Modul Kk 8 Revisi Pbm Tahap Ii.docx

  • Uploaded by: himami
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modul Kk 8 Revisi Pbm Tahap Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,357
  • Pages: 35
DRAFT BUKU KETRAMPILAN KLINIS VIII ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL DAN EMERGENSI II

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2018

Daftar Materi: 1. Deskripsi dan pemeriksaan derajat luka 2. Pembuatan surat keterangan medis 3. Pembuatan visum et repertum I (HIDUP) 4. Pembuatan visum et repertum II (MAYAT) 5. Edukasi dan penatalaksanaan DM tanpa komplikasi 6. Edukasi terkait gangguan metabolisme dan endokrin 7. Transport pasien 8. BLS I 9. BLS II 10. Intubasi dewasa

VI.

Edukasi Pada Gangguan Metabolisme dan Endokrin

Tujuan: Mahasiswa mampu melakukan edukasi pada pasien dengan gangguan metabolisme dan endokrin.

Learning Obyektif: 1. Mahasiswa

mampu

melakukan

penatalaksanaan

dan

edukasi

pada

melakukan

penatalaksanaan

dan

edukasi

pada

tirotoksikosis. 2. Mahasiswa

mampu

hipoglikemia. 3. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan dan edukasi pada malnutrisi energi protein (MEP).

Alat dan Bahan: -

Referensi: Panduan Ketrampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. PB IDI Edisi I. 2017.

Teori: Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar didalam sirkulasi. Sebagian besar kejadian tiroroksikosis akibat hipertiroidisme sehingga kelenjar tiroid memperoleh perintah salah untuk menghasilkan hormon tiroid yang banyak.. Sehingga perlu diperhatikan bahwa tirotoksikosis dapat dengan atau tanpa hipertiroidisme, oleh sebab itu tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori, yaitu: a. Kelainan yang berhubungan dengan Hipertiroidisme.
 b. Kelainan yang tidak berhubungan dengan Hipertiroidisme.

Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi krisis tiroid yang merupakan suatu keadaan klinis

hipertiroidisme

paling

berat

karena

dapat

menyebabkan

kematian.

Tirotoksikosis yang fatal biasanya disebabkan oleh autoimun Grave’s disease pada ibu hamil. Janin yang dikandungnya dapat mengalami tirotoksikosis pula, dan

keadaaan hipertiroid pada janin dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan, kraniosinostosis, bahkan kematian janin.

Hasil Anamnesis Keluhan
Pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala antara lain: berdebar-debar, tremor, iritabilitas, intoleran terhadap panas, keringat berlebihan, penurunan berat badan, peningkatan rasa lapar (nafsu makan bertambah), diare, gangguan reproduksi (oligomenore/amenore dan libido turun), mudah lelah, pembesaran kelenjar tiroid, umumnya penderita merasa sukar tidur, dan rambut rontok.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana Pada pemeriksaan fisik didapatkan: eksoftalmus, takikardia sampai 130-200 x/menit, demam tinggi sampai 40°C, tremor halus, kulit hangat dan basah, rambut rontok, pembesaran kelenjar tiroid, bruit pada tiroid, dermopati lokal, akropaki, dapat ditemukan gagal jantung kongestif dan ikterus. Pemeriksaan Penunjang:
 a. Pemeriksaan laboratorium: TSHs sangat rendah, T4/ fT4/ T3 tinggi, anemia normositik normokrom, limfositosis, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, azotemia prerenal.
 b. EKG: sinus takikardia atau fibrilasi, atrial dengan respon ventrikuler cepat. Diagnosis Klinis
 Untuk kasus hipertiroidisme yang biasa, diagnosis yang tepat adalah dengan melakukan pengukuran langsung konsentrasi tiroksin bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3 meningkat dan TSH sedikit / tdk ada) dengan menggunakan cara pemeriksaan radioimunologik yang tepat.
Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium, namun untuk menilai kemajuan terapi tanpa pemeriksaan penunjang sulit dideteksi.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif Penatalaksanaan
 a. Pemberian obat simptomatis
 b. Propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis.

Konseling dan edukasi perlu dilakukan agar terbangun dukungan keluarga dalam hal kepatuhan meminum obat.

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah <60 mg/dL, atau dengan gejala klinis dan kadar glukosa darah <80 mg/dL. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penyandang diabetes melitus dan geriatri. Hipoglikemia dapat terjadi karena: 1. Kelebihan obat/ dosis obat, terutama insulin atau obat hipoglikemia oral yaitu sulfonilurea. 
 2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun; gagal ginjal kronik pasca persalinan. 
 3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat. 
 4. Kegiatan jasmani berlebihan. 


Hasil Anamnesis Tanda dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi pada setiap individu dari yang ringan sampai berat, sebagai berikut: rasa gemetar, perasaan lapar, pusing, keringat dingin, jantung berdebar, gelisah, terjadi penurunan kesadaran bahkan sampai koma dengan atau tanpa kejang. Koma hipoglikemi dapat mengakibatkan kerusakan sel otak permanen sampai meninggal.

Pada pasien atau keluarga perlu ditanyakan adanya riwayat penggunan preparat insulin atau obat hipoglemik oral, dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis, waktu makan terakhir, jumlah asupan makanan, aktivitas fisik yang dilakukan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana Pemeriksaan Fisik: pucat, diaphoresis/keringat dingin, tekanan darah menurun, frekuensi denyut jantung meningkat, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal (refleks patologis positif pada satu sisi tubuh) sesaat. Pemeriksaan Penunjang: kadar glukosa darah.

Penegakan Diagnosis Diagnosis

hipoglikemia

ditegakkan

berdasarkan

gejala-gejalanya

dan

hasil

pemeriksaan kadar gula darah. Penyebabnya bisa ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan

penderita,

pemeriksaan

fisik,

dan

pemeriksaan

laboratorium

sederhana.
Trias whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia 2. Kadar glukosa plasma rendah
 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif Penatalaksanaan 1. Stadium permulaan (sadar): a. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen atau gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/ gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat. 
 b. Hentikan obat hipoglikemik sementara. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam. 
 c. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar). 
 d. Cari penyebab hipoglikemia dengan anamnesis baik auto maupun 
allo anamnesis. 
 2. Stadium

lanjut

(koma

hipoglikemia

atau

tidak

sadar

dan

curiga


hipoglikemia): a. Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL) bolus intra vena. b. Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse, 6 jam perkolf. 
 Konseling dan Edukasi
 Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Kriteria Rujukan
Pasien hipoglikemia dengan penurunan kesadaran harus dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah diberikan dekstrose 40% bolus dan infus dekstrose 10% dengan tetesan 6 jam per kolf.

MEP adalah penyakit akibat kekurangan energi dan protein umumnya disertai

defisiensi nutrisi lain.
Klasifikasi dari MEP adalah: kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor. Hasil Anamnesis Kwashiorkor, dengan keluhan: 1. Edema 2. Wajah sembab 3. Pandangan sayu 4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa sakit, rontok. 5. Anak rewel, apatis. Marasmus, dengan keluhan: 
 1. Sangat kurus 2. Cengeng 3. Rewel 4. Kulit keriput 


Marasmus Kwashiorkor, dengan keluahan kombinasi dari ke 2 penyakit tersebut diatas. 


Faktor Risiko: 1. Berat badan lahir rendah 2. HIV 3. Infeksi TB 4. Pola asuh yang salah

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana Pemeriksaan Fisik Patognomonis a. BB/TB < 70% atau < -3SD 
 b. Marasmus: tampak sangat kurus, tidak ada jaringan lemak bawah kulit, 
anak tampak tua, baggy pants appearance. 
 c. Kwashiorkor: edema, rambut kuning mudah rontok, crazy pavement 
dermatoses 
 d. Tanda dehidrasi 


e. Demam 
 f. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung 
 g. Sangat pucat 
 h. Pembesaran hati, ikterus 
 i. Tanda defisiensi vitamin A pada mata: konjungtiva kerig, ulkus kornea, 
keratomalasia 
 j. Ulkus pada mulut 
 k. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan 


Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium: gula darah, Hb, Ht, preparat apusan darah, urine rutine, 
feses. 
 b. Antropometri. 
 c. Foto toraks. 
 d. Uji tuberkulin. 


Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis dengan gizi buruk, apabila: a. BB/TB < -3SD atau 70% dari median (marasmus). 
 b. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: 
BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor BB/TB <-3SD). 


Penanganan pasien dengan MEP, yaitu: 1. Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak gizi buruk dengan dosis 
sesuai umur pada saat pertama kali ditemukan. 
 2. Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa makanan lokal atau 
pabrikan. a. Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan therapeuticatau gizi siap 
saji, F100 atau makanan lokal dengan densitas energi yg sama 
terutama dari lemak (minyak/santan/margarin). 
 b. Pemberian jenis makanan untuk pemulihan gizi disesuaikan masa 
pemulihan (rehabilitasi): 
 

1 minggu pertama pemberian F100.




Minggu berikutnya jumlah dan frekuensi F100 dikurangi seiring

dengan penambahan makanan keluarga.

Konseling dan Edukasi
 1. Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian pertumbuhan anak.
 2. Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab
kurang gizi. 3. Memberi nasihat sesuai penyebab
kurang gizi. 4. Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan anjuran makan dan memilih atau mengganti makanan. Kriteria Rujukan
 1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis, dehidrasi berat, anemia berat, penurunan kesadaran.
 2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti: pneumonia berat.

CHECK LIST Edukasi Pada Gangguan Metabolisme dan Endokrin

No

Aspek Penilaian

Nilai 0

1

Mengucapkan “Assalamualaikum wr.wb.”

2

Membuka sesi dengan menyapa pasien (membangun sambung rasa)

3

Mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”

4

Memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan edukasi.

5

Menyampaikan waktu edukasi dan kapan pertanyaan boleh diajukan.

6

Menyampaikan materi edukasi secara ringkas, padat, dan menggunakan bahasa yang sederhana.

7

Apabila diperlukan dapat menggunakan alat bantu dan media yang sesuai tujuan edukasi.

7

Beberapa kali mengecek pemahaman pasien.

8

Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan.

9

Menyampaikan kesimpulan.

10

Mengucapkan terima kasih dan “Jazakumullah khairan katsiron”

1

2

3

VII.

Transport Pasien

Tujuan: Mahasiswa mampu memindahkan pasien dengan cara yang tepat.

Learning Obyektif: 1. Mahasiswa mampu memindahkan korban darurat. 2. Mahasiswa mampu memindahkan korban non darurat.

Alat dan Bahan: -

Referensi: Perry, Petterson, Potter. Ketrampilan Prosedur Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2005.

Teori: Dasar-dasar pengangkatan: 1. Rencanakan setiap gerakan.
 2. Pertahankan sikap tegak saat berdiri, berlutut, maupun duduk, jangan membungkuk.
 3. Konsentrasikan beban pada otot paha bukan punggung.
 4. Gunakan otot fleksor (otot untuk menekuk bukan meluruskan).
 5. Saat mengangkat dengan tangan, telapak tangan menghadap ke arah depan. 6. Jaga titik berat badan sedekat mungkin ke tubuh anda.
 7. Gunakan alat bantu.
 8. Jarak antara kedua lengan dan tungkai adalah selebar bahu. 9. Posisi awal dalam posisi berlutut, satu tungkai bertekuk pada lutut dengan tungkai bawah sejajar lantai. Tungkai lain bertekuk pada lutut dengan telapak kaki bertumpu pada lantai.

Memindahkan korban darurat: 1. Menggendong korban di belakang punggung.


2. Menopang korban dari sisi sambil berjalan oleh satu penolong.
 3. Membopong korban oleh satu penolong seperti membawa anak kecil.
 4. Cara mengangkat lalu membopongnya seperti cara pemadam kebakaran.

Gambar 7.1 menggendong

Gambar 7.2 menopang

Gambar 7.3 membopong

Memindahkan korban non darurat 1. Dapat menunggu bantuan untuk mengangkat korban
 2. Dua penolong, masing-masing di sisi kepala dan kaki korban
 3. Pengangkatan dilakukan pada keempat ekstremitas
 4. Jangan gunakan cara ini jika terdapat cedera pada lengan dan tungkai korban atau jika kemungkinan ada patah tulang belakang

Gambar 7.4 memindahkan dengan 2 penolong

CHECK LIST TRANSPORT PASIEN

No

Aspek Penilaian

Nilai 0

1

Mengucapkan “Assalamualaikum wr.wb.”

2

…….

3

Mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”

4

Melakukan teknik transport pasien: 

Darurat



Non darurat

5

………

6

………

7

Menyampaikan hasil tindakan transport pasien.

8

Mengucapkan terima kasih dan “Jazakumullah khairan katsiron”

1

2

3

VIII. Basic Life Support I (Dewasa)

Tujuan: Mahasiswa mampu melakukan bantuan hidup dasar pada dewasa sesuai kompetensi dokter.

Learning Obyektif: 1. Mahasiswa mampu melakukan penilaian respon pasien dewasa. 2. Mahasiswa mampu melakukan pertolongan bantuan hidup dasar pada pasien dewasa.

Alat dan Bahan: 1. Alat pelindung diri (APD).
 2. Sungkup
 3. Kantung pernapasan (bag valve mask) 4. Sumber oksigen
 5. OPA (oropharyngeal airway)

Referensi: 1. Panduan Ketrampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. PB IDI. Edisi I. 2017. 2. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku Panduan Bantuan Hidup Jantung Dasar BCLS Indonesia. Jakarta: PP PERKI. 2012.

Teori: Basic Life Support adalah tindakan pertolongan medis sederhana pada penderita yang mengalami henti jantung sebelum diberikan tindakan pertolongan medis lanjutan. Tujuan dari BLS adalah memberikan bantuan sirkulasi dan pernapasan yang adekuat sampai keadaan henti jantung teratasi atau sampai penderita dinyatakan meninggal. Teknik Tindakan 1. Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian respons dilakukan dengan

menepuk-

nepuk

dan

menggoyangkan

penderita

sambil

memanggil

penderita.
 a. Jika penderita menjawab atau bergerak terhadap respons yang diberikan, usahakan tetap mempertahankan posisi seperti pada saat ditemukan atau posisikan ke posisi mantap.
 b. Jika penderita tidak merespons serta tidak bernapas atau bernapas tidak normal, maka dianggap mengalami kejadian henti jantung.
 2. Jika pasien tidak respons, aktivasi sistem layanan gawat darurat dengan minta bantuan orang terdekat atau penolong sendiri yang menelepon jika tidak ada orang lain.
 3. Periksa denyut nadi arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik.

Gambar 8.1 Palpasi A. Karotis

4. Lakukan kompresi dada: a. Penderita dibaringkan di tempat yang datar dan keras. 
 b. Tentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan
yang telah saling berkaitan di bagian setengah bawah sternum.
 c. Frekuensi minimal 100 kali per menit dengan kedalaman minimal 5 cm.
 d. Penolong melakukan kompresi dengan perbandingan kompresi dan ventilasi 30:2.

Gambar 8.2 Teknik Kompresi Dada

Gambar 8.3 Teknik gerakan kompresi dada

5. Setelah lakukan kompresi 30 kali, lakukan ventilasi dengan membuka jalan napas dengan teknik:
 a. Head tilt chin lift maneuver. 

Dorong kepala korban dengan mendorong dahi ke belakang (head tilt) dan pada saat yang bersamaan dagu korban (chin lift)

Gambar 8.4 Head tilt chin lift maneuver b. Jaw thrust
 

Letakkan siku-siku pada bidang datar tempat korban dibaringkan. Cari rahang bawah. Pegang rahang bawah dengan jari-jari kedua

tangan dari sisi kanan dan kiri korban
 

Dorong rahang bawah dengan mendorong kedua sudutnya ke depan dengan jari-jari kedua tangan




Buka mulut korban dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua tangan

Gambar 8.5 Jaw thrust

c. Pasang OPA jika tersedia.

Gambar 8.6 Oropharyngeal Airway

Pengelolaan jalan napas dengan head tilt-chin lift dan jaw thrust. Head tilt chin lift tidak dianjurkan pada korban yang dicurigai menderita cedera kepala, cedera leher, dan cedera tulang belakang.

6. Berikan napas bantuan dengan metode: Mulut ke mulut: a. Pertahankan posisi head tilt chin lift. Jepit hidung dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan. b. Buka sedikit mulut penderita, tarik napas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari mulut penderita. Hembuskan napas lambat setiap tiupan selama 1 detik. Pastikan dada terangkat.

c. Lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.

Gambar 8.7 Resusitasi mulut ke mulut

Mulut ke hidung: a. Katupkan mulut penderita disertai chin lift, kemudian hembuskan udara seperti pernapasan mulut ke mulut. Buka mulut penderita waktu ekshalasi.

Gambar 8.8 Resusitasi mulut ke hidung

Mulut ke sungkup: a. Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang dengan kedua ibu jari.

b. Lakukan head tilt chin lift / jaw thrust. Tekan sungkup ke muka penderita dengan rapat.
 c. Hembuskan udara melalui lubang sungkup hingga dada terangkat. d. Amati turunnya pergerakan dinding dada.


Gambar 8.9 Mulut ke sungkup

Dengan kantung pernapasan a. Tempatkan tangan untuk membuka jalan japas. b. Letakkan sungkup menutupi muka dengan teknik E-C clamp (bila seorang diri) yaitu dengan meletakkan jari ketiga, keempat, kelima membentuk huruf E dan diletakkan dibawah rahang bawah dan mengekstensi dagu serta rahang bawah; ibu jari dan telunjuk membentuk huruf C untuk mempertahankan sungkup. c. Bila 2 penolong, 1 penolong berada pada posisi di atas kepala penderita dan dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan mencegah agar tidak terjadi kebocoran disekitar sungkup. Jari-jari yang lain mengektensikan kepala sambil melihat pergerakan dada. Penolong kedua memompa kantung sampai dada terangkat.

7. Cek irama jantung dan ulangi siklus setiap 2 menit.

Gambar 8.10 Pertolongan dengan 2 penolong

Indikasi bantuan hidup dasar: - Henti jantung
 - Henti napas
 - Tidak sadarkan diri

Gangguan jalan napas adalah berupa sumbatan jalan napas: - Sumbatan di atas laring
 - Sumbatan pada laring
 - Sumbatan di bawah laring

Kondisi yang menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi: - Infeksi - Aspirasi
 - Edema paru
 - Kontusio paru
 - Kondisi tertentu yang menyebabkan rongga paru tertekan oleh benda asing.

Sebab-sebab henti jantung: - Faktor primer (dari jantung sendiri) - Faktor sekunder

Keberhasilan bantuan hidup dasar (basic life support):
 - Warna kulit berubah dari sianosis menjadi kemerahan - Pupil akan mengecil - Pulihnya denyut nadi spontan

CHECK LIST Basic Life Support I (Dewasa)

No

Aspek Penilaian

Nilai 0

1

Mengucapkan “Assalamualaikum wr.wb.”

2

Mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”

3

Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian respons

dilakukan

dengan

menepuk-

nepuk

dan

menggoyangkan penderita sambil memanggil penderita. 4

Jika pasien tidak respons, aktivasi sistem layanan gawat darurat dengan minta bantuan orang terdekat atau penolong sendiri yang menelepon jika tidak ada orang lain.


5

Periksa denyut nadi arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik.

6

Lakukan kompresi dada.

7

Setelah lakukan kompresi 30 kali, lakukan ventilasi dengan membuka jalan napas.

7

Berikan napas bantuan, dengan perbandingan kompresi dan ventilasi 30:2.

8

Cek irama jantung dan ulangi siklus setiap 2 menit.

9

Lakukan sampai kriteria berhasil/dihentikan.

10

Mengucapkan terima kasih dan “Jazakumullah khairan katsiron”

1

2

3

IX.

Basic Life Support II (Anak)

Tujuan: Mahasiswa mampu melakukan bantuan hidup dasar pada anak sesuai kompetensi dokter.

Learning Obyektif: 1. Mahasiswa mampu melakukan penilaian respon pasien anak. 2. Mahasiswa mampu melakukan pertolongan bantuan hidup dasar pada pasien anak.

Alat dan Bahan: 1. Alat pelindung diri (APD).
 2. Sungkup
 3. Kantung pernapasan (bag valve mask) 4. Sumber oksigen
 5. OPA (oropharyngeal airway)

Referensi: 1. Panduan Ketrampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. PB IDI. Edisi I. 2017. 2. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku Panduan Bantuan Hidup Jantung Dasar BCLS Indonesia. Jakarta: PP PERKI. 2012.

Teori: Teknik tindakan pada anak: 1. Pemeriksaan nadi bayi kurang dari satu tahun dilakukan pada arteri brachialis atau arteri femoralis. Untuk anak diatas satu tahun, pemeriksaan dilakukan sama seperti pada orang dewasa.

2. Jika pulsasi teraba, berikan 1 bantuan napas tiap 3 detik. Berikan kompresi jika denyut jantung <60/menit dengan perfusi yang buruk walaupun setelah oksigenasi dan ventilasi yang adekuat. 3. Kompresi pada anak usia 1-8 tahun:
 a. Menekan sternum sekitar 5 cm dengan kecepatan minimal 100 kali per menit. b. Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan sampai dada terangkat (1 penolong).
 c. Kompresi dan napas buatan dengan rasio 15:2 (2 penolong).

Gambar 9.1 Cek nadi pada bayi 4. Kompresi dada pada bayi:
 a. Letakkan 2 jari satu tangan pada setengah bawah sternum; lebar 1 jari berada di bawah garis intermammari.
 b. Menekan sternum sekitar 4 cm kemudian angkat tanpa melepas jari dari sternum dngan kecepatan minimal 100 kali per menit.
 c. Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan sampai dada terangkat (1 penolong).
 d. Kompresi dan napas bantuan dengan rasio 15:2 jika 2 penolong.

Gambar 9.2 Kompresi dada pada bayi

Gambar 9.3 Pemakaian sungkup pada bayi

Gambar 9.4 Kompresi dada pada dewasa, anak-anak dan bayi

5. Jika bayi atau anak sudah kembali ke dalam sirkulasi spontan, maka baringkan anak atau bayi ke posisi mantap. a. Gendong bayi di lengan penolong sambil menyangga perut dan dada bayi dengan kepala bayi terletak lebih rendah. b. Usahakan tidak menutup mulut dan hidung bayi. 
 c. Monitor dan rekam tanda vital, kadar respons, denyut nadi, dan pernapasan. 


Gambar 9.5 Posisi recovery pada bayi dan anak CHECK LIST Basic Life Support II (Anak)

No

Aspek Penilaian

Nilai 0

1

Mengucapkan “Assalamualaikum wr.wb.”

2

Mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”

3

Pemeriksaan nadi bayi kurang dari satu tahun dilakukan pada arteri brachialis atau arteri femoralis. Untuk anak diatas satu tahun, pemeriksaan dilakukan sama seperti pada orang dewasa.

4

Jika pulsasi teraba, berikan 1 bantuan napas tiap 3 detik. Berikan kompresi jika denyut jantung <60/menit dengan perfusi yang buruk walaupun setelah oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.


5

Lakukan kompresi dada: a. pada anak: 

Menekan sternum sekitar 5 cm dengan kecepatan minimal 100 kali per menit.



Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan sampai dada terangkat (1 penolong).




Kompresi dan napas buatan dengan rasio 15:2 (2 penolong).

b. pada bayi: 

Letakkan 2 jari satu tangan pada setengah bawah sternum; lebar 1 jari berada di bawah garis intermammari.


1

2

3



Menekan sternum sekitar 4 cm kemudian angkat tanpa melepas jari dari sternum dngan kecepatan minimal 100 kali per menit.




Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan sampai dada terangkat (1 penolong).




Kompresi dan napas bantuan dengan rasio 15:2 jika 2 penolong.

6

Jika bayi atau anak sudah kembali ke dalam sirkulasi spontan, maka baringkan anak atau bayi ke posisi mantap.

7

Mengucapkan terima kasih dan “Jazakumullah khairan katsiron”

X.

Intubasi Dewasa

Tujuan: Mahasiswa mampu melakukan pemasangan endotracheal tube pada dewasa sesuai kompetensi dokter.

Learning Obyektif: 1. Mahasiswa mengetahui indikasi pemasangan intubasi pipa endotrakeal (ETT). 2. Mahasiswa mampu melakukan pemasangan intubasi pipa endotrakeal (ETT) pada pasien dewasa.

Alat dan Bahan: 1. Laryngoscope lengkap.
 2. Pipa endotrakeal (orotracheal) 3. Forceps magill 4. Anestesi lokal semprot
 5. Spuit 10 cc atau 20 cc 6. Stetoskop, ambubag, dan masker oksigen 7. Alat penghisap lendir 8. Plester, gunting, jelli 9. Stilet

Referensi: 1. Materi Pelatihan General Emergency Life Support (GELS). 2. Advanced Trauma Life Support (ATLS)

Teori: Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukan pipa endotrakea ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan pertukaran gas adekuat. Jalan nafas

yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih terjamin. Kemungkinan aspirasi cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara pernafasan juga menjadi mudah dikendalikan dan penggunaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dapat dilakukan dengan mengatur katup ekspirasi.

INDIKASI : 1. Pada keadaan darurat: a. gagal napas akut b. ventilasi atau oksigenasi yang tidak adekuat c. proteksi jalan napas (hilangnya refleks pernapasan, koma, henti jantung, obstruksi jalan napas, perdarahan faring, tindakan profilaksis pada pasien tidak sadar) 2. Pada keadaan pre-operatif: a. Pasien dengan anestesi umum. 
 b. Tindakan operasi yang berhubungan dengan jalan napas. 
 c. Tindakan operasi yang melibatkan posisi khusus. 

 3. Pada keadaan lain: a. Hiperventilasi jangka pendek untuk meningkatkan tekanan intrakranial. 
 b. Untuk mengatasi lendir atau perdarahan dari jalan napas. 


TEKNIK PEMASANGAN PIPA ET PADA DEWASA: a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga (informed consent). 
 b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik. Laringoskop terdiri dari blade (bilah) dan handle (gagang). Pasang blade dan handle, cek lampu harus menyala terang, memegang laringoskop dengan tangan kiri dan posisi tangan memegang pada handle.

Gambar 10.1 Laringoskop

c. Pilih pipa endotrakeal (ET) yang sesuai ukuran, dewasa (6,5 - 8,5 atau kurang lebih sebesar kelingking kiri pasien). Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas (lubrikasi) pada ujung pipa ET sampai daerah cuff. 


Gambar 10.2 pipa ET

d. Pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur servikal dapat disingkirkan). e. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam. 
 f. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker.


Gambar 10.3 Hiperventilasi g. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop. h. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.


Gambar 10.4 Posisi memasukkan laringoskop

i. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu.

Gambar 10.5 Posisi tangan memegang laringoskop dan pipa ET

j. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm. Waktu memasang pipa ET lakukan penekanan pada krikoid (oleh asisten) untuk mencegah regurgitasi yang mengakibatkan aspirasi. Tekanan tersebut dipertahankan sampai setelah pipa ET masuk dan cuff dikembangkan. k. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik. l. Hubungkan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi (asisten), pertama pada lambung, kemudian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET. m. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc.

Gambar 10.6 Posisi balon cuff saat dikembangkan n. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau 
tercabut. 
 o. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa 
ET jika mulai sadar. p. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 
sampai 12 liter per menit). 


Gambar 10.7 Ventilasi setelah pipa ET terpasang

KOMPLIKASI a. Pipa ET masuk ke dalam esofagus yang dapat menyebabkan hipoksia. 
 b. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi. 
 c. Gigi patah. 
 d. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung 
pipa. 
 e. Kerusakan pita suara. 
 f. Perforasi pada faring dan esofagus. 
 g. Muntah dan aspirasi 
 


CHECK LIST Intubasi Dewasa

No

Aspek Penilaian

Nilai 0

1

Mengucapkan “Assalamualaikum wr.wb.”

2

Mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”

3

Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga (informed consent).

4

Cek alat yang diperlukan.

5

Pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur servikal dapat disingkirkan).

1

2

3

6

Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam.

7

Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker.

8

Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop

9

Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.

10

Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu.

11

Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm.

12

Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.

13

Hubungkan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi (asisten), pertama pada lambung, kemudian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.

14

Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc.

15

Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau 
tercabut. 


16

Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa


ET jika mulai sadar. 17

Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 
sampai 12 liter per menit).

18

Mengucapkan terima kasih dan “Jazakumullah khairan katsiron”

- SEKIAN -

Related Documents

Modul 4,5,6 Revisi
June 2020 25
Modul#8
October 2019 42
Modul 8
July 2020 40

More Documents from "Luqman Effendi"