilis. Pemeriksaan serologi pada dugaan penyakit autoimun dilakukan pemeriksaan antinuclear antibody (ANA test) dan Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
5
Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas faktor rheumatoid. Apabila penyakit dasar dicurigai akibat faktor vaskular maka dilakukan pemeriksaan sesuai dengan faktor resiko vaskular seperti lipid profil dan serum glukosa. Pasien dengan penyakit metabolik seperti tiroid bisa dilakukan pemeriksaan TSH, T3 dan free T4.7 2.2.6 Tatalaksana Terapi SSNHL berdasarkan penyakit dasar pada kasus SSNHL yang dapat diidentifikasi penyebabnya. Beberapa kasus berpotensi mengalami perbaikan pendengaran setelah terapi antara lain schwannoma vestibular, gondok dan sifilis sekunder. Namun pemberian terapi pada sebagian besar kasus SSNHL dari etiologi yang dapat diidentifikasi tidak memperbaiki tingkat pendengaran kembali seperti tingkat pre onset.7 Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut tentang perlu tidaknya terapi dan pilihan terapinya. Salah satu dasar perdebatan adalah kenyataan bahwa SSNHL idiopatik sembuh secara spontan pada 45-65% pasien. Pengobatan SSNHL idiopatik yang sudah diteliti antara lain penggunaan antiinflamasi, antimikroba, antagonis kalsium, vitamin, mineral esensial, vasodilator, volume expanders, defibrinogenator, diuretik, oksigen hiperbarik dan bedrest. Kesulitan pemilihan pengobatan karena banyaknya variasi etiologi SSNHL idiopatik dan kurangnya hasil terapi tersebut yang menunjukkan secara jelas lebih baik. Sekitar 85-90% kasus masih belum diketahui penyebab pasti meskipun sudah dilakukan evalusi pada saat awal muncul gejalanya sehingga umumnya terapi diberikan tanpa mengetahui penyebabnya.7,12 Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih kontroversi, namun adanya konsekuensi serius akibat SSNHL yang berat maka terapi kortikosteroid merupakan satu dari sedikit pilihan pengobatan yang menunjukkan bukti adanya efikasi. Pemberian terapi kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dan edema pada telinga dalam. Penelitian doubleblinded randomized controlled trials pada 67 pasien dengan menggunakan regimen steroid yang berbeda didapatkan perbaikan pada pasien yang mendapatkan steroid (78%) dibandingkan dengan plasebo (38%). Pemberian kortikosteroid sebagai terapi awal SSNHL idiopatik memberikan pemulihan yang baik pada pemberian 2 minggu pertama dan manfaat kecil bila pemberiannya setelah 4-6 minggu. Direkomendasikan pemberian pengobatan prednison oral dengan dosis tunggal 1mg/kg/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14 hari. Protokol terapi yang representatif menggunakan pengobatan dengan regimen dosis maksimal selama 4 hari diikuti dengan tappering 10 mg tiap 2 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Efek samping prednison bersifat sistemik akibat penekanan aksis hipotalamushipofisis-adrenal meliputi insomnia, dizziness, kenaikan berat badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif dan hiperglikemia.7,16 Pemberian kortikosteroid intratimpani merupakan solusi bagi pasien SSNHL idiopatik yang tidak dapat mentoleransi atau refrakter terhadap terapi steroid sistemik. Kortikosteroid intratimpani lebih banyak dikerjakan untuk managemen SSNHL yang idiopatik. Pemberian kortikosteroid intratimpani berupa deksametason 10-24 mg/ml atau metilprednisolon 30 mg/ml. Pemberian kortikosteroid intratimpani
menyebabkan kadar steroid perilimfe yang lebih tinggi dibandingkan pemberian sistemik dan tidak diabsorbsi kedalam sirkulasi sistemik sehingga efek sistemik yang timbul juga minimal. 7,12,16 Terapi oksigen hiperbarik pada kasus SSNHL idiopatik diduga memiliki efek yang kompleks terhadap imunitas, transpor oksigen dan hemodinamik, mengurangi hipoksia dan edema serta memicu respon normal terhadap infeksi dan iskemia. Terapi oksigen hiperbarik diberikan dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah diagnosis SSNHL dengan cara memberikan oksigen 100% pada tekanan lebih dari 1 atmosphere absolute (ATA) menggunakan chamber khusus untuk meningkatkan hantaran oksigen menuju kokhlea karena kokhlea sangat sensitif terhadap kondisi iskemia. Efek samping terapi oksigen hiperbarik berupa gangguan telinga, sinus dan paru akibat perubahan tekanan (barotrauma), klaustrofobia dan keracunan oksigen. Terapi oksigen hiperbarik belum mendapat persetujuan FDA namun telah diimplementasikan untuk terapi SSNHL idiopatik sebagai pengobatan tambahan berdasarkan tinjauan Cochrane terhadap 7 RCTs yang dipublikasi dari tahun 1985-2004. Studi prospektif lainnya berupa pemberian terapi oksigen ditambah terapi standar prednisolon dibandingkan dengan terapi prednisolon saja tidak menemukan perbedaan signifikan dari kedua regimen tersebut. Terapi farmakologi lainnya berupa pemberian antivirus, trombolitik, vasodilator, substansi vasoaktif atau antioksidan secara rutin tidak direkomendasikan pada pasien SSNHL karena belum ada bukti keberhasilan terapi dengan obat-obat tersebut.7,12,17 2.2.7 Prognosis Prognosis SSNHL tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, adanya vertigo saat onset, derajat gangguan pendengaran, karakteristik awal audiometri, waktu antara onset gangguan pendengaran dengan dimulainya terapi. Direkomendasikan untuk melakukan follow up jangka panjang sehingga dapat mengidentifikasi penyebab SSNHL yang mungkin belum ditemukan saat penanganan awal. Pasien dengan SSNHL idiopatik sangat penting melakukan follow up audiometri yang menentukan keberhasilan terapi. Follow up pada 156 pasien yang didiagnosis SSNHL idiopatik 54,5% menunjukkan perbaikan dalam 10 hari meskipun belum komplit. Perbaikan final dicapai dalam 1 bulan pada 78% pasien, 3 bulan pada 97 pasien dan hanya 0,6% yang perbaikannya mencapai 6 bulan. Sehingga disarankan untuk melakukan follow up audiometri hingga 6 bulan. Pasien tuli mendadak yang telah mendapat pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan maka dibutuhkan rehabilitasi auditorik. 12,18
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
6
Dokter Muda THT-KL Periode Maret – April 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR PUSTAKA 1. Cho J, Cheon H, Park JH, Lee H-J, Kim H-J, Choi HG, et al. (2017) Sudden sensorineural hearing loss associated with inner ear lesions detected by magnetic resonance imaging. PloS ONE 12(10): 2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ke-7. Jakarta. Badan Penerbit FKUI 2017. 3. Chin-Saeng Cho, Young-Jin Choi. Prognostic factor in sudden sensorineural hearing loss; a restrospective study using interaction effects. Braz J Otorhinolaryngol; 79(4) : 466-70 4. Moore GF, Ogren FP, Yonkers AJ. Anatomy and embryology of the ear. Dalam : Lee KJ, Ed. Textbook of otolaryngology and head and neck surgery. New York : Elsevier Science Publishing,1989.h.10-20. 5. Adenan A. Kumpulan kuliah telinga. Bagian THT FK USU/RS Dr.Pirngadi. Medan. 6. Wright A. Anatomy and ultrastructure of the human ear. Dalam : Gleeson M, Ed. Scott Brown’s Basic sciences. 6th Ed. Great Britain : ButterworthHeinemann, 1997.h.1/1/28-49. 7. Kuhn M, Heman S E, Shaikh J A, Roehm P C. Sudden Sensorineural Hearing Loss: A Review of Diagnosis,Treatment, and Prognosis. Trend in Amplification; 15(3): 91-105 8. Soetirto Indro, Hendermin Hendarto, Bashiruddin J. Gangguan penbengaran dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke6. Jakarta:FK UI;2007. P 40-51 9. Chau, JK, Lin, JR, Atashband, S, Irvine, RA, Westerberg, BD. Systematic review of the evidence for the etiology of adult sudden sensorineural hearing loss. Laryngo- scope. 2010;120(5):1011-21). 10. Munilson Jacky, Yurni. Diagnosis dan Penatalaksaan Tuli Mendadak. Departemen THTKL Rumah Sakit Dr. M. Djamil. Padang. 2011. 11. Lin, RJ, Krall, R, Westerberg, BD, Chadha, NK, Chau, JK. Systematic review and metaanalysis of the risk fac- tors for sudden sensorineural hearing loss in adults. Laryngoscope. 2012;122(3):624-35. 12. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs DM, et al. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;146:S1. 13. Scheiber EB. Agung C, Haskard OD, Luxon ML. sudden sensorineural hearing loss. Lancet. 2010;375:1203-11 14. Sara SA, Teh BM, Friedland P. Bilateral sudden sensori- neural hearing loss: review. J Laryngol Otol. 2014;128 Suppl 1:8-15. 15. Lawrence R, Thevasagayam R. Controversies in the management of sudden sensorineural hearing loss: an evidence-based review. Clin Otolaryngol. 2015;40(3):176-82
16. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP, Gantz BJ, et al. Oral vs intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing loss: A randomized trial. JAMA. 2011;305(20):2071-9. 17. Korpinar S, Alkan Z, Yigit O, Gor AP, Toklu AS, Cakir B, et al. Factors influencing the outcome of idiopathic sudden sensorineural hearing loss treated with hyperbaric oxygen therapy. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2011;268(1):41-7. 18. Wittig J, Wittekindt C, Kiehntopf M, GuntinasLichius O. Prognostic impact of standard laboratory values on outcome in patients with sudden sensorineural hearing loss. BMC Ear Nose Throat Disord. 2014 Jul;14:6 19. Bashiruddin J, Sosialisman. Tinitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta : FK UI: 2012. hal. 89
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 1(1)
7