Modul Etika Ts Isbn.docx

  • Uploaded by: acces internet
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modul Etika Ts Isbn.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 22,217
  • Pages: 98
PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Etika Profesi Konstruksi Etika Profesi Konstruksi diberikan kepada mahasiswa jurusan teknik sipil politeknik semester 5 (lima). Alasan materi Etika Profesi Konstruksi diberikan pada Semester 5, karena di perguruan tinggi politeknik rata-rata mahasiswa sudah akan menyelesaikan masa kuliahnya di semester ini. Asumsinya bahwa setelah menyelesaikan kuliah, sebagian besar alumni akan bekerja di bidang konstruksi. Pada saat bekerja mereka harus profesional dan memiliki etika yang baik, untuk itu kepada mereka perlu dibekali pengetahuan tentang Etika Profesi Konstruksi. Etika adalah hasil kritisi dari seorang atau sekelompok orang tentang ajaran moral atau filsafat. Etika adalah pemikiran lebih lanjut dari filsafat, etika adalah nilai, agar etika lebih mengikat maka perlu dibuat norma. Sering etika disamakan dengan norma dan etiket, padahal berbeda. Norma hampir sama dengan etiket, namun etika dengan etiket tidak sama. etika lebih kepada hal yang batiniah sedangkan etiket hal yang lahiriah. Demikian halnya mahasiswa politeknik jurusan teknik sipil, mereka tidak sama dengan mahasiswa fakultas hukum yang memiliki waktu lama untuk kuliah, dan mendalami bidang hukum dan filsafat. Besar kemungkinan tidak mengetahui banyak hal tentang filsafat, nilai, norma, etika, etiket. Sebagai mahasiswa yang nantinya akan berkecimpung di bidang kontruksi selayaknya selayaknya mereka memiliki pengetahuaan yang cukup tentang itu, selain memiliki pengetahuan tentang bisnis konstruksi, etika bisnis dan profesionalsime, yang diwujudkan dalam bentuk kode etik konstruksi. Diharapkan jika mahasiswa politeknik sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Etika Profesi Konstruksi, maka ketika bekerja akan memiliki etika, dan profesional dibidang konstruksi. Sehingga memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan; mengakui hak pekerja; melindungi konsumen dan tidak akan semaunya melanggar Hak Kekayaan Intelektual milik orang lain.

1

1.2 Kompetensi Umum Adapun kompetensi umum dari Etika Profesi Konstruksi adalah, agar pembaca mendapat pengetahuan dan kemudian memahami tentang : filsafat, ajaran moral, Etika, Etiket, Nilai, Norma; Teori-teori Etika; Etika Profesi; Pandangan Tentang Bisnis Konstruksi; Etika Bisnis dan Profesionalisme Konstruksi; Kode Etik Bisnis Konstruksi; Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Konstruksi; Hak Pekerja; Perlindungan Konsumen Konstruksi; Hak Kekayaan Intelektual. Sehingga diharapkan baik sekarang ataupun dimasa yang akan datang pembaca akan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dari Etika Profesi Konstruksi.

1.3 Proses Pembelajaran Proses pembelajaran dilakukan dengan cara: Ceramah, tanya jawab, diskusi, debat, bedah kasus, searching internet Media pembelajaran melalui : Buku, Power Point, Internet, Nara sumber

1.4 Petunjuk Mempelajari Buku Ajar Buku dibaca bertahap, mulai dari Bab Pendahuluan yang didalamnya terdapat: Gambaran Umum Materi; Tujuan Pembelajaran Umum; Etika Profesi Kontruksi; Proses Pembelajaran; Petunjuk mempelajari buku ajar. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Modul 1 Teori Etika yang didalamnya terdapat materi: filsafat, ajaran moral, Etika, Etiket, Nilai, Norma; Teori-teori Etika; Etika Profesi. Setelah selesai membaca Modul 1 dan melakukan proses belajar mengajar di kelas , kemudian mengerjakan Latihan dan Tugas. Membaca Modul 2 Etika Bisis Konstruksiyang didalamnya terdapat materi: Pandangan Tentang Bisnis Konstruksi; Etika Bisnis dan Profesionalisme Konstruksi; Kode Etik Bisnis Konstruksi. Setelah selesai membaca Modul 2 dan melakukan proses belajar mengajar di kelas maka mengerjakan Latihan dan Tugas. Membaca Modul 3 Tanggung Jawan Sosial Bisnis Konstruksi yang 2

didalamnya terdapat materi:Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; Perusahaan Konstruksi; Perlindungan Konsumen Konstruksi; Hak Kekayaan Intelektual Konstruksi. Setelah selesai membaca Modul 2 dan melakukan proses belajar mengajar di kelas, kemudian mengerjakan Latihan dan Tugas.

3

MODUL 1

ETIKA 2.1 Pendahuluan Etika adalah cabang dari filsafat, utama yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. 2.2 Tujuan Pembelajaran Khusus Diharapkan setelah mempelajari buku

ini, maka

pembaca

memiliki

pengetahuan, dan memahami tentang: filsafat, ajaran moral, etika, etiket, nilai dan norma; teori-teori etika; dan etika profesi.

4

2.3 Materi Ajar 1 2.3.1 Filsafat, Ajaran moral (Etika), Nilai, Norma

A. Filsafat Fisafat bukanlah pengetahuan yang baru saja ada. Kita kenal tokoh Kong Hu Tsu, Aristoteles, Socrates, Plato dan lain sebagainya. Mereka adalah filsuf yang pernah hidup ratusan tahun yang lalu, dengan demikian filsafat sudah lama sekali ada. Lalu apa yang menyebabkan timbulnya pemikiran filsafat ?. Hal yang menyebabkan terjadinya pemikiran filsafat adalah, karena manusia seringkali bertanya-tanya tentang banyak hal, salah satunya adalah pertanyaan tentang makna kehidupan yang hakiki. Sumber filsafat berasal dari manusia atau akal fikiran manusia yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran dan akhirnya mendekati kebenaran (relatif), dimana hasil berfikiran yang relatif ini bukan berarti tidak ada yang benar, tapi kebenarannya tidak mutlak. Perlu diketahui bahwa hasil ajaran filsuf ini disepakati banyak orang untuk dijadikan faham atau ideologi yang dianut di suatu negara misal: Marksisme yang dianut oleh negara-negara sosialis, Liberalisme yang dianut negara-negara individualis seperti Eropa dan Amerika, atau Pancasila yang dianut di Indonesia. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang filsafat akan dijelaskan batasan-batasan tentang filsafat seperti dijelaskan berikut.

1. Batasan Filsafat Dalam arti Praktis Dalam arti praktis, filsafat ialah alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat ialah berfikir, tetapi berpikir secara mendalam, artinya berpikir sampai ke akarakarnya dan dengan sungguh-sungguh tentang hakikat sesuatu. “Sesuatu” yang dimaksud adalah apa yang diselidiki seseorang misalnya hakikat hukum, maka sesuatu yang diselidiki adalah hukum, namun bila yang diselidiki hakikat ekonomi maka sesuatu yang dimaksud adalah hakikat ekonomi. Bila hasil penyelidikannya kemudian disepakati untuk dijadikan ideologi dari suatu negara, maka yang diselidiki 5

seharusnya adalah kebenaran. Dan bila yang dicari kebenaran, maka hasil yang akan didapat adalah sesuatu yang “mendekati kebenaran” atau kebenaran yang relatif. Mengapa yang didapat bukan kebenaran mutlak? jawabnya, karena kebenaran mutlak bukan berasal dari manusia, melainkan berasal dari Allah. Apakah semua orang yang berfikiran mendalam guna mencari hakekat sesuatu itu dapat kita sebut sebagai filsuf atau hasilnya dapat kita katakan sebagai filsafat ? Terdapat empat syarat untuk dapat dikatakan seseorang berfilsafat atau hasilnya adalah filsafat. Syarat pertama harus berfikiran kritis, ke-dua runtut/sistematis, ketiga menyeluruh (tidak terbatas satu aspek) dan ke-empat mendalam atau mencari alasan terakhir. Apabila seluruh syarat berfikiran filsafat ini dipenuhi barulah seseorang dapat disebut filsuf dan hasilnya dikatakan filsafat.

2. Filsafat Dari Segi Etimologis (Asal Usul Kata) Filsafat berasal dari bahasa Yunani, menurut Prof. Dr. Jhon S Brubacher berasal dari kata filos artinya cinta dan sofia artinya kebijaksanaan/kebenaran. Jadi filsafat

artinya

“Cinta

Kebijaksanaan/kebenaran”,

atau

“Induk/ratu

ilmu

pengetahuan”. Sedangkan menurut Runes dalam bukunya “Dictionary of Philosophy” filsafat berasal dari kata phillein artinya cinta dan sophia artinya kebenaran/kebijaksanaan,

filsafat

diartikan

“Usaha

untuk

mencari

kebenaran/kebijaksanaan” dan “Ilmu yang paling umum” . Terdapat dua kelompok arti filsafat diatas, yang kesatu “Induk/ratu ilmu pengetahuan”, “Ilmu yang paling umum” sebagai hasil atau produk. Kelompok kedua “Cinta Kebijaksanaan/kebenaran”, ”Usaha untuk mencari kebenaran/kebijaksanaan” sebagai proses yang tidak pernah berhenti karena yang dicari adalah kebenaran.

Filsafat sebagai produk mencakup pengertian: a) Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari para filsuf zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu. Misal rasionalisme, materialisme, pragmatisme dlsb.

6

b) Filsafat sebagai suatu jenis problem yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktifikat berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan yang bersumber pada akal manusia.

Filsafat sebagai suatu proses , dalam hal ini diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat. Dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya.

3. Batasan Filsafat dari Segi Isi atau Substansi Dilihat dari segi isi, filsafat adalah kegiatan fikir murni (reflective thinking) yaitu kegiatan menyelidiki objek yang tidak terbatas yaitu kesemestaan. Agar lebih memudahkan pengertian diatas maka objek penyelidikan dibagi dua, yaitu: a) Objek material, yaitu penyelidikan yang meliputi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada (misal manusia dan generasi mendatang), yang konkret dan non fisis. (misal raga dan jiwa) b) Objek formal, yaitu objek material (alam semesta) diselidiki sedalamdalamnya guna mengerti hakekatnya

Dari beberapa batasan filsafat dalam arti praktis, etimologis, isi atau substansi. Dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa: filsafat adalah kegiatan fikir murni yang menyelidiki objek yang tidak terbatas yakni kesemestaan; filsafat sebagai hasil pemikiran pemikir/filosof yang berwujud pandangan hidup atau ideology yang dianut suatu masyarakat, bangsa dan negara; filsafat sebagai pemikiran manusia yang sungguh-sungguh, sistematis, radikal untuk mencari kebenaran sesuai dengan ruang dan waktu.

B. Ajaran Moral (Etika) Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu, filsafat teoritis, dan filsafat praktis.

7

Filsafat teoritis adalah, filsafat yang mempertanyakan dan berusaha mencari jawaban tentang segala sesuatu, misal hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan tentang pengetahuan tentang yang kita ketahui, tentang yang transenden dan kain sebagainya. Sedangkan Filsafat praktis adalah filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada yang menjadi objek pertanyaan filsafat teoritis. Jadi dalam hal ini filsafat teoritis juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicarinya menggerakan kehidupannya. Etika termasuk kelompok filsafat praktis, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno,1987). Etika dibagi dua ,yaitu etika umum dan etika khusus, etika umum yaitu yang mempertanyakan prinsip dasar bagi setiap semua tindakan manusia. Bagaimana, seharusnya sikap manusia dalam kehidupan bersosialisasinya, maka jawabannya adalah: jujur, tidak egois, adil, toleransi dlsb. Sedangkan

etika khusus adalah yang membahas prinsip-prinsip itu dalam

hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan (Suseno,1987). Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu: etika individual; yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri, serta melalui suara hati terhadap Tuhannya; dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban

serta norma-norma moral yang seharusnya

dipatuhi dalah hubungan dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa, dan negara. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu, misalnya etika keluarga, etika profesi, etika lingkungan, etika pendidikan, termasuk etika politik yang menyangkut dimensi politis manusia.

C. Nilai

1. Pengertian Nilai Istilah nilai didalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya kebehargaan atau kebaikan, dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian . Didalam 8

Dictionary of Sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu. Misalnya bunga itu indah, perbuatan itu susila. Indah dan susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian nilai sebenarnya kenyataan yang tersembunyi dibalik kenayataan-kenyataan lainnya. Ada nilai karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Atau dengan pengetian yang sederhana dapat dikatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang penting sehingga menarik dan membangkitkan keaktifan manusia untuk mendapatkannya. Mudah sekali mencari contoh nilai jika berupa benda riil, misalnya uang karena penting sehingga membangkitkan keaktifan manusia untuk mendapatkannya misal dengan bekerja. Lalu bagaimana dengan contoh nilai yang abstrak, jika sesuatu membangkitkan keaktifan manusia untuk mendapatkannya maka hal tersebut adalah nilai. Contohnya adalah keadilan, untuk mendapatkannya membangkitkan keaktifan manusia untuk mendapatnkannya, misal dengan pergi ke pengadilan atau bahkan berdemonstrasi.

2. Hierarkhi Nilai Demikian banyak sekali contoh nilai, sehingga orang kemudian menggolonggolongkan agar tidak tertukar antara nilai yang satu dengan lainnya, atau memberi tingkatan (hierarkhi) agar sesuai sudut pandang masing-masing yang mana lebih penting. Menurut tinggi rendahnya Max Sceler mengemukakan empat tingkatan nilai: a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengeakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum. c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kerjiwaan yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan Nilai-nilai

9

semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. d. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapatlan modalitas nilai dari yang suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Sedangkan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu: a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan mateial ragawi manusia; b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas; c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam; d. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia; e. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia; f. Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dipahami dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita, keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai tidak bersifat kongkrit, yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifart subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek (manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia.

D. Norma

10

Agar nilai menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannnya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah norma. Norma memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.

1. Macam-macam Norma Terdapat berbagai macam, seperti norma susila, norma adat, norma kebiasaan, norma hukum, dari semua itu norma hukumlah yang paling kuat keberlakukannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum.

Norma terbagi menjadi : a. Norma Khusus adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus, misalnya aturan olah raga, aturan pendidikan dan lain-lain b. Norma Umum sebaliknya lebih bersifat umum dan sampai pada tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. - Norma Sopan santun/Etiket, adalah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan kelompok. norma ini yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari. - Norma Hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Norma hukum ini mencerminkan

harapan, keinginan dan keyakinan seluruh anggota

masyarakat tersebut tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana masyarakat tersebut harus diatur secara baik

11

- Norma Moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya tindakan dan perilaku manusia sejauh ia dilihat sebagai manusia.

2. Ciri-Ciri Norma Terdapat beberapa ciri utama yang membedakan norma moral dari norma umum lainnya (kendati dalam kaitan dengan norma hukum ciri-ciri ini bisa tumpang tindih) : a. Kaidah moral berkaitan dengan hal-hal yang mempunyai atau yang dianggap mempunyai konsekuensi yang serius bagi

kesejahteraan, kebaikan dan

kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. b. Norma moral tidak ditetapkan dan/atau diubah oleh keputusan penguasa tertentu. Norma moral dan juga norma hukum merupakan ekspresi, cermin dan harapan masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Berbeda dengan norma hukum, norma moral tidak dikodifikasikan, tidak ditetapkan atau diubah oleh pemerintah. Ia lebih merupakan hukum tak tertulis dalam hati setiap anggota masyarakat, yang karena itu mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri. Norma moral selalu menyangkut sebuah perasaan khusus tertentu, yang oleh beberapa filsuf moral disebut sebagai perasaan moral (moral sense)

E. Moral Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung intergritas dan martabat pribadi manusia. Derajat keperibadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikimya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian ini maka kita memasuki wilalyah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.

12

Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkalah kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan. Moral merupakan ajaran-ajaran

atau wejangan-wejangan,

patokan-patokan kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus dhidup ban bertindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun etika, adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral, bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengatahuan tentang kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.

2.3.2

Etika dan Etiket

A. Etika dan Etiket Etika harus dibedakan dengan istilah etiket, karena kedua istilah ini sering dicampuradukkan padahal perbedaan diantaranya sangat hakiki. Kata etiket berasal dari Bahasa Prancis Ettiquette. Etiquette yang berarti kartu undangan yang lazim dipakai kalangan raja-raja Prancis. Dahulu raja-raja Prancis jika mengadakan pesta atau resepsi di istana biasanya mengundang tamu-tamu tertentu baik dari kalangan keluarga raja maupun dari kalangan luar istana yang berkedudukan tinggi seperti orang-orang kaya atau para duta negara lain. Cara mengundangnya dengan sebuah kartu yang didalamnya tertera aturan-aturan yang sering sangat berbelit-belit. Dalam kartu undangan itu sudah diatur mengenai cara-cara mengikuti persta tersebut, yang disesuaikan dengan jabatan, tingkatan, atau hubungannya dengan raja. Peraturan itu menyangkut letak tempat duduk, cara berpakaian, bersikap, dan berbicara dengan raja. Lama kelamaan pengertian etiquette berubah, bukan lagi kartunya yang disebut etiquette, melainkan isinya. Selanjutnya kata etiquette berkembang artinya menjadi kumpulan cara sikap bergaul yang baik diantara orang-orang beradab.

B. Perbedaan Etika dengan Etiket

13

Etiket mempunyai hubungan yang erat dengan etika. Menilai moral seseorang antara lain juga melihat etiket pergaulannya, Jadi etiket dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur moral seseorang . Membiasakan diri menjalankan etiket yang baik akan banyak membantu orang untuk mencapai moral yang baik. Namun, perlu diingat bahwa ada perbedaan yang sangat penting antara etiket dan etika. Menurut Bertens (1993:9-10), ada empat perbedaan yang sangat penting antara etika dan etiket.

1.

Etiket adalah cara, sedangkan etika adalah niat Etiket

menyangkut

cara

perbuatan

yang

harus

dilakukan

manusia.

Menyerahkan sesuatu kepada atasan harus dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri dianggap melanggar etiket. suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak, misal mengambil barang milik perusahaan tanpa izin tidak pernah dibolehkan, tidak perduli soal cara mengambilnya dengan tangan kanan atau kiri.

2.

Etiket adalah formalitas, sedangkan etika adalah nurani Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Larangan untuk mencuri barang milik proyek selalu berlaku, walaupun ada orang lain hadir atau tidak dalam likasi proyek. Demikian halnya barang pinjaman harus selalu dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.

3.

Etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat mutlak Etiket bersifat relatif. Yang dianggap sopan dalam satu kebudayaan bisa dianggap tidak sopan dalam kebudayaan lain, misalnya makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Sementara itu “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diber “dispensasi”. Walaupun ada kesulitan mengenai eabsolutan etika, tetapi tidak bisa diragukan lagi relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi. 14

4.

Etiket adalah lahiriah sedangkan etiket adalah batiniah Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedangkan eatika menyangkut manusia dari segi batiniah. Etiket yang baik tidak pasti berarti moral yang baik. Tidak mustahil dalam pergaulan dunia bisnis konstruksi sering kita temukan seroang rekanan sikap luarnya yang sangat harus dan sopan, tetapi didalamnya penuh kebusukan. Orang-orang yang bersikat etis adalah orang yang “sungguh-sungguh” baik, bukan orang-orang yang munafik

2.3.3 Teori-teori Etika Pemahaman teori-teori etika sangat diperlukan, karena etika bisnis konstruksi menyangkut penerapan pinsip-prinsip etika dalam pengambilan keputusan dan tindakan bisnis konstruksi, yang kesemuanya selalu mempunyai tujuan-tujuan tertentu.

A. Etika Teleologi/ Tujuan Dalam etika tujuan atau etika telelologis (dari kata Yunani, telos = tujuan, dan logos= fikiran), mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Perbuatan mencuri bagi etika ini tidak ditentukan oleh baik atau tidaknya tindakan, tapi ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Jika tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Misalnya kontraktor melakukan manipulasi untuk membagi-bagikan hasilnya bagi fakir miskin. Cara berfikir etika tujuan tidak menurut soal perbuatan “benar” dan “salah”, melainkan menurut kategori “baik” dan “buruk”. Terdapat dua aliran etika yang berbeda, yaitu : Egoisme dan Utilitarianisme.

1. Egoisme Pandangan egoisme yang utama yaitu bahwa tindakan setiap orang pada dasarnya bertujuan mengejar kepentingannya sendiri dan memajukan dirinya sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap pribadi adalah 15

mengejar kepentingannya dan memajukan diri sendiri. Menurut Keraf egoisme dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Egoisme etis Egoisme etis merupakan teori etika yang berpandangan bahwa satu-satunya tolok ukur mengenai baik dan buruknya suatu tindakan seseorang adalah kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan kepentingannya diatas kebahagiaan dan kepentingan orang lain. Egoisme etis mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Pada mulanya egoisme etis bersifat positif karena didasarkan prinsip bahwa dalam situasi apapun setiap orang wajib berusaha memperoleh sebanyak mungkin hal yang baik bagi dirinya demi kebahagiaan dan keselamatan dirinya. Namun, dalam perkembangannya egoisme etis semakin mengarah kepada hedonisme yaitu ketika kebahagiaan

dan

kepentingan

pribadi

diterjemahkan

semata-mata

sebagai

kenikmatan fisik yg bersifat vulgar, dengan menekankan kebahagiaan manusia hanya terletak pada kesenangan dan kenikmatan lahiriah saja. Perkembangan egoisme etis yang semakin negatif ini juga didorong oleh adanya kecenderungan sikap yang semakin mengkorupsikan sopan santun dan seluruh sistem nilai masyarakat: konsumerisme, mumpungisme, sloganisme, dan sikap menghina rakyat kecil. -

Konsumerisme, adalah sikap orang yang terdorong untuk terus menerus menambahkan tingkat konsumsi, bukan karena konsumsi itu sebenarnya dibutuhkan, melainkan lebih demi status yang akan diperolehnya melalui konsumsi tinggi itu.

-

Mumpungisme, adalah cara efektif untuk maju dengan cara ngobjek karena mumpung ada kesempatan, membonceng pada orang-orang diatas, dengan mengambil jalan cepat, jalan pintas.

-

Sloganisme. Merupakan kepalsuan gaya hidup dengan menggunakan katakata/slogan bermakna (misalnya: nilai-nilai luhur, moralitas bangsa, etos kerja, tanggung jawab) secara murahan hanya untuk menutupi kepentingan pribadi. 16

-

Sikap menghina orang kecil merupakan sikan yang memandang orang kecil tidak perlu diperhatikan tidak perlu diajak musyawarah, dan bisa diperas karena mereka lengah

b. Egoisme Psikologis Egoisme psikologis mengungkapkan bahwa satu-satunya motivasi tindakan manusia adalah mengejar kepentingannya sendiri. Egoisme psikologis ini juga merupakan sebuah teori yang sinis, karena manusia dianggap hanya menipu diri apabila ia mengira bahwa ia bertindak demi cita-cita luihur atau demi kepentingan orang lain. Kalaupun ia tampaknya bersedia berkurban, sebenarnya ia hanya mencari kepuasannya sendiri. Egoisme psikologis ini bersifat deskriptif, yang hanya mau menggambarkan kenyataan sebagaimana diamati dalam kehidupan manusia. Menurutnya, apa yang disebut sebagai pengorbanan, perbuatan baik untuk orang lain, atau segala macam tindakan yang bersifat altruistis (mendahulukan kepentingan orang lain), sebenarnya mempunyai tujuan akhir untuk kebahagiaan dan kepuasan diri sang pelaku. Usaha yang kita lakukan secara maksimal untuk membantu orang lain, untuk memajukan kesejahteraan bersama, atau untuk mempertaruhkan hidup kita demi kesejahteraan orang lain sesungguhnya bertujuan mencari jati diri. Jika demikian halnya, maka jelaslah bahwa egoisme psikologis merupakan suatu tantangan besar bagi etika dan moralitas, karena segala himbauan moral hanya dilecehkan seperti itu. Disatu pihak harus diakui bahwa setiap manusia memiliki setitik unsur egoisme dalam dirinya, tetapi di pihak lain tidak benar bahwa hanya itulah satu-satunya motivasi dasar manusia dalam melakukan suatu tindakan. Sangat mungkin bahwa seseorang melakukan suatu tindakan bertujuan menolong orang lain, untuk mengusahakan kesejahteraan bersama, dan semacamnya. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa akhirnya ketika ia telah mencapai tujuannya itu, ia mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan pribadi sebagai akibat dari tercapaianya tujuannya tadi.

17

Jadi kepuasan dan kebahagiaan itu bukanlah tujuan dari tindakan, melainkan hanyalah akibat dari tindakan itu.

2. Utilitarianisme Teori ini berpandangan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Disebut utilitarianisme (yang memuat kata latin utilis = berguna) karena menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau menfaat tindakan itu. Utilitarianisme mengemukakan tesis bahwa suatu tindakan dinilai baik kalau tindakan itu mendatangkan akibat baik sebanyak mungkin atau akibat buruk yang paling kecil apabila dibandingkan dengan tindakan lainnya. Jadi standar perbuatan yang benar adalah maksimalisasi kebaikan. Utilitarianisme cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis

Dua versi utilitarianisme, yaitu utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme aturan.

a. Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism) Seorang filsuf Inggris yang besar, John Stuart Mill (1806-1873), dalam bukunya Utilitarianism

(1864) mengemukakan dua dasar pemikiran etika

Utilitarianisme. Pertama ia berpendapat bahwa kesenangan dan kebahagiaan tidak hanya diukur secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Hidup yang paling bahagia adalah hidup yang juga kaya dengan kesenangan-kesenangan lebih tinggi kualitasnya. Misalnya, Mill berpendapat bahwa kesenangan yang diperoleh dari kegiatan intelektual, kreativitas, apresiasi keindahan dan persahabatan serta cinta adalah lebih baik daripada kesenangan-kesenangan badani yang diperoleh dari makan, seks, dan olah raga. Pemikiran Mill ini dapat diterapkan dalam dunia industri konstruksi, terutama dalam rangka pengambilan keputusan. Ia memberi peluang debat, argumentasi dan 18

diskusi dalam perhitungan keuntungan atau nilai lebih yang akan diperoleh suatu tindakan atau kebijaksanaan tertentu. Ia tidak sekedar menekankan tindakan tertentu demi tindakan itu, tetapi karena ada alasan dan dasar pertimbangan yang masuk akal. Kedua ia berpendapat bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Seorang direktur utama dan seorang tukang dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak boleh pernah dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Jadi, suatu perbuatan dinilai baik, jika kebaikan melebihi ketidakbahagiaan, sehingga kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama. Prinsip ini berasal dari keyakinan bahwa kebanyakan dan mungkin saja semua orang mempunyai keinginan dasar untuk bersatu dan hidup harmonis dengan sesamanya. Dengan demikian setiap usaha harus diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin manusia. Untuk itu, setiap tindakan dan kebijaksanaan dalam dunia bisnis konstruksi harus mengutamakan kepentingan banyak orang diatas kepentingan segelintir orang. Disamping kekuatan-kekuatan yang disebut diatas, utilitarianisme perbuatan juga memiliki kelemahan yang serius, karena cenderung bersifat pragmatis dalam arti negatif. Utilitarianisme menekankan kegunaan praktis bagi sebanyak mungkin orang, tetapi persoalannya adalah “sebanyak mungkin orang menurut penilaian siapa ?”. Biasanya hal itu hanya ditentukan secara sepihak oleh mereka yang mengambil keputusan. Akibatnya, utilitarianisme cenderung mengurbankan pihak-pihak yang lemah. Misal yang akan dibangun akan bermanfaat bagi banyak orang. Penduduk pemilik tanah yang tergusur merasa dirugikan, namun karena kerugian mereka dinilai lebih kecil daripada manfaat yang akan dihasilkan oleh pembangunan real estate tersebut, maka penduduk terpaksa dikalahkan.

b. Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism) Utilitarianisme Aturan

berpandangan bahwa seseorang dinilai benar jika

bertindak sesuai dengan aturan-aturan moral yang bila diikuti akan menghasilkan kebaikan bagi jumlah orang terbanyak. Jadi, prinsip kegunaan tidak harus diterapkan 19

atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan. Harus menepati janji dan menghindari suap, bahkan dalam situasi tertentu yang tidak menguntungkan, karena hal tersebut merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat dan menyumbangkan paling banyak bagi kebahagiaan paling banyak orang dibandingkan praktik-praktik lainnya. Dengan demikian, maka kesulitan Utilitarianisme perbuatan yang berkaitan dengan hak manusia atau keadilan, akan hilang dengan sendirinya asalkan prinsip-prinsip kegunaan diterapkan atas aturannya dan bukan atas perbuatannya. Seorang filsuf pengikut utilitarianisme aturan dewasa ini yang penting adalah Richard B Brandt. Ia melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar aturanaturan itu ditempatkan dalam perangkat yang disebut pedoman-pedoman moral dan diuji dengan prinsip kegunaan. Pedoman moral ini dikatakan benar bila optimal, yang bila diterima dan diikuti akan memaksimalkan kebaikan umum, karena “Tuhan bertujuan memaksimalkan kebahagiaan umat-Nya”. Dengan demikian, suatu perbuatan adalah baik secara moral bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam pedoman moral yang paling berguna bagi suatu, masyarakat. Pedoman ini dapat berupa norma umum dalam masyarakat atau pedoman khusus dalam suatu profesi seperti bisnis konstruksi. Walaupun utilitarianisme aturan ini dapat lolos dari banyak kesulitan yang dihadapi, namun utilitarianisme aturan bukan berarti tanpa kesulitan. Kesulitan muncul pada saat terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalkan seorang staf konsultan mencuri uang kantor untuk membeli obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya, karena jika tidak diminumkan akan meninggal. Disini ada dua konflik antara dua aturan moral: “orang tidak boleh mencuri” dan “orang tua harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anaknya”. Aturan mana yang lebih penting ? untuk menjawab pertanyaan ini harus dilihat situasi konkritnya . Mungkin kebanyakan orang akan menyetujui orang itu mencuri, asalakan tidak terlalu merugikan orang lain. Namun, kita akan terjerumus kembali ke dalam utilitarianisme perbuatan.

B. Etika Kewajiban atau Deontologi 20

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban yang mengikat. Etika kewajiban tidak mengukur baik buruknya suatu perbuatan bedasarkan hasilnya, tetapi semata-mata berdasarkan kewajiban manusia dalam melakukan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan bersifat etis, bila saya memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggung jawab, jadi tindakan itu secara moral benar jika sesuai dengan prinsip kewajiban yang relevan. Misalnya suatu pelaksanaan proyek akan dinilai baik bukan karena kegiatan itu mendatangkan keuntungan bagi kontraktor, melainkan karena kegiatan itu merupakan kewajiban kontraktor yang harus memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pemilik proyek, misalnya menawarkan harga sesuai dengan spesifikasinya.

1. Pandangan Immanuel Kant Seorang filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), berpandangan bahwa hal yang paling mendasar dalam moralitas adalah kewajiban, baik kewajiban terhadp orang lain (jujur, menepati janji, tidak menyusahkan orang lain, adil memberi ganti rugi, berterima kasih dan lain lain), maupun kewajiban terhadap diri sendiri (menyempurnakan pengetahuan, dan kepribadian, mengembangkan bakat, dan tidak bunuh diri). Hal-hal tersebut menjadi kwajiban orang karena memenuhi tiga persyaratan: masing-masing

mengungkapkan

hormat

kepada

orang,

masing-masing

mengungkapkan perintah tidak bersyarat bagi pelaku moral otonom, dan masingmasing merupakan prinsip moral yang otonom, Pertama, menurut Kant yang dianggap baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik, yaitu usaha jujur dan bersungguh-sungguh untuk memenuhi kewajiban. Kehendak baik merupakan kondisi yang harus ada agar manusia bisa memperoleh kebahagiaan Orang yang mampu berkehendak baik akan menghormati orang lain (berarti berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap mereka) dan menghormati diri sendiri (berarti berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap diri sendiri). Jadi, kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kedua, kewajiban-kewajiban moral merupakan suatu perintah yang tanpa syarat atau imperatif kategoris kebalikannya adalah imperatif hipotesis, yaitu yaitu 21

perintah yang harus dilakukan atas dasar syarat atau hipotesis tertentu. Misal, “Jika ingin lulus ujian, harus belajar dengan tekun”. Imperatif kategoris menuntuk untuk melakukan hal-hal tertentu terlepas menginginkannya atau tidak dan tindakan ini menjiwai semua peraturan etis. Misal, “harus menepati janji yang dibuat dengan bebas”, tidak peduli apakah akan membuat senang atau tidak. Dengan kata lain, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begitu saja, bukan oleh pertimbangan lain. Ketiga, imperatif kategoris mengikat hanya bila perintah itu juga berlaku pada setiap orang. Jadi pertimbangan dan prinsip-prinsip moral itu harus berlaku universal. Kebanyakan aturan-aturan moral sehari-hari memenuhi syarat ini. Sebagai ilustrasi, apabila semua orang mengikuti prinsip, “Berilah komisi untuk mendapat keuntungan”, orang tidak lagi dapat membuat kontrak proyek yang legal sama sekali. Kontrak-kontrak proyek terjadi karena dilandasi dasar kepercayaan, paling tidak sebagian besar orang yang terlibat. Kalau utilitarianisme keberatan terhadap komisi itu berdasarkan akibat-akibatnya, maka menurut Kant tindakan itu salah karena tindakah itu dapat dijadikan prinsip-prinsip universal yang berlaku pada semua orang yang rasional.

2. Pandangan William David Ross Dilema moral yang terjadi dalam pandangan Kant di atas dipecahkan oleh filsuf Inggris abad ke-20, William David Ross (1877-1971) dengan mengajukan prinsip kewajiban prima facie (pada pandangan pertama), artinya suatu kewajiban untuk sementara, hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Kewajiban-kewajiban itu adalah: a. Kewajiban kesetiaan: harus menepati janji yang dibuat dengan bebas; b. Kewajiban ganti rugi: harus melunasi utang moril dan materiil; c. Kewajiban terima kasih: harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita; d. Kewajiban keadilan: harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan; e. Kewajiban berbuat baik: harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan; 22

f. Kewajiban mengembangakan diri: harus mengembangkan dan meningkatkan bakat di bidang keutamaan, inteligensi dsb; g. Kewajiban tidak merugikan: tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

Semua kewajiban berlaku langsung dan harus mempertimbangkan dalam setiap kasus dengan akal budi, mana kewajiban yang paling penting tidak mungkin memenuhi semua kewajiban sekaligus. Kewajiban-kewajiban lain harus kalah terhadap kewajiban yang paling penting itu. Contoh kasus, seorang pengawas diancam dibunuh jika membongkar kecurangan yang dilakukan kontraktor. Disatu pihak ia dihadapkan pada tuntutan melaporkan yang benar (kejujuran) kepada pemilik proyek, tetapi dipihak lain juga dihadapkan pada tuntutan untuk melindungi dirinya, istri dan anak-anaknya. Kejujuran selalu wajib dilaksanakan (imperatif kategoris Kant) akan tetapi dalam siatuasi khusus tertentu, karena adanya kwajiban lain yang lebih kuat berupa melindungi diri dan keluarga, dibenarkan melanggar kewajiban kejujuran itu. Dalam siatuasi semacam itu, setiap pribadi bebas menentukan sendiri apa yang harus diambil dengan didasarkan pada bisikan suara hatinya (penilaian intuitif).

3. Pandangan John Rawls Filsuf kontemporer penganut etika kewajiban lainnya, adalah John Rawls merumuskan teori tentang prinsip-prinsip umum yang dapat diurutkan menurut tata kepentingan tanpa perlu menggantungkan diri pada penilaian intuitif. Teori yang disebutkan sebagai teori “kontrak sosial” ini dibangun berdasarkan suatu anggapan mengenai “kedudukan asali”, yaitu setiap orang duduk untuk merundingkan suatu kontrak yang berisi peraturan-peraturan yang harus ditaati semua orang yang mengadakan kontrak itu. Kontrak berlangsung diantara orang-orang yang bebas dan otonom dalam kedudukan yang sama dan karena itu mencerminkan integritas dan kedaulatan yang sama dari orang-orang yang rasional yang mengadakan kontrak itu. Didalam kontrak itu termuat prinsip yang mengatur hak dan kewajiban semua orang serta keuntungan-keuntungan sosial lainnya. Ia menyatakan bahwa semua orang yang 23

bebas dan rasional tersebut akan setuju dan tunduk pada dua prinsip moral dasar yang dapat diterapkan pada masyarakat maupun profesi bisnis konstruksi (Poole, 1993:99-100).

a. Prinsip Kebebasan yang Sama “Masing-masing orang bisa memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang paling luas yang sesuai dengan kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain”. Prinsip ini merupakan yang paling penting dan pertama yang harus dipenuhi, karena tanpa kebebasan dasar (hak-hak untuk berbicara dan berserikat, kegiatan politis, suara hati, milik pribadi dan kesamaan dihadapan hukum), tidak ada keuntungan ekomomis atau sosial lainnya yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang.

b. Prinsip Perbedaan “Ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi bisa dirancang sedemikian rupa sehingga kedua-duanya dapat diharapkan menjadi keuntungan setiap orang dan terkait pada kedudukan-kedudukan dan tugas-tugas yang terbuka bagi semuanya”. Prinsip ini memastikan bahwa perbedaan-perbedaan dalam pemilikan kebaikankebaikan pokok yang tidak dicakup dengan prinsip pertama (misalnya kesejahteraan, pendapanan dan otoritas) hanya dibenarkan jika setiap orang, bahkan yang paling buruk keadaannya, mendapatkan keuntungan dari semua itu. Dengan kata lain, menurut prinsip ini, sekelompok orang hanya dibenarkan memiliki kekayaan dan kekuasaan besar sejauh semua kelompok lain juga mendapatkan untung. Dari dua prinsip moral dasar ini dapat disimpulkan bahwa tindakan memperbolehkan adanya perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi dalam sistem usaha bebas hanya bisa diterima asalkan tindakan itu dapat menyediakan modal yang dibutuhkan oleh bisnis konstruksi untuk berkembang, dan dengan begitu menyediakan lapangan kerja serta pajak untuk membiayai suatu sistem kesejahteraan umum guna membangu orang miskin.

C. Etika Hak Asasi 24

Yang terpenting dari teori ini adalah bahwa tuntutan-tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan serius. Jadi kewajiban muncul karena orang mempunyai hak, bukan sebaliknya. Misalnya, orang memiliki hak hidup bukan karena orang lain memiliki kewajiban untuk tidak membunuh mereka. Justru hak hidup merupakan alasan mengapa orang tidak boleh membunuh orang lain. Etika Hak Asasi dibagi kedalam dua versi yaitu hak kebebasan dan hak kesejahteraan (Martin dan Schinzinger, 1994:46-47)

1. Hak Kebebasan John Locke (1632-1704) berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga hak dasar, yaitu hak atas kehidupan, hak atas kebebasan, dan hak atas milik yang dihasilkan oleh pekerjaan. Karena pandangan itulah, Locke dianggap sebagai peletak dasar berbagai konsep deklarasi hak asasi manusia. Etika hak asasi yang dikembangkan oleh Locke ini bersifat sangat individualistis. Ia memandang hak pertama-tama sebagai kewenangan yang mencegah orang lain mencampuri kehidupan seseorang. Hal ini hak kebebasan atau hak negatif. Suatu hak bersifat negatif, jika saya bebas untuk melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu, dalam arti: orang lain tidak boleh mengindarkan saya melakukan atau memiliki hal itu. Hak negatif itu sepadan dengan kewajiban orang lain untuk tidak melakukan sesuatu yang menghindarkan saya melaksanakan atau memiliki apa yang menjadi hak saya. Contoh tentang negatif ialah hak atas kehidupan, kesehatan, milik atau keamanan, hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul dengan orang lain, dah hak beragama. Pemikiran Locke tentang etika hak asasi ini juga tercermin dalam kehidupan politik sebagai ideologi liberal, yang menekankan perlindungan hak milik pribadi dan mengutuk sistem-sistem pemerataan kesejahteraan. Penganut paham ini mencela sistem pajak serta keterlibatan pemerintahj diluar batas minimum yang diperlukan demi pertahanan serta perlindungan atas usaha yang bebas. Menurut Locke dan pengikutnya, tujuan utama didirikannya negara adalah untuk menjamin dan menjaga hak milik pribadi. Negara tidak didirikan untuk mengatur agar terjadi persamaan sosial diantara warganya, tetapi 25

untuk

memungkinkan warganya mengejar barang milik sebanyak-banyaknya. Termasuk didalamnya, negara bertujuan untuk melindungi hak-hak warganya: hak atas kehidupan, hak kebebasan dan hak atas milik

2. Hak Kesejahteraan Etika hak asasi ini berpandangan bahwa hak asasi berkaitan erat dengan komunitas-komunitas manusia. Pandangan ini berlawanan dengan hak asasi yang hanya mementingkan hak individu. Menurut pandangan Melden cakupan hak-hak moral harus selalu ditentukan dalam kaitan dengan terkaitan antarindividu. Pandangan ini memberi tempat pada hak-hak kesejahteraan yang lebih positif , yang didefinisikan sebagai hak atas keuntungan-keuntungan bersama yang dibutuhkan bagi kehidupan minimal layak secara manusiawi. Dengan demikian, pandangan ini

meletakkan suatu dasar pemikiran bagi

sistem kesejahteraan sosial yang banyak berhubungan dengan bisnis konstruksi, seperti bagaimana pelaku bisnis konstruksi mempergunakan hak asasi ini sebagai dasar dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

D. Teori Etika Keutamaan (Virtue) Bila etika kewajiban menilai benar salahnya kelakuan dengan berpegang pada norma dan prinsip moral saja, namun tidak demikian hal nya dengan etika keutamaan. Etika keutamaan menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, melainkan lebih memfokuskan pada manusia itu sendiri. Etika keutamaan ingin menjawab pertanyaan: “Saya harus menjadi orang yang bagaimana?”, sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan yang pokok adalah, “saya harus melakukan apa ?”.

1. Etika Keutamaan klasik

26

Keutamaan didefinisikan Aristoteles (384-322 SM) sebagai kebiasaan yang memungkinkan manusia secara efektif terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang rasional, yaitu aktivitas yang menentukan sebagai manusia. Aktivitas rasional yang berhasil memerlukan pemikiran, misalnya tentang masa depan, efisiensi, disiplin mental, ketabahan, dan krativitas. Kualitas-kualitas khusus ini oleh Aristoteles disebut sebagai keutamaan intelektual, untuk membedakan dengan keutamaan moral. Keutamaan moral adalah kecenderungan-kecenderungan yang diperoleh lewat suatu

proses

pembentukan

kebiasaan,

yang

diperlukan

untuk

mencapai

keseimbangan yang tepat diantara perilaku-perilaku ekstrem: emosi, keinginan, dan sikap. Dengan kata lain, keutamaan moral merupakan kecenderungan menemukan jalan tengah yang baik diantara ekstrem-ekstrem “terlalu banyak” dam “terlalu sedikit”, contoh berani adalah titik tengah diantara nekat dengan pengecut. Atau kejujuran diantara kebijaksanaan dan kerahasiaan.

2. Etika keutamaan kotemporer Dalam bukunya, after Virtue, Alasdair Macintyre (1984:187), menghidupkan kembali dan memperkaya etika keutamaan dengan memperkenalkan konsep “praktik” yang diterapkannya dalam etika-etika profesional sebagai berikut: Dengan “praktik” saya mengartikan setiap bentuk koheren dan kompleks dari kegiatan manusia yang bersifat kooperatif yang ditetapkan secara sosial yang dengan kegiatan tersebut kebaikan-kebaikan yang terkandung dari bentuk kegiatan itu terwujud dalam proses usaha untuk mencapai patokan-patokan keunggulan yang sesuai dengan, dan sebagian definitif dari bentuk kegiatan itu, dengan akibat bahwa kekuatan-kekuatan manusiawi itu mencapai keunggulah, dan konsep-konsep manusia mengenai tujuan-tujuan dan kebaikan yang tercakup, diperluas secara sistematis. Ia memulai idenya melalui praksis aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara bersama dengan tujuan mencapai kebaikan-kebaikan sosial yang tidak dapat dicapai dengan cara lain. Kebaikan-kebaikan ini bersifat batiniah (internal) terhadap praktik itu; artinya kebaikan itu yang menentukan isi praksis tersebut. Kebaikan itu berbeda dengan kebaikan lahiriah (eksternal) seperti kemasyuran dan martabat yang dapat 27

dicapai melalui berbagai aktivitas dan tidak menentukan praksis apapun. Contoh, kebaikan internal utama bisnis konstruksi menciptakan bangunan yang bermanfaat, berkualitas, dan aman sambil menghormati otonomi pemilik proyek dan masyarakat. Kebaikan internal ini yang menjadi acuan dan menentukan keutamaan dan ideal pelaku bisnis konstruksi, selain keutamaan moral juga dibutuhkan dalam kehidupan pribadi dan kehidupan profesional pelaku bisnis konstruksi.

E. Relativisme etis Menurut relativisme etis, percuma saja mencari tolok ukur umum untuk menilai kelakukan moral manusia, karena tolak ukur dimana-mana selalu berbeda. Bentuk

relativisme etis yang menonjol adalah relativisme deskriptif (kultural) dan

relativisme normatif.

1. Relativisme Deskriptif Relativisme deskriptif atau kultural mengungkapkan kenyataan bahwa norma moral yang berlaku dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat berbeda satu dengan lainnya, karena nilai-nilai budayanya berbeda. Terhadap pandangan ini bisa diberikan tanggapan berikut. Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan pola perilaku moral dari berbagai kebudayaan dan masyarakat, namun tidak bisa disangkal bahwa ada suatu prinsip-prinsip moral dasar yang serupa, bahkan sama dalam setiap kebudayaan. Contoh: bagi masyarakat Bali seorang ibu melakukan pekerjaan bidang konstruksi seperti “ngaduk” (mencampur pasir, semen, air), mengangkut bahan bangunan dan lain-lain pekerjaan laki-laki . Merupakan hal yang wajar karena masyarakat setempat menganggapnya demikian. Sekilas bertentangan dengan norma umum yang berlaku di Indonesia, namun sikap demikian tersebut didasari pertimbangan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat Bali.

2. Relativisme normatif Relativisme normatif menyatakan bahwa tindakan itu bisa dikatakan baik atau buruk hanya dengan didasarkan pada pendapat atau perasaan pribadi dan penilaian 28

budaya, karena tidak ada cara lain untuk memerlukannya. Misalnya bila dua orang atau dua budaya yang berbeda pandangan moralnya, menurut teori ini keduanya bisa benar, karena suatu tindakan bisa dikatakan baik untuk seseorang atau masyarakat tetapi bisa juga dikatakan buruk untuk orang atau masyarakat lainnya dan keduaduanya benar. Ada tiga tanggapan atau teori relativisme normatif. Pertama, moralitas bukan soal perasaan atau pendapat pribadi, melainkan menyangkut masyarakat secara keseluruhan, karena tindakan setiap pribadi mempunyai pengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan. Kalau tidak ada prinsip moral umum yang menjadi tolok ukur penilaian, yang akan terjadi adalah sebuah masyarakat yang kacau balau. Misalnya orang bisa saling mencuri dan menipu, karena menipu dan mencuri bisa baik, bisa juga jelak. Kedua, memang ada benarnya bahwa penilaian moral dipengaruhi oleh masing-masing kebudayaan, tetapi seperti kritik terhadap relativisme deskriptif, dibalik penerapan yang berbeda-beda ada prindip moral umum yang bisa menjadi tolok ukur penilaian moral. Ketiga, benarkah tidak ada cara untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan ? Ada, karena kita masih mempunyai prinsip-prinsip moral dalam tradisi budaya dan agama yang kita terapkandalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun ada dalam praktiknya ada perilaku yang berbeda dengan prinsip moral, tidak berarti prinsip moralnya yang salah dan harus diganti. Pembenaran prinsip moral tidak didasarkan pada apakah ada perilaku konkret yang mendukungnya, melainkan didasarkan pada apa yang dianggap baik oleh seluruh masyarakat melalui nilai-nilai yang dianut turun temurun. Tentu saja prinsip moral itu dalam penerapannya selalu mengalami penyesuaian dengan pola perkembangan masyarakat.

2.3.4 Etika Profesi Didalam perkembangan hidupnya manusia memiliki keahlian masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya yang disebut dengan profesi. Dengan keahliankeahlian

yang

berbeda

tersebut

manusia

saling

melengkapi

pemenuhan

kebutuhannya. Didalam masyarakat yang moderen pelaksanaan tugas profesi tidak begitu saja terjadi, melainkan harus melalui proses yang panjang melalui pendidikan 29

dan pengalaman sampai mendapatkan pengukuhan dan memiliki kewenangan tertentu. Seringkali terjadi ketika seseorang yang sudah memiliki kewenangan tersebut, kemudian menyimpang dalam melaksanakan tugasnya. Untuk itu diperlukan suatu hasil pemikiran yang menjadi dasar bagi pelaksanaan tugas, mereka, yang disebut dengan etika profesi.

A. Profesi 1. Pengertian Profesi Istilah profesi dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok yang mengandalkan suatu keahlian untuk menghasilkan nafkah hidup. Seorang profesional yang mempunyai profesi dalam pengertian tersebut adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purnawaktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian yang tinggi. Seorang proffesional mempraktikan keahlian tertentu, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai hobi. Dengan demikian, pengertian profesi berbeda dengan pekerjaan pada umumnya. Profesi sebagai kegiatan utama mengandalkan keterampilan atau kehlian tertentu yang dilaksanakan secara terus menerus dengan keterlibatan yang sungguhsungguh dan sebagai sumber utama nafkah hidup, sedangkan pekerjaan pada umummnya merupakan kegiatan seseorang yang dilakukan, baik secara sadar atau tidak sadar, senang atau tidak senang, semanta untuk memperoleh penghasilan dan penghidupannya. Dari dua pengertian tersebut dikenal dua jenis profesi. a. Profesi khusus, yaitu para profesional yang melaksanakan profesinya secara khusus untuk mendaptkan nafkah atau penghasilan b. Profesi luhur, yaitu para profesional yang melaksanakan profesinya bukan lagi untuk mendapatkan nafkah, tetapi sudah merupakan pengabdian atau pelayanan kepada masyarakat, karena kebutuhan nafkah bukan motivasi utamanya. Contoh dokter, penasihat hukum, rohaniawan/rohaniwati, negarawan, guru dan dosen.

2. Ciri-ciri Profesi Profesi dapat diterapkan kepada pekerjaan yang memiliki ciri-ciri atau sifat sebagai berikut: 30

a. Pengetahuan khusus Bidang pekerjaan yang dilakukan oleh profesional dapat disebut profesi apabila dilandasi dengan pengetahuan atau keahlian khusus. Pengetahuan atau keahlian khusus yang dimiliki oleh para profesional itu umumnya mempunyai tingkat dan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki orang-orang kebanyakan lainnya. Pengetahuan atau keahlian ini melliputi macam-macam segi seperti: 1) Penguasaan teori sistematis yang mendasari praktik profesi 2) Penguasaan metode atau teknik intelektual yang merupakan semacam jembatan antar teori dan penerapannya dalam praktik 3) Pemilikan kemampuan untuk menerapkan dalam prakatik teknik intelektual tersebut pada urusan praktik 4) Pemilikan kemampuan untuk menyelesaikan program latihan dan memperoleh ijasah, sertifikat atau tanda lulus untuknya 5) Pemilikan pengalaman yang mencukupi di lapangan, dan sebagainya

b. Standar moral tinggi Setiap organisasi profesi biasanya merumuskan semacam aturan permainan, atau kode etik, yaitu himpunan norma yang disepakati dan ditetapkan oleh dan untuk para pengemban profesi tertentu. Kode etik ini harus dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh semua anggota proffesi yang bersankutan, karena sudah merupakan standar moral yang sudah disepakati bersama untuk dilaksanakan. Standar moral ini umumnya mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan tuntutan moralitas minimum bagi masyarakat luas. Misalnya, kontraktor yang yang membangun gedung harus hidup berdasarkan imbalan jasa yang diperolehnya, namun ia juga harus memikirkan apakah gedung tersebut benar-benar dibangun dengan perhitungan yang tepat atau sesuai dengan spesifikasinya. Kalau ia mengutamakan keuntungan semata, berarti ia tidak memiliki etika seorang kontraktor.

c. Pengabdian masyarakat Selain dituntut memiliki pengetahuan dan standar moral tinggi, pengemban profesi harus memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa bermaksud 31

mencari keuntungan pribadi. Ia meletakkah kepentingan pribadinya dibawah kepentingan masyarakat. Karena pelayanan profesional mengandalkan adanya kehalian khusus pada si pemegang profesi dan kehaliatn tersebut tidak dimiliki oleh klirn serta masyarakat umumnya, sudah selayaknya keahlian itu diabdikan bagi kepentingan masyarakat. Sikap ini lama-kelamaan akan berkembang menjadi suatu sikap hidup bagi seorang profesional. Kewajiban pertama seorang ahli teknik, adalah bertanggung jawab kepada masyarakat umum dan kewajiban ini memiliki nilai tertinggi bila dibandingkan dengan semua jenis kewajiban atau ketaatan lainnya, bahkan melebihi kewajiban terhadap instansi atau perusahaan yang mempekerjakannya. Sangat disayangkan karena, menurut Terence J Johnson (1972), “Semua atribut itu hanya sekedar mitos, dan dibawah kondisi sekarang, profesionalisme telah mengalami kemerosotan”. Pelayanan profesional menjadi tidak seimbang karena klien atau subjek layanan ada dalam kedudukan yang lemah, mereka hanya menjadi objek yang dieksploitir atau diperas. Profesi yang berkonotasi luhur lalu menjadi sebuah barang dad\gangan yang berkonotasi materialistis semata.

d. Izin khusus Karena adanya kemungkinan bahaya penyalahgunaan yang merugikan kepentingan klien atau masyarakat, untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus. Izin khusus ini untuk melindungi klien atau masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak bertanggung jawab. Izin khusus ini dapat berwujud surat izin praktik profesi (misalnya Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi), sertifikat, atau sumpah dan pengukuhan resmi di depan umum. Izin ini bisa dikeluarkan oleh pemerintah atau organisasi profesi yang bersangkutan dengan persyaratan tertentu sehingga orang atau organisasi tersebut dianggap layak untuk menjalankan profesinya.

e. Anggota organisasi profesi Orang-orang yang berprofesi sama bergabung dalam apa yang disebut organisasi profesi. Organisasi tersebut dibentuk dengan tujuan pokok: 32

1) Menjamin dan melindungi kepentingan anggota dalam hubungan satu sama lain, dalam hubungan dengan klien atau subjek lalyanan, dengan organisasi lain, dan dengan masyarakat luas pada umumnya. 2) Memperluas pengetahuan dan keterampilan anggota dalam bidang keahlian yang sama 3) Menjaga dan menjamin mutu layanan dengan menetapkan standar profesional yang akan meningkatkan cara melaksanakan tugas profesi tersebut. Dalam kaitannya dengan tujuan ketiga ini, seseorang disebut profesional kalai ia termasuk dan diakui kompetensinya oleh organisasi profesi bidang yang bersangkutan. Dengan demikian organisasi menjadi semacam “polisi moral” bagi para anggotanya. Jika salah seorang anggotanya melanggar kode etik atau bertindak tidak sesuai dengan profesinya seluruh kelompok ikut tercemar. Contoh, seorang kontraktor menggunakan “jasa preman” untuk meneror pejabat pemerintah, pemimpin proyek, panitia lelang, dan juga kalangan kontraktor yang lain hanya untuk mendapatkan pekerjaan proyek pemerintah, maka perbuatan itu akan mengakibatkan seluruh profesi kontraktor ikut tercemar. Dari ciri-ciri umum profesi tersebut, dapat disimpulkan bahwa para profesional memiliki standar moral yang berada diatas rata-rata, disatu pihak ada tuntutan yang sangat berat berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, dipihak lain terdapat pula tuntutan bagi kepentingan masyarakat luas. Dengan adanya standar proffesional yang tinggi ini, diharapkan akan tercipta kualitas masyarakat yang semakin baik.

3. Prinsip-prinsip Etika Profesi Profesional dan etika perlu dibina secara simultan, karena dengan mengikuti kiasan (Bahasa Belanda) tentang duduk persoalan hubungan antara kekuasaan (macht) dan hukum (recht): profesionalisme tanpa etika

menjadikannya “bebas

sayap” (vieugel vrij), dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya etika tanpa profesionalisme manjedaikannya “lumpuh sayap” (viegel lam), dalam arti tidak manju bahkan tidak tegak (Soelaeman Soemardi, 1992:1). 33

Etika yang berlaku bagi semua profesi pada umumnya didasarkan pada tiga prinsip: menjalankan profesi secara bertanggung jawab, tidak melanggar hak-hak, dan mempunyai kebebasan dalam mengemban profesinya.

a. Tanggung jawab Dalam kehidupan manusia, khususnya dalam menjalankan segenap profesi, manusia dituntut untuk selalu bersikap bertanggung jawab yang mencakup dua arah:

1) Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya Para profesional diharapkan agar bekerja dengan sebaik mungkin dan menghasilkan sesuatu dengan kualitas yang sangat baik. Dalam hal ini ia benar-benar yakin bahwa pekerjaan dan hasilnya setidak-tidaknya sesuai dengan standar. Agar kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan, maka harus menguasai tugas dengan sebaik-baiknya, terus menerus meningkatkan penguasaan keterampilan dalam profesi yang dijalankannya, dan menjalankan pekerjaan secara efektif dan efisien.

2) Tanggung jawab terhadap kehidupan orang lain atau masyarakat Para profesional diharapkan bertanggung jawab atas dampak pekerjaannya terhadap kehidupan masyarakat, yaitu terhadap buruh dan pegawai bawah, teman kerja, perusahaan, lien, keluarga, lingkungan, masyarakat luas, negara, dan generasi yang akan datang. Smua itu harus diperhatikan karena setiap profesi tententu dituntut tidak melakukan hal yang merugikan kepentingan orang lain atau masyarakat (minimal), bahkan lebih dari itu, ia wajib menguasahakan hal yang sangat berguna bagi orang lain atau masyarakat (maksimal).

b. Keadilan Prinsip ini menuntut para profesional menghormati hak orang lain. Dalam pelaksanaannya tuntutan keadilan berarti: didalam menjalankan profesinya setiap profesional tidak boleh melanggar hak orang lain, atau lembaga lain, ataupun negara. Sebaliknya, para profesional perlu menghargai hak pihak-pihak lain, sebagaimana ia sendiri mengharapkan agar pihak lain menghargai haknya serta hak kelompok atau 34

perusahaan yang diwakilinya. Karena itu, jika dia mengetahui bahwa pelaksanaan profesinya akan melanggar hak orang atau pihak lain, maka dia harus menghentikan tindakan itu. Misalnya, konsultan perencana akan menghentikan perencanaan dan perancangan sebuah pabik mercon, karena hal itu dilarang pemerintah dan jelas akan membahayakan lingkungan sekitarnya. Tuntutan ini dapat dirumuskan dalam suatu prinsip tanggung jawab demikian:”Dalam segala usaha bertindaklah sedemikian, rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu tidak dapat merusak, bahkan tidak dapat membahayakan atau mengurangi mutu kehidupan manusia dalam lingkungannya, baik mereka yang hidup pada masa sekarang, maupun generasi-generasi yang akan datang”

c. Kebebasan Setiap orang yang bekerja secara profesional dituntut agar memiliki otonomi dalam menjalankan profesinya. Walaupun dalam pekerjaannya ia diikat kode etik profesinya, namun ia tetap memiliki kebebasan dalam mengemban profesinya, termasuk dalam mewujudkan kode etik profesinya itu dalam situasi konkret. Walaupun organisasi profesi ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan profesi anggotanya, pada akhirnya yang paling bertanggungjawab adalah anggota itu sendiri. Prinsip otonomi ini juga menuntut agar organisasi profesi secara keseluruhan bebas dari campur tangan pihak pemerintah atau pihak-pihak lain manapun. Organisasi profesi itulah yang paling tahu mengenai segala sesuatu yang menyangkut profesi yang berada dibawah kewenangannya, maka tidak ada tempatnya jika ada campur tangan yang berlebihan dari pihak lain. Hal ini sekaligus membedakan organisasi profesi dari organisasi masa lalu atau organisasi umumnya. Semakin sebuah profesi hakikatnya mau memberikan pelayanan (profesi luhur), disamping tiga prinsip diatas, profesi masih memuat dua prinsip lagi, yaitu tanpa pemrih dan kesetiaan.

d. Tanpa pamrih Para profesional yang memberikan pelayanannya, pertama-tama wajib membaktikan keahlian mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, 35

tanpa memperhitungkan untung ruginya sendiri. Artinya secara spesifik: kepentingan klien didahulukan terhadap kepentingan pribadi dan kepentingan keluargananya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak boleh minta imbalan jasa dari kliennya. Ia berhak agar bisa hidup dari profesinya, tetapi imbalan jasa itu tidak menjadi tujuan dari pelaksanaan profesinya. Maka dalam keadaan darurat ia diharapkan menjalankan profesinya demi kebaikannya.

e. Kesetiaan Etika profesi luhur menuntut agar setiap profesional setia pada cita-cita luhur profesinya, walaupun tindakan itu bertentangan dengan kepentingan kliennya, negaranya, bahkan agamanya. Misalkan seorang insinyur tidak akan mengubah struktur bangunan yang sudah diperhitungkan dengan benar dan memenuhi standar keamanan, walaupun mendapatkan tekanan dari pemilik proyek dengan alasan penghematan biaya karena ia tahu hal itu akan membahayakan keamanan bangunan dan keselamatan mereka yang nantinya akan memanfaatkan bangunan jadi itu. Jadi jika etika profesi luhur menuntut agar orang yang menjalankannya, dalam keadaan apapun, tetap setia dan menjunjung tinggi tuntutan prosesinya.

4. Kriteria Profesional Dari pembahasan tentang pengertian profesi, ciri-ciri yang melekat pada suatu profesi dan prisip-prinsip yang harus dipegang oleh para profesional, dapat disusun beberapa kriteria yang diperlukan dan harus dimiliki para profesional.

a. Kriteria umum Agar memenuhi kriteria umum ini, para profesional dituntut untuk: 1) Memiliki pengetahuan atau keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, yang diperlukan dalam mendukung tugas profesionalnya; 2) Memiliki standar kerja untuk mengemban tugas profesional yang digunakan sebagai tolok ukur prestasi para profesional; 3) Memiliki organisasi profesi untuk menampung dan sebagai wadah anggota profesi yang menentukan standar etika profesi; 36

4) Memiliki tanggung jawab moral terhadap masyakat, klien, kolega, dan bawahan sebagai bagian dari kewajiban profesional mereka, seperti yang tertuang dalam kode etik profesinya.

b. Kepribadian Kepribadian para profesional ini tercermin dalam tindakan sehari-harinya sebagai:

1) Manusia individu Para profesional sebagai pribadi haruslah mempunuai moral dan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan di dunia ini semata-mata atas kehendak-Nya dan hanya kepada-Nya ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan dalam profesinya

2) Manusia sosial Para profesional sebagai mahluk sosial harus mempu menciptakan kesesuaian, keselarasan, dan keharmonisan dengan sesamanya, dengan tidak mementingkan diri sendiri dan senantiasa mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok

3) Manusia negara Para profesional sebagai warga negara harus menyadari hak dan kewajibannya kepada negara dimana ia berada, ia terikat dengan segala peraturan dan perundangundangan yang berlaku. Karena itu ia harus memperhatikan kepentingan bangsa dan negara dimanapun ia berada

4) Manusia budaya Para profesional sebagai manusia budaya harus menjunjung tinggi budaya yang berlaku ditempat menjlankan profesinya dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta etika yang dipandang baik oleh masyarakat setempat

37

5) Manusia karya Para profesional sebagai harus tetap bekerja penuh rasa tanggung jawab dan menunjukkan dedikasinya dalam karya dan prestasinya

6) Manusia usaha Para profesional sebagai manusia usaha atau manusia bisnis harus mampu menyelaraskan biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diterima malalui pengelolaan perusahaannya.

c. Pengabdian Setiap kegiatan bisnis mempunyai tujuan utama untuk mencapai keuntungan finansial. Namun keuntungan tersebut harus diimbangi dengan pengabdian yang tinggi kepada msayarakat, karena pengabdian merupakan jantung profesionalisme. Dengan pengabdian berupa pelayanan yang sebaik mungkin, akan diperoleh kepercayaan dari masyarakat. Seperti dinyatakan oleh King (1985:66) bahwa “kepercayaan merupakan modal yang penting dalam bisnis, sehingga modal kepercayaan secukupnya saja akan jauh lebih berharga daripada keuntungan sementara yang dapat diperoleh dari praktik-praktik potong kompas”. Dengan memenuhi kriteria diatas, para profesional akan dipandang layak untuk mendapatkan imbalan jasa, reputasi yang tinggi, serta keuntungan-keuntungan sosial lainnya.

2.3.5 Latihan Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini 1. Bagaimana hubungan antara filsafat, ajaran moral, etika, norma dan nilai. Jelaskan! 2. Apakah perbedaan etika dan etiket. Jelaskan ! 3. Salah satu kepribadian profesional tercermin dalam tindakan sehari-hari, salah satunya adalah sebagai “manusia negara”, apa yang dimaksud jelaskan, dan berikan contoh kasusnya 38

4. Koruptor yang membagi-bagikan uangnya kepada fakir miskin, secara teori etika berarti termasuk kedalam etika yang mana? Jelaskan. 5. Apa yang dimaksud dengan Profesionalisme tanpa etika, menjadi “bebas sayap”, etika tanpa Profesionalisme “lumpuh sayap”

2.3.6 Tugas - Cari kode etik (Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia) GAPENSI - Berikan contoh kasus pelanggaran kode etik GAPENSI yang dilakukan oleh anggotanya

2.4 Rangkuman Fisafat merupakan hasil pemikiran para filsuf yang telah memenuhi empat syarat pemikiran yaitu: berfikir secara kritis; sistematis; menyeluruh/tidak terbatas meliputi semesta, dan ; mencari alasan terakhir. filsafat adalah kegiatan fikir murni yang menyelidiki objek yang tidak terbatas yakni kesemestaan, filsafat juga sebagai pemikiran manusia yang sungguh-sungguh , sistematis, radikal untuk mencari kebenaran sesuai dengan ruang dan waktu. Etika termasuk kelompok filsafat praktis, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Sedangkan nilai nilai adalah sesuatu yang penting sehingga menarik dan membangkitkan keaktifan manusia untuk mendapatkannya. Agar nilai menjadi lebih berguna dan menuntun sikap dan tingkah lamu manusia, maka perlu lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah norma. Norma memberi pedoman tentang bagaimana harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.Etika berbeda dengan etiket, menurut Bertens empat perbedaan yang sangat penting antara etika dan etiket, yaitu: Etiket adalah cara, sedangkan etika adalah niat; Etiket adalah formalitas, sedangkan etika adalah nurani; Etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat mutlak; Etiket adalah 39

lahiriah sedangkan etiket adalah batiniah. Beberapa teori etika sebagai berikut: Etika tujuan atau etika telelologis, yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Etika Utiliranisme berpandangan bahwa baik atau buruknya tindakan didasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika kewajiban atau etika deontologi, kewajiban tidak mengukur baik buruknya suatu perbuatan bedasarkan hasilnya, tetapi semata-mata berdasarkan kewajiban manusia dalam melakukan perbuatan tersebut. Etika hak asasi, terpenting dari teori ini adalah

yang

bahwa tuntutan-tuntutan moral seseorang yaitu

haknya ditanggapi dengan serius. Etika keutamaan

lebih memfokuskan pada

manusia itu sendiri. Etika keutamaan ingin menjawab pertanyaan: “Saya harus menjadi orang yang bagaimana?”, sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan yang pokok adalah, “saya harus melakukan apa ?”. Seorang profesional mempraktikan keahlian tertentu, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai hobi. Profesi dapat diterapkan kepada pekerjaan yang memiliki ciri-ciri atau sifat sebagai berikut: pengetahuan khusus; standar moral tinggi; pengabdian masyarakat; izin khusus; anggota organisasi profesi. Sedangkan prinsip-prinsip etika profesi adalah: Tanggung jawab; Keadilan; Kebebasan; Tanpa pamrih; Kesetiaan.

2.5 Daftar Pustaka Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi 2003, Paradigma Jogyakarta Kirana Andy, Etika Bisnis Konstruksi, Kanisius, Yogyakarta 1996

40

MODUL 2

ETIKA BISNIS KONSTRUKSI 3.1 Pendahuluan Bisnis konstruksi adalah bisnis “keras”, baik dilihat dari segi pekerjaannya maupun dari persaingan untuk mendapatkan tendernya. Agar masyarakat tidak dirugikan, karenanya perlu kesadaran pelaku bisnis konstruksi untuk menjalankan bisnisnya sesuai etika. Dengan demikian dapatlah pelaku bisnis tersebut dikatakan profesional. Beberapa prinsip yang perlu dimiliki dalam bisnis konstruksi adalah: prinsip sikap baik, prinsip otonomi; prinsip kejujuran; prinsip keadilan; dan prinsip hormat kepada diri sendiri

3.2 Tujuan Pembelajaran Khusus Diharapkan setelah membaca modul ini, mahasiswa dapat mengetahui tentang: pandangan tentang bisnis konstruksi; etika bisnis dan profesionalisme konstruksi; dan kode etik bisnis konstruksi.

41

3.3 Materi Ajar 2 3.3.1 Pandangan Tentang Bisnis Konstruksi Mengingat kerasnya bisnis konstruksi, seringkali orang beranggapan bahwa apabila bisnis konstruksi dijalankan dengan etika, maka berakibat merugi. Namun sebenarnya tidak demikian, justru sebaliknya apabila bisnis konstruksi dijalankan sesuai etika, akan efisien . Perusahaan konstruksi akan berumur panjang, aman dan dalam jangka panjang akan menguntungkan.

A. Bisnis Konstruksi Tanpa Etika Profesi sebagai orang bisnis dalam masyarakat dipandang rendah. Ada anggapan bahwa bisnis lebih dekat dengan tindakan yang jauh dari moralitas. Ungkapan umum yang menyakitkan

dan sering dilontarkan diantaranya adalah

“Kontraktor itu pencuri”, atau “Konsultan itu penipu”. Karena bisnis konstruksi adalah bisnis, jangan campur-adukan bisnis dengan etika, karena bisnis tidak akan sukses kalau diiringi etika. Dengan demikian bisnis konstruksi dan etika tidak ada hubungannya sama sekali, keduanya merupakan dua dunia yang sangat berbeda dan tidak bisa dicampuradukkan. Pelaku bisnis konstruksi hanya bertugas melakukan bisnisnya, menjual jasa, mengerjakan , lalu memperoleh keuntungan sebanyak mungkin. Etika dapat dipakai kalau menunjang dan menguntungkan , sedangkan etika malah menghambat, sebaiknya disingkirkan saja. Pendapat ini mengatakan bahwa bisnis konstruksi tidak memerlukan etika dan tidak memiliki tanggung jawab sosial. Sikap sinis terhadap dunia bisnis konstruksi itu terungkapkan dibawah ini.

1. Bisnis konstruksi adalah persaingan Bisnis konstruksi bukan sekedar judi yang hanya mempertaruhkan materi, melainkan lebih dari itu, binsis konstuksi juga mempertaruhkan nama baik, harga 42

diri, dan seluruh kehidupan. Perusahaan konstruksi yang rusak namanya karena tidak menggunakan etika dalam melakukan pekerjaannya, akan dimusuhi oleh rekanan lainnya.

2. Bisnis konstruksi itu asosial Aturan bisnis konstruksi tidak bisa dikawinkan dengan aturan moral sosial. Ia mempunyai kawasan tersendiri yang tidak mungkin dicampuradukkan. Pikiran sosial bila dituangkan dalam suatu kontrak pekerjaan akan mengganggu dan melemahkan kontrak itu sendiri. Perusahaan konstruksi tidak perlu dilibatkan dalam usaha sosial, seperti membantu pengusaha golongan ekonomi lemah, karena ini sangat riskan dan bisa merugikan perusahaan konstruksi itu sendiri.

3. Bisnis kontruksi campur moral akan tersingkir Hanya pelaku bisnis konstruksi yang “bodoh”-lah yang berlaku moralis, karena “kegilaan” bisnis konstruksi tidak memerlukan etika, Jika masih ada manusia berbasa-basi dan menggunakan ukuran moral maka ia akan tenggelam dan tersingkirkan.

4. Bisnis konstruksi mencari keuntungan belaka Tujuan utama bisnis konstruksi adalah semata-mata mencari keuntungan, dengan menggunakan prinsip ekonomi: memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dengan pengurbanan yang serendah-rendahnya. Mereka terikat dengan kewajiban itu sehingga tanggung jawab sosial tidak relevan dan bertentangan dengan prinsip efisiensi.

5. Bisnis konstruksi hanya berkonsentrasi pada pekerjaan Para manajer perusahaan konstruksi harus memusatkan perhatian kepada proyeknya. Jika ada tujuan yang bersifat rangkap, yaitu tujuan sosial disamping tujuan ekonomi, itu akan membingungkan program mereka. Apalagi jika terdapat kontradiksi antara tujuan bisnis konstruksi dengan tujuan sosial, hal ini dapat menghancurkan perusahaan, dan memecah konsentrasi manajemen. 43

6. Bisnis konstuksi memakan biaya Jika manajer melibatkan diri dengan masalah sosial, berarti perusahaan konstruksi harus mengeluarkan biaya. Perusahaan tidak akan menanggungnya sendiri, melainkan membebankan kepada klien atau masyarakat. Jika perusahaan konstruksi diharuskan berbuat sosial, ini akan diperhitungkannya dalam anggaran biaya proyek.

7. Bisnis konstuksi harus disertai kekuatan Bisnis konstruksi yang maju dan berkembang dengan baik umumnya mempunyai nama dan reputasi di kalangan para klliennya. Hal ini merupakan kekuatan sendiri yang diperolehnya melalui usaha dan prestasinya sendiri, bukan dengan minta dukungan masyarakat, berbuat kebajikan, atau “membeli” pengaruh massyarakat. Klien lebih memerlukan kualitas bangunan atau produk, bukan jiwa sosial.

8. Binsis konstuksi memerlukan ketrampilan khusus Pelaku bisnis konstruksi yang profesional akan lebih memperdalam dirinya di bidang konstruksi sehingga dapat menjadi tanaga trampil dan piawai di bidangnya. Jadi, tidak relevan menuntut pelaku bisnis konstruksi agar melakukan juga kegiatan sosial, yang malah dapat mengganggu kegiatan, keprofesionalannya, yang selanjutnya akan mengurangi atau mempengaruhi keuntungannya.

9. Bisnsis konstuksi tidak memiliki nurani Perusahaan konstruksi adalah sarana buatan manusia yang bekerja untuk mencari keuntungan. Ia bagaikan benda mati atau mesin yang tidak mempunyai hati nurani terhadap masalah-masalah moral. Jadi, mustahil perusahaan konstruksi dilibatkan dalam perbuatan yang dianggap moralis.

44

Berbagai pandangan dan argumen diatas menuimpulkan bahwa bisnis konsttruksi dan etika merupakan dua hal yang tidak dapat disatukan. Karena pertimbangan etika dan moral tidak menguntungkan dan tidak tepat untuk bisnis konstruksi, bisnis konstruksi dan etika harus terpisah satu sama lain.

B. Bisnis Konstruksi Dengan Etika Bisni konstruksi tidak lepas dari etika, karena hanya bisnis konstruksi yang beretikalah yang mendapatkan penghargaan tinggi dari masyarakat. Argumenargumen yang demikian itu terungkap seperti dibawah ini.

1. Bisnis konstruksi mempertaruhkan segalanya Bisnis konstruksi bukan sekedar jugi yang hanya mempertaruhkan materi, melainkan lebih dari itu, bisnis konstruksi juga mempertaruhkan nama baik, harga diri, dan seluruh kehidupan. Perusahaan konstruksi yang rusak namanya kerena tidak menggunakan etika dalam melakukan pekerjaannya, akan dimusui rekanan lainnya.Tujuan utama menegakkan kegiatan bisnis adalah menciptakan pembeli atau kliern, Klien adalah pembeli yang datang berulang kali dan tentu saja diharapkan tidak pernah putus membeli pada pemasar yang sama. Pembeli atau klien akan merasa puas jika kebutuhan dan kehendaknya terpenuhi seperti yang diingikannya. Faktor pemuasan itulah yang dapat membina hubungan berkesinambungan antara pelaku bisnis dan kliennya.

2. Bisnis kontruksi menyangkut hubungan antarmanusia Bisni konstruksi adalah kegiatan yang terjadi dalam masyarakat, maka membutuhkan ketentuan yang dihormati oleh semua orang, yaitu etika yang mengandung nilai moral. Pandangan ini menegaskan bahwa bisnis konstruksi tidak akan sukses tanpa diiringi nilai moral. Bisnis bukanlah suatu kegiatan yang dipagari secara kokoh ditangah masyarakat, dimana setiap orang yang masuk kedalamnya harus menganggalkan segala etika. Justru sebaliknya, jika seseorang hendak berbisnis konstruksi, ia harus beretika.

45

3. Bisnis kontruksi adalah persaingan yang bermoral Bisnis konstruksi yang berhasil adalah bisnis kontruksi yang memperhatikan norma moral. Sebaliknya bisnis kontruksi yang tidak menghiraukan etika akan hancur. Dalam arus semakin canggihnya informasi, segala kecerobohan dan penipuan bisnis konstruksi akan mudah terungkap dan bisa menjadi tindakan bunuh diri bagi sang pelaku. Oleh sebab itu, persaingan dalam bisnis konstruksi adalah persaingan yang bermoral, persaingan menjaga mutu dan nama baik, persaingan merebut kepercayaan masyarakat.

4. Bisnis kontruksi harus mengikuti kemauan masyarakat (klien) Kebutuhan dan selera selalu maju melebihi alat pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, bisnis konstruksi harus pula bisa menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus meningkat itu. Sudah tidak memadai lagi jika perusahaan atau bisnis konstruksi hanya memusatkan perhatian pada usaha mencari keuntungan. Bisnis konstruksi harus terus menerus mengikuti kemauan masyarakat atau klien.

5. Bisnis kontruksi harus disertai kewajiban moral Para pengelola perusahaan konstruksi adalah manusia dan anggota masyarakat, dengan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Maka perusahaan konstruksi juga akan dituntut mempunyai tanggung jawab dan kewajiban terhadap masyarakat. Perushaan konstruksi yang mengutamakan kepentingan masyarakat atau klien, akan memperoleh keuntungan untuk menjunjang ooperasinya. Sebaiknya, perusahaan konstruksi yang mengabaikan kepentingan sosial masyarakat, maka cepat atau lembat pasti akan goyah dan dan akan ambruk.

6. Bisnis kontruksi harus mengingat keterbatasan sumber daya Sumber daya sebagai alat pemuas kebutuhan sangat terbatas, sedangkan kebutuhan itu sendiri tidak pernah terpuaskan. Karena itu, perusahaan konstruksi harus bertanggung jawab untuk tidak sekadar mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan jangka pendek, tetapi harus memeliharanya untuk jangka panjang demi kelangsungan perusahaan konstruksi itu sendiri. Jika sumber daya tidak dilerstarikan, 46

maka perusahaan konstruksi itu tidak akan berusia panjang, karena kehabisan sumber dana.

7. Bisnis kontruksi harus menjaga lingkungan sosial Perusahaan konstruksi harus memikirkan kehidupan sosial masyarakat, demi kelangsungan hidup perusahaan konstruksi itu sendiri. Bisnis harus ikut mencari pemecahan atas masalah lapangan kerja, kelestarian alam, dan lingkungan sosial sekitarnya.

8. Bisnis kontruksi harus menjaga keseimbangan tanggung jawab sosial Makisn besar kekuasaan seseorang, maka makin besar tanggung jawab sosialnya. Seperti halnya negara, makin besar kekuasaan negara, maka makin besar juga tanggung jawab sosialnya. Negara yang diatur tanpa memperhatikan tanggung jawab sosial akan menjadi hancur. Begitu pula dengan perusahan konstruksi. Kekuasaan yang terlalu besar dari bisnis konstruksi, jika tidak diimbangi oleh tanggung jawab soaial yang sebanding, akan menyebabkan bisnis konstruksi tersebut menjadi kekuatan yang merusak masyarakat. Jika perusahaan konstruksi itu merupakan perusahaan raksasa, yang menampung puluhan ribu, bahkan ratusan ribu tenaga kerja, berarti ia bertanggung jawab akan kehidupan dan masa depan mereka.

9. Bisnis kontruksi harus menggali sumber daya yang berguna Kegiatan sosial tidaklah semata-sematakegiatan memberikan uang, tetapi juga memberikan tenaga. Karena perusahaan konstruksi memiliki tenaga yang terampil, mereka dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi masyarakat melalui berbagai proyek dan kegiatannya.

10. Bisnis kontruksi harus memberi keuntungan jangka panjang Tanggung jawab sosial merupakan suatu nilai lebih yang sangat positif bagi perkembangan dan kelangsungan hidup perusahaan konstruksi. Dengan tanggung jawab dan keterlibatan sosial, terciptalah suatu citra yang sangat positif di mata masyarakat mengenai perusahaan konstruksi itu. Hal ini akan mendatangkan 47

keruntungan jangka panjang yang mungkin untuk masa sekarang tidak terbayangkan. Sebagai contoh, pemilikan saham oleh koperasi karyawan mungkin tidak menarik saat ini, tetapi mungkin dalam jangka panjang justru sangat menguntungkan perusahaan konstruksi itu. Berdasarkan argumen-argumen diatas, bisnis konstruksi memang mempunyai etika. Walaupun bisnis konstruksi penuh dengan persaingan, tetapi persaingannya didasarkan pada norma-norma moral. Keuntungan-keuntungan memang masih tetap diperlukan, tetapi keuntungan itu hanya bisa diperoleh kalau kebaikan masyarakat secara keseluruhan diperhatikan, melalui penawaran kualitas barang dan jasa yang baik.

C. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Konstruksi Etika bisnis kontruksi mempunyai tujuan supaya pelaku-pelaku bisnis konstruksi sadar akan dimensi etis kegiatan bisnis konstruksi, belajar bagaimana mengadakan pertimbangan yang baik secara etis maupun ekonomis, mampu memasukkan pertimbangan etis itu kedalam kebijaksanaan perusahaan konstruksi. Jadi, etika bisnis konstruksi membantu pelaku bisnis konstruksi agar mengerti bangaimana perilaku moral dapat berfungsi dalam lingungan bisnis konstruksi yang kompleks. Supaya tujuan ini tercapai, diperlukan prinsip-prinsip etika untuk menjalankan bisnis konstruksi. Namun, sebagai etika terapan, prinsip-prinsip dalam etika bisnis konstruksi sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip-prinsip etika profesi yang harus dikembangkan oleh para profesional pelaku bisnis konstruksi. Karena itu, tanpa mengesampingkan kekhasan sistem nilai dari setiap bisnis konstruksi, disini secara umum dapat dikemnukakan lima prinsip etika bisnis konstruksi, sikap baik, otonomi, kejujuran, keadilan, dan hormat terhadap diri sendiri.

1. Prinsip Sikap Baik Prinsip sikap baik ini diwujudkan melalui prinsip tidak berbuat jahat dan prinsip berbuat baik kepada orang lain. Dalam berhubungan dengan siapa saja, dalam bidang apa saja, kita dituntut bersikap positif dan baik kepada mereka. Prinsip inilah 48

yang mendahului dan mendasari prinsip moral lainnya, misalnya kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan lain sebagainya. Artinya tanpa sikan dasar memperlakukan orang lain secara bik, kita akan cenderung untuk tidak jujur atau menipu mereka, tidak mau bertanggung jawab, tidak bersikap adil dan seterusnya. Yang diharapkan adalah agar situasi apapun pelaku bisnis konstruksi melakukan tindakan yang baik (atau menguntungkan) yang orang lain (klien dan masyarakat). Akan tetapi, kalau situasinya tidak memungkinkan, maka sekurangkurangnya pelaku bisnis konstruksi jangan sampai melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

2. Prinsip Otonomi Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Pelaku bisnis konstruksi yang otonom adalah pelaku bisnis konstruksi yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia konstruksi, Ia mengetahui bidang pekerjaannya, situasi yang dihadapinya, apa yang diharapkan, tuntutan dan aturan yang berlaku untuk bidang pekerjaannya. Serta mengetahui pula keputusan dan tindakan yang harus diambilnya. Ia mengetahui aturan dan tuntutan sosial, tetapi tidak sekedar mengikuti begitu saja apa yang dilakukan orang lain. Ia mampu mengambil keputusan sendiri dan bertindak berdasarkan keputusan itu, karena ia sadar bahwa itulah yang baik. Ia berinisiatif, mampu mengambil sikap dan menemukan hal yang beru, bukan karena latah. Tindakan otonom itu terus disertai adanya kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan itu. Kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak secara etis. Dengan kebebasan itu, manusia bisa dituntut untuk bertindak secara etis. Demikian pula, kegiatan bisnis konstruksi hanya mungkin dilaksanakan kalau ada kebebasan. Pengusaha konstruksi bisa mengembangkan kegiatan bisnis konstruksinya hanya kalau ada kekbebasan untuk itu. Itu berarti prinsip otonomi menuntut agar setiap pengusaha konstruksi dihargai kebebasannya dalam mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusannya

49

itu. Dengan kondisi seperti inilah bisa diharapkan bahwa ia akan menjadi seorang pengusaha konstruksi yang bertindak secara etis. Namun demikian, kebebasan saja belum menjamin bahwa perilaku bisnis konstruksi akan bertindak secara otonom dan etis. Sikap otonom harus juga disertai adanya tanggung jawab. Pelaku bisnis konstruksi yang otonom adalah pelaku bisnis konstruksi yang tidak saja sadar akan kewajibannya dan bebas mengambil keputusan serta

tindakan

berdasarkan

kewajibannya,

tetapi

juga

bersedia

mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta dampak dan keputusan dari tindakan itu. Otonomi dengan kedua aspeknya itu, yaitu kebebasan dan tanggung jawabmenjadi prinsip dasar yakni titik pangkal dan landasan operasi, bagi bisnis konstruksi. Pelaku bisnis konstruksi yang tulen adalah dia yang mampu mengambil inisiatif, terobosan, inovasi, dan risiko dalam melakukan bisnis konstruksi serta sekaligus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya. a. Pelaku bisnis konstruksi bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, kepada nuraninya yang setiap saat menuntut pertanggungjawaban atas segala yang telah dilakukannya. b. Pelaku bisnis konstruksi bertanggung jawab kepada orang-orang yang mempercayakan seluruh kegiatan konstruksi dan manajemen itu kepadanya. Kepada mereka inilah pengusaha konstruksi mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya secara jujur. Kepercayaan kepadanya akan diuji dan diukur berdasarkan kadar tanggung jawab yang diperlihatkannya. c. Pelaku bisnis konstruksi bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang terlibat dengannya dalam urusan bisnis konstruksi. Disini tanggung jawab telah menemukan bentuknya yang semakin konkret yaitu berupa kesediaan mengganti barang dan jasa yang memenuhi persyaratan kontak atau harapan mereka dan kesediaan memperbaiki mutu pekerjaan atau jasa. d. Pelaku

bisnis

konstruksi

mempertanggungjawabkan

keputusan

dan

tindakannya kepada pihak ketiga, yaitu masyarakat seluruhnya yang secara tidak langsung terkena akibat dari keputusan dan tindakannya. Wujud sikan ini adalalh menawarkan pekerjaan atau jasa yang bermutu, menjaga lingkungan 50

hidup yang bersih dan sehar, dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya. 3. Prinsip kejujuran Kejujuran merupakan suatu jaminan dan dasar bai kegiatan bisnis konstruksi yang baik dan berjangka panjang. Dalam dunia bisnis konstruksi, kejujuran menemukan wujudnya dalam berbagai aspek sebagai berikut. a. Kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian atau kontrak pekerjaan dan jasa konstruksi. Kejujuran terkait langsung dengan keadilan komutatuf yang menuntut agar semua pihak memenuhi apa yang telah dijanjikannya dengan nilai yang persis sama dengan apa yang diperolehnya menurut perjanjian atau kontrak. b. Kejujuran juga menemukan wujudnya dalam penawaran harga pekerjaan dan jasa konstruksi dengan mutu yang baik. Sesungguhnya ini masih termasuk dalam keadilan komutatif diatas, Banyak pelaku bisnis konstruksi semakin mengakui kebenaran anggarapan bahwa pelaku bisnis konstruksi yang sejati adalah pelaku bisnis konstruksi yang menawarkan pekerjaan dan jasa dengan mutu yang baik dan harga yang sebanding dengan itu. Timbul pertanyaan, dimana letak keuntungan bagi pelaku bisnis konstruksi itu ? Bagi pelaku bisnis konstruksi yang sejati, dia tahu benar dimana keuntungan diperoleh: pada arus pekerjaan dan jasa yang semakin meningkat karena mutu dan harganya yang wajar di mata kliennatau pemilik proyek. c. Kejujuran menyangkut pula hubungan kerja dalam perusahaan konstruksi. Kejujuran merupakan prasyarat keadilan dalam hubungan kerja karena menjamin pihak yang kuat, yaitu pemilik dan pimpinan

4. Prinsip keadilan Adil hakikatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam siatuasi yang sama. Hak orang lain harus dihargai dan jangan sampai dilanggar, persis seperti kita pun mengharapkan agar hak kita dihargai dan 51

tidak dilanggar. Dalam arti tertentu prinsip ini sebenarnya menunjang ketiga perinsip diatas. Prinsip keadilan mau mengatur agar kita bertindak sedemikian rupa sehingga hak semua orang terlaksana secara kujrang lebih sama sesuai dengan apa yang menjadi haknya tanpa saling merugikan. Misalnya, sikap terhadap semua peserta pelelangan (rekanan) suatu proyek konstruksi seharusnya sama tanpa memandang hubungan khusus apapun dengan pihak-pihak yang berkepentingan atau berkuasa. Tidaklah adil kalau pemilik proek memilih anak pejabat sebaai pemenang tender walaupun secara objektif dia tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan.

5. Prinsip Hormat Kepada diri Sendiri Prinsip kelima ini mengatakan bahwa manusia wajib selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalan person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Oleh karena itu, manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan lebih lanjut. Hal itu juga berlaku bagi kita sendiri, maka kita wajib untuk memperlakukan diri sednriri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri. Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, manusia dituntut agar tidak membiarkan diri diperlakukan secara tidak adil, diperas, diperalat, diperkosa, diperbudak, dan sebagainya. Jadi sebagaimana manusia sepantasnya tidak boleh memperlakukan manusia lain secara tidak adil, tidak jujur, dan sebagainya, manusiapun berhak memperlakukan dirinya dan diperlakukan secara baik. Manusia wajib membela dan mempertahankan kehormatan dirinya, jika martabat manusia sebagai manusia dilanggar. Perjuangan penguasaha konstruksi golongan ekonomi lemah untuk melindungi usahanya, tuntutan kenaikan upah oleh para tukang bangunan, tuntutan konsumen perumahan atas haknya untuk memperoleh fasilitas yang dijanjikan oleh pengembang (developer), adalah contoh wujud prinsip tersebut. Kedua, manusia jangan sampai membiarkan diri terlantar. Manusia mempunyai kewajiban bukan hanya terhadap orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Manusia wajib untuk mengembangan diri. Membiarkan diri terlantar berarti bahwa manusia

menyia-nyiakan

bakat-bakat 52

dan

kemampuan-kemampuan

yang

dipercayakan kepada manusia serta sekaligus mencoba menyumbangkan kepada masyarakat apa yang boleh diharapkannya dari manusia.

3.3.2 Etika Bisnis Konstruksi dan Profesionalisme

A. Tujuan Bisnis Konstruksi Sebagai suatu institusi ekonomi dalam kehidupan masyarakat, perusahaan bisnis konstruksi pada umumnya mempunyai tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan misi yang dicanangkan oleh mereka yang memiliki kepentingan (stakeholders)

1. Sasaran bisnis konstruksi Perusahaan bisnis konstruksi dapat beraneka ragam bentuk misinya, namun secara umum dapat dikemukakan bahwa suatu perusahaan bisnis kontruksi mempunyai sasaran-sasaran antara lain: a. Keuntungan (profitability), yaitu suatu tingkat keuntungan yang dapat menjamin terciptanya perputaran dasa (cash-flow) yang harus dapat menghidupi kegiatan institusinya, tercapainya tingkat keuntungan yang wajir untuk dikembalikan kepada para pemodal yang telah mengambil risiko di dalam proses bisnis konstruksi itu sendiri, serta tercapainya suatu kemampuan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban institusi ini, seperti pembayaran pajak kepada pemerintah, jaminan atas kesejahteraan karyawannya, serta kewajibankewajiban lain terhadap kreditor dan rekan-rekannya. b. Pertumbuhan (growth), yaitu sasaran untuk terus tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika serta perkembangan dunia bisnis konstruksi itu sendiri. Suatu institusi bisnis konstruksi yang tidak berkembang dalam berbagai manifestasinya (penjualan jasa, kekayaan, manajemen, tingkat keuntungan, perputaran dana, dan lain-lain) akan tergusur oleh dinamika dunia bisnis konstruksi itu sendiri. c. Citra (image), yaitu pengembangan citra sebagai salah satu sasaran jangka panjang setiap institusi bisnis konstruksi. Citra positif, baik dikalangan dunia bisnis konstruksi itu sendiri maupun pada masyarakat umumnya, merupakan 53

kekayaan asset yang tidak ternilai yang justru menjadi pusat perhatian utama dari pimpinan institusi-institusi dunia bisnis konstruksi.

2. Pendekatan Stakeholders Sesungguhnya bisnis konstruksi itu adalah suatu organisasi. Setiap organisasi membutuhkan manajemen yang dapat menerapkan prinsip-prinsip produktivitas dan edisiensi yang optimal. Titik sentral penerapan menajemen tidak adalah para manajer. Manajer adalah seorang pemimpin yang didalam melaksanakan tugasnya melakukan

atau

menerapkan

fungsi-fungsi

perencanaan,

pengorganisasian,

pengarahan, pengawasan, dan penilaian, sehingga memungkinkan orang-orang lain bekerja sama secara efektif demi pencapaian tujuan organisasi yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin perusahaan konstruksi dia perlu memiliki beberapa karakteristik yang berorientasi kepada etika profesi. Tanri Abeng mendaftarkan karakteristik itu sebagai berikut: a. Mempromosikan

dan

mengembangkan

kepentingan

kelompok

diatas

kepentingan pribadinya; b. Mampu menekankan aspek manajemen dengan memanfaatkan kemampuan orang lain; c. Melakukan desentralisasi kekuasaan dengan memilih secara tepat mana keputusan-keputusan yang harus diambil sendiri dan mana yang harus didelegasikan kepada orang lain; d. Dapat berfikir dan bertindak secara rasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan kearifan yang dimilikinya; e. Menjalankan fungsi kontrol dengan sistem pengecualian sehingga dapat memanfaatkan waktu untuk masalah-masalah yang lebih kreatif dan strategis; f. Dapat melepaskan diri dari potensi-potensi terjadinya konflik kepentingan yang bertentangan dengan kode etif profesinya.

Disamping itu ada beberapa sikap terhadap pekerjaan yang perlu dimiliki oleh pelaku bisnis konstruksi agar ia secara mental memadai dengan pekerjaannya, yakni: a. Bertekad untuk tidak pernah menipu; 54

b. Bertekad untuk tidak melepaskan sesuatu dari tangannya yang tidak mencapai kualitas yang seharusnya; c. Cinta pada kualitas hasil pekerjaannya dan mampu merasa bangga apabila kualitas pekerjaannya baik; d. Mendahulukan kemajuan perusahaannya terhadap keuntungannya sendiri, sehingga ia tidak pernah melakukan korupsi terhadap perusahaannya sendiri; e. Bangga atas kemajuan usahanya; f. Tidak tahan melihat perusahaannya terlantar, kotor, tidak efisien; g. Secara emosional terlibat dalam kerjanya dan tidak menganggapnya sematamata sebagai sarana pendapatan pribadinya.

Pendekatan tersebut disebut pendekatan stakeholders . Hal ini menunjukkan bahwa

perhatian

terhadap

kepentingan

semua

pihak

yang

secara

nyata

berkepentingan dalam bisnis konstruksi bukan hanya merupakan tujuan etika bisnis kontrusi, melainkan juta jaminan terbaik agar perusahaan bisnis konstruksi itu dalam jangka panjang dapat berkembang dengan baik. Yang sangat penting adalah tuntutan etika bisnis konstruksi menjadi etos kerja seluruh staf perusahaan konstruksi. Etos kerja staf sebuah perusahaan juga dapat disebut corporate culture, yaitu semacam budaya beroperasi dan berbisnis yang dapat diandalkan. Berbagai contoh, beberapa prinsip yang menjadi pedoman kegiatan sehari-hari dan menjadi pendorong bagi sertiap orang dalam perusahaan Jepang Matsuhita Electric, Matshuhita mengatakan

(1) semangat melayani melalui industri, (2)

semangat berlaku jujur, (3) semangat menciptakan suasana harmoni dan kerja sama, (4) semangat meraih kemajuan, (5) semangat bersikatp sopan dan rendah hati, (6) semangat seiring dengan hukum alam, (7) semangat bersyukur . Blanchard dan Peale juga memberikan contoh strategi yang keras, tegas dan praktis untuk meningkatkan keuntungan produktivitas, dan keberhasilan jangka panjang dengan “lima prinsip” perilaku etis yang akan memperjelas maksud dan sasaran perusahaan. Pemimpin yang bisnis konstruksi yang bijaksana tidak hanya mencari keuntungan saja, akan tetapi memperhatikan semua pihak: manajemen; para karyawan dan tukang; rekan kerja dan pemilik proyek. Juga mereka yang secara 55

tidak langsung terlibat: orang-orang disekitarnya, lingkungan hidup, pemerintah daerah dan lokal, negara dan umat manusia secara keseluruhan. Pendekatan stakehorlders itu memuat perlajaran yang menarik. Pertama, terlihat

kebijaksanaan

perusahaan

konstruksi

yang

semata-mata

mengejar

keuntungan sebesar-besarnya, justru dalam jangka panjang tidak akan mencapai keuntungan yang maksimal. Kedua, meskipun pendekatan ini sebenarnya tidak dimaksud sebagai pendekatan etis, dalam kenyataanya pendekatan itu etis. Perhatian kepada semua pihak yang terkena tindakan kita adalah salah satu tuntutan etika yang paling dasar.

B. Etika Bisnis Konstruksi di Indonesia Dalam penerapannya di Indonesia, perlu dipertanyakan, apakah etika profesionalisme itu bertentangan dengan aspek-aspek budaya kita yang sangat mementingkan segi-segi mementingkan segi-segi kekeluargaan ? Pertanyaan ini dapat diarahkan kepada suatu tujuan yaitu, bagaimana menerapkan prinsip-prinsip dasar profesionalisme dalam lingkungan budaya Indonesia. Pada dasarnya tujuan ini dapat dicapai melalui penerapan kriteria profesionalisme yang bertumpu kepada kemampuan (professional capability) di dalam penempatan manusia-manusia yang harus memegang tanggungjawab dalam suatu organisasi perusahaan bisnis konstruksi. Sikap-sikap dasar etika bisnis konstruksi di Indonesia tentunya harus sama dengan etika bisnis konstruksi, karena setiap etika yang pantas disebut etika mempertanyakan norma-norma kelakuan manusia dan bukan sebagai anggota kelompok tertentu. Manusia Indonesia adalah manusia sama seperti yang lain. Akan tetapi, setiap etika bukan hanya etika bisnis konstruksi merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Ia mau menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat itu. Oleh karena itu, etika bisnis konstruksi masyarakat Indonesia mencerminkan kekhususan budaya, peradaban, nilai-nilai, ciri keagamaan, dan pandangan dunia masyarakat Indonesia. Etika bisnis konstruksi di Indonesia tercermin dalam ideologi Pancasila yang selalu menjiwai segala tindak tanduk dan perbuatan manusia. Manusia Pancasila, Etikanya disebut Etika Pancasila 56

1. Etika Pancasila Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai tertentu yaitu sistem preferensi yang dianggap disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Tanpa sistem nilai tertentu, tidak akan ada kebudayaan dan sistem peradaban tertentu. Bangsa Indonesia dapat mencapai kemerdekaan dan dapat bertahan sebagai satu bangsa karena juga memiliki sistem nilai atau falsafah dasar Bangsa Indoensia itu adalah Pancasila . Karena Pancasila sudah disepakati sebagai pandangan dan pegangan hidup bangsa, ia menjadi moral kehidupan bangsa pada bidang-bidang sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, dan keamanan nasional. Moralitas bisnis kaum Smithian adalah kebebasan (liberalisme) dan moralitas bisnis kaum Marxian adalah diktator mayoritas oleh kaum proletar, sedangkan moralitas bisnis manusia Pancasila seluruh azas Pancasila, etika Pancasila dan sebagaimana dapat diserap dari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

a. Ketuhanan Yang Maha Esa Dunia bisnis konstruksi digerakkan oleh rangsangan-rangsan ekonomi, sosial,dan yang paling penting adalah rangsangan moral. Walaupun bisnis konstruksi menyangkut masalah materi, namun tidaklah berarti bahwa materi itu tidak ada hubungannya dengan sosial dan moral. Kalau bisnis konstruksi juga memperhatikan masalah moral dan sosial disamping ekonomi, maka hal itu berarti kebijaksanaan dan tindakan bisnis kita akan lain, dibandingkan apabila yang kita kejar hanyalah rangsangan ekonomi saja. Berkenaan dengan hal ini, ada pandangan bahwa perkembangan bisnis itu tidak semata-mata didukung oleh nilai-nilai meterialistik, tetapi dapat didorong maju oleh nilai-nilai moral. Karena orang yang tumbuh dan berkembang dalam pribadi dari keinginan mengabdi kepada Tuhan secara tulus dan sempurna, menjadi sumber salah satu motivasi kegiatan-kegiatan bisnis.

b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 57

Ada kehendak yang kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai dengan asas-asas kemanusiaan. Ada suatu keinginan dalam masyarakat bisnis kapitalis, bahwa yang penting “Saya mau untung sendiri”, tetapi dalam masyarakat bisnis konstruksi Indonesia tidak boleh ada perasaan seperti itu. Yang harus ada semacam keinginan, kalau bisa jangan terlalu besar perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. Rasa solidaritas sosial harus menjiwai para pelaku bisnis konstruksi di dalam perbuatannya. Ada solidaritas sosial antara perusahaan konstruksi yang besar dan perushaan yang kecil. Seperti tertuang dalam Keppres 16 Tahun 1994, bahwa rekanan golongan ekonomi kuat yang mendapatkan proyek dalam suatu daerah harus bekerja sama dengan rekanan golongan ekonomi lemah setempat.

c. Persatuan Indonesia Prioritas kebijaksanaan dunia bisnis konstruksi adalah penciptaan bisnis konstruksi nasional yang tangguh. Ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan bisnis konstruksi nasional.

Bisnis konstruksi nasional harus

menyumbang pada upaya peningkatan ketangguhan atau ketahanan ekonomi nasional.Peningkatan semangat nasionalisme ini tampaknya lebih urger bagi sekelompok perusahaan bisnis konstruksi yang kuat dan para penentu kebijaksanaan di tingkat makro nasional. Hal itu mengingat dalam proses komersialisasi dan globalisasi, keduanya dikhawatirkan lebih mudah tererosi karena “kiblat” mereka adalah ekonomi global dan bukan ekonomi rakyat. Adanya ketentuan penggunaan produksi dalam negeri, baik berupa barang atau jasa dalam setiap proyek-proyek pemerintahan seperti tertuang dalam Pepres No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang/jasa bagi pemerintah, akan memupuk jiwa nasionalisme pelaku-pelaku bisnis konstruksi, sehingga menjadikan dunia bisnis konstruksi nasional semakin mandiri dan tangguh.

d. Kerakyatan

yang Dipimpin

oleh Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan

Perwakilan.

58

Koperasi merupakan sokoguru perkonomian dan merupakan bentuk paling kongkret dari usaha bersama yang berdasarkan asas kekeluargaan. Konsep koperasi ini membawa suatu mandat etis dalam bisnis konstruksi nasional. Mandat etis itu membangun sebuah ekonomi yang bukan milik segelintir orang saja yang memperkaya diri atau satu golongan saja yang kebetulan menguasai negara, yang juga bukan demi kemanjuan teknologi, melainkan demi kesehateraan seluruh masyarakat. Mandat etis ini dalam implementasinya bisa berwujud kegiatan bisnis konstruksi yang tidak membiarkan sebagian masyarakat terlantar dan menderita, yang tidak keras terhadap kepentingan rakyat kecil, misalnya atas tanah dan atas lingkungan hidup.

e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam dunia bisnis konstruksi, harus tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan di daerah-daerah untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dengan adanya sistem yang dmeikian, maka “kue pembangunan” bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya dinikmati oleh orang atau golongan tertentu saja. Sikap dan perilaku demikian seharusnya ada dalam setiap pelaku-pelaku bisnis konstruksi nasional. Jiwa keadilan sosial ini jujga tercermin melalui Pepres No 54 Tahun 2010, dengan adanya kualifikasi bagi setiap rekanan yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa milik pemerintah yang dibedakan menurut kemampuan teknis yang dipunyai, besarnya nilai proyek dan wilayah operasinya. Etika bisnis konstruksi di Indonesia serperti yang berjiwakan etika Pancasila adalah aturan main yang harus mengikat setiap pelaku bisnis konstruksi, yang apabila dipatuhi secara penuh akan mengakibatkan tertib dan teraturnya perilaku setiap warga negara. Ketertiban dan keteraturan perilaku ini pada gilirannya akan menyumbangkan kematangan dan efektivitas usaha perwujudan keadilan sosial

2. Hambatan-Hambatan

59

Walaupun sudah ada “aturan main” yang harus mengikat, namun ada hambatan-hambatan yang akan dialami pelaku-pelaku bisnis konstruksi nasional yang mau mempertahankan etos kerja yang berorientasi pada tuntutan-tuntutan etika bisnis konstruksi. Hambatan-hambatan itu selain berupa kekurangan mental individual, bisa juga berasal dari nilai-nilai budaya tradisional atau dari lingkungan sosial politik.

a. Lingkungan budaya Unsur-unsur yang dapat menghambat dari segi nilai-nilai budaya adalah: 1) Adanya anggapan bahwa mencari untung adalah saru (Jawa: tak pantas). Sesungguhnya yang saru bukan pencarian untung itu sendiri, melainkan caranya, bentuknya, konteksnya, dan sebagainya. Paham tradisional ini mempersulit penarikan garis jelas antara usaha bisnis konstruksi yang wajar dan yang tidak wajar. 2) Adanya prinsip kekeluargaan, yang dimaksud disini adalah sikap kekeluargaan yang sempit. Sikap kekeluargaan yang sempit hanya mau bekerja sama dengan lingkup sosial

yang

sempit

misal

kerabat,

etnis

tertentu,

ekslusive

keagamaan,

promodialisme. Penganut prinsip ini memiliki sisi positi dalam etika yaitu tidak mau mencuri uang atau korup dari kelompoknya, namun sisi negatifnya mereka tidak malu untuk menyelewengkan uang milik perusahaan atau negara. Sebaliknya yang diperlukan adalah prinsip kekeluargaan yang luas artinya harus mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan pada kelompok, bangsa atau agama sendiri. Melainkan harus mampu menghormati hak-hak serta memperhatikan kepentingan-kepentingan setiap orang sebagai manusia sehingga sifat kekeluargaan ini dapat mempersatukan kemajemukan Bangsa Indonesia. 3) Adanya tekanan yang berlebihan pada lingkungan sosial dan ketidakmampuan untuk meminati struktur-struktur objektif maetial. Hal ini terjadi karena kepuasan bekerja berakar dalam lingkungan sosial dan tidak ditentukan oleh kepuasan yang timbul bila seseorang dapat menguasai tugas dalam dunia materia. Karena itu, waktu senggang yang dinikmati bersama-sama dengan rekan-rekan, sahabat-sahabat dan sanak saudara lebih penting daripada pekerjaan itu dan hasilnya. Orang dapat berbincangbincang berjam-jam lamanya ketimbang konsentrasi bekerja tidak dapat lama. 60

b. Lingkungan sosial politik Penerapan profesionalisme yang bermuara pada tujuan efisiensi dan terkait erat dengan etika bisnis konstruksi dipengaruhi pula oleh etika sosial politik yang terdapat madalam masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat bisnis konstruksi diwarnai oleh prktik-praktik bisnis konstruksi yang didukung oleh kekuasaan politik yang tidak adil, yang pada gilirannya menimbulkan kondisi persaingan yang tidak sehar dan tidak wajar, etika profesionalisme bisnis konstruksipun dapat dipengaruhi. Misalnya, proyek-proyek besar tidak diberikan menurut kriteria ekonomis (dan bisa dipertanggungjawabkan secara teknis), tidak diadakan pelelangan secara terbuka, atau pihak yang dimenangkan bukan yang paling ekonomis. Dalam situasi semacam itu etika bisnis konstruksi memang tidak dapat berkembang. Disinilah muncul suatu dilema yang ironis. Disatu pihak, profesionalisme dalam bisnis konstruksi menuntut antara lain perciptaan daya saing yang bersumber dari kemampuan manajeman atau sumber daya manusianya, dan bukan bersumber dario suatu dukungan kekuasaan politik. Alasannya jelas, yaitu karena dalam kondisi dunia bisnis konstruksi yang adil dan sehat dalam jangka panjang, perkembangan usaha akan ditentukan oleh keunggulan relatif dari manajemennya. Namun, dipihak lain, praktik-praktik bisnis konstruksi yang tidak etis karena peluang yuang diciptakan oleh kondisi lingkungan itu sendiri akan merupakan suatu ancaman yang serius terhadap ketahanan bisnis konstruksi tersebut. Dalam keadaan seperti ini perusahaan konstruksi dihadapkan pada keharusan untuk mengembangkan usaha sebagai salah satu sasaran jangka panjang melalui pendekatan profesionalisme di satu pihak, sedangkan di pihak lain harus dapat mempertahankan kehidupan (survival) dari waktu ke waktudalam kondisi lingkungan bisnis konstruksi yang kurang menguntungkan. Pada kondisi semacam ini, perusahaan konstruksi akan condong memilih langkah operasional jangka pendek, bahkan dapat pula terjerumus ke dalam suasana lingkungan yang tidak sehat menurut ukuran-ukuran etika bisnis konstruksi. Praktik-praktik bisnis konstruksi yang etis dan tidak etis dalam lingkungan bisnis konstruksi yang etika sosial politiknya tidak jelas akan sulit untuk 61

diformulasikan dan dinilai. Dunia bisnis konstruksi sangat memerlukan suatu aturan permainan yang jelas, termasuk kepastian hukum, untuk dapt bermain dalam kondisi lapangan yang lebih dapat diramalkan demi mengurangi sampai sekecil mungkin segala aspek ketidak pastian yang merupakan salah satu sumber risiko yang harus diperhitungkan. Jika aturan permaian telah jelas, bagi perusahan-perusahaan konstruksi ini hanya ada dua pilihan: turut bermain mengikuti irama dan aturan permaianan yang berlaku, atau mengundurkan diri dari lapngan permainan karena tidak dapat menerima praktik-praktik bermain yang bertentangan dengan normanorma serta kewaranan yang dianutnya. Betapapun buruknya situasi dalam dunia bisnis konstruksi, tidak bisa diragukan lagi bahwa sebagaian bersar pelaku bisnis konstruksi nasional merindukan alam bisnis konstruksi yang menuruti etika bisnis konstruksi yang sehat, yang dapat menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat luas dan negara. Kerinduan ini tetap dapat diandalkan, atau lebih tepat harus dijadikan ooperasional. Suatu tandatangan bagi dunia bisnis konstruksi nasional.

3.3.3

Kode Etik Bisnis Konstruksi Kode etik penting mengingat bahwa setiap bisnis apapun akan terikat dengan etika. Etika bisnis ini dimaksudkan sebagai pedoman tentang cara berperilaku pada saat melakukan kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan bisnis. Secara harfiah bahwa kode etika adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Etika memperhatikan atau mempetimbangakan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral dan mengarahkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” tingkah laku seseorang terhadap orang lain. Kode etik sebenarnya merupakan sistematisasi sifatsifat yang mencerminkan pengalaman moral dari suatu kelompok sosial (profesi) dalam hubungannya dengan manusia, yang memberikan petunjuk untuk praktik profesi dalam (1) hubungan antara klien dan tenaga ahli dari profesi, (2) pengukuran 62

dan

standar

evaluasi

yang

dipakai

dalam

profesi,

(3)

penelitian

dan

publikasi/penerbitan profesi, (4) konsultasi dan praktik pribadi, (5) tingkat kemampuan konpensasi yang umum, (6) administrasi personalia, dan (7) standarstandar untuk pelatihan. Dunia bisnis konstruksi mempunyai tanggung jawab besar yang harus disertai dengan kejujuran dan dekikasi tinggi dalam berbagai bidang diatas. Hal ini merupakan unsur penting yang melandasi kepercayaan dari masyarakat atau klien kepada dunia bisnis konstruksi. Kepercayaan masayarakat ini sangat erat hubungannya dengan perilaku dan kehidupan para pelaku bisnis konstruksi. Hal ini berarti pelaku bisnsis konstruksi dituntut memiliki moral dan penghayatan etika bisnis konstruksi yang sebaik mungkin. Penghayatan ini akan dapat dilaksanakan dan diterapkan, jika ada untur “pemaksa” akan kepatuhan pelaku bisnis konstruksi kepada peraturan yang telah dituangkan dalam ketentuan tertulis yang disepakati bersama, yaitu kode etik bisnis konstruksi.

A. Tujuan Kode Etik Suatu profefsi atau kelompok profesional mempunyai tujuan yang berbedabeda, walaupun tujuannya berbeda-beda, untuk menetapkan suatu kode etik, kita perlu bertanya: apakah kode etik yang dimaksudkan hanya mencoba melindungi kepentingan tertentu yang sifatnya egois, yang tujuannya adalah memajukan profesitu itu yang melulu demi uang ? atau, apakah koede etik itu dihubungkan dengan tujuan pelayanan kepada masyarakat atau tidak ? Secara garis besar, sudah banyak bentuk masyarakat profesional yang pada awalnya membuat kode etik yang tunuannya sangat egoistik, namun akhirnya mengarah juga pada pelayanan terhadap masyarakat umum. Kecenderungan tersebut oleh Robert D. Kohn dinyatakan dalam lima tahap perkembangan:

1. Tahap pertama Kode etik organisasi dimaksudkan untuk melindungi anggota-anggotanya untuk menghadapi persaingan yang tidak jujur dan untuk mengembangkan profesi yang sesuai dengan cita-cita masyarakat 63

2. Tahap kedua Hubungan antara anggota profesi adalah sesuatu yang adianggap paling penting. Sopan santun atau keugaharian harus dijada dengan baik diantara anggota dalam profesi yang sama.

3. Tahap ketiga Dengan kode etik, semua anggota berada dalam satu ikatan yang kuat supaya tidak campur tangan “orang luar” dan untuk melindungi profesi terhadap pemberlakuan hukum yang dirasakan tidak adil.

4. Tahap keempat Supaya praktik pengembangan profesi dapat sesuai dengan cita-cita, para anggota harus memiliki kualifikasi pendidikan yang memadai dan diketahui pula asal usul sekolah tempat ia menerima pendidikannya.

5. Tahap kelima Tahap ini memandang penting adanya hubungan antara sebuah profesi dengan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat umum. Disini kebutuhan masyarakat umum memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hak-hak sebuah profesi; bahkan pelayanan kepada masyarakat merupakan sesuatu yang sangat diharapkan selalu terjadi.

Jadi, dari lima tahap perkembangan tersebut jelas bahwa kode etik mempunyai tujuan untuk kepentingan profesi itu sendiri namun juga mengarah pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu melayani kepentingan masyarakat luas.

B. Karakteristik Kode Etik 64

Dalam hubungannya dengan suatu profesi, kode etik mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:

1. Kode etik merupakan produk etika terapan Produk etika terapan dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu profesi tertentu. Setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tetapi sebaliknya selalu didampingi oleh refleksi etis.

2. Kode etik dapat berubah dan diubah seiring dengan pekermbangan ilmu pengetahuan dan teknologi Dari waktu ke waktu kode etik yang sudah ada harus dinilai kembali, dan jika perlu direvisi atau disesuaikan. Hal itu bisa mendesak karena situasi yang berubah. Dalam dekade-dekade terakhir ini timbulnya komputerisasi, misalnya bagi banyak profesi menciptakan suatu situasi baru yang menimbulkan implikasi-implikasi etis yang baru pula. Kode etik bisa diubah juga setelah terjadi penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan mebingungkan profesi itu sendiri.

3. Kode etik akan efektif bila dibuat oleh kalangan profesi itu sendiri Kode etik tidak akan efektid, kalau di “drop” bergitu saja dari atas (dari instansi pemerintah atau instansi lain) karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar dapat menganjurkan membuat kode etik dan barangkali bisa membantu juga dalam merumuskannya, tetapi pembuatan itu sendiri harus dilakukan oleh profesi bersangkutan.

4. Kode etik harus menjadi hasil pengaturan diri (self regulation) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi yang berrsangkutan akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakihi. Hal itu tidak pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya koede etis yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri bisa 65

mendarah-daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen.

5. Kode etik akan berhasil dengan baik apabila pelaksanannya diawasi terus menerus. Pada umumnya kode etik mengandung sanksi-sanksi yang akan dikenakan pada pelanggar kode etik. Kasus-kasus pelanggaran akan dinilai dan ditindak oleh suatu “dewan kehormatan” atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa para profesional berkewajiban melapor, bila teman sejawatnya melanggar kode etik. Ketentuan ini merupakan akibat logis dari self regulation karena kode etik itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, maka juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Dalam praktik sehari-hari kontrol ini kerap kali tidak berjalan dengan mulus. Karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan sejawatnya yang melanggar. Dengan perilaku semacam itu solidaritas antarkolega ditempatkan diatas etika profesi sehingga maksud kode etik, yang maksudnya menempatkan etika profesi diatas segala pertimbangan lain, tidak tercapai.

C. Peranan Kode Etik Menurut Martin dan Schinzinger ada beberapa fungsi yang menonjol dari kode etik, diantaranya adalah:

1. Memberi tuntunan dan inspirasi Kode etik dapat memberi rangsangan positif bagi pelaku etis dan menjadi tuntutan yang berfaedah serta nasihat tentang kewajiban utama para pelaku bisnis konstruksi. Sering kode etik justru inspiratif bila rumusannya menggunakan bahasa dengan nada yang positif. Bahasa ini dapat menggunakan rumusan yang luas dan 66

kabur, seperti :”menjaga keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan umum”, yang mungkin mengurangi kemampuan kode etiu itu untuk memberikan tuntutan yang kongkret. Karena harus singkat namun efektif, kode etik memberi tuntutan yang konkret. Karena harus singkat namun efektif, kode etik memberi tuntunan yang paling umum. Petunjuk lebih spesifik dapat diberikan dalam aturan tambahan atau dalam penafsiran atas kode etik itu.

2. Memberi dukungan Kode etik memberikan dukungan positif pada mereka yang berusaha berbuat etis. Sebuah kode etik yang telah diumumkan memungkinan seorang pelaku bisnis konstruksi, yang dalam keadaan tertekan mungkin bertindak tidak etis, mengatakan, “Saya terikat oleh kode etik proffesi saya yang menlyatkan bahwa …”. Dengan sendirinya, kode etik memberi dukungan kelompok pada pelaku bisnis konstruksi untuk berdiri teguh dalam salah-nasalah moral. Lagi pula kode etik dapat berfungsi sebagai dukungan hukum di pengadilan bagi para pelaku bisnis konstruksi yang berusaha memenuhi keajiban moral dalam pekerjaan mereka.

3. Membina disiplin Kode etik dapat berfungsi sebagai dasar formal untuk menyidik perilaku yang tidak etis. Bilamana penyidikan sedemikian dapat dilakukan, motivasi luhur untuk tidak bertindak secara amoral dapat berfungsi sebagai pencegah. Penyidikan seperti ini umumnya membutuhkan tata cara paralegal yang dirancang untuk mendapatkan kebenaran tanpa memperkosa hak-hak pribadi mereka yang sedang disidik. Misalnya tindakan organisasi profesi yang menskors atau mengeluarkan anggota-anggota yang perilakunya terbukti tidak etis sudah cukup menjadi sanksi yang dahsyat bila dikombinasikan dengan hilangnya hormat para kolega dan masyarakat setempat terhadap mereka.

4. Mendidik Kode etik dapat digunakan dalam perkuliahan atau forum-forum tertentu, untuk memancing diskusi dan refleksi atas permasalahan-permasalahan moral, serta untuk 67

mendorong terciptanya pemahaman timbal balik diantara para profesional, masyarakat umum, dan organisasi-organisasi pemerintah perihal tanggung jawab moral para pelaku bisnis konstruksi. Kode etik dapat berfungsi demikian karena kode etik disebarluaskan dan secara resmi disetujui oleh komunitas-komunitas profesional.

5. Mendukung citra profesi Kode etik dapat meningkatkan citra positif suatu profesi yang terlibat dengan etika dihadapan publik, citra yang terjamin dapat membantu pelaku bisnis konstruksi melayani masyarakat dengan lebih efektif. Citra dapat pula memperkuat wibawa pengaturan dalam poffesi itu sendiri serta mengurangi kebutuhan akan pengaturan dari pihak pemerintah. Citra yang tidak terjamin akan berubah sekadar menjadi “etalase” yang malah akan memperkuat sinisme masyarakat umum terhadap profesi itu.

6. Melindungi status quo Kode etik meletakkan kesepakatan etis yang dapat membantu meningkatkan tingkat minimum perilaku etis yang disepakai. Namun, dapat pula menekan perbedaan pendapat dalam profesi itu sendiri. Kadang-kadang, tingkat minimum perilaku moral positif itu dapat menghambat perlaku moral dan menimbulkan kerugian serius bagi mereka yang berusaha melayani masyarakat. Misalnya, seorang pelaku bisnis konstruksi yang berusaha untuk menyingkapkan skandal suap yang berkaitan dengan suatu proyek seringkali justeru merugikan diri sendiri (masuk dalam blacklist). Perlu juga diperhatikan, bahwa keinginan yang berlebihan untuk melindungi status quo ini mungkin justru mengakibatkan hilangnya kepercayaan pihak pemerintah dan masyarakat pada profesi bisnis konstruksi.

7. Mempromosikan kepentingan bisnis Citra baik yang ditangkap klien atau masyarakat dari suatu profesi yang menerapkan koide etiknya baik dalam fungsi penuntun, inspiratif, edukatif dan disipliner bagi setiap anggotanya, pada akhirnya akan mempromosikan pfofesi itu bagi kepentingan bisnisnya. 68

Dari prespektif bisnis konstruksi sbagai eksperimentasi sosial, tekanan pada kode etik seharusnya lebih pada fungsi sebagai pendukung perilaku yang bertanggung jawab, tuntunan umum, dan promosi pemahaman timbal balik daripada pengganjar hukuman dan pelindung status quo.

D. Keterbatasan Kode Etik Meskipun kode etik mempunyai tujuan, karakteristik, dan peranan yang positif bagi perkembangan moral para profesional, tentu saja masih ada keterbatasanketerbatasan yang menjadi hambatan, sehingga kode etik hanya dapat memberi tuntunan yang sangat umum saja. Akibatnya, kode etik lebih merupakan imbauan agar pelaku bisnis konstruksi secara moral bertanggung jawab dalam menjalankan peran mereka sebagai orang yang mengadakan eksperimen sosial, daripada sebagai orang yang diharapkan mampu memecahkan problem moral mereka dengan berfungsi sebagai pengambil keputusan yang logis. Keterbatasan-keterbatasan kode etik itu adalah:

1. Rumusan-rumusan yang umum dan kabur Dengan rumusan yang demikian, maka secara menusiawi tidak mujngkin meramalkan seluruh rentang masalah moral yang dapat muncul dalam suatu profesi yang kompleks seperti bisnis kontruksi. Perkembangan teknologi, organisasi, dan perubahan struktur sosial masyarakat secara terus menerus menghjasilkan kodnsirikondisi baru yang tidak bisa diduga. Bahkan dalam situasi yang bisa diduga sekalipun, tidak selalu mungkin merumuskan sebuah kode etik yang berlaku pada setiap p eristiwa. Dengan demikian, usaha untuk merumuskan kode etik Cuma akan menghasilkan sesuatu yang tidak lebih dari seperangkat hukum berbelit-belit daripada sebagai sebuah kode etik yang dapat diterapkan. Jadi, permasalahannya adalah bagaimana merumuskan kode etik yang cukup tegas bunyinya serta tetap berlaku up-to date.

2. Bukan sebagai kata akhir

69

Tidak ada satupun pernyataan dalam koide etik (yang berlaku pada suatu waktu) yang dapat diambil sebagai kata akhir, yang dapat membungkam perdebatanperdebatan dan kritik yang terjadi. Jadi, kode etik lebih bernilai sebagai ramburambu penunjuk jalan yang membingungkan seorang pengambil keputusan moral. Sebaliknya, menerima kode etik yang berlaku sebagai kata terakhir, betapapun formalnya kode etik itu ditetapkan, akan membawa kepada suatu konvensionalisme etis. Konvensionalisme etis adalah pandangan bahwa seperangkat kesepakatan, kebiasaan, atau hukum sudah mempunyai pembenarannya sendiri dan tidak perlu lagi dipertanyakan, hanya karena perangkat itulah yang diberlakukan pada waktu dan tempat tertentu. Pandangan yang demikian tidak memberi ruang kemungkinan untuk debat dan kritik yang sehat terhadap perangkat konvensi tersebut dalam suatu kerangka kerja yang lebih luas. Hal terburuk adalah kode etik itu hanya sekedar menjadi “dokumen suci” yang harus diterima tanpa sikap kritis lagi. Karena, kode etik tidak menyediakan tuntutan “pasal” mana yang perlu diprioritaskan dalam suatu kasus, mudah timbul dilema-dilema moral. 3. Tidak ada sarana “pemaksa” yang efektif Setiap anggota yang melanggar langsung memperoleh hukuman sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan, misalnya peringatan keras atau dikeluarkan dari keanggotaan. Namun karena kode etik sifatnya hanya himbauan, sulitlah mengembangkan sarana-sarana yang efektif untuk memaksakan dipatuhinya kode etis sesuai dengan cita-cita sebuah profesi. Jadi, pelaksanaannya hanya bergantung pada kesadaran moral masing-masing pelaku bisnis konstruksi.

4. Harapan yang terlalu tinggi Adanya harapan yang terlalu tinggi sujpaya anggota sebuah profesi melaksanakan kode etik dengan kesadaran hati nuraninya, sering menimbulkan suatu anggapan bahwa kode etik itu “kitab suci”. Akibatnya kode etik tersebut dicetak dan diberi bingkai serta dipasang disetiap sudut ruang kerja dengan maksud agar selalu dibava dan dilakukan. Namun, yang terjadi sebaliknya, kode etik tersebut hanya berfungsi sebagai hiasan dinding yang identik dengan kebanggaan seseorang 70

memasang ijazah atau tanda penghargaan yang pernah diperoleh karena sebuah prestasi tertentu.

5. Versi yang bermacam-macam Keberadaan berbagai macam kode etik yang terpisah untuk berbagai macam organisasi profesi di lingkungan bisnis konstruksi, justru dapat menciptakan perasaan dikalangan anggota-anggotanya bahwa perilaku etis lebih “relatif” daripada seharusnya, juga dapat menimbulkan pandangan masyarakat bahwa tidak satu pun kode etik yang “sungguh-sungguh benar”. Walaupun ada bermacam-macam versi, ada sejumlah persamaan yang ditemukan dalam berbagai mecam kode etik itu, yaitu semua kode etik merangkum konsep-konsep inti menurut urutan signifikansi (1) kepentingan umum, (2) kualitas kebenaran, kejujuran, keadilan, dan (3) kinerja profesional. Terlepas dari segala keterbatasn-keterbatasan dan kesulitan-kesulitan diatas, beberapa kode etik terbukti telah banyak mempengaruhi anggota sebuah profesi untuk mengikuti pengarahan yang benar sesuai dengan tujuan atau misi yang ada.

71

3.3.4 Latihan 1. Bagaimana keadaanya bila bisnis konstruksi dilakukan dengan etika, dan bagaimana sebaliknya 2. Berikan contoh pelaku bisnis konstruksi yang tidak sesuai prinsip otonom didalam menjalankan bisnisnya 3. Bagaimana etika bisnis konstruksi di Indonesia dan apa saja hambatan-hambatannya didalam praktek.

3.3.5 Tugas 1. Cari dan kumpulkan beberapa macam kode etik profesi yang memiliki kaitan erat dengan bidang bisnis konstruksi 2. Cari beberapa kasus tentang pelanggaran kode etik profesi konstruksi

72

3.4 Rangkuman Terdapat dua pandangan terhadap bisnis konstruksi, yang pertama mengatakan bahwa bisnis konstruksi dilakukan tanpa etika dan yang lainnya mengatakan bahwa bisnis konstruksi dengan etika. Pandangan bisnis konstruksi dilakukan tanpa etika berarti bahwa bisnis konstruksi adalah: persaingan; asosial; bisnis kontruksi campur moral akan tersingkir; mencari keuntungan belaka; hanya berkonsentrasi pada pekerjaan; memakan biaya; harus disertai kekuatan; memerlukan ketrampilan khusus; tidak memiliki nurani. Sedangkan pandangan bisnis konstruksi dengan etika mengatakan bahwa, bisnis konstruksi:

mempertaruhkan segalanya; menyangkut

hubungan antarmanusia; persaingan yang bermoral; harus mengikuti kemauan masyarakat (klien); harus disertai kewajiban moral; harus mengingat keterbatasan sumber daya; harus menjaga lingkungan sosial; harus menjaga keseimbangan tanggung jawab sosial; harus menggali sumber daya yang berguna; harus memberi keuntungan jangka panjang. Etika bisnis kontruksi sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip-prinsip etika profesi yang harus dikembangkan oleh para profesional pelaku bisnis konstruksi. Secara umum dapat dikemukakan lima prinsip etika bisnis konstruksi adalah: sikap baik, otonomi, kejujuran, keadilan, dan hormat terhadap diri sendiri.

Etika bisnis konstruksi masyarakat Indonesia mencerminkan kekhususan

budaya, peradaban, nilai-nilai, ciri keagamaan, dan pandangan dunia masyarakat Indonesia. Etika bisnis konstruksi di Indonesia tercermin dalam ideologi Pancasila yang selalu menjiwai segala tindak tanduk dan perbuatan manusia. Manusia Pancasila, Etikanya disebut Etika Pancasila. Dan hambatan-hambatan terhadap etika ini berasal dari lingkungan budaya dan lingkungan sosial politik. Kode etik sebenarnya merupakan sistematisasi sifat-sifat yang mencerminkan pengalaman moral dari suatu kelompok sosial (profesi) dalam hubungannya dengan manusia, 73

yang memberikan petunjuk untuk praktik profesi dalam (1) hubungan antara klien dan tenaga ahli dari profesi, (2) pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi, (3) penelitian dan publikasi/penerbitan profesi, (4) konsultasi dan praktik pribadi, (5) tingkat kemampuan konpensasi yang umum, (6) administrasi personalia, dan (7) standar-standar untuk pelatihan. Dalam hubungannya dengan profesi, kode etik akan efektif bila dibuat oleh kalangan profesi itu sendiri; Kode etik harus menjadi hasil pengaturan diri (self regulation) dari profesi; Kode etik akan berhasil dengan baik apabila pelaksanannya diawasi terus menerus. Menurut Martin dan Schinzinger ada beberapa fungsi yang menonjol dari kode etik, diantaranya adalah: Memberi tuntunan dan inspirasi; Memberi dukungan; Membina disiplin; Mendidik; Mendukung citra profesi; Melindungi status quo; Mempromosikan kepentingan bisnis

74

3.5 Daftar Pustaka

Kirana Andy, Etika Bisnis Konstruksi, Kanisius, Yogyakarta 1996 Tamba Murla, (2009, 8 Agustus), Kode Etik Bisnis Konstruksi, Diperoleh 2 Desember 2012 dari http://murlantamba.blogspot.com/2009/08/kode-etik-bisniskonstruksi.html

75

MODUL 3

TANGGUNG JAWAB SOSIAL BISNIS KONSTRUKSI 4.1 Pendahuluan Untuk mencapai rakyat yang adil dan makmur diperlukan peran serta semua unsur, termasuk perusahaan konstruksi. Didalam menjalankan usahanya perusahaan konstruksi memiliki tanggung jawab sosial,

dan tanggung jawab sosial ini

merupakan peran serta perusahaan didalam pembangunan nasional. Meskipun perwujudan tanggung jawab sosial berdampak positif terhadap perusahaan, namun kenyataannya, sering terjadi perusahaan konstruksi kurang memberi perhatian terhadap tanggung jawab sosial. Dalam hal ini tanggung jawab sosial terhadap lingkungan hidup, hak pekerja, hak konsumen dan hak kekayaan intelektual. Karenanya kewajiban para pelaku bisnis konstruksi mengatasi masalah ini, bahkan merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar mengingat pemerintah sudah menyediakan aturannya dalam bentuk perundang-undangan.

4.2 Tujuan Pembelajaran Khusus Diharapkan setelah membaca modul ini, mahasiswa dapat mengetahui tentang: tanggung jawab social dan lingkungan; hak pekerja konstruksi; perlindungan konsumen perusahaan konstruksi; hak kekayaan intelektual bidang konstruksi. 76

4.3 Materi Ajar 2 4.3.1 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Konstruksi

A. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pengertian

tanggung

jawab

social

perusahaan

(corporate

social

responsibility/CSR) terdapat didalam Penjelasan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) dan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT). Penjelasan pasal 15 huruf b UUPM, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, “Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya”. Dari pengertian-pengertian tanggung jawab sosial perusahaan tampak belum adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung jawab sosial pada titik pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi. Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan pada aspek 77

ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Namun demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada tanggung jawab sosial perusahaan sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan. Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka tanggung jawab sosial perusahaan

merupakan

komitmen

perusahaan

terhadap

kepentingan

pada

stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal

mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam

modal

dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-

kepentingan pihak lain yang terkait. Dengan adanya ketentuan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai sebuah kewajiban yang dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, maka tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan. Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tanggung jawab sosial perusahaan harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar tanggungjawab karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Konteks tanggung jawab sosial dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan. Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniah, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandangan 78

moral, hukum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya. Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera. Jika situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.

B. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Perusahaan Konstruksi Di Indonesia soal tanggung jawab sosial masih rendah, belum ada kesadaran moral yang

cukup, kondisinya masih menghendaki tanggung jawab sosial sebagai

suatu kewajiban hukum. Perlu diketahui bahwa, tanggung jawab sosial lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Selain masih banyak perusahaan yang cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Karenanya kewajiban untuk melakukan tanggung jawab sosial, tidak begitu saja diserahkan kepada perusahaan, melainkan perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan.

79

Pemerintah mewajibkan perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA) untuk memasukkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan ke dalam rencana kerja tahunan, yang disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) termasuk Dewan Komisaris. Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Dalam PP yang merujuk pada ketentuan Pasal 47 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007tentang Perseroan Terbatas itu disebutkan, bahwa setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab itu menjadi kewajiban bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, yang bisa dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan perseroan. “Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS. Rencana kerja tahunan memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan,” bunyi Pasal 4 Ayat 1, 2 PP Nomor 47 tahun 2012 itu. Penjelasan PP ini menyebutkan, yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang SDA adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan SDA. Sementara yang dimaksud perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan SDA adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan SDA, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan Perseroan dalam PP ini dimaksudkan untuk: 1. Meningkatkan kesadaran Perseroan terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia; 2. Memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan 3. Menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan bidang kegiatan usaha Perseroan yang bersangkutan. 80

Dalam PP itu juga ditegaskan, bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan dan anggaran untuk pelaksanaan kewajiban sosial dan lingkungan harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Dan realisasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan tersebut diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. “Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan Perseroan, dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS,” bunyi Pasal 6 PP tersebut. Terhadap perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai diatur dalam PP Nomor 47 tahun 2012, akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara bentuk sanksi akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Sebaliknya terhadap perseroan yang telah berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, menurut Pasal 8 Ayat 2 PP ini, dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang. Dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan, bahwa penghargaan yang diberikan misalnya fasilitas atau bentuk penghargaan lainnya. Perusahaan konstruksi mempunyai tanggung jawab sosial yang berkaitan langsung dengan masyarakat, disini terlihat dengan jelas bahwa ada dua jalur tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi sesuai dengan dua jalur hubungan perusahaan konstruksi, yaitu hubungan primer dan hubungan sekunder. Tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi terhadap hubungan primer, misalnya memenuhi janji, membayar utang, memberi pelayanan kepada klien secara memuaskan, menawarkan barang barang atau jasa kepada klien atau masyarakat dengan mutu yang baik memperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarganya, meningkatkan keterampilan dan pendidikan karyawan, memperhatikan hak atas kekayaan intelektual orang lain. Tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi terhadap hubungan sekunder, bertanggung jawab atas operasi dan dampak bisnis konstruksi terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah sosial seperti lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, lingkungan hidup, dan pajak. Dengan demikian perusahaan konstruksi termasuk perusahaan yang harus memiliki 81

tanggungjawab sosial dan lingkungan, serta terikat pula dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

C. Etika Lingkungan Hidup Etika lingkungan hidup, hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), pantas menjadi perhatian moral manusia Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia, yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral. Menurut Sony Keraf, teori etika terbagi tiga, yaitu: Antroposentrisme: lingkungan diperhatikan sejauh memenuhi kepentingan manusia (yang utama adalah kepentingan ekonomi manusia). Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Biosentrisme: Lingkungan hidup diperhatikan karna berkaitan dengan tanggung jawab moral menjaga kehidupan. Ekosentrisme: manusia adalah bagian dari alam, maka alam menjadi tanggung jawab manusia; seluruh ekosistem bernilai karna kehidupan bergantung pada eksosistem; makhluk ekologis. Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan. 82

Menurut Sony Keraf, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan tindakan agar krisis lingkungan dapat teratasi yaitu: pertama, perubahan perilaku. Kedua, perubahan paradigma pembangunan dari pembangunan

berkelanjutan

ke

pembangunan

keberlanjutan

ekologi.

Ketiga, perlunya Good Environmental Government, yang memiliki komitmen moral yang konsisten (individu, masyarakat, dunia usaha dan pemerintah). Hubungan antara bisnis konstruksi dan lingkungan hidup semakin menjadi pusat perhatian, akibat sering terjadi masalah lingkungan hidup yang timbul sebagai akibat kegiatan bisnis konstruksi. Kegiatan bisnis konstruksi mempunyai peran yang besar dalam pembangunan nasional, karenanya dianakemaskan sehingga kurang diawasi. Hubungan antara bisnis konstruksi dan lingkungan hidup kemudian menampakkan wajah yang buruk. Misal, lahan dieksploitasi untuk pembangunan perumahan tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan yang berakhir dengan kerusakan lingkungan dan timbulnya banjir dimana-mana. Menyadari hal ini, pelaku bisnis konstruksi harus benar-benar memikirkan suatu bisnis konstruksi yang menghargai harkat manusia dan martabat alam.

4.3.2 Hak Pekerja Para pekerja adalah unsur penting dari perusahaan, tidak mungkin pekerjaan konstruksi terlaksana tanpa adanya para pekerja. Karenanya pimpinan perusahaan harus memperhatikan mereka, tidak adil apabila pekerja dieksploitir tanpa diperhatikan hak dan kepentingannya.Berikut ini akan dibahas tentang tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi dan hubungannya dengan beberapa hak pekerja yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Diantaranya: hak atas upah yang adil, hak untuk berserikat, dah hak atas keselamatan dan kesehatan.

A. Hak Atas Pekerjaan Hak atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia, alasan Pertama adalah karena kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia. Kedua, kerja 83

merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja manusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri. Ketiga, hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak. Hak atas pekerjaan diatur didalam Pasal 27ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa:”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Perlu diketahui saat sekarang, bidang konstruksi di Indonesia 60% dikuasai oleh asing, hanya 40% yang dikuasai oleh Badan Usaja Jasa Konstruksi (BUJK) Nasional. Keadaan ini menjadi penyebab banyaknya tenaga kerja asing yang terserap di dalam BUJK Asing, tidak heran karena mereka sudah memenuhi syarat sebagai tenaga kerja bersertifikat ASEAN. Tentu saja tingkat persaingan menjadi semakin tinggi, pekerja konstruksi Indonesia berada di level bawah, sulit bersaing dengan pekerja konstruksi asing. Hak atas pekerjaan ini berhubungan dengan ada sikap hormat terhadap manusia sebagai makhluk yang membentuk dan menentukan dirinya sendiri, bahkan menentukan lingkungan fisik maupun sosialnya. Dalam kaitannya dengan masalah persaingan tenaga kerja Indonesia dengan dengan tenaga kerja asing maka penggunaan tenaga kerja asing harus dikurangi didalam proyek-proyek di Indonesia. Caranya yaitu pemerintah Indonesia harus menetapkan Standar Kompetisi Kerja Nasional Indonesia/SKKNI, yang lebih berpihak kepada tenaga kerja Indonesia. Misalnya SKKNI tersebut minimal disyaratkan harus dapat berbahasa Indonesia yang baik, dimana diharapkan standar ini berlaku sebagai filter bagi tenaga kerja asing yang ingin merebut pasar tenaga kerja di negeri ini.

B. Hak Atas Upah yang Adil Hak atas upah yang adil bukan dimaksudkan agar semua pekerja diberi upah yang sama.Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut 84

seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya bahwa: Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar; Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya; Bahwa prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Upah yang adil adalah suatu patokan mengenai upah minimum yang layak bagi penghidupan yang layak, dan atas dasar upah minimum yang layak bagi penghidupan yang layak. Atas dasar upah minimum yang layak itulah pasar dapat ikut menentukan tingkat upah minimum yang berlaku. Misalnya dalam hal kebijaksanaan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan oleh masingmasing daerah. Terdapat kemungkinan ketentuan upah yang adil berbeda menurut kebutuhan pokok seseorang atau kelompok, latar belakang pendidikan dan pengalaman, lama bekerja, lingkup tanggung jawab dan risikonya, serta macam dan kondisi perusahaannya. Perbedaan tingkat upah ini tidak bisa diabaikan, tetapi haruslan berada dalam batas tingkat upah minimum.

C. Hak Untuk Berserikat Seringkali para pekerja sebagai pihak yang lemah, karena posisi para pekerja sebagai penjual tenaga dan para pemilik modal sebagai pembeli tenaga. Untuk bisa memperjuangkan kepentingannya, khususnya hak atas upah yang adil, pekerja harus diakui dan dijamin haknya untuk berserikat dan berkumpul. Yang bertujuan untuk bersatu memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota mereka. Menurut De Geroge, dalam suatu masyarakat yang adil, diantara perantara-perantara yang perlu untuk mencapai suatu sistem upah yang adil, serikat pekerja memainkan peran yang penting. Dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul : pertama, hak untuk berserikat merupakan salah satu wujud utama dari hak atas 85

kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia; Kedua, dengan hak untuk berserikat

dan

berkumpul,

pekerja

dapat

bersama-sama

secara

kompak

memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya atas upah yang adil. Hak untuk berserikat atau membentuk serikat pekerja di Indonesia telah diakui dan diatrua dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, bahkan dalam pelaksanaannya, telah dibentuk organisasi secara nasional dan dibanyak perusahaan telah terbentuk pula Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Dengan adanya serikat pekerja ini diharapkan terpenuhinya hak-hak pekerja, termasuk hak untuk memperoleh upah yang adil. Pada gilirannya akan tercapai keadilan sosial, baik dilingkungan perusahaan konstruksi maupun dalam masyarakat.

D. Hak Atas Keselamatan dan Kesehatan Dalam bisnis modern sekarang ini semakin dianggap penting para pekerja dijamin keamanan, keselamatan dan kesehatannya Karena itu pada tempatnya bekerja, pekerja diasuransikan melalui asuransi kecelakaan dan kesehatan. Ini terutama dituntut pada perusahaan yang bergerak dalam bidang kegiatan yang penuh resiko. Seperti dalam bisnis konstruksi,

dimana dalam dekade terakhir ini

mengalami pertumbuhan yang pesat. Kemajuan desain proyek-proyek konstruksi, seperti proyek-proyek konstruksi membawa semakin rumitnya pelaksanaan konstruksi yang selanjutnya berdampak pada semakin tingginya risiko kecelakaan kerja konstruksi. Karena itu perusahaan punya kewajiban moral untuk menjaga dan menjamin hak ini, paling tidak dengan mencegah kemungkinan hidup pekerjanya terancam dengan menjamin hak atas perlindungan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja. Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja. Pertama, setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu. Kedua, setiap pekerja berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya dalam 86

menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut. Ketiga, setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaiknya menolaknya. Jika ketiga hal ini bisa dipenuhi, suatu perusahaan sudah dianggap menjamin secara memadai hak pekerja atas perlindungan keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja. Kalaupun pada akhirnya terjadi risiko tertentu, secara etis perusahaan tersebut tetap dinilai baik.

4.3.3 Perlindungan Konsumen Perusahaan Konstruksi Semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat proses globalisasi, semakin kompleks masalah orang didalam menjalankan usahanya. Padahal disisi lain ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar. Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.

A. Pihak Konsumen dalam Perusahaan Konstruksi Menurut UU Perlindungan konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang dimaksud konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Pasal 1 ayat 2) Pelaku usaha adalah, setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. (Pasal 1 ayat 3)

B. Perlindungan Konsumen 87

Ketika bangsa semakin sejahtera, maka tuntutan terhadap pihak yang lemah sangat kuat. Pihak yang lemah dimaksud adalah tenaga kerja, konsumen, usaha kecil, dan lingkungan hidup. Seperti yang terjadi sekarang ini terdapat perubahan paradigma dalam hubungan antara produsen dan konsumen. semula caveat emptor, pembeli/konsumen menanggung resiko atas kondisi produk yg dibelinya. Artinya pembeli yg tidak ingin mengalami resiko harus berhati-hati sebelum membeli produk. Sekarang caveat venditor, pihak penjual/produsen harus berhati-hati, karena jika terjadi sesuatu tidak dikehendaki atas produk, maka yg bertanggung jawab adalah penjual. Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen, perlu pemerintah meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab. Untuk itu DPR membuat Undang-Undang Perlindungan konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang didalamnya terdapat tiga asas, yaitu: Asas-asas perlindungan konsumen, yaitu: asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen, serta asas kepastian hukum. Asas tersebut berlaku baik bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha, pengguna jasa dan penyedia jasa, maupun Pengguna Barang/Jasa dan Penyedia Barang/Jasa. Dengan demikian asas-asa tersebut berlaku sama baik bagi Politeknik Negeri Jakarta maupun Pelaksana Konstrruksi.

4.3.4

Hak Kekayaan Intelektual

A. Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri Kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Objek yang diatur dalam Hak Kekayaan Intelektual/HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku 88

HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) disamping sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi. Secara

garis

besar

HKI dibagi

menjadi

dua

bagian,

yaitu :

Hak

Cipta (Copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights). Hak Kekayaan Indurstri yang mencakup : 

Paten (patent)



Desain Industri (Industrial Design)



Merek (Trademark)



Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition)



Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit)



Rahasia dagang (Trade secret)



Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Protection)

B. Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) memiliki prinsip-prinsi sebagai berikut : 1. Prinsip Ekonomi Dalam prinsip ekonomi, hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak cipta 2. Prinsip Keadilan

89

Prinsip keadilan merupakan suatu perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari kemampuan intelektual, sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan intelektual terhadap karyanya.

3. Prinsip Kebudayaan Prinsip kebudayaan merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara. 4. Prinsip Sosial Prinsip sosial mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan oleh hukum atas suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan berdasarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan. C. HKI dalam Bidang Konstruksi Kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Bidang konstruksi erat kaitannya dengan Hak Kekayaan Intelektual, dan karena sistem HKI merupakan hak privat (private rights) yang harus dilindungi. Maka terdapat kewajiban dalam kontrak konstruksi harus mencantumkan klausul tentang 90

Hak Kekayaan Intelektual didalamnya. Beberapa hak dalam Hak Kekayaan Intelektual, erat kaitannya dengan bidang konstruksi, hak-hak tersebut adalah:

1. Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor 19/2002 tentang Hak Cipta (Pasal 1 ayat 1). Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Hak cipta termasuk kedalam benda immateriil, yang dimaksud adalah hak milik yang objek haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh). Objek dalam hak cipta merupakan ciptaan sang pencipta yaitu setiap hasil karya dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Contoh dari hak cipta dalam bidang konstruksi adalah arsitektur bangunan.

2. Hak Kekayaan Industri Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala sesuatu milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri sangat penting untuk didaftarkan oleh perusahaan-perusahaan karena hal ini sangat berguna untuk melindungi kegiatan industri perusahaan dari hal-hal yang sifatnya menghancurkan seperti plagiatisme. Dengan di legalkan suatu industri dengan produk yang dihasilkan dengan begitu industri lain tidak bisa sesukanya membuat produk yang sejenis/ benar-benar mirip. Dalam hak kekayaan industri salah satunya meliputi hak paten dan hak merek.

a. Hak Paten

91

Menurut Undang-undang Nomor 14/2001 pasal 1 ayat 1, Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu dalam melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau dengan membuat persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi, hal

yang

dimaksud

berupa proses,

hasil

produksi,

penyempurnaan dan

pengembangan proses, serta penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi. Perlindungan hak paten dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun terhitung dari filling date. Beberapa penemuan di bidang konstruksi seperti contoh, paten yang ditemukan oleh Dr Tavio M.S, yaitu temuan baru konstruksi bangunan bertingkat. Jika selama ini bangunan bertingkat selalu disertai hadirnya kolom dan balok, maka Tavio membuat temuan tanpa balok. Ia menemukan struktur beton datar atau plat datar, sehingga pengerjaannya lebih mudah dan murah. Penemuan lainnya adalah pondasi cakar ayam, hasil temuan Prof. Dr. Ir. Sedijatmo, yang merupakan salah satu rekayasa keteknikan di bidang pondasi, dimana kostruksi ini terdiri dari plat beton bertulang dengan tebal 10 - 12 cm di dan bagian bawahnya diberi pipa-pipa beton bertulang yang menempel kuat pada plat tersebut. Mirip seperti akar serabut pada tanaman kelapa yang dapat tumbuh tinggi menjulang di pantai berpasir yang daya ikatnya rendah, pile atau pipa-pipa beton mencengkeram ke dalam tanah dan plat betonnya mengikat pile-pile tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang monolit. b. Hak Merek Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat 1, Hak Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga memiliki nilai jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam setiap produk/jasa sejenis yang ditawarkan, maka para costumer 92

tentu dapat memilih produk jasa merek apa yang akan digunakan sesuai dengan kualitas dari masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki beberapa istilah, antara lain :

1) Merek Dagang Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Contoh Merek dagang bidang konstruksi

93

2) Merek Jasa Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Contoh merek jasa di bidang konstruksi :

PT. Waskita Karya

Contoh kasus Merek dagang dibidang konstruksi adalah, pendaftaran Asosiasi Kontraktor Konstruksi Indonesia (ASKINDO) sebagai merek jasa menuai sengketa. Setelah Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menolak pendaftaran, pemohon merek ASKINDO, oleh Budi Setyawan (ketua ASKINDO 2004-2009) dengan alasan nama ASKINDO bukan milik perorangan seharusnya yang mengajukan permohonan pendaftaran merek adalah asosiasi sebagai badan hukum.

94

4.3.5 Latihan Isian 1. Apa yang dimaksud HKI, dan apa saja objek HKI 2. Secara garis besar HKI adalah 3. Berikan contoh HKI yang erat kaitannya dengan bidang konstruksi

4.3.6 Tugas Cari tiga contoh kasus tentang HKI di bidang konstruksi

95

4.4 Rangkuman Penjelasan pasal 15 huruf b UUPM, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, “Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya”. Terdapat dua jalur tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi, yaitu hubungan primer dan hubungan sekunder.Tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi terhadap hubungan primer, misalnya memenuhi janji, memberi pelayanan memuaskan klien, menawarkan barang atau jasa dengan mutu yang baik, memperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarganya, meningkatkan keterampilan dan pendidikan karyawan, memperhatikan hak atas kekayaan intelektual orang lain. Tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi terhadap hubungan sekunder, bertanggung jawab atas operasi dan dampak bisnis konstruksi terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah sosial seperti lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, lingkungan hidup, dan pajak. Tentang tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi dan hubungannya dengan beberapa hak pekerja yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Diantaranya: hak atas upah yang adil, hak untuk berserikat, dah hak atas keselamatan dan kesehatan. Tanggung jawab sosial perusahaan konstruksi terhadap klien, yaitu dengan memberikan perlindungan terhadap mereka sesuai aturan yang berlaku 96

(Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999). Selain itu perusahaan memiliki kewajiban memperhatikan Hak atas Kekayaan Intelektual orang lain sesuai Undang-Undang Nomor 19/2002 tentang Hak Cipta (Pasal 1 ayat 1), Undang-undang Nomor 14/2001 tentang Hak Paten, dan Undang-Undang Nomor 15/2001 tentang Hak Merek.

4.5 Daftar Pustaka

Indotrademark.com, (2010, 12 Maret), Pendaftaran Merek ASKINDO berujung gugatan, diperoleh bulan November 2012, dari http://indotrademark.com/pendafatran merek askindo berujung gugatan Tempo Politik, (2006, 30 November), Dosen ITS Persembahkan Teori Konstruksi Untuk Singapura, Diperoleh bulan 15 Oktober 2012, dari http://www. Tempo.co/read/news/2006/11/30/05888719/Dosen-ITS-Persembahkan-TeoriKonstruksi-Untuk-Singapura. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Hak Merek

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Pasal 1 ayat 1)

97

98

Related Documents

Modul Etika Ts Isbn.docx
November 2019 9
Ts
November 2019 34
Ts
November 2019 44
Ts
June 2020 15
Etika
October 2019 60
Etika
June 2020 42

More Documents from ""