Modul I - Nyeri Sendi.docx

  • Uploaded by: Amaliyyah
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modul I - Nyeri Sendi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,619
  • Pages: 38
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

1

KATA PENGANTAR

2

I.

SKENARIO

3

KATA KUNCI

3

III.

RUMUSAN MASALAH

3

IV.

ANALISIS MASALAH

3

II.

A. RHEUMATOID ARTHRITIS

4

B. OSTEOARTHRITIS

13

C. GOUT D. SLE

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya sehingga penulisan Laporan Kelompok 3 tentang “Nyeri Sendi” laporan ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Penulisan laporan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Blok Muskuloskeletal yang telah di berikan oleh dosen kepada kami. Tidak dipungkiri bahwa makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak, dan kami menyadari sepenuhnya tanpa adanya bantuan dan dukungan tersebut laporan ini mungkin tidak akan dapat diselesaikan tepat waktu. Terkait dengan semua itu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada dosen yang telah mendidik kami.

Makassar, 25 Maret 2019

Penyusun

2

I.

SKENARIO Seorang wanita 35 tahun, Ibu Rumah Tangga, mengeluh nyeri pada jari-jari tangan kiri

dan kanan, keluhan dialami sejak tiga bulan terakhir ini. Kaku pagi hari (+), berlangsung sekitar 30 menit-1 jam. Keluhan demam tidak menggigil sering dialami.

II.

III.

KATA KUNCI -

Wanita 35 tahun

-

Nyeri pada jari tangan kiri dan kanan

-

Keluhan 3 bulan terakhir

-

Kaku pagi hari (30mnt-1jam)

-

Demam tidak menggigil

RUMUSAN MASALAH 1) Bagaimana differential diagnosis dari kasus ini? 2) Bagaimana etiologi dan mekanisme nyeri pada kedua tangan pada kasus ini? 3) Bagaimana anamnesis, pemeriksaan fisik tambahan dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kasus ini? 4) Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini?

IV.

ANALISIS MASALAH 1) Bagaimana differential diagnosis dari kasus ini? NO.

GEJALA

1

Perempuan 35 tahun

2

Nyeri pada kedua jari tangan

3

Keluhan 3 bulan terakhir

4

Kaku pagi hari (30mnt1jam)

5

Demam tidak menggigil

RA

OA

GOUT

SLE

+

-

-

-

+

-

-

+

+

-

-

-

+

+

+

+

+

-

-

-

3

Keterangan : 

Reumatoid Arthritis :

Pr > Lk, 25-50 thn,



Osteoarthritis

:

> 40thn, nyeri asimetris, kaku <30menit



GOUT

:

demam menggigil, pada wanita biasanya

pasca menopause, nyeri asimetris Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa diagnosa penyakit yang dapat menimbulkan gejala-gejala seperti pada skenario yaitu Reumatoid Arthritis (RA).

A. RHEUMATOID ARTHRITIS 1. Definisi Rheumatoid Arthritis Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014). Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. (Febriana, 2015). Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat. (Febriana, 2015).

2. Etiologi Rheumatoid Arthritis Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

4

3. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sama lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

5

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013). Sel B, Sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis.

6

Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

7

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk, 2013). 4. Gejala Klinik Rheumatoid Arthritis Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk, 2013). a. Keluhan umum Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan. b. Kelainan sendi Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi. c. Kelainan diluar sendi 

Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)



Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard



Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)



Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop. 8



Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans



Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni

5. Diagnosis Rheumatoid Arthritis a. Anamnesis 

Perempuan 35 tahun



Nyeri pada kedua jari tangan



Kaku pagi hari (30menit-1jam)



Keluhan terakhir selama 3 bulan



Demam tidak menggigil

b. Pemeriksaan Fisik - Inspeksi bagian sendi yang terkena arthritis - Inspeksi bagian lain yang terkena - Palpasi bagian yang dicurigai (nyeri atau tidak) c. Pemeriksaan Penunjang i. Laboratorium 

Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat



Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis



Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten

ii. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

9

6. Penatalaksanaan Rheumatioid Arthritis a. Pencegahan Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko: 

Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.



Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakangerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.



Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.



Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.



Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)



Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

10

b. Penanganan Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta, 2014). 

NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.



DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk, 2013).



Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.



Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.



Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014).

11

Tabel 1. DMARD untuk terapi RA OBAT

ONSET

Sulfasalazin

1-2 bulan

DOSIS

1x500mg/hari/io ditingkatkan Digunakan sebagai lini pertama setiap minggu hingga 4x500mg/hari Dosis awal 7,5-10 mg/

Metotreksat

1-2

minggu

Hidroksiklorokuin

bulan 2-3

Asatioprin

bulan

D-penisilamin

3-6 bulan

Diberikan pada kasus lanjut dan

minggu/IV atau peroral 12,5- berat. Efek samping: rentan

bulan 17,5mg/minggu dalam 8-12

2-4

Keterangan

infeksi, intoleransi GIT, gangguan fungsi hati dan hematologik Efek samping: penurunan tajam

400 mg/hari

penglihatan, mual, diare, anemia hemolitik

50-150 mg/hari

250-750mg/hari

Efek samping: gangguan hati, gejala GIT, peningkatan TFH Efek samping: stomatitis, proteinuria, rash

7. Prognosis Rheumatoid Arthrtitis Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.

12

B. OSTEOARTHRITIS 1. Definisi Osteoarthritis Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi (CDC, 2014). Dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi tersebut (Hamijoyo, 2007). Sjamsuhidajat, dkk (2011) mendefinisikan OA sebagai kelainan sendi kronik yang disebabkan karena ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidajat et.al, 2011).

2. Etiologi Osteoarthritis Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder (Davey, 2006).

3. Patofisiologi Osteoarthritis OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi. - Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi. 13

- Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNFα) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan menghasilkan kerusakan pada sendi. - Fase nyeri : Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling trabekula dan subkondrial. - Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis (Sudoyo et. al, 2007).

4. Gejala Klinik Osteoarthritis OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut.

14



Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.



Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.



Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan.



Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.



Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut (Davey, 2006).

5. Pemeriksaan Penunjang Osteoarthritis Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena selain murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako dan Pujalte, 2014). -

Radiologi Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena osteoartritis, seperti panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan, dan tulang belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi OA sebagai berikut: Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang terbentuk di tepi sendi.

15

Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan penyempitan rongga sendi yang tidak sama. Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan osteofit. Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di sekitar sendi yang terkena dengan pembentukan kista degenerative. Bagian yang sering terkena OA Lutut : 

Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga sendi.



Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan penyempitan paling dini.

Tulang belakang : 

Terjadi penyempitan rongga diskus.



Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau kompresi medula spinalis.



Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrata.

Panggul : 

Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral dan asetabular.



Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.



Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang sudah berat.

Tangan : 

Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.



Sendi-sendi interfalang proksimal ( nodus Bouchard ).



Sendi-sendi interfalang distal ( nodus Heberden ) (Patel, 2007).

16

6. Penatalaksanaan Osteoarthritis Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat progresi osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi. a. Terapi konservatif Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, pengaturan gaya hidup, apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap berolah raga (pilihan olah raga yang ringan seperti bersepeda, berenang). b. Fisioterapi Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse friction (tehnik pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot, elektroterapi. c. Pertolongan ortopedi Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu yang bagian dalam dan luar didesain khusus pasien OA, ortosis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi (Michael et. al, 2010). d. Farmakoterapi - Analgesik / anti-inflammatory agents. COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk efek antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400mg sehari. - Naproksen : dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250 - 375mg sehari. Bila perlu diberikan 2x500mg sehari. - Glucocorticoids Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi sendi akibat Inflamasi. Contoh: Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10 mg atau 40 mg. - Asam hialuronat

17

- Kondroitin sulfat Injeksi steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan diabetes yang telah hiperglikemia. Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo, asam hialuronat, lavage (pencucian sendi), injeksi kortikosteroid dipercaya secara signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3 minggu setelah penyuntikan (Nafrialdi dan Setawati, 2007). e. Pembedahan  Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan menyebabkan rata infeksi yang rendah (dibawah 0,1%). Pasien dimasukkan ke dalam kelompok 1 debridemen artroskopi, kelompok 2 lavage artroskopi, kelompok 3 merupakan kelompok plasebo hanya dengan incisi kulit. Setelah 24 bulan melakukan prosedur tersebut didapatkan hasil yang signifikan pada kelompok 3 dari pada kelompok 1 dan 2.  Khondroplasti : menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur ini digunakan untuk mengurangi gejala osteofit pada kerusakan meniskus.  Autologous chondrocyte transplatation (ACT)  Autologous

osteochondral

transplantation

(OCT)

(Michael et. al, 2010). 7. Prognosis Osteoarthritis Prognosis pasien dengan osteoarthritis primer bervariasi dan terkait dengan sendi yang terlibat. Pasien dengan osteoarthritis sekunder, prognosisnya terkait dengan faktor penyebab terjadinya osteoarthritis. Umumnya baik. Sebagian besar nyeri dapat diatasi dengan obat-obat konservatif. Hanya kasus-kasus berat yang memerlukan pembedahan, yaitu apabila pengobatan dengan menggunakan obat tidak rasional pada pasien.

C. GOUT 1. Definisi Gout Artritis gout merupakan salah satu penyakit metabolik (metabolic syndrom) yang terkait dengan pola makan diet tinggi purin dan minuman beralkohol.

18

Penimbunan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan jaringan lunak merupakan pemicu utama terjadinya keradangan atau inflamasi pada gout artritis (Nuki dan Simkin, 2006).

2. Etiologi Gout Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi, obesitas, konsumsi purin dan alkohol.  Usia dan Jenis Kelamin Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun. Sedangkan pada wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause, kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada wanita muda (Roddy dan Doherty, 2010). -

Riwayat medikasi Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk perkembangan artritis gout. Obat diuretik dapat menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid, etambutol, dan niasin (Weaver, 2008).

-

Obesitas Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada brush border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan adanya resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal (Choi et al, 2005).

19

-

Konsumsi purin dan alkohol Hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat (Zhang,2006). Metabolisme etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenin nukleotida meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan prekursor pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam laktat pada darah yang menghambat eksresi asam urat (Doherty, 2009). Alasan lain yang menjelaskan hubungan alkohol dengan artritis gout adalah alkohol memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh (Zhang, 2006).

3. Patofisiologi Gout Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya dalam plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi dengan fagosit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan cara mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni opsonisasi dan fagositosis serta mengeluarkan mediator inflamasi. Mekanisme kedua adalah kristal monosodium urat berinteraksi langsung dengan membran lipid dan protein melalui membran sel dan glikoprotein pada fagosit. Proses diatas akan menginduksi pengeluaran interleukin (IL) pada sel monosit yang merupakan faktor penentu terjadinya akumulasi neutrofil. Neutrofil berkontribusi pada proses inflamasi melalui faktor kemotaktik yakni sitokin dan kemokin yang berperan pada adhesi endotel dan proses transmigrasi. Sejumlah faktor yang diketahui berperan dalam proses artritis gout adalah IL-1 α, IL-8, CXCL1, dan

granulocyte stimulating-colony factor(Busso dan So, 2010).

Penurunan

konsentrasi asam urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofus (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan

hiperurisemia

asimptomatik

kristal

urat

ditemukan

pada

sendi

metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian gout dapat timbul pada keadaan asimptomatik (Tehupeiory, 2006).

4. Gejala Klinik Gout Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi ini dapat terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan yang sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya serangan 20

artritis gout pada tahap kedua (Sunkureddi et al, 2006). Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006). Serangan artritis gout akut terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi yang berat dan biasanya bersifat monoartikular. Pada 50% serangan pertama terjadi pada metatarsophalangeal-1 (MTP-1) yang biasa disebut dengan podagra. Semakin lama serangan mungkin bersifat poliartikular dan menyerang ankles, knee, wrist, dan sendi-sendi pada tangan (Sunkureddi et all, 2006).

5. Diagnosis Gout Diagnosa asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan sendi. a. Pemeriksaan Laboratorium Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk wanita. Bukti adanya kristal urat dari cairan sinovial atau dari topus melalui mikroskop polarisasi sudah membuktikan, bagaimanapun juga pembentukan topus hanya setengah dari semua pasien dengan gout. Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mendeteksi ada dan tidaknya penyakit diabetes mellitus. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi ginjal. Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada dan tidaknya gejala aterosklerosis. b. Pemeriksaan Cairan Sendi Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urate (kristal MSU) dalam cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis artritis yang terjadi perlu dilakukan kultur cairan sendi. Dengan mengeluarkan cairan sendi yang meradang maka pasien akan merasakan nyeri sendi yang berkurang. Dengan memasukkan obat ke dalam sendi, selain menyedot cairan sendi tentunya, maka pasien akan lebih cepat

21

sembuh. Mengenai metode penyedotan cairan sendi ini, ketria mengatakan bahwa titik dimana jarum akan ditusukkan harus dipastikan terlebih dahulu oleh seorang dokter. Tempat penyedotan harus disterilkan terlebih dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan dan cairan disedot dengan spuite. Pada umunya, sehabis penyedotan dilakukan, dimasukkan obat antiradang ke dalam sendi. Jika penyedotan ini dilakukan dengan cara yang tepat maka pasien tidak akan merasa sakit. Jarum yang dipilih juga harus sesuai kebutuhan injeksi saat itu dan lebih baik dilakukan pembiusan pada pasien terlebih dahulu. Jika lokasi penyuntikan tidak steril maka akan mengakibatkan infeksi sendi. Perdarahan bisa juga terjadi jika tempat suntikan tidak tepat dan nyeri hebat pun bisa terjadi jika teknik penyuntikan tidak tepat. Selain memeriksa keadaan sendi yang mengalami peradangan, dokter biasanya akan memeriksa kadar asam urat dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi adalah sangat sugestif untuk diagnosis gout artritis. Namun, tidak jarang kadar asam urat ditemukan dalam kondisi normal. Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan pengobatan asam urat tinggi sebelumnya. Karena, kadar asam urat sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pengobatan maka kadar standar atau kadar normal di dalam darah adalah berkisar dari 3,5 – 7 mg/dL. Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang terbaik. Cairan hasil aspirasi jarum yang dilakukan pada sendi yang mengalami peradangan akan tampak keruh karena mengandung kristal dan sel-sel radang. Seringkali cairan memiliki konsistensi seperti pasta dan berkapur. Agar mendapatkan gambaran yang jelas jenis kristal yang terkandung maka harus diperiksa di bawah mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristalkristal asam urat berbentuk jarum atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di luar sel. Kadang bisa juga ditemukan bakteri bila terjadi septic artritis. c. Pemeriksaan dengan Rontgen Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan roentgen ini dilakukan pada penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan roentgen perlu dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan jaringan di sekitar sendi.

22

Seberapa sering penderita asam urat untuk melakukan pemeriksaan roentgen tergantung perkembangan penyakitnya. Jika sering

kumat,

sebaiknya

dilakukan

pemeriksaan roentgen ulang. Bahkan kalau memang tidak kunjung membaik, kita pun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI). Gold standard dalam menegakkan gout artritis adalah menggunakan mikroskop terpolarisasi, yaitu dengan ditemukannya kristal urat MSU (Monosodium Urat) di cairan sendi atau tofus. Untuk memudahkan diagnosis gout artritis akut, dapat digunakan kriteria dari ARA (American Rheumatism Association) tahun 1997 sebagai berikut : 1) Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau 2) Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau 3) Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai berikut :  Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut  Inflamasi maksimal terjadi pada hari pertama gejala atau serangan datang  Artritis monoartikuler (hanya terjadi di satu sisi persendian)  Kemerahan pada sendi yang terserang  Bengkak dan nyeri pada sendi MTP-1 (ibu jari kaki)  Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1 (di salah satu sisi)  Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal  Adanya tofus di artilago articular dan kapula sendi  Terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah ( > 7.5mg/dL)  Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)  Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)  Kultur mikroorganisme cairan sendi menunjukkan hasil negatif  Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun kadar asam urat normal. 23

6. Penatalaksanaan Gout Secara umum, penanganan gout artritis adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. Pengobatan gout arthritis akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain: kolkisin, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti alupurinol atau obat urikosurik tidak dapat diberikan pada stadium akut. Namun, pada pasien yang secara rutin telah mengkonsumsi obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat alupurinol bersama obat urikosurik yang lain a. Nonstereoidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)

NSAIDs dimulai dengan dosis maksimum pada tanda pertama dari serangan, dan dosis diturunkan pada saat gejala sudah mulai mereda. Namun pemberian obat harus terus diberikan sampai 48 jam setelah gejala sudah tidak muncul lagi b. Kolkisin

Kolkisin terbukti efektif digunakan untuk menangani akut gout artritis, kolkisin dapat memberikan efek meredakan nyeri dalam waktu 48 jam untuk sebagian pasien. Kolkisin akan menghambat polimerisasi mikrotubul dengan mengikat mikrotubul subunit mikroprotein dan mencegah agregasinya. Kolkisin juga menghalangi pembentukan kristal, mengurangi mobilitas dan adhesi leukosit polimorfonuklear dan menghambat fosoforilasi tirosin dan generasi leukotriene B4. Dosis efektif kolkisin pada pasien dengan akut gout artritis sama dengan penyebab gejala pada saluran gastrointestinal, sehingga pemberian obat ini diberikan secara oral dengan dosis inisiasi 1 mg dan diikuti dengan dosis 0,5 mg setiap dua jam sampai rasa tidak nyaman pada perut atau diare membaik atau dengan dosis maksimal yang diberikan perharinya adalah 6 mg – 8 mg. sebagian besar pasien akan merasakan nyerinya berkurang dalam 18 jam dan diare dalam 24 jam.

24

Peradangan nyeri sendi berkurang secara bertahap dari 75 % - 80 % dalam waktu 48 jam. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati, ataupun pada pasien usia tua, pemberian kolkisin pada dosis ini dikatakan aman meskipun akan menimbulkan sedikit ketidaknyamanan pada pasien c. Kortikosteroid

Kortikosteroid (seperti prednison) dapat diminum atau disuntikkan ke dalam sendi yang mengalami peradangan untuk meringankan rasa sakit dan pembengkakan. Kortikosteroid biasanya mulai bekerja dalam 24 jam setelah menelan maupun disuntikkan. Prednison 20-40 mg per hari diberikan selama tiga sampai empat hari. Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama 1-2 minggu. ACTH diberikan sebagai

injeksi

intramuskular

40-80

IU,

dan

beberapa

dokter

merekomendasikan dosis awal dengan 40 IU setiap 6 sampai 12 jam untuk beberapa hari, jika diperlukan. Seseorang dengan gout di satu atau dua sendi besar dapat mengambil manfaat dari drainase sendi diikuti dengan injeksi intraartikular dengan 10-40 mg triamsinolon atau 2-10 mg deksametason, kombinasi dengan lidokain

7. Prognosis Gout Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah sistem bukan penyakit sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan prognosis penyakit yang menyertainya (Tehupeiroy, 2003). Artritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas yang cukup besar, dengan episode serangan akut yang sering menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis gout yang diterapi lebih dini dan benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga baik (Rothschild, 2013). Jarang artritis gout sendiri yang menyebabkan kematian atau fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya, artritis gout sering terkait dengan beberapa penyakit yang berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa muncul sebagai komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis gout (Tehupeiroy, 2003). Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik. Jika serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat (membutuhkan urate lowering therapy dalam jangka panjang) dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan penderita. 25

Selama 6 sampai 24 bulan pertama terapit artritis gout, serangan akut akan sering terjadi (Schumacher et al, 2007). Luka kronis pada kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi lebih mudah terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat menjadi infeksi karena penumpukan bakteri. Tofus artritis gout kronis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi Deposit dari kristal monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan fibrosis, dan menurunkan fungsi ginjal (Rothschild, 2013)

D. SLE 1. Definisi SLE Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat.

2. Etiologi SLE Etiologi LES belum diketahui secara pasti, namun diduga merupakan kombinasi antara faktor genetik, lingkungan, dan faktor hormonal. Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang ditandai oleh peningkatan aktivitas limfosit B dan T. Keluarga dari anak-anak yang mengalami LES banyak memiliki kelainan serologis, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau herediter berperan dalam patogenesis 26

penyakit ini. Penyakit LES disertai dengan kelainan berupa defisiensi herediter komplemen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) dan imunoglobulin A (IgA), serta kecenderungan timbul pada genotip HLA tertentu (DR2 dan DR3). Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain: sinar matahari yang menyebabkan eksaserbasi penyakit, radiasi ultra violet (UV) B yang menginduksi apoptosis, serta infeksi Epstein-Barr virus. Beberapa obat tertentu (seperti: alfa metil dopa, klorpromazin, hidralazin, isoniazid, dan fenitoin) dapat menginduksi terjadinya LES karena obat tersebut dapat bertindak sebagai mediator yang berinterferensi dengan mekanisme homeostasis populasi limfosit. Faktor hormonal yang diduga berperan adalah defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen.

3. Patogenesis SLE Patogenesis LES juga belum diketahui dengan jelas. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah autoantibodi terhadap inti sel yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa antidsDNA dan antisingle stranded DNA (antissDNA). Jenis antibodi lain yang banyak ditemukan terhadap inti sel adalah antiasam ribonukleat (antiRNA), antiSmith, antiRo/SS-A, antiLa/SS-B, antiHiston, dan antifosfolipid. Limfosit B memegang peran penting dalam patogenesis LES, peningkatannya pada pasien LES menghasilkan peningkatan kadar antibodi hingga hipergamaglobulinemia, serta mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel T helper. Pada LES cenderung terjadi anergi atau apoptosis sel T regulator (sel T CD4+ CD25+) dan sel T supresor (sel T CD8+) yang berfungsi untuk menekan hiperaktivitas sel B. Autoantibodi yang terbentuk akan memicu pembentukan kompleks imun baik disirkulasi yang kemudian mengendap di jaringan, maupun kompleks imun yang terbentuk insitu di dalam jaringan. Kompleks imun akan memicu aktivasi komplemen dan proses inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan. Persistensi kompleks imun ini disebabkan oleh banyaknya komponen autoantibodi yang terbentuk, serta kelelahan sistem retikuloendotelial dalam melakukan pembersihan terhadap kompleks imun. Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, 27

namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

4. Gejala Klinik SLE Artritis. Terlibatnya sendi baik atralgia atau artritis, kedua-kedua sering timbul pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang tersering pada penderita dengan SLE aktif. Artritis sendi pada penderita SLE umumnya poli artritis mirip dengan artritis reumatoid yang mana daerah yang sering terkena pada sendi-sendi kecil pada tangan, pergelangan dan lutut. Sendi yang terkena dapat mengalami pembengkakan atau sinovitis. Artritis pada SLE walaupun sudah berlangsung cukup lama tidak mengalami erosi dan destruksi sendi, meskipun dokter terlambat memberikan terapi. Seringkali pada penderita lupus yang berat yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai (jaccoud artropati) dengan gambaran kliniknya mirip dengan artritis reumatoid seperti adanya swan neck-deformity hal ini terjadi bukan karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi dan tendon serta ligamen sendi yang mengalami kekenduran jaringan ikat sendi (laxity) akibatnya kedudukan sendi menjadi tidak stabil, bila prosesnya masih awal dapat pulih kembali bila penyakit SLEnya mendapat pengobatan yang adekuat, sedangkan bila terlambat pengobatannya seringkali sudah terjadi fibrosis maka akan menimbulkan kecacatan yang menetap. Pada pemeriksaan radiologik didapatkan subluksasi minimal dan deformitas akan tetapi tidak dijumpai kelainan erosi dan destruksi pada sendi tangan walaupun kelainan artritis sudah berlangsung lama (bertahun-tahun). Miositis dan mialgia. Rasa sakit pada otot pada penderita SLE dikenal sebagai mialgia bila pada pemeriksaan enzim cratine phosphokinase (CPK) dalam batas normal, sedangkan miositis bila terjadi kenaikan enzim creatine phosphokinase (CPK),

28

hal ini seringkali kita sulit membedakan dengan kelainan otot karena fibromialgia yang disebabkan karena depresi

5. Penatalaksanaan SLE Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian. -

Terapi Farmakologi Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadangkadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol. Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama 29

periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar.

Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas.

Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A).

Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsiginjal.

Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang tradisional.

30

Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahanbahan imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE, hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet. Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. -

Terapi Non Farmakologi Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian. Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.

2) Bagaimana etiologi dan mekanisme nyeri pada kedua tangan pada kasus ini? 

Etiologi : Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.



Mekanisme : Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta

31

peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sama lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013). Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan antiCCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013). Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, 32

osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler.

33

Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).

3) Bagaimana anamnesis, pemeriksaan fisik tambahan dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kasus ini? a. Anamnesis 

Perempuan 35 tahun



Nyeri pada kedua jari tangan



Kaku pagi hari (30menit-1jam)



Keluhan terakhir selama 3 bulan



Demam tidak menggigil

b. Pemeriksaan Fisik - Inspeksi bagian sendi yang terkena arthritis - Inspeksi bagian lain yang terkena - Palpasi bagian yang dicurigai (nyeri atau tidak) c. Pemeriksaan Penunjang i. Laboratorium 

Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat



Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis



Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten

ii. Radiologis Dapat

terlihat

berupa

pembengkakan

jaringan

lunak,

penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

34

4) Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini? a. Pencegahan Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko: 

Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.



Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakangerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.



Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.



Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.



Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)



Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

35

b. Penanganan Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan

adalah

menghilangkan

inflamasi,

mencegah

deformitas,

mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014). 

NSAID

(Nonsteroidal

Anti-Inflammatory

Drug)

Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi. 

DMARD

(Disease-Modifying

Antirheumatic

Drug)

Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013). 

Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.



Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.



Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014).

36

Tabel 1. DMARD untuk terapi RA OBAT

Sulfasalazin

ONSET 1-2 bulan

DOSIS

1x500mg/hari/io ditingkatkan Digunakan sebagai lini pertama setiap minggu hingga 4x500mg/hari Dosis awal 7,5-10 mg/

Metotreksat

1-2

minggu

Hidroksiklorokuin

Asatioprin

D-penisilamin

bulan 2-3 bulan 3-6 bulan

Diberikan pada kasus lanjut dan

minggu/IV atau peroral 12,5- berat. Efek samping: rentan

bulan 17,5mg/minggu dalam 8-12

2-4

Keterangan

infeksi, intoleransi GIT, gangguan fungsi hati dan hematologik Efek samping: penurunan tajam

400 mg/hari

penglihatan, mual, diare, anemia hemolitik

50-150 mg/hari

250-750mg/hari

Efek samping: gangguan hati, gejala GIT, peningkatan TFH Efek samping: stomatitis, proteinuria, rash

37

DAFTAR PUSTAKA 1. RA: https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7ecfc9533b3d0c63e52385ece 00081a8.pdf 2. OA : http://eprints.ums.ac.id/37962/3/BAB%202.pdf 3. GOUT : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/viewFile/4182/4546 http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/3291 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2006:1218-20. Albar, Zuljasri. Gout: Diagnosis and Management. Rheumatology division, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia.2010. Azari RA. Journal Reading: Artritis Gout. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung; 2014. 4. SLE Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill; 2005. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And Management Options. P&T. Vol.37. No.4. April 2012. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. h. 346-73. Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical Information. 2nd ed.

38

Related Documents

Modul I - Nyeri Sendi.docx
December 2019 12
Modul-i
June 2020 16
Modul I
June 2020 14

More Documents from ""

Modul I - Nyeri Sendi.docx
December 2019 12