REFERAT MORBUS HANSEN
Disusun oleh: Amelia 406181081
Pembimbing: dr. Sri Ekawati, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD RAA. SOEWONDO PATI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA PERIODE 31 DESEMBER 2018 – 03 JANUARI 2019
KATA PENGANTAR Dengan penuh rasa puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Morbus Hansen guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Referat ini ditulis selama kami menjalankan kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD RAA Soewondo Pati periode 31 Desember 2018 hingga 03 Februari 2019. Dengan bimbingan yang telah diberikan sebelum dan selama kepaniteraan ini, penulis menyusun referat mengenai penyakit Morbus Hansen. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.Sri Ekawati,Sp.KK selaku pembimbing penyusunan referat ini yang telah memberikan masukan dan bimbingan selama penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, mengingat terbatasnya kemampuan dan waktu yang ada. Oleh karena itu, saran dan kritik yang kiranya dapat membangun diperlukan oleh penulis guna melengkapi referat ini. Besar harapan penulis agar referat ini dapat bermanfaat tidak hanya penulis, namun pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan referat ini. Kiranya, referat ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Morbus Hansen.
Pati, 11 Januari 2019
Penulis ii Universitas Tarumanagara RSUD RAA Soewondo Pati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi PENDAHULUAN .................................................................................................. 7 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 8 2.1 Definisi ..................................................................................................... 8 2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 8 2.3 Etiologi ..................................................................................................... 8 2.4 Klasifikasi ................................................................................................ 9 2.5 Patofisilogi.............................................................................................. 15 2.6 Diagnosis ............................................................................................... 17 2.7 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 20 2.8 Diagnosis Banding ................................................................................. 22 2.9 Tatalaksana ............................................................................................ 23 2.10 Reaksi Kusta .......................................................................................... 28 2.11 Pencegahan cacat ................................................................................... 32 2.12 Prognosis ............................................................................................... 34 KESIMPULAN .................................................................................................. 35 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36
iii Universitas Tarumanagara RSUD RAA Soewondo Pati
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.8
Gambaran Tipe – tipe MH ............................................................ 12 Gambaran Tipe – tipe MH ............................................................ 13 Manifestasi Klinis MH Tipe Tuberkuloid di Punggung ............... 13 Karakteristik clawed hand deformity ........................................... 14 Diagnosis Banding Bercak Merah................................................ 21 Diagnosis Banding Bercak Putih.................................................. 21 Diagnosis Banding Nodul. ........................................................... 21 Reaksi Kusta ................................................................................. 28 Pasien Dengan Eritema Nodosum Leprosum tipe 2 reaksi .......... 29
iv Universitas Tarumanagara RSUD RAA Soewondo Pati
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Diagnosis Klinis Menurut WHO ...................................................... 10 Tabel 2.2 Zona spectrum MH menurut berbagai klasifikasi ............................ 10 Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologis Imunologik Kusta PB..................... 10 Tabel 2.4 Gambaran klinis, bakteriologis Imunologik Kusta MB ................... 11 Tabel 2.5 Obat dan dosis Regimen MDT- PB ................................................. 24 Tabel 2.6 Obat dan dosis Regimen MDT- MB ................................................ 24 Tabel 2.7 Obat dan dosis Regimen MDT Untuk Anak .................................... 24 Tabel 2.8 Regimen MDT ................................................................................. 25 Tabel 2.9 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 & 2................................................. 26 Tabel 2.10 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan & Berat Tipe 1 & 2 ...................... 27
5
BAB 1 PENDAHULUAN Morbus Hansen (MH) atau yang disebut juga lepra maupun kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Penyakit kusta merupakan penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman kusta yang bersifat
intraselular obligat. Kusta merupakan penyakit tertua. Istilah kusta
berasal dari bahasa India “kustha”. Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang menidentifikasi kuman yang menyebabkan kusta dibawah mikroskop. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan tidak turun menurun dari kutukan atau dari dosa. Kusta menyerang kulit, saraf tepi hingga dapat menyerang organ- organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyebar melalui droplet dan penyakit ini dapat menyebabkan cacat permanent. Kelainan kulit yang dijumpai pada kusta dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi, atau hiperpigmentasi dan eritematosa. Terdapat nausea, vomitus, menggigil, hepatosplenomegali yang merupakan gejala umum pada kusta. Kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah seperti penyakit tzarooth yang digambarkan dan disering disamakan dengan kusta. Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh manusia, kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis dan leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam.1 Selama tahun 2008 – 2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk dan mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita dengan proporsi kusta terbanyak yang berjenis kelamin laki- laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa Barat (13,5%) dan Jawa Tengah(10,82%).2
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Kusta yang juga dikenal dengan nama lepra atau penyakit Hansen, adalah penyakit yang menyerang kulit, sistem saraf perifer, selaput lendir pada saluran pernapasan atas, serta mata. Kusta bisa menyebabkan kerusakan saraf, melemahnya otot, dan mati rasa. Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1 2.2. EPIDEMIOLOGI Menurut angka WHO dan sebagaimana dilaporkan oleh 130 negara, tingkat deteksi tahunan global telah menurun dari 2004 -2010. Prevalensi yang terdaftar di seluruh dunia pada awal tahun 2010 adalah 192.246 kasus. Dari kasus-kasus baru, 95% terdeteksi di seluruh dunia selama 2010 dari negara-negara berikut ini Angola, Bangladesh, Brasil, Cina, Republik Demokratik Kongo, India, Ethiopia, Indonesia, Madagaskar, Mozambik, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sri Lanka, Sudan, dan Republik Bersatu Tanzania. Sementara laporan WHO tersebut, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus MH tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. 2.3. ETIOLOGI Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat bereproduksi pada suhu 27 °C – 30 °C secara in vivo, tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga,
7
anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1 2.4. KLASIFIKASI 1 Berdasarkan klasifikasi Madrid penyakit kusta dibagi atas Tuberculoid (T) , Indeterminate (I), borderline- dimorphous (B) , dan lepromatous (L)
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi: A. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT) Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp), perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun. B. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan. C. Tipe Mid Borderline (BB) Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional. D. Tipe Borderline Lepromatous (BL) Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi maupun facies leonine.
8
E. Tipe Lepromatosa (LL) Lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine) TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara BT dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran
50%
tuberkuloid
dan
50%
lepromatosa.
BT
lebih
banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan LL lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Indeterminate leprosy tidak termasuk dalam spektrum.1 Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping. Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan, yang dimaksud dengan MH PB adalah MH dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Sedangkan MH MB adalah semua penderita MH tipe BB, BL, LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1
9
Tabel 2.1. Diagnosis Klinis menurut WHO.1 PB (Pausibasilar)
MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema meninggi, infiltrat, plak Distribusi tidak simetris eritem, nodus) Kerusakan saraf (menyebabkan hilang sensasi / kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena BTA Tipe
>5 lesi Distribusi lebih simetris
Hilangnya sensasi yang Hilangnya jelas kurang jelas
sensasi
Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf
Negatif Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline tuberkuloid (BT)
Positif Lepromatosa (LL), Borderline lepromatous (BL), Mid borderline (BB)
Tabel 2.2. Zona spectrum MH menurut berbagai klasifikasi.1 Klasifikasi
Zona spectrum MH
Ridley&Jopling
TT
Madrid
BT
BB
Tuberkuloid
BL
Borderline
LL Lepromatosa
WHO
Pausibasilar (PB)
Multibasilar (MB)
Puskesmas
PB
MB
Tabel 2.3. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB.1 Karakteristik Tuberkuloid (TT)
Borderline
Indeterminate
Tuberkuloid (BT)
(I)
Lesi Bentuk
Makula
atau Makula
makula
dibatasi infiltrat;
infiltrat Jumlah
Satu beberapa
dibatasi Hanya infiltrat infiltrat
saja atau Satu satelit
dengan
lesi Satu
atau
beberapa
10
Distribusi
Terlokasi
dan Asimetris
Bervariasi
asimetris Permukaan
Kering,skuama
Kering, skuama
Halus
agak
berkilat Anestesia
Jelas
Jelas
Tidak ada sampai tidak jelas
Batas
Jelas
Jelas
Dapat jelas atau tidak jelas
BTA Pada lesi kulit
Negatif
Negatif, atau 1+
Biasanya negatif
Tes Lepromin
Positif kuat (3+)
Positif lemah
Dapat
positif
lemah
atau
negatif *Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3minggu Tabel 2.4. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB.1 Karakteristik Lepromatosa (LL)
Borderline
Mid-borderline
Lepromatosa
(BB)
(BL) Lesi Bentuk
Makula, infiltrat Makula, difus,
plak, Plak,
papul, papul
nodus Jumlah
lesi
kubah, lesi punched out
Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, luas, praktis tidak sehat masih ada
bentuk
kulit
sehat (+)
ada kulit sehat
11
Distribusi
Simetris
Cenderung
Asimetris
simetris Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Sedikit
berkilap,
beberapa lesi kering Anestesia
Tidak jelas
Tidak jelas
Lebih jelas
Batas
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Banyak
Agak banyak
BTA Pada
lesi Banyak
kulit Sekret
Banyak
hidung
Biasanya
tidak Tidak ada
ada
Tes
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Lepromin
TT
BT
I
12
LL
BL
BB
Gambar 2.2. Gambaran Tipe-tipe Kusta.
Gambar 2.3. Manifestasi Klinis MH Tipe Tuberkuloid di Punggung.
Gambar 2.4. Karakteristik clawed hand deformity
13
2.5. PATOFISIOLOGI Kusta dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, terganntung pada respon tubuh terhadap organisme. Individu yang memiliki respons imun seluler yang kuat untuk M leprae memiliki bentuk tuberkuloid, individu dengan respon imun yang lebih rendah memiliki bentuk lepromatous , yang ditandai dengan dengan keterlibatan kulit yang luas. Kuman M Leprae tumbuh paling baik pada suhu 27 – 30 ° C. Lesi kulit cenderung berkembang di daerah- daerah yang lebih dingin dari suhu tubuh. Sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, bakteri M. Leprae harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigen M. leprae.1,4 Bila basil M. leprae masuk ke dalan tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis esuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada bakteri masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.1 Datangnya histiosit ke tempat bakteri disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamanya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagi alat pengangkut penyebarluasan.4
14
Pada MH tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan bakteri sehingga bakteri dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat simetris. 4 Pada MH tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan bakteri. Sayangnya setelah semua bakteri difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris. Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium leprae, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwan, bakteri dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif. 2.6. DIAGNOSIS Tanda – tanda seseorang menderita kutsa antara lain, mengalami becak putih seperti panu, pada awalnya hanya sedikit namun lama kelamaan semakin melebar dan banyak. Ada bagian tubuh yang tak berkeringkat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol- benjol dan tegang disebut facies leomina dan mati rasa
karena kerusakan saraf tepi. Kelompok yang
mempunyai resiko tinggi adalah yang tinggal didaerah endemik dengan kondisi buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang kurang bersih, asupan gizi buruk serta adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menemkan sistem imun. Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis, dan serologis. Untuk menegakkan diagnosis kusta perlu dicari tanda – tanda utama(cardinal signs): 5
15
1. Kelainan kulit yang mati rasa Dapat berbentuk bercak putih atau kemerahan yang mati rasa(anestesi) 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf seperti gangguan fungsi sensoris, gangguan fungsi motoris dan gangguan fungsi otonom 3. Adanya basil tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit
Gejala pada kulit - Bercak yang tidak gatal - Kulit mengkilat/ bersisik - Adanya kulit yang tak berambut atau tak berkeringat
Gejala-gejala kerusakan saraf - Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf - Rasa kesemutan, tetusuk – tusuk dan nyeri pada anggota gerak - Kelemahan anggota gerak dan atau wajah - Adanya deformitas - Luka yang sulit sembuh
Berikut saraf – saraf yang sering mengalami kerusakan akibat kusta1 1. N. ulnaris : anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. 2. N. medianus : anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. 3. N. radialis : anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. 4. N. poplitea lateralis : anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus. 5. N. tibialis posterior : anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis.
16
6. N. fasialis : lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal). 7. N. trigeminus : anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
Pemeriksaan Fungsi Saraf1 a) Tes sensorik Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin. -
Rasa raba
-
Rasa tajam
-
Suhu
b) Tes Otonom Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:5 -
Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
-
Tes Pilokarpin
-
Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. peroneus
17
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG1 1. Pemeriksaaan bakterioskopik Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP) : -
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
-
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
-
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
-
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
-
5+ Bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
-
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1
18
2. Pemeriksaan histopatologi Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.1 3. Pemeriksaan serologik Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.1 Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA
(Enzyme
Linked
Immuno-Sorbent
Assay)
dan
ML
dipstick
(Mycobacterium Leprae dipstick).1
19
4. Tes Lepromin Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberculosis.1 Reaksi Mitsuda bernilai : 0
Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1
Papul berdiameter 4 – 6 mm
+2
Papul berdiameter 7 – 10 mm
+3
papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
2.8. DIAGNOSIS BANDING3
Gambar 2.5. Diagnosis Banding Bercak Merah.
20
Gambar 2.6. Diagnosis Banding Bercak Putih.
Gambar 2.7. Diagnosis Banding Nodul. 2.9. PENATALAKSANAAN Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.3 Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasiresistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.1
21
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1 1) DDS (Dapsone)1 Diamino
Diphenyl
Sulfon.
Dapson
bersifat
bakteriostatik
dengan
menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim. 2) Rifampisin1 Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi. Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. 3) Klofazimin1 Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.5 Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,5
22
Obat Alternatif1 1) Ofloksasin Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. 2) Minoksiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anakanak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. 3) Klaritromisin Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare. Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut WHO tahun 1998 adalah sebagai berikut:
23
Skema Regimen MDT WHO Tabel 2.5. Obat dan dosis regimen MDT-PB. OBAT
DEWASA BB<35 kg
BB>35 kg
Rifampisin
450 mg/bln (diawasi)
600 mg/bln (diawasi)
Dapson swakelola
50mg/hari(1-
100 mg/hari
2mg/kgBB/hari)
Tabel 2.6. Obat dan dosis regimen MDT-MB. OBAT
DEWASA BB<35 kg
BB>35 kg
Rifampisin
450 mg/bln (diawasi)
Klofazimin
300 mg/bln diawasi dan diteruskan
50
600 mg/bln (diawasi)
mg/hari
swakelola Dapson swakelola
50mg/hari(1-
100 mg/hari
2mg/kgBB/hari)
Tabel 2.8. Obat dan Dosis Regimen MDT untuk Anak. PB OBAT < 10 tahun 10th – 14 th BB < 50kg Rifampisin 300 450 mg/bln
< 10 th BB < 50 kg 300 mg/bln
Klofazimin mg/bln
100
-
DDS
lalu 50 mg/hr
MB 10 th -14 th 450 mg/bln
mg/bln 150 mg/bln lalu 50
mg, 50 mg/hr
2x/mgg 50 mg/hr
25 mg/hr 25 mg/hr
24
Gambar 2.8. Regimen MDT.
Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan.
Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT (Release From Treatment).
WHO Expert Committee:1,5 -
MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
-
Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
25
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
2.10.
REAKSI KUSTA
Terdapat 2 tipe reaksi yang dapat dikenali yaitu Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum. Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan eritematosa, dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan peningkatan gangguan fungsi, kadang disertai pembengkakan akral. Reaksi ENL mempunyai karakteristik, berupa nodul- nodul eritematosa yang terasa sakit, timbul mendadak. Pasien umumnya merasa sakit saraf pun dapat nyeri. Kadang terjadi arthritis, limfadenitis, orkitis dan glaukoma yang dapat diikuti dengan kebutaan. Tabel 2.9. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2.5 No. Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
Tipe II (ENL)
1
Baik atau demam ringan
Buruk, disertai malaise
Kondisi umum
dan febris 2
Peradangan kulit
di Bercak kulit lama menjadi Timbul
nodul
lebih meradang (merah), kemerahan, lunak, dan dapat timbul bercak baru
nyeri
tekan.
Biasanya
pada lengan dan tungkai. Nodul
dapat
pecah
(ulserasi) 3
Waktu terjadi
Awal pengobatan MDT
Setelah pengobatan yang lama,
umumnya
lebih
dari 6 bulan
26
4
Tipe kusta
PB atau MB
MB
5
Saraf
Sering terjadi
Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan
saraf
dan
atau
gangguan fungsi saraf 6
Keterkaitan
Hampr tidak ada
Terjadi pada mata, KGB,
organ lain 7
sendi, ginjal, testis, dll
Faktor pencetus
Melahirkan
Obat-obat
yang
Emosi
Kelelahan
meningkatkan
dan
stress fisik lainnya
kekebalan tubuh
kehamilan
Tabel 2.10. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2.5 No Gejala/tanda Tipe I
1.
Kulit
Tipe II
Ringan
Berat
Ringan
Berat
Bercak:
Bercak:
Nodul:
Nodul:
merah,
merah,
merah, panas, merah,
tebal, panas, tebal, nyeri
nyeri
panas,nyeri
panas,
yang
nyeri
bertambah
yang
parah sampai
bertambah
pecah
parah sampai pecah 2
Saraf tepi
Nyeri pada Nyeri
Nyeri
perbaan (-)
perabaan (-)
perabaan (+)
Demam (+)
Demam (+)
pada
pada Nyeri
pada
perabaan (+) 3
Keadaan umum
Demam (-)
Demam (+)
27
4
Keterlibatan
-
organ lain
-
-
+ Terjadi peradangan di:
mata: iridocycli tis
testis: epididim oorchitis
ginjal: nefritis
kelenjar limpa: limfadeni tis
gangguan pada tulang, hidung, dan tenggoro kan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat
28
Gambar 2.8. Reaksi Tipe 1.
Gambar 2.9. Reaksi Kusta Tipe 2.
Gambar 2.10 Pasien dengan eritema nodosum leprosum tipe 2 reaksi beberapa minggu setelah memulai terapi obat
29
Fenomena Lucio Komplikasi parah kusta multibasiler yang ditandai dengan plak hemoragik kebiru dan ulserasi nekrotik. Basil dapat meluas ke sel-sel endotel bersama dengan munculnya epidermis nekrotik dan vaskulitis dengan pembentukan trombus dan proliferasi endotel. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1
Pengobatan ENL6 ENL ringan (tanpa keterlibatan saraf, mata atau genital) dengan tablet asam salisilat 3 x 1000 mg/hari selama 1- 2 minggu. ENL berat terapi dengan steroid. Dosis dan cara pemberian sama dengan reaksi reversal, periksa adanya infeksi terkait, tuberkulosis dapat berkomplikasi dengan ENL, thalidomid bila tersedia dapat diberikan dengan dosis 100 – 400 mg sekali sehari selama 1- 2 minggu. Tidak diberikan pada ibu hamil maupun wanita yang menggunakan kontrasepsi tidak aman 100 %. Obat ini dapat menyebablam deformitas berat pada janin.
Pengobatan Reaksi Reversal Prednisolon dengan dosis awal 40 mg/hari. Bila ada perbaikan dosis dapat diturunkan 30mg, 20 mg, 15 mg, 10 mg dan 5mg/ hari setiap 2 minggu. Bila dalam penurunan dosis tidak ada perbaikan/ memburuk, dosis dapat dipertahankan, pastikan bahwa pengobatan dapat dilanjutkan sesuai dengan waktu, periksa adanya infeksi terkait.
2.11.
PENCEGAHAN CACAT1 Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.
30
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas seharihari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta: Cacat pada tangan dan kaki a) Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat. b) Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat. c) Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
31
Cacat pada mata a) Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus). b) Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
c) Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu. Rehabilitasi Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1 2.12.
PROGNOSIS
Pemulihan dari gangguan neurologis terbatas, tetapi lesi kulit umumnya bersih pada tahun pertama terapi. Perubahan warna dan kerusakan kulit biasanya menetap. Terapi fisik, bedah rekonstruktif, transplantasi saraf dan tendon, dan pelepasan pembedahan kontraktur semuanya berkontribusi untuk meningkatkan kemampuan fungsional pada pasien dengan lepra. Deformitas sisa yang terjadi adalah kaki yang tidak sensitif, seperti yang terlihat pada orang dengan diabetes.
32
BAB 3 KESIMPULAN Kusta menyerang kulit, saraf tepi hingga dapat menyerang organ- organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyebar melalui droplet dan penyakit ini dapat menyebabkan cacat permanent. Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis, dan serologis. Untuk menegakkan diagnosis kusta perlu dicari tanda – tanda utama (cardinal signs) yaitu kelainan kulit yang mati rasa, dapat berbentuk bercak putih atau kemerahan yang mati rasa(anestesi), penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf seperti gangguan fungsi sensoris, gangguan fungsi motoris dan gangguan fungsi otonom, adanya basil tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit. Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan sedangkan yang tipe MB 12 bulan. Terdapat 2 tipe reaksi pengobatan yang dapat dikenali yaitu Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum.
33
DAFTAR PUSTAKA 1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SW. Kusta. Dalam : Menaldi SW, Bramono K, Indriatmi W (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Cetakan Pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2015. h.87-102. 2. Infodatin 3. Smith. S.Leprosy. Update aug 24, 2018. Available at https://emedicine.medscape.com/article/220455-medication 4. Doerr S, Davis CP, editor. Leprosy Symptoms and Signs. Available at: http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page3_em.htm. Diakses tanggal 1 November 2018 5. Direktorat Jenderal Pengandalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Kemenkes RI. 2012 6. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia
34