Mola Hidatidosa (autosaved).docx

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mola Hidatidosa (autosaved).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,871
  • Pages: 45
BAGIAN ILMU OBSTETRI& GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

Laporan Kasus Januari 2019

MOLA HIDATIDOSA

Disusun Oleh : Siti Usmiranti Usman N 111 17 034

Pembimbing Klinik : dr. Djemi, Sp.OG., MARS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2019

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1

Trofoblas Peristiwa fertilisasi terjadi di saat spermatozoa membuahi ovum di tuba

fallopi. Hasil fertilisasi disebut zigot. Zigot membelah secara mitosis menjadi dua, empat, delapan, enam belas dan seterusnya. Pada saat 32 sel disebut morula. Kemudian morula berubah bentuk menjadi blastosit yaitu bola padat yang membentuk suatu rongga yang diisi oleh cairan yang dikelurkan oleh tuba fallopi. Rongga ini disebut blastosoel. Lapisan terluar blastosit disebut trofoblas merupakan dinding blastosit yang berfungsi untuk menyerap makanan dan merupakan calon tembuni atau ari-ari (plasenta), sedangkan masa di dalamnya disebut simpul embrio (embrionik knot) merupakan calon janin. Blastosit ini bergerak menuju uterus untuk mengadakan implantasi (perlekatan dengan dinding uterus).

Gambar 2.1 Morula dan Blastosit

Pada hari ke-4 atau ke-5 sesudah ovulasi, blastosit sampai di rongga uterus, hormon progesteron merangsang pertumbuhan uterus, dindingnya tebal, lunak, banyak mengandung pembuluh darah, serta mengeluarkan sekret seperti air susu (uterin milk) sebagai makanan embrio. Enam hari setelah fertilisasi, trofoblas menempel pada dinding uterus (melakukan implantasi) dan melepaskan hormon korionik gonadotropin. Hormon ini melindungi kehamilan dengan cara menstrimulasi produksi hormon estrogen dan progesteron sehingga mencegah terjadinya

menstruasi.

Trofoblas

kemudian

menebal

beberapa

lapis,

permukaannya berjonjot dengan tujuan memperluas daerah penyerapan makanan. Embrio telah kuat menempel setelah hari ke-12 dari fertilisasi.

Gambar 2.2 Tahap Perkembangan Zigot

Setelah nidasi, trofoblas terdiri atas 2 lapis, yaitu bagian dalam disebut sitotrofoblas dan bagian luar disebut sinsitiotrofoblas. Endometrium atau sel desidua di mana terjadi nidasi menjadi pucat dan besar disebut sebagai reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis oleh sel trofoblas.

Gambar 2.3 Sel Trofoblas

Sebagian sel trofoblas terus menembus bagian dalam lapisan endometrium mendekati lapisan basal endometrium di mana terdapat pembuluh spiralis, kemudian terbentuk lakuna yang berisi plasma ibu. Proses pelebaran darah arteri spiralis sangat penting sebagai bentuk fisologik yaitu model mangkuk. Hal ini dimung\kinkan karena penipisan lapisan endotel arteri akibat invasi trofoblas yang menumpuk lapisan fibrin di sana. Proses invasi trofoblas tahap kedua mencapai bagian miometrium arteri spiralis terjadi pada kehamilan 14 – 15 minggu dan saat ini perkembangan plasenta telah lengkap.

Sel trofoblas awal kehamilan disebut sebagai villi primer, kemudian akan berkembang menjadi sekunder dan tersier pada trimester akhir. Bagian dasar sel trofoblas akan menebal yang disebut korion frondosum dan berkembang menjadi plasenta. Sementara itu, bagian luar yang menghadap ke kavum uteri disebut korion laeve yang diliputi oleh desidua kapsularis. Desidua menjadi tempat implantasi plasenta disebut desidua basalis. Pada kehamilan 8 minggu (6 minggu dari nidasi) zigot telah melakukan invasi terhadap 40 – 60 arteri spiralis di daerah desidua basalis. Vili sekunder akan mengapung di dalam kolam darah ibu, di tempat sebagian vili melekatkan diri melalui integrin kepada desidua.

Gambar 2.4 Perkembangan Sel Trofoblas pada Kehamilan

Vili akan berkembang seperti akar pohon di mana di bagian tengah akan mengandung pembuluh darah janin. Pokok vili (stem villi) akan berjumlah lebih kurang 200, tetapi sebagian besar yang di perifer akan menjadi atrofik, sehingga tinggal 40 – 50 kelompok sebagai kotiledon. Luas kotiledon pada plasenta aterm diperkirakan 11 m2. Bagian tengah vili adalah stroma yang terdiri atas fibroblas, beberapa sel besar (sel Hoffbauer) dan cabang kapilar janin, bagian luar vili ada 2 lapis, yaitu sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas, yang pada kehamilan akhir lapisan sitotrofoblas akan menipis. Ada

beberapa bagian sinsitiotrofoblas yang menebal dan melipat yang disebut sebagai simpul (syncitial knots). Bila sitotrofoblas mengalami hipertrofi, maka itu petanda hipoksia. Plasenta adalah organ sementara dan merupakan tempat berlangsungnya pertukaran fisiologis antara ibu dan fetus. Organ ini terdiri atas bagian fetus (korion) dan bagian maternal (desidua basalis). Desidua basalis menyuplai darah arteri maternal ke, dan menerima darah vena dari celah-celah yang berada di dalam plasenta.

Gambar 2.5 Hubungan Janin dan Ibu melalui Plasenta Plasenta merupakan organ endokrin, yang menghasilkan hormon seperti hCG, tirotropin korionik, kortikotropin korionik, estrogen dan progesteron. Organ tersebut juga menyekresi suatu hormon protein yang disebut somatomamotropin korionik manusia, yang mempunyai aktivitas laktogenik dan merangsang pertumbuhan.

II. Mola Hidatidosa 2. 1. Definisi Sarwono : suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Sinopsis : jonjot-jonjot korion (chorionic villi) yang tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur atau mata ikan. Merupakan neoplasma trofoblas yang jinak (benigna). Obgynacea : kelainan pertumbuhan trofoblas plasenta atau calon plasenta dan bersifat neoplastik.

Gambar 2.6 Uterus Normal vs Uterus dengan Mola Hidatidosa

2. 2. Epidemiologi Prevalensi mola hidatidosa tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dibandingkan dengan negara-negara Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan 1 : 200 atau 2000 kehamilan. Di negara-negara berkembang 1 : 100 atau 600 kehamilan. Soejoenoes dkk. (1967) melaporkan 1 : 85 kehamilan; RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 1 : 31 persalinan dan 1 : 49 kehamilan; Luat A. Siregar (Medan) tahun 1982 menyatakan 11 – 16 per 1000 kehamilan. Soetomo (Surabaya) melaporkan 1 : 80 persalinan; Djamhoer Martaadisoebrata (Bandung) melaporkan 9 – 21 per 1000 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduktif (15 – 45 tahun) dan pada multipara, sehingga dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar (Mochtar R., 1998). 2. 3. Faktor Risiko dan Etiologi Sampai saat ini penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan ini antara lain (Mochtar R., 1998) :  Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan  Imunoselektif dari trofoblas  Kehamilan usia lanjut (> 35 tahun) atau terlalu muda (< 20 tahun)  Paritas tinggi (paritas > 3)  Genetik : mola parsialis (kromosom triploid atau tetraploid); mola totalis (kromatin seks positif dengan kromosom 46 XX)  Jarak kehamilan : semakin dekat jarak kehamilan  reaksi imunologik trofoblastus dengan ibu semakin sering  Faktor infeksi : o Endometriosis

(degenerasi

vaskular

khorionik



mola

hidatidosa); o Infeksi viral (meningkatkan mitosis  diferensiasi sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas meningkat  mola hidatidosa)

 Sosial ekonomi rendah  mempengaruhi hygiene, nutrisi dan pendidikan  Malnutrisi  terutama apabila kekurangan protein  Golongan

darah

:

mola

hidatidosa

(golongan

darah

A),

khoriokarsinoma (golongan darah A)

2. 4. Klasifikasi Mola biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-kadang mola terletak di tuba falopii dan bahkan ovarium. Ada tidaknya janin atau unsur embrionik pernah digunakan untuk mengklasifikasikan mola menjadi mola sempurna (komplit) dan parsial. Mola parsialis yakni bila dijumpai janin dan gelembung-gelembung mola. Namun seperti ditekankan oleh Benirschke dan Kaufmann hal ini sulit dilakukan pada banyak kasus (Cunningham F. G, 2005). Secara sitogenetik mola hidatidosa dapat dibedakan menjadi dua macam yakni mola hidatidosa parsial dan sempurna atau komplit. Untuk memudahkan klasifikasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Cunningham F. G, 2005; Schorge et al, 2008; Bratakoesoema, 2006) :

Tabel 2.1 Perbandingan Gambaran Mola Hidatidosa Parsial dan Komplit Gambaran Kariotipe

Mola parsial Umumnya 69

Mola Komplit XXX 46 XX atau 46 XY

atau 69 XXY Patologi  Janin  Amnion,sel darah merah janin  Edema vilus

Sering dijumpai

Tidak ada

Sering dijumpai

Tidak ada

 Proliferasi trofoblas  P57Kip2

Bervariasi, fokal

Difus

Bervariasi,fokal, ringan Bervariasi, sampai sedang

berat

Negatif

Positif

Missed abortion

Gestasi mola

ringan

sampai

immunostaining

Gambaran klinis  Diagnosis  Ukuran uterus

 Kista teka lutein  Penyulit medis  Penyakit pascamola

Kecil

untuk

masa 50 % besar untuk masa

kehamilan

kehamilan

Jarang

25-30 %

Jarang

Sering

Kurang dari 5-10 %

20 %

a. Mola Hidatidosa Komplit Vili korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari sulit dilihat sampai yang berdiameter beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan histologik yang diperlihatkan yaitu (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004) : 1.

Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus,

2.

Tidak ada pembuluh darah di vilus yang membengkak,

3.

Proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi,

4.

Tidak adanya janin dan amnion. Pada pemeriksaan sitogenetik terhadap kehamilan mola komplit ditemukan

komposisi kromosom yang umumnya adalah 46 XX dengan kromosom seluruhnya berasal dari ayah. Fenomena ini disebut sebagai androgenesis. Biasanya ovum dibuahi oleh sperma haploid yang kemudian memperbanyak kromosomnya sendiri setelah meiosis sehinga kromosomnya bersifat

homozigot. Kromosom ovum tidak ada atau tidak aktif. Kadang-kadang pola kromosom suatu mola sempurna mungkin 46 XY yaitu heterozigot karena pembuahan dua sperma (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004). Lawler dkk. melaporkan 202 kasus mola hidatidosa dengan 151 mola komplit dan 51 parsial. Sebagian besar mola komplit adalah diploid sedangkan sebagian besar mola parsial (86%) adalah triploid. Variasi–variasi lain juga pernah dilaporkan misalnya 45 X. Oleh karena itu mola yang secara morfologis komplit dapat terdiri dari berbagai pola kromosom. Risiko tumor trofoblastik yang berkembang dari mola komplit adalah sekitar 20 persen (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004). b. Mola Hidatidosa Parsial Apabila perubahan mola hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang dan mungkin tampak sebagian jaringan janin, biasanya paling tidak kantung amnion, hal ini diklasifikasikan sebagai mola hidatidosa parsial. Terjadi pembengkakan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian vili yang biasanya avaskular, sementara vili-vili berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin–plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Hiperplasia trofoblastik lebih bersifat fokal daripada generalisata (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004). Seperti diperlihatkan dalam tabel kariotipe biasanya triploid 69 XXX; 69 XXY atau 69 XYY dengan satu komplemen haploid ibu dan biasanya dua komplemen haploid ayah. Janin pada mola parsial biasanya memiliki tandatanda triploid yang mencakup malformasi kongenital multipel dan hambatan pertumbuhan serta tidak viabel. Dalam laporan oleh Lawler dkk 86 % mola parsial bersifat triploid dan 2 % diploid. Jauniaux melaporkan bahwa 82 % janin dengan kariotipe triploid pada mola parsial memperlihatkan hambatan pertumbuhan simetris. Jauniaux dkk juga melaporkan satu kasus mola parsial dengan trisomi 13. Lembet dkk baru-baru ini melaporkan satu kasus mola hidatidosa parsial dengan kariotipe diploid dan janin hidup (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004).

Gestasi kembar dengan mola sempurna serta janin dan plasenta normal kadang-kadang salah didiagnosis sebagai mola parsial diploid. Sebaiknya keduanya diupayakan untuk dibedakan, karena kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu mola sempurna memiliki kemungkinan 50 % untuk menyebabkan penyakit trofoblastik persisten dibandingkan dengan angka yang jauh lebih rendah pada mola parsial triploid. Van de Kaf dkk menjelaskan manfaat analisis sitogenetika interfase dan analisis sitometri DNA untuk membantu membedakan kedua hal ini (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004). Mola hidatidosa mungkin diikuti oleh tumor trofoblastik nonmetastatik pada 4 sampai 8% kasus. Risiko koriokarsinoma yang berasal dari mola parsial sangat rendah. Seckel dkk melaporkan terdapat 3000 kasus mola parsial dan mencatat hanya 3 kasus koriokarsinoma (Cunningham F. G, 2005; Hanretty K. P., 2004). Vejerslev mengulas kehamilan dengan mola hidatidosa bersama dengan janin normal. Dari 113 kehamilan, 52 (45%) janin berkembang sampai usia gestasi 28 minggu dan angka kelangsungan hidupnya 0%. Karena itu dalam memberi konseling pada wanita yang hamil mola disertai janin, baik hasil pemeriksaan sitogenetik maupun ultrasonografi resolusi tinggi penting untuk dilakukan (Cunningham F. G, 2005; (Hanretty K. P., 2004). Berikut merupakan gambaran pola fertilisasi mola parsial dan mola komplit :

Gambar 2.7 Pola Fertilisasi Mola Komplit (A) dan Mola Parsial (B) 2. 5. Patofisiologi Gangguan vaskularisasi fetus pada ovum patologik  embrio mati/tidak ada pada usia kehamilan 3-5 minggu  sel-sel trofoblas masih mendapat nutrisi dari ibu melalui ruang intervillosus  penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dan villi (terbentuk kista-kista kecil), berlangsung terus-menerus  terbentuk mola hidatidosa yang khas (tidak ada peredaran darah khorion, villi yang kistik, sel-sel trofoblast yang berproliferasi, embrio mati/tidak ada, peredaran darah ibu masih ada). Mola hidatidosa diduga muncul dari trofoblas ekstraembrionik, yang terbentuk pada peristiwa fertilisasi abnormal, mola muncul dari jaringan fetal pada maternal host. Jaringan ini terbentuk dari sel sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas. Persamaan histologis antara vesikel mola dan vili korionik mendukung pernyataan bahwa vesikel mola terbentuk dari vili korionik (Cherney D, Alan H., 2007). Penelitian morofologi lebih mendalam tentang ini dari spesimen histerektomi yang mengandung mola hidatidosa in toto menghasilkan konsep terbaru mengenai mola, yaitu berasal dari transformasi embryonic inner cell mass pada stadium sebelum melekat pada endoderm. Pada stadium embriogenesis ini, inner cell mass memiliki kemampuan untuk membentuk trofoblas, ektoderm atau

endoderm. Kemampuan diferensiasi inner cell mass untuk menjadi ektoderm embrionik dan endoderm terganggu sehingga terbentuk jalur lain yang abnormal, jalur ini mengakibatkan perubahan trofoblas (dari inner cell mass) untuk menjadi sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Diferensiasi yang adekuat akan mengakibatkan perubahan ekstraembrionik mesoderm dan vesikel mola dengan loose primitive mesoderm yang berada dalam inti villus (Schorge et all, 2008). Janin biasanya meninggal akan tetapi villus yang membesar dan edematous tetap hidup dan terus tumbuh, gambaran yang ditunjukkan ialah seperti buah anggur. Jaringan trofoblas pada villus kadang berproliferasi ringan, namun kadang berproliferasi berat dan mengeluarkan hormon human chorionic gonadotropin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan normal (Winknojosastro et all, 2007). Terdapat 2 teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas, yaitu (Prawirohardjo S. et all, 2007) : 1. Teori missed abortion Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Hal ini mengakibatkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembunggelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan kekurangan gizi berupa asam folat dan histidin. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan angiogenesis. 2. Teori neoplasma Teori yang disampaikan oleh Park ini mengatakan bahwa sel trofoblas yang abnormal memiliki fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resopsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

2. 6. Patologi Jonjot-jonjot

korion

tumbuh

berganda

dan

mengandung

cairan

merupakan kista-kista kecil seperti anggur, biasanya didalamnya tidak berisi

embrio, secara histopatologik kadang-kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan bayi normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola, yakni suatu janin tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gambaran makroskopik menunjukkan : gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm, sedangkan secara mikroskopis terlihat trias (Mochtar R., 1998) : 1) Proliferasi dari trofoblas 2) Degenerasi hidropik dari stroma villi dan kesembaban 3) Terlambat atau hilangnya pembuluh darah dan stroma Sel-sel Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dan adanya sel sinsisial giantik (syncytial giant cells). Pada kasus mola banyak dijumpai ovarium dengan kista lutein ganda berdiameter 10 cm atau lebih (2560%). Kista lutein akan berangsur-angsur mengecil dan kemudian hialng setelah mola hidatidosa sembuh (Mochtar R., 1998). Gambaran histopatologik : edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas (Hadijanto B., 2008).

Gambar 2.8 Gambaran Histopatologik Jaringan Mola Hidatidosa

2. 7. Gejala Klinik dan Tanda a) Gejala (Hanretty K. P., 2004)  Terdapat gejala-gejala hamil muda yang terkadang lebih nyata dari kehamilan biasa, seperti mual, muntah, pusing  Perdarahan yang tidak teratur, dalam jumlah sedikit sampai dengan banyak pada trimester I atau awal trimester II  tanda khas, berwarna tengguli tua atau kecoklatan  Tidak ada keluhan nyeri  Terkadang keluarnya darah disertai dengan gelembung villus

b) Tanda (Hanretty K. P., 2004)  Takikardia, takipneu, hipertensi  Uterus membesar lebih cepat, tidak sesuai usia gestasi, teraba lembek  Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen, gerakan janin (-), DJJ (-)  Emboli trofoblast sampai paru  ronkhi atau mengi  Pemeriksaan dalam : vesikel mola (mirip buah anggur) dari dalam vagina

2. 8. Diagnosis Diagnosis mola hidatidosa dapat ditegakkan berdasarkan hasil (Hanretty K. P., 2004) : a. Anamnesa/keluhan  Terdapat gejala-gejala hamil mmuda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan biasa  Kadang terdapat tanda toksemia gravidarum  Terdapat perdarahan dalam jumlah sedikit sampai dengan banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau kecoklatan

 Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang merupakan diagnosa pasti b. Inspeksi  Terkadang, muka dan badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut muka mola (mola face)  Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas c. Palpasi  Uterus teraba lebih besar dibandingkan dengan usia kehamilan, selain itu teraba lembek  Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement, maupun gerakan janin  Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung mola keluar dan fundus uteri turun; lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru d. Auskultasi  Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin  Terdengar bising dan bunyi khas e. Reaksi Kehamilan Karena kadar hCG yang tinggi maka uji biologik dan uji imunologik (Galli Mainini dan planotest) akan positif setelah pengenceran (titrasi) :  Galli Mainini 1/300 (+), maka suspek mola hidatidosa  Galli Mainini 1/200 (+), maka kemungkinan mola hidatidosa atau hamil kembar. Bahkan pada mola atau koriokarsinoma, uji biologik atau imunologik cairan serebro-spinal dapat menjadi positif. f. Pemeriksaan Dalam Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin, terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta evaluasi keadaan serviks g. Uji Sonde Sonde dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde diputar setelah ditarik

sedikit, bila tetap tidak ada tahanan, kemungkinan mola (cara AcostaSison). h. Foto Rontgen Abdomen Tidak terlihat tulang-tulang janin (pada kehamilan 3-4 bulan) i. USG Pada pemeriksaan USG akan terlihat gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).

1. Pemeriksaan hCG Kadar hCG pada mola jauh lebih tinggi daripada kehamilan biasa. Pemeriksaan hCG merupakan cara yang paling bermanfaat baik untuk diagnosis maupun untuk pemantauan pada penderita penyakit trofoblas. Human chorionic gonadotropin adalah hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh plasenta yang memiliki aktivitas biologis mirip LH. Sebagian besar hCG diproduksi di plasenta, tetapi sintesanya juga terjadi pada ginjal janin. Begitu pula ada jaringan janin lain yang membentuk baik molekul hCG maupun molekul total hCG. Molekul hCG memiliki 2 rantai asam amino yakni α hCG terdiri atas 92 asam amino dan rantai β hCG terdiri atas 145 asam amino yang satu sama lain berikatan secara nonkovalen. Ikatan antara kedua rantai adalah dengan gaya elektrostatik dan hidrofobik dan vitro ikatan itu dapat dipisahkan (Bratakoesoema, 2006). Pada kehamilan normal pemeriksaan terhadap β hCG dengan pereaksi yang menggunakan antibodi monoklonal terhadap β hCG cukup dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan urin sebagai spesimen. Pemeriksaan hCG serum secara kuantitatif pada kehamilan normal menunjukkan kadar hCG mencapai puncaknya pada trimester pertama kehamilan, yakni pada hari ke 6070 kehamilan sebesar 100.000 mIU/ml. Pada mola hidatidosa dan tumor trofoblas gestasional umumnya kadar hCG jauh lebih tinggi daripada kadar puncak hCG pada kehamilan normal (Bratakoesoema, 2006).

Pada penderita penyakit trofoblas gestasional pemeriksaan hCG serum harus

dilakukan

secara

kuantitatif

baik

dengan

pemeriksaan

radio

immunoassay maupun enzyme immunoassay. Pemilihan pereaksi untuk pemeriksaan hCG secara kuantitatif pada penyakit trofoblas gestasional harus spesifik terhadap β hCG , karena rantai α hCG mirip dengan rantai α dari FSH, LH dan TSH yang merupakan hormon-hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis, sehinga dapat mengakibatkan terjadinya reaksi silang dengan hormon hipofisis tersebut, dan mengakibatkan kadar yang diperoleh bukan kadar HCG saja (false positive) (Bratakoesoema, 2006). Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa :

Gambar 2.9 Nilai rata – rata dari 95% confidence limit yang menggambarkan kurva regresi normal gonadotropin korionik subunit β pasca mola

2. Ultrasonografi Dengan pemeriksaan USG untuk mengetahui terjadinya mola hidatidosa, maka dapat dibedakan antara mola komplit yang menunjukkan gambaran badai salju dan mola parsial yang menunjukkan gambaran Swiss Cheese. Gambaran

sonoluscent yang terlihat berupa pulau-pulau kehitam-hitaman menunjukkan adanya perdarahan. Dengan alat USG yang resolusinya lebih baik maka gambaran yang tampak bukan gambaran badai salju melainkan gambaran jaringan vesikuler yang memperlihatkan adanya gelembung-gelembung mola dari berbagai ukuran (Bratakoesoema, 2006). Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkomplit atau mioma uteri. Untuk membedakan dengan missed abortion dapat digunakan tes sonde dari Acosta Sison (Bratakoesoema, 2006). Pada kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-bagian anekoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm, gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey comb) atau badai salju (snow flake pattern). Pada 20-50 % kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein (Saifuddin et all, 2008).

3. Histologis Gambar 2.10 Gambaran Snow Flake Pattern pada USG

Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat villi yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di tempat lain masih tampak villi yang normal. Umumnya mola parsialis mempunyai kariotipe triploid. Pada perkembangan selanjutnya jenis mola ini jarang menjadi ganas (Saifuddin et all, 2008). Upaya untuk mengaitkan gambaran histologis mola hidatidosa komplit dengan kecenderungan keganasan di kemudian hari umumnya mengecewakan. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Novak dan Seah yang tidak mampu menemukan keterkaitan secara tepat pada 120 kasus mola hidatidosa atau pada jaringan mola dari 26 kasus koriokarsinoma yang timbul setelah mola hidatidosa (Cunningham F. G., 2005).

Gambar 2.11 Mola hidatidosa komplit dengan villi hidropik, villi tidak memiliki pembuluh darah, proliferasi sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang hiperplastik

Gambar 2.12 Mola hidatidosa parsial dengan vili korionik berbagai bentuk maupun ukuran, serta terdapat edem fokal, melibatkan pula stroma trofoblastik, villus aktif serta hiperplasia trofoblastik fokal 2. 9. Diagnosis Banding 1) Abortus inkompletus 2) Kehamilan Ektopik 3) Kehamilan ganda 4) Hidramnion 5) Kehamilan anembrionik 6) Mioma uteri

2. 10. Terapi Pengelolaan mola hidatidosa terdiri atas 4 tahapan, yaitu perbaikan keadaan umum pasien, selanjutnya lakukan pengeluaran jaringan mola, terapi profilaksis dengan sitostatika dan yang terakhir adalah melakukan pemeriksaan tindak lanjut (follow up) (Mochtar R., 1998; Hadijanto B., 2008) : 1) Perbaikan keadaan umum

Perbaikan keadaan umum pasien dilakukan dengan pemberian cairan dan transfusi

darah untuk

mengatasi

syok

atau anemia, selain itu

menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.  Pelebaran kanalis servikalis Bila pembukaan kanalis servikalis masih kecil, maka dapat dilakukan beberapa cara untuk melebarkan pembukaan tersebut, diantaranya pasang beberapa gagang laminaria untuk memperlebar pembukaan selama 12 jam, pemberian cytotex (misoprostol) pervaginam atau secara oral.

2) Pengeluaran jaringan mola Terdapat 2 cara untuk pengeluaran jaringan mola, yaitu :  Vakum kuretase Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki, tanpa melakukan pembiusan

terlebih

dahulu.

Untuk

memperbaiki

kontraksi

diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase, menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan 1 kali saja, tetapi harus sampai bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Bila terjadi perdarahan dalam jumlah banyak, berikan transfusi darah dan lakukan tampon utero-vaginal selama 24 jam.  Histerektomi Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi adalah karena umur tua dan paritas tinggi, kedua hal tersebut merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang

bahwa

pada

sediaan

histerektomi

bila

dilakukan

pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasif/koriokarsinoma.

3) Follow-up Ibu dianjurkan jangan hamil dulu dan dianjurkan memakai kontrasepsi pil. Kehamilan, dimana reaksi kehamilan menjadi positif akan menyulitkan obseravasi. Pada kasus mola, pasien dinasihatkan untuk mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun, dengan gambaran penjadwalan kontrol sebagai berikut :  Setiap minggu pada triwulan pertama  Setiap 2 minggu pada triwulan kedua  Setiap bulan pada 6 bulan berikutnya  Setiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan Setiap periksa ulang penting diperhatikan :  Gejala klinis : perdarahan, keadaan umum dan lain-lain  Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan in spekulo : lakukan inspeksi keadaan serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, kista lutein bertambah kecil atau tidak dan lain-lain  Reaksi biologis atau imunologis air seni : o 1 x seminggu sampai hasil negatif o 1 x 2 minggu selama triwulan selanjutnya o 1 x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya o 1 x 3 bulan selama tahun berikutnya Jika reaksi titer tetap (+), maka harus dicurigai adanya keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya mola hidatidosa. Menurut Harahap (1970), tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu; 1% dalam 12 minggu; dan 79,4% dalam 24 minggu; serta 97,2% dalam 1 tahun post evakuasi jaringan mola.

Apabila terdapat pertumbuhan jaringan trofoblas baru yang diketahui dengan tanda klinis dan terdapat peningkatan β hCG yang ditetapkan dengan kriteria Mozisuki dkk yakni : 

Kadar β hCG ≥ 1000 mIu/ml pada minggu ke-4



Kadar β hCG ≥ 100 mIu/ml pada minggu ke-6



Kadar β hCG ≥ 30 mIu/ml pada minggu ke-8

Maka penderita dikelola sebagai tumor trofoblas gestasional. Pemeriksaan CT scan juga dianjurkan bila dicurigai terdapat tanda metastasis ke otak. Setelah periode pemantauan selesai, kehamilan diperbolehkan. Setelah mencapai kadar hCG yang tak terdeteksi, risiko relaps mola hidatidosa sangat rendah dan mencapai nol. Indikasi memulai terapi selama periode pemantau adalah : a.

Peningkatan titer hCG selama 2 minggu berturut-turut atau kadar yang konstan selama 3 minggu berturut-turut

b.

Peningkatan titer hCG pada minggu 15 setelah evakuasi

c.

Penigkatan titer hCG setelah mencapai level normal

d.

Perdarahan pasca evakuasi

Adanya peningkatan titer hCG menandakan adanya proliferasi trofoblast yang kemungkinan besar maligna terkecuali wanita tersebut mengalami kehamilan.

Penderita dianggap sembuh bila sampai dengan follow up

12 bulan tidak ada tanda pertumbuhan baru jaringan trofoblas atau bila penderita ternyata sudah hamil normal lagi kurang dari 12 bulan setelah evakuasi mola. Adanya kehamilan normal dibuktikan dengan pemeriksaan termasuk di dalamnya adalah pemeriksaan USG.

4) Sitostatika profilaksis pada mola hidatidosa Beberapa institut telah memberikan methotrexate (MTX) pada penderita mola dengan tujuan sebagai profilaksis terhadap keganasan. Tetapi terapi

profilaksis ini masih kontroversial, kelompok yang setuju menyatakan perlunya pemberian terapi profilaksis pada kasus mola dengan risiko tinggi. Kriteria mola hidatidosa dengan risiko tinggi diantaranya : (a) ukuran uterus > 20 minggu; (b) usia penderita > 35 tahun; (c) hasil PA yakni jaringan yang dikuretase menunjukkan gambaran proliferasi trofoblas berlebihan;

(d) HCG preevakuasi



100.000 mIU/ml

(RIA/IRMA). Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan

dan metastasis serta

mengurangi koriokarsinoma di uterus.

Pemberian kemoterapi profilaksis pada mola risiko tinggi dapat disertai dengan pemberian kemoterapi tunggal berupa : 

Methotrexate (MTX) 20 mg/hari IM dan asam folat 5mg/hari IM yang diberikan 12 jam setelah pemberian MTX, keduanya diberikan 5 hari berturut-turut



Actinomycin D 0,5 mg/hari IV diberikan selama 5 hari berturutturut.

Kelompok yang tidak setuju terhadap terapi profilaksis sitostatika ini menyatakan bahwa pemberian sitostatika profilaksis dianggap memiliki efek samping obat dan dapat terjadi resistensi bila kelak diperlukan pemberian sitostatika untuk terapi TTG, serta adanya penyulit yang berat. 2. 11. Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa diantaranya adalah (Mochtar R., 1998; Hadijanto B., 2008) :  Perdarahan yang hebat sampai syok, kalau tidak segera ditolong dapat berakibat fatal  Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia  Infeksi sekunder

 Perforasi karena keganasan dan karena tindakan  Menjadi ganas (PTG) pada kira-kira 18-20% kasus, akan menjadi mola destruens atau koriokarsinoma  Tirotoksikosis  Emboli sel trofoblas ke paru-paru

Hipertiroidisme pada mola hidatidosa terjadi akibat tingginya kadar hCG pada mola hidatidosa. Prevalensi hipertriodisme pada mola hidatidosa dilaporkan Berkowitz sebesar 7 % di New England Trophoblastic Center (Bratakoesoema, 2006). Pemicu tirotoksikosis atau hipertiroidisme pada mola adalah tingginya kadar hCG. Pada kadar hCG < 100.000 mIU/ml stimulasi tiroid hCG tidak tampak tetapi pada kadar yang sangat tinggi hal ini sangat nyata. Menurut Kariadi bahwa kadar hCG serum (RIA) > 300.000/ml pada penderita mola hidatidosa sebelum evakuasi jaringan mola merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Gambaran klinis pada mola tidak selalu jelas dan terdapat beberapa tingkat tirotoksikosis, yaitu (Bratakoesoema, 2006) : 

Overt tirotoksikosis : kadar hormon tiroid bebas sangat tinggi, tetapi kadar TSH sangat rendah.



Tirotoksikosis klinis : keadaan seperti overt tirotoksikosis namun disertai gambaran klinis.



Tirotoksikosis biokimiawi : bila tidak disertai gambaran klinis.



Tirotoksikosis subklinis : Bila TSH < 0,10 mIU/ ml dan hormon tiroid normal.

Adanya tirotoksiskosis pada penderita mola dapat diduga bila terjadi (Bratakoesoema, 2006) : 

Nadi istirahat ≥ 10 kali/menit, tanpa adanya sebab yang jelas seperti Hb < 7 g % atau demam.



Besar uterus > 20 minggu.

Diagnosis tirotoksis pada mola sangat penting dan perlu diatasi terlebih dahulu sebelum dilakukan upaya evakuasi jaringan, karena bila tidak maka evakuasi akan dapat menimbulkan kematian akibat krisis tiroid atau payah jantung akut (Bratakoesoema, 2006).

2. 12. Prognosis Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian akibat mola hampir tidak ada lagi, akan tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan tetapi ada sekelompok perempuan yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Persentase keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar antara 5,56%. Bila terjadi keganasan, maka pengelolaan harus dilakukan secara khusus (Hadijanto B., 2008).

BAB III LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 30-11-2018 Ruangan

: IGD RSUD UNDATA

Jam

: 07.10 WITA

A. IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. Z

Nama Suami : Tn. R

Umur

: 28 tahun

Umur

: 30 tahun

Alamat

: Jln. Padat Karya

Alamat

: Jln. Padat Karya

Pekerjaan

: IRT

Pekerjaan

: Wiraswasta

Agama

: Islam

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMP

Pendidikan

: SMA

B. ANAMNESIS PASIEN Keluhan Utama

:

Perdarahan pervaginam Riwayat Sekarang

:

Pasien perempua MRS dengan keluhan adanya darah yang keluar dari jalan lahir, keluhan ini dialami oleh pasien kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu. Keluarnya darah kadang bercampur dengan lendir dan tidak terdapat gumpalan darah. Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bagian bawah sejak kemarin sore SMRS, tidak ada pengeluaran darah dan nanah pada benjolan tersebut. Pasien mengeluh mual (+), muntah (+), demam (-), batuk (-), sesaknafas (-), BAB lancar dan BAK biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu

:

Tidak ada riwayat Hipertensi, DM , asma, penyakit jantung , dan alergi pada pasien.

Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada riwayat Hipertensi , DM ,dan Penyakit Jantung pada keluarga pasien. Riwayat Kehamilan Sekarang 

GIIIPIIA0



HPHT

: 05 Juli 2018



Usia Kehamilan

: 16-17 minggu

Riwayat haid: 

Haid pertama kali :13 tahun



Lama menstruasi 7 hari, siklus teratur



Darah haid banyak, ganti pembalut 3-4 kali sehari



Warna merah, tak berbau

Riwayat Kontrasepsi: Menggunakan kontrasepsi suntik yang 3 bulan sudah digunakan selama 1 tahun Riwayat Obstetri

:

i. Anak pertama lahir di RSUD Undata tahun 2015, jenis kelamin perempuan, aterm lahir normal dengan vacum, persalinan ditolong Dokter, BBL : 2800 gram, keadaan anak sekarang hidup. ii. Anak kedua lahir di RS Nasanapura tahun 2016, jenis kelamin perempuan, aterm lahir dengan SC, BBL :2900 gram, keadaan anak sekarang hidup.

C. PEMERIKSAAN FISIK (30 November 2018)  Keadaan Umum

: Sakit sedang, tampak lemah

 Kesadaran/GCS

: Compos Mentis / 15

 TB/BB

: 155 cm/47 kg

 Tanda Vital : o Tekanan Darah

: 100/60 mmHg

o Nadi

: 88 x/menit

o Suhu

: 36,5°C

o Respirasi

: 22 x/menit

 Pemeriksaan Wajah 1. Mata  Konjungtiva anemis +/+  Sklera ikterik -/ Refleks cahaya pupil +/+ 2. Bibir : pucat 3. Kulit : pucat kekuningan  Pemeriksaan Thoraks 1. Jantung

: dbn

2. Paru

: dbn

 Pemeriksaan Abdomen  sesuai status obstetri Status Obstetri 1. Inspeksi Perut tampak cembung, tampak bekas operasi, striae (+) 2. Palpasi a. Tinggi Fundus Uteri : teraba 2 jari dibawah pusat b. Pada perabaan abdomen, dirasakan nyeri tekan terutama pada perut bagian kanan 3. Auskultasi Peristaltic (+) kesan normal Status Ginekologi Pemeriksaan Dalam :  Perdarahan (+), jumlah sedikit-sedang  Portio lunak (+), tebal(+)  Pembukaan (-)  Pemeriksaan Ekstremitas

:

1) Akral hangat  Ekstremitas Atas

: +/+

 Ekstremitas Bawah : -/-

2) Edema  Ekstremitas Atas

: -/-

 Ekstremitas Bawah : -/3) Pucat  Ekstremitas Atas

: +/+

 Ekstremitas Bawah : +/+

D.

PEMERIKSAAN PENUNJANG (Tanggal 30 November 2018) Jenis Pemeriksaan

Hasil

Referensi

WBC

10,7 103/mm3

3,5 – 10

RBC

4,01 106/mm3

3,8 – 5,8

HB

11,4 g/dl

11,0 – 16,5

HCT

35,9 %

35 – 50

PLT

366 103/mm3

150 – 390

HCG

+

HbsAg

Non-reaktif

Ultrasonografi (USG) :

Gambaran snow storm atau badai salju Kesan : Molahidatidosa

E. RESUME Berdasarkan anamnesis pasien perempuan usia 28 tahun MRS dengan keluhan adanya darah yang keluar dari jalan lahir, keluhan ini dialami oleh pasien kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu. Keluarnya darah kadang bercampur dengan lendir dan tidak terdapat gumpalan darah. Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bagian bawah sejak kemarin sore SMRS, tidak ada pengeluaran darah dan nanah pada benjolan tersebut. Pasien mengeluh mual (+), muntah (+), demam (-), batuk (-), sesaknafas (-), BAB lancar dan BAK biasa. Pemeriksaan fisik : TD : 100/60

N: 88 x/m,

R: 22 x/m,

S:36,5ºC.

Status Obstetri Inspeksi :Perut tampak cembung, tampak bekas operasi, striae (+) Palpasi: Tinggi Fundus Uteri teraba 2 jari dibawah pusat, pada perabaan abdomen, dirasakan nyeri tekan terutama pada perut bagian kanan Auskultasi: Peristaltic (+) kesan normal Status Ginekologi Pemeriksaan Dalam: Perdarahan (+), jumlah sedikit-sedang, Portio lunak (+), tebal(+)

Pemeriksaan laboratorium : RBC 4,01 x 106 WBC 10,7 x 103/L HGB 11,4 gr/dl, PLT 257 x 103/L, HbsAg : non-reaktif, HCG : (+) Hasil USG : kesan molahidatidosa

G. DIAGNOSIS Molahidatidosa

H. PLANNING

 Planning Therapy o Observasi KU + TTV o IUFD RL 20 tpm o Inj. Asam Tranexamat 250 mg/8jam/iv o Pro-Kuretase I. PROGNOSIS



Quo ad vitam

: dubia et bonam



Quo ad sanam

: dubia et bonam



Quo ad functionam

: dubia et bonam

FOLLOW UP

01/12/2018 S : Nyeri perut (+), mual (-) muntah (-), pusing (-), sakit kepala (-) perdarahan pervaginam (+) sedikit, BAK biasa, dan BAB lancar O :Keadaan Umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 84 x/m

Suhu

: 36,5oC

Pernapasan

: 20 x/menit

Konjungtiva anemis -/A : Mola Hidatidosa P : IUFD RL 20 tpm Inj. Asam Tranexamat 250 mg/8jam/iv Pro-Kuretase

02/12/2018 S : Nyeri perut (+), mual (-) muntah (-), nafsu makan baik, susah tidur (-) pusing (-), sakit kepala (-) perdarahan pervaginam (+) , BAK biasa, dan BAB lancar O :Keadaan Umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 88 x/m

Suhu

: 36,5oC

Pernapasan

: 22 x/menit

Konjungtiva anemis -/A : Mola Hidatidosa P : IUFD RL 20 tpm Inj. Asam Tranexamat 250 mg/8jam/iv

Persiapan kuret besok : -

Infus Ringer Laktat

-

Inj. Dexamethasone

-

Inj. Keterolac 1 amp/8 jam

-

Inj. Ranitidin

-

Drips oxytocin 1 ampul dalam RL 500 cc

-

Methergin

-

Pethidine

Siapkan darah wb 2 kantong Pro kuretase (besok) Dilakukan kuretase dan dikeluarkan jaringan seperti anggur dengan jumlah yang banyak, berat mola ±1000 gram, perdarahan bergumpal ± 500 cc Dokumentasi mola :

Gambar 1. Molahidatidosa. Terdapat jaringan bulat yang menyerupai gelembung-gelembung putih, berisi cairan jernih dengan ukuran bervariasi Laporan Operasi : 1.

Pasien diposisikan secara litotomi dibawah pengaruh anestesi

2.

Desinfeksi daerah kerja menggunakan kasa steril dan betadine

3.

Memasang duk steril untuk batasi area kerja

4.

Memasang speculum anterior dan posterior pada mulut Rahim

5.

Menjepit serviks dengan tenaculum pada arah jam 11

6.

Melepaskan speculum anterior

7.

Mengukur panjang uterus dengan sonde

8.

Melakukan kuretase mola hingga dipastikan tidak ada mola yang tersisa, dikeluarkan sisa mola sedikit

9.

Melepas tenaculum dan speculum posterior

10.

Membersihkan area kerja dengan kasa steril dan betadine

11.

Memasang tampon vagina 1 buah

12.

Membersihkan area luar vagina

13.

Operasi selesai

03/12/2018 S : Nyeri perut post kuretase (+),perdarahan pervaginam (+) sedikit-sedikit, mual (-) muntah (-), pusing (-), sakit kepala (-), BAK biasa, dan BAB lancar O :Ku : sedang Kesadaran : komposmentis TD: 130/70 mmHg N: 84 x/m

P: 20 x/m S : 36,5 °C

 Konjungtiva anemis -/ TFU : 4 jari dibawah umbilikus  Nyeri tekan suprapubik (+) A : Post Kuret hari I atas indikasi molahidatidosa P : IVFD RL 20 tpm Inj. Ranitidin 1 ampul/8 jam Inj. Ketorolac 1 amp/8jam Inj.Ondansentron 1 ampul/8 jam Cefadroxil 500 mg 2x1 Metronidazole 500 mg 3x1 Metilergotamin 3x1

04/12/2018 S : Nyeri perut (-),perdarahan pervaginam (-) , mual (-) muntah (-), pusing (-), sakit kepala (-), BAK biasa, dan BAB lancar O :Keadaan Umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 80 x/m

Suhu

: 36,8oC

Pernapasan

: 20 x/menit

 Konjungtiva anemis -/ TFU : 4 jari dibawah umbilikus  Nyeri tekan suprapubik (-) A : Post kuretase hari ke II a/i molahidatidosa P : Cefadroxil 500mg 2x1 Metronidazole 500mg 3x1 Vit C 3x1 Metilergotamin 3x1 tab Pasien boleh pulang, Kontrol poli

BAB III PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 28 tahun MRS dengan keluhan adanya darah yang keluar dari jalan lahir, keluhan ini dialami oleh pasien kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu. Keluarnya darah kadang bercampur dengan lendir dan tidak terdapat gumpalan darah. Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bagian bawah sejak kemarin sore SMRS, tidak ada pengeluaran darah dan nanah pada benjolan tersebut. Pasien mengeluh mual (+), muntah (+), demam (-), batuk (-), sesaknafas (-), BAB lancar dan BAK biasa. Pemeriksaan fisik : TD : 100/60

N: 88 x/m,

R: 22 x/m,

S:36,5ºC.

Status Obstetri Inspeksi :Perut tampak cembung, tampak bekas operasi, striae (+) Palpasi: Tinggi Fundus Uteri teraba 2jari dibawah pusat, Pada perabaan abdomen, dirasakan nyeri tekan terutama pada perut bagian kanan Auskultasi: Peristaltic (+) kesan normal Status Ginekologi Pemeriksaan Dalam: Perdarahan (+), jumlah sedikit-sedang, Portio lunak (+), tebal(+) Pemeriksaan laboratorium : RBC 4,01 x 106 WBC 10,7 x 103/L HGB 11,4 gr/dl, PLT 257 x 103/L, HbsAg : non-reaktif, HCG : (+) Hasil USG : kesan mola hidatidosa

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. (Wiknjosastro, Hanifa, dkk, 2002 : 339).Mola dapat mengandung janin (mola parsial) atau tidak terdapat janin di dalamnya (mola komplit). Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui, faktor – faktor yang dapat menyebabkan antara lain, faktor ovum, imunoselektif dari tropoblast, keadaan sosioekonomi yang rendah, paritas tinggi, kekurangan protein, infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas. Pada kasus ini, faktor resiko terjadinya kehamilan mola kemungkinan dikarenakan keadaan sosioekonomi yang rendah, sehingga kekurangan asupan protein dan asam folat. Pada pasien ini, ciri-ciri mola yang dapat dilihat antara lain perdarahan uterus yang merupakan gejala utama pada kasus, gejala ini bervariasi mulai dari spoting sampai perdarahan yang banyak.Pasien juga mengeluh merasa mual dan muntah, hal ini merupakan salah satu manifestasi klinis yang ditimbulkan mola akibat peningkatan kadar beta HCG. Gerakan janin juga tidak pernah dirasakan pasien selama hamil, dimana pada kehamilan normal gerakan janin sudah mulai bisa dirasakan pada minggu ke 18-20. Hasil pemeriksaan didapatkan pemeriksaan abdomen didapatkan TFU teraba 2 jari dibawah pusat, djj tidak dinilai, balotement (-), dan tidak ada gerakan janin. Pada kasus mola hidatidosa temuan klinis yang dapat ditemukan untuk menentukan diagnosis pasti antara lain adalah uterus yang membesar tidak sesuai dengan usia kehamilan serta tidak teraba bagian janin dan ballotemen juga gerakan janin. Berdasarkan taksiran hari pertama haid terakhir pasien usia kehamilan pasien adalah sekitar 16-17 minggu, sedangkan TFU pasien setara dengan usia kehamilan 20-22 minggu. Pada pemeriksaan USG ditemukan adanya gambaran snow storm atau badai salju, menurut teori diagnosis pasti dari mola hidatidosa biasanya dapat dibuat dengan ultrasonografi dengan menunjukkan gambaran yang khas berupa

“vesikel-vesikel” (gelembung mola) dalam kavum uteri atau “badai salju” (snow flake pattern/snow storm). Pada pasien ini dilakukan kuretase dan didapatkan darah keluar bersama cairan putih dan coklat dan banyak jaringan mola. Ada tidaknya janin tidak dapat diketahui dari temuan intra kuretase karena sebagian besar jaringan mola sudah sudah dikeluarkan melalui tindakan kuretase. Tindakan curetase pada pasien ini sudah tepat dilakukan dan perlu tindakan kuret ke-2 (7-10 hari berikutnya) untuk memastikan tidak ada jaringan mola yang tersisa. Pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol kembali pada hari ke 10 untuk menilai titer β-hCG, jika titer β-hCG masih terlampau tinggi maka dapat direncanakan untuk melakukan tindakan kuretase kembali. Sebagai penatalaksanaan lanjutan pasien sebaiknya menunda kehamilan selama 12 bulan dengan menggunakan kontrasepsi. Tindakan histerektomi total bukan dapat menjadi pilihan pada pasien ini dikarenakan pasien dalam kasus ini pasien tergolong beresiko tinggi yang memiliki kriteria usia 20 tahun, belum pernah memiliki anak.

BAB V KESIMPULAN  Mola hidatidosa merupakan salah satu penyakit trofoblas pada kehamilan yang paling banyak terjadi, keluhan utama biasanya yaitu adanya perdarahan pervaginam.  Pada pasien dalam kasus ini, diagnosis mola hidatidosa dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang menunjukkan gambaran khas mola hidatidosa.  Evaluasi keadaan umum pasien, selanjutnya untuk penaganan pada kasus maka dilakukan evakuasi jaringan mola hidatidosa dengan melakukan kuretase.  Sebelum diperbolehkan pulang, beri edukasi pasien untuk melakukan follow up sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh dokter, selain itu pasien disarankan untuk memberi rentang waktu selama kurang lebih 6 bulan sebelum pasien merencanakan untuk hamil kembali, dalam rentang waktu tersebut disarankan untuk menggunakan KB (kondom maupun pil).

DAFTAR PUSTAKA

Bratakoesoema, Dinan S., 2010, Penyakit Trofoblas Gestasional. [book auth.] M.Farid Aziz, Andrijono and Abdul Bari Saifuddin. Onkologi Ginekolgi, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta. Cunningham, F. Gary, et al., 2011, Obstetri Williams, Volume 2, Edisi 21, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. De Cherney, Alan H., 2012, Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition, Mc Graw Hill Companies, Inc, United States. Hadijanto, B., 2008, Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Hanretty K. P., 2004, Obstetrics Illustrated, Sixth Edition, Churchill Livingstone, New York. Mochtar R., 2008, Sinopsis Obstetri Ed. 2, Penerbit EGC, Jakarta. Norman F. Gant MD, Kenneth J., Md Leveno et al. Williams Obstetrics 21st Ed : McGraw-Hill Professional Prawirohardjo, S., 2008, Ilmu Kebidanan, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta Saifuddin, Abdul Bari, Rachimhadhi, Trijatmo and Wiknjosastro, Gulardi H., 2008, Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Schorge, Schaffer, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, Cunningham, 2008, Williams Gynecology, Mc-Graw Hill's.

Winknojosastro, Hanifa, Saifuddin, Abdul Bari and Rachimhadhi, Trijatmo, 2008, Ilmu Kandungan, Edisi Kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Related Documents