Morbus Hansen.docx

  • Uploaded by: Elsyfhaa
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Morbus Hansen.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,335
  • Pages: 18
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan milik yang sangat berharga bagi seseorang, tanpa kesehatan berarti segala aktivitas seseorang terhambat, oleh karena kondisi tubuh terganggu. Menyadari hal ini maka setiap orang dituntut untuk dapat memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga tidak akan mudah diserang oleh berbagai macam penyakit menular, dalam hal ini dapat mempengaruhi social seseorang dalam hidupnya. Permasalahan penyakit Morbus Hansen ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita morbus hansen menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. B. Rumusan Masalah 1.

Apa pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi dan pemeriksaan penunjang, pencegahan dari Morbus Hansen ?

2.

Bagaimana Konsep dasar Asuhan Keperawatan dari Morbus Hansen?

C. Tujuan 1.

Tujuan Umum Untuk mengetahui dan menganalisis tentang Morbus Hansen dan asuhan keperawatan pada klien

2.

Tujuan Khusus a.

Untuk mengtahui pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi dan pemeriksaan penunjang, pencegahan dari Morbus Hansen

1

b.

Untuk mengetahui Konsep dasar Asuhan Keperawatan dari Morbus Hansen

2

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kusta

adalah

penyakit

infeksi

kronis

yang

di

sebabkan

oleh

mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 ). Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998). Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000). Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003). Kusta (lepra atau morbus hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. Leprae) (Mansjoer A, 2008 : 65). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, peyebabnya ialahMycrobacterium Leprae yang intra seluler obligat (Adhi Djuanda, 2010 : 71).

B. Etiologi dan Cara Penularan 1. Etiologi Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA. 2. Cara Penularan Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel

3

rambut, kelenjar keringat dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama (Mansjoer A, 2008 : 65). Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah: a. Usia

: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

b. Jenis kelamin

: Laki-laki lebih banyak dijangkiti

c. Ras

: Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak di jangkiti

d. Kesadaran social : Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah e. Lingkungan

: Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

(Zulkifli,2003)

C. Patofisiologi Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan. Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya

fenolat

glikolipid

I

yang

melindungi

di

dalam

makrofag.

Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag bekerja terus-menerus

4

untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi).

Kerusakan

fungsi

motorik

akan

mengakibatkan

lemah atau lumpuhnya otot kaki atautangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup. Kelainan

juga

terjadi

berupahipopigmentasi (semacam

pada panu)

kulit,

dalam

bercak-bercak

hal

ini

merah,

dapat infiltrat

(penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan

kulit

kering

dan

alopesia.

Penyakit

ini

dapat

menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis. Pada

kornea

mata

akan

terjadi

kelumpuhan

pada

otot

mata

mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan.Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian

5

-bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan

D. Manifestasi Klinis Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut. 1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul 2. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain. Bentuk Klinis dibagi menjadi 2 : 1.

Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologissering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk

6

inimerupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yangdaya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi. 2.

Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik diselaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalankulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan dauntelinga.Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadangkadang

terjadi

hidung

pelana

karena

rusaknya

tulang

rawan

hidung.Kecacatan padabentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

E. Komplikasi dan Pemeriksaan Penunjang 1. Komplikasi Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan urat saraf tepi, kecacatan, terjadinya kerontokan alis mata, menebalnya cuping telinga, kadang-kadang terjadi hidung pelana akibat dari kerusakan tulang rawan hidung, pada bentuk yang parah bisa terjadi wajah singa (faces leonina). 2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

7

b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukanlesi ditempat lain. c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium lepraeialah:Cuping telinga kiri atau kanan.Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain. e. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:Tidak menyenangkan pasien, Positif palsu karena ada mikobakterium lain, Tidak pernah

ditemukan

hidungapabila

mikobakterium

sedian

apus

kulit

leprae

pada

negative,

selaput

Pada

lendir

pengobatan,

pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebihdulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain. f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:Semua orang yang dicurigai menderita kusta.Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta, Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangkakuman resisten terhadap obat, Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali g. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehlneelsen atau kinyoun gabett. h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yangmungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecahpecah (fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):

8

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakanuntuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukanmenurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: 0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang 1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang 2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6 :bila>1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang Indeks Morfologi (IM)Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap obat. F. Pencegahan a. Pencegahan Primer penyuluhan kesehatan pencegahan primer dapat dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta.- Pemberian Imunisasi b. Pencegahan Sekunder. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pengobatan pada penderita kusta. pengobatan penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah

9

terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. (Anggraeni, 2011)

c. Pencegahan Tersier. pencegahan cacat kusta Penemuan dini penderita sebelum

cacat,

pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf. Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf (Anggraeni, 2011). Rehabilitasi Kusta

G. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Morbus Hansen 1. Pengkajian a.

Biodata Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b.

Riwayat Penyakit Sekarang Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.

c.

Riwayat Kesehatan Masa Lalu Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi

d.

Riwayat Kesehatan Keluarga Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa

10

inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular. e.

Riwayat Psikososial Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan

f.

Pola Aktivitas Sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

g.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik. a) Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada

organ-organ

tubuh

akan

mengakibatkan

irigocyclitis.

Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok. b) Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. c) Sistem persarafan: 1) Kerusakan fungsi sensorik Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki

11

dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip. 2) Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil

(atropi)

karena tidak

dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). 3) Kerusakan fungsi otonom Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerahmerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak. 2. Diagnosa Keperawatan a. Resiko cedera b.d hilang rasa sakit akibat neuritis (D.0136) b. Gangguan intergritas kulit b.d adanya lesi (D.0129) c. Isolasi sosial b.d perubahan bentuk tubuh (D.0121) d. Gangguan mobilitas fisik b.d kelumpuhan otot (D.0054) e. Harga diri rendah situasional b.d perubahan penampilan fisik (D.0087)

12

3. Rencana Keperawatan No

Diagnosa

Tujuan dan

.

Keperawatan

Kriteria Hasil NOC

1.

Kerusakan

Setelah dilakukan tindakan

Intervensi NIC a.

Jaga kebersihan kulit

Integritas Kulit keperawatan selama 3x24

agar tetap bersih dan

b/d

kering.

Adanya jam diharapkan kerusakan

Lesi (D.0129)

integras kulit pada pasien

b.

dapat berkurang atau hilang dengan kriteria hasil :

aktivitas

dan mobilisasi pasien c.

a. Menunjukkan pemahaman dalam

Perhatikan

Monitor status nutrisi pasien

d.

Membersihkan,

proses perbaikan kulit

memantau dan

dan mencegah

meningkatkan proses

terjadinya cedera

perbaikan pada kulit.

berulang. b. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami. 2.

Isolasi

Sosial

Setelah dilakukan tindakan

a.

Membantu

pasien

b/d Perubahan keperawatan selama 3x24

menggali

bentuk

memahami gagasan,

(D.0121)

tubuh. jam diharapkan pasien

dan

sudah tidak mengisolasi

motivasi dan perilaku

dirinya dengan kriteria hasil

pasien.

:

b.

a. Menunjukkan peningkatan perasaan

13

Memfasilitasi kemampuan individu untuk

berinteraksi

harga diri.

dengan orang lain.

b. Berpartisipasi dalam aktivitas/progam pada tingkat kemampuan. 3.

Gangguan

Setelah dilakukan tindakan

a.

Kaji kemampuan

mobilitas fisik keperawatan selama 3x24

pasien dalam

b/d

jam diharapkan pasien

mobilisasi.

Kelumpuhan

sudah tidak mengalami

otot (D.0054)

hambatan mobilitas fisik

pasien saat mobilisasi

dengan kriteria hasil :

dan bantu penuhi

a.

Mengalami

kebutuhan sehari-

peningkatan dalam

hari.

aktivitas fisik. b.

c.

Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas.

c.

b.

Dampingi dan bantu

Berikan alat bantu jika biperlukan.

d.

Ajarkan pasien atau

Memverbalisasikan

tenaga kesehatan

perasaan dalam

tentang teknik

meningkatkan kekuatan

ambulasi

dan kemampuan

e.

berpindah.

Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai kebutuhan

4.

Harga

diri

rendah

Setelah dilakukan tindakan

a.

keperawatan selama 3x24

Pantau

pernyataan

pasien tentang harga

situasional b/d jam diharapkan harga diri

diri.

perubahan

pasien meningkan dengan

b.

penampilan

kriteria hasil :

percaya diri pasien

fisik. (D.0087)

a.

dalam penilaian diri

Berpartisipasi dalam pembuatan keputusan

14

c.

Temukan rasa

Kaji alasan – alasan

b.

tentang rencana asuhan.

untuk mengkritik atau

Melatih perilaku yang

menyalahkan diri

dapat menigkatkanrasa

sendiri.

pervcaya diri.

d.

Dorong pasien melakukan aktifitas sosisal dan komunitas

e.

Bantu pasien mengembangkan atau meningkatkan keterampilan social interpersonal

5.

Resiko cedera 1. setelah dilakukan tindakan

a. Beri penjelasan

b.d hilang rasa keperawatan selama 3x24

pada klien dan

sakit

keluarga tentang

akibat jam

diharapkan

resiko

neuritis

cedera pada pasien dapat

tentang penyebab

(D.0136)

hilang

hilangnya rasa serta

atau

berkurang

dengan kriteria hasil : a.

Klien dapat menidentifikasi faktor

b.

akibat yang ditimbulkan. b. Kaji faktor

faktor yang dapat

penyebab atau

meningkatkan resiko

pendukung

cedcera pada dirinya.

terjadinya cedera.

Klien dapat

c. Kurangi atau

menjelaskan tujuan

hilangkan faktor

tindakan keamanan

penyebab jika

untuk mencegah

mungkin.

cedera.

d. Ajari cara pencegahan: Gunakan selalu alas kaki. Jika merokok,

15

gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran e. Kaji suhu air mandi.jika menggunakan air hangat gunakan termometer mandi. f.

Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan di rumah.

16

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami buat, dapat di simpulkan sebagai berikut : Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL) Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu : 1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia 2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak. 3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus 4. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. 5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit 6. Alis rambut rontok

17

7.

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa) Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana

microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesiesMycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi ratarata dari kusta adalah 3-5 tahun. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. B. Saran Setelah membaca makalah ini penyusun harap pembaca dapat memahami apa itu Morbus Hansen dan dapat mengenalinya sejak dini selain itu juga dapat melakukan pencegahan dan pengobatan yang sesuai.

18

Related Documents

Morbus Sabaticos
October 2019 15
Morbus Hansen.docx
June 2020 10
Morbus Hansen.docx
October 2019 15

More Documents from "Indah Yulinda Pramesty"