MODUL 9. DAMPAK NEGATIF PESTISIDA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA 9.1. Pendahuluan Pada umumnya pestisida adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap organisme pengganggu sasaran, tetapi juga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap organisme bukan sasaran, manusia serta lingkungan hidup. Di bidang pertanian, penggunaan pestisida telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Pestisida sintetik merupakan sarana yang sangat diperlukan terutama digunakan untuk melindungi tanaman dan hasil tanaman, ternak maupun ikan dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Bahkan oleh sebagian besar petani, beranggapan bahwa pestisida adalah sebagai “dewa penyelamat” yang sangat vital. Sebab dengan bantuan pestisida, petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan OPT. Keyakinan tersebut cenderung memicu pengunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat yang akhirnya petani terjebak dalam “lingkaran setan”. Dampak negatif lain dari pestisida tidak mudah menguap atau daya tahan yang lama (residu). Hal ini akan mempengaruhi kesehatan manusia maupun lingkungan. Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut maka penggunaan pestisida harus dilakukan secara arif dan bijaksana. Oleh karena itu, penggunaannya harus dimanajemen dengan baik untuk menimalisir dampak negatif pestisida. Dalam Modul IX mata kuliah Pestisida dan Teknik Aplikasi ini, mahasiswa akan mempelajari dampak negatif penggunaan pestisida dan upaya penanggulanggannya. Kompetensi khusus : mahasiswa mampu menjelaskan dampak negatif pestisida sintetik dan upaya penanggulangannya.
9.2 Penyajian 9.2.1. Dampak Negatif Pestisida Pestisida merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah manusia memberikan banyak jasa bagi keberhasilan dalam bidang pertanian, pemukiman, kesehatan. Di bidang pertanian penggunaan pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang memungkinkan peningkatan produksi pertanian sehingga pestisida sekan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman hortikultura, pangan, dan perkebunan (Untung 2006). Khusus petani sayuran, kelihatannya sulit melepaskan
diri dari ketergantungan penggunaan pestisida. Bertanam sayuran tanpa pestisida dianggap tidak aman, dan sering kali pestisida dijadikan sebagai garansi keberhasilan berproduksi. Pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi OPT, mudah dan praktis cara penggunaannya, mudah diperoleh, mudah diproduksi secara besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan. Namun, dibalik manfaatnya yang besar terselubung bahaya yang mengerikan yang semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian dampak negatif penggunaan pestisida dapat dikelompokkan atas 3 bagian yaitu pestisida berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia, kualitas lingkungan, dan pestisida meningkatkan perkembangan populasi OPT.
I.
Pengaruh Negatif Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia Pestisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap OPT sasaran tetapi
juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan organism nontarget termasuk tanaman, ternak, dan organisma berguna lainnya. Di Indonesia, jumlah kasus keracunan atau kematian karena pestisida dilaporkan tidak kurang dari 2.705 kecelakaan manusia yang mengakibatkan 236 orang meninggal pada periode 1979-1986 (Mustamin 1988 dalam Laba 2010). Pengaruh negatif pestisida bagi kesehatan manusia dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu bahaya bagi keselamatan pengguna dan konsumen.
A.
Bahaya bagi Keselamatan Pengguna Apabila penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan
kesehatan terutama orang yang sering berhubungan dengan pestisida, maka lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan. Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi pada orang yang langsung melakukan penyemprotan. Gejala keracunan yang dialami adalah pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatalgatal dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Hal tersebut dikarenakan pada saat persiapan dan penyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang,
dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Faktor lain adalah cara penyemprotan sering tidak memperhatikan arah angin sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya, merokok atau makan sementara melakukan penyemprotan. Menggunakan dosis atau konsentrasi yang tidak sesuai anjuran (dosis dan konsentrasi yang digunakan kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman). Setelah selesai penyemprotan, petani biasanya tidak langsung menggantikan pakaian kerja yang digunakan. Bahkan kadang-kadang langsung makan. Selain itu, kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun. Bahaya bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung yang dapat mengakibatkan keracunan akut dan kronis. Keracunan kronis maupun akut dapat terjadi pada pemakai dan pekerja yang berhubungan dengan pestisida, misalnya petani, pengecer pestisida, pekerja pabrik/gudang pestisida, dan sebagainya serta manusia yang tidak bekerja pada pestisida. Keracunan akut terhadap pemakai dan pekerja dapat terjadi karena kontaminasi kulit, inhalasi (pernafasan) dan mulut/ saluran pencernaan. Keracunan tersebut menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, dan apabila mencapai dosis tertentu dapat mengakibatkan kematian (Dirjen Sarana & Prasarana Pertanian. 2011; Djojosumarto 2008). Racun akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh jasad hidup. Racun kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan (air, tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun, karena kuatnya ikatan kimianya. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Keracunan kronik antara lain karsinogenik, teratogenik, onkogenik, mutagenik, kerusakan jantung, ginjal dan lain-lain. Keracunan kronis tidak saja terjadi
pemakai dan pekerja,tetapi juga dapat terjadi pada konsumen yang
mengkonsumsi produk tertentu yang mengandung residu pestisida.
Keracunan pestisida
ditentukan oleh tingkat kontaminasi dan daya racun pestisida yang berbeda antara satu formulasi dengan formulasi lainnya (Dirjen Sarana & Prasarana Pertanian. 2011). Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi pestisida sintesis (Girsang 2009). Contoh lainnya adalah:
Sekitar 28% petani di sekitar Danau Buyan mengalami keracunan pestisida akibat terpapar saat penggunaan pestisida (Maharani 2004 dalam Manuaba 2008 ).
Hasil uji kholinesterase di Kabupaten Magelang pada tahun 2006 di beberapa kecamatan yang selama ini menjadi sentra holtikultura seperti di Kecamatan Ngablak, Pakis, Dukun, Kajoran, Bandongan,Windusari, dan Kaliangkrik dari 550 sampel darah petani yang selama ini menggarap ladang sayuran, didapatkan 99,8% keracunan pestisida. Dari 99,8% petani yang telah keracunan pestisida tersebut, 18,2% termasuk dalam kategori keracunan berat 72,73% kategori sedang, 8,9% kategori ringan,dan hanya 0,1% kategori normal (Afriyanto 2008).
B.
Bahaya bagi Konsumen Dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani
atau orang yang tidak berhubungan dengan pestisida atau konsumen. Bahaya pestisida bagi konsumen melalui residu pestisida yang terdapat dalam produk pertanian. Bahaya tersebut dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau melalui rantai makanan. Bahaya pestisida terhadap konsumen umumnya dalam bentuk keracunan
kronis yang tidak segera terasa tetapi dalam jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan (Djojosumarto 2008). Residu
pestisida
di
dalam
makanan
dan
lingkungan
semakin
menakutkan
manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Contoh: -
Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan tubuh bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental (Girsang 2009).
-
Penggunaan pestisida menimbulkan terjadi resiko kematian janin dua kali lebih besar bagi ibu yang saat kehamilannya berusia 3-8 minggu tinggal dekat areal pertanian dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari daerah pertanian (Erin, et al. 2001 dalam Manuaba 2008).
-
Penggunaan herbisida klorofenoksi (yang mengandung 2,4-D) telah terbukti mengakibatkan resiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang bermukin didekat daerah pertanian (Schreinemachers, 2003 dalam Manuaba 2008).
-
Di Lembang dan Pengalengan tanah disekitar kebun wortel, tomat, kubis dan buncis telah tercemar oleh residu organoklorin yang cukup tinggi. Juga telah tercemar beberapa sungai di Indonesia seperti air sungai Cimanuk dan juga tercemarnya produkproduk hasil pertanian.
Penggunaan pestisida sintetik yang tidak bijaksana mengakibatkan keracunan akut dan kronis. Dampak dari keracunan tersebut menimbulkan penyakit kanker, gangguan urat syaraf, kebutaan, dan kematian. Setiap tahun sekitar satu juta orang keracunan pestisida dan yang meninggal sekitar 20.000 orang (Oka 1995 dalam Laba 2010). Kasus tersebut paling banyak terjadi di Negara berkembang. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran, keterampilan, dan pengetahuan petani, pelaku pertanian, petugas kesehatan, dan masyarakat, serta lemahnya perundang-undangan pestisida.
II.
Pengaruh Negatif Pestisida Terhadap Kualitas Lingkungan Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang
berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun (Girsang 2009). Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai (Sa’id, 1994). Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, aliran air, dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap organisme bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah (Girsang 2009). Bahaya penggunaan pestisida terhadap lingkungan dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu: a.
Bahaya bagi manusia, hewan, serangga berguna atau tumbuhan yang berada di tempat atau disekitar tempat pestisida digunakan, penyederhanaan rantai makanan, penyederhanaan keanekaragaman hayati, bioakumulasi, dll. Contoh
Drif pestisida misalnya dapat diterbangkan angin dan mengenai orang yang kebutulan lewat.
Pestisida dapat meracuni hewan ternak yang masuk ke kebun yang sudah disemprot pestisida.
Keracunan pada ternak maupun hewan peliharaan dapat terjadi secara langsung karena penggunaan pestisida pada ternak dan hewan peliharaan untuk pengendalian
ektoparasit. Secara tidak langsung karena digunakan pestisida untuk keperluan lain, misalnya penggunaan rodentisida untuk mengendalikan tikus sawah, yang karena kelalain petani umpan tersebut dimakan oleh ayam, itik, dan ternak lainnya atau pada penyemprotan pada gulma yang menjadi pakan ternak.
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan keracunan yang berakibat kematian pada satwa liar seperti burung, lebah, serangga penyerbuk dan satwa liar lainnya. Keracunan dapat terjadi secara langsung misalnya akibat penyemprotan pestisida dari udara ataupun pengguna pestisida untuk perlakuan benih yang dimakan oleh burung maupun.
b.
Bagi lingkungan umum Pestisida dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (tanah, udara, dan air) dengan segala akibatnya. Tercemarnya tanah, air, udara dan unsur lingkungan lainnya oleh pestisida, dapat berpengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan pada umumnya terjadi karena penanganan pestisida yang tidak tepat dan sifat fisik kimia pestisidanya. Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplanktonzooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam
tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut (Girsang 2009). Contoh: -
Hasil penelitian Noegrohati (1992) dalam Untung (2006) di beberapa desa di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan terdapat insektisida OK di dalam tanah, di dalam tubuh ikan, dan ayam serta ASI
-
Di India ditemukan bioakumulasi cemaran pestisida pada ikan di Danau Kolleru, Demikian juga diketemukan adanya cemaran pestisida golongan klor organic pada air, sedimen dan ikan di Danau Paranoa Brasilia, dan Danau Taihu Cina (Amarareni dan Pillala, 2001; Buddhadeb, et al., 2001 dalam Manuaba 2008).
-
Danau Tondano Manado ditemukan cemaran pestisida golongan klor organic pada air sebesar 15,68 ppm dan nilai tersebut telah berada diatas nilai ambang batas (ambang diperbolehkan yaitu 0,01 ppm sesuai PP. No. 20 Tahun 1990 ) (Veronica, 2002 dalam Manuaba 2008).
-
Ditemukan residu cemaran pestisida klor organik (DDT dan klorotalonil) dan dari golongan fosfat organik seperti dimetoat, klorpirifos, dan profenofos pada air Danau Buyan (cemaran tersebut masih jauh di bawah nilai ambang batas yang diizinkan) (Manuaba, 2007; 2008).
-
Penggunaan pestisida pada padi sawah atau lingkungan perairan lainnya dapat mengakibatkan kematian pada ikan yang dipelihara di sawah atau di kolam maupun ikan liar. Karacunan ikan dan biota air lainnya tidak senantiasa menyebabkan kelainan pertumbuhan yang mangakibatkan perubahan tingkah laku dan bentuk, yang selanjutnya dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan populasi.
c.
Khusus bagi lingkungan pertanian (agroekosistem). Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.
III. Pestisida Meningkatkan Jasad Pengganggu Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya sering meningkatkan populasi OPT sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi penggunaan pestisida yang tidak bijaksana sebagai akibat dari kurang pengetahuan dan pemahaman tentang sifat dari pestisida sintetik. Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama.
A.
Resistensi Resistensi atau menurunnya kepekaan hama, patogen, dan gulma terhadap pestisida
tertentu
atau munculnya ketahanan OPT terhadap pestisida. Pengertian resistensi serangga
menurut Brown & Pal (1971) dalam Untung (2006) adalah populasi serangga suatu spesies yang biasanya peka terhadap suatu insektisida tertentu kemudian di suatu lokasi menjadi tidak dapat dikendalikan oleh insektisida tersebut. Berkembangnya resistensi berbagai jenis hama, penyakit dan gulma terhadap pestisida pada 50 tahun akhir ini merupakan masalah yang paling serius yang kita hadapi sejak digunakannya secara luas pestisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir Perang Dunia II. Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees) karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Dengan semakin tahannya hama terhadap pestisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan sekaligus meningkatkan dosis atau konsentrasi. Penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama. Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia, terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida sintetik termasuk pengembangan populasi resisten. Selain itu, peningkatan dosis dan frekuensi aplikasi pestisida akan mempercepat suatu OPT untuk menjadi atau mengembangkan resistensi. Ketahanan terhadap pestisida tidak hanya berkembang pada serangga atau binatang arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah banyak kasus timbulnya ketahanan pada patogen
tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida. Contoh kasus resistensi: -
Sejak pertama kali Aspidiatus permiciosus resisten terhadap insektisida pada tahun 1908, tercatat 428 artropoda yang resisten insektisida (Georghiou and Melon 1983 dalam Laba 2010). Pada tahun 1986 dilaporkan serangga yang resisten meningkat menjadi 447 spesies, 60 di antaranya adalah serangga hama pertanian yang resisten terhadap hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat, karbamat, piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt. Pada tahun 1993, serangga hama yang resisten bertambah menjadi 504 jenis (Georghiou 1986 dalam Laba 2010).
-
Pada tahun 1946 dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat (Laba 2010).
-
Resistensi pada penyakit tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940an, namun kasus resistensi penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi fungisida sistemik sekitar tahun 1960an. Sekitar 150 jenis patogen yang sudah resisten terhadap pestisida (Georgiou 1986 dalam Laba 2010).
-
Resistensi gulma terhadap herbisida baru diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini sekitar 270 spesies gulma yang resisten terhadap berbagai kelompok dan jenis herbisida (Georgiou 1986 dalam Untung 2006).
-
Di Indonesia, resistensi hama terhadap insektisida telah diketahui sejak tahun 1953. beberapa jenis-jenis hama yang diketahui resisten terhadap pestisida antara lain hama ulat daun kubis Plutella xylostella, ulat crop Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi kentang Phthorimaea operculella, dan Ulat Grayak Spodoptera litura, wereng coklat Nilaparvata lugens, Nephotettix inticeps, dan ulat penggerek batang padi bergaris Chilo (Laba 2010).
Jenis-Jenis Resistensi dan Faktor-Faktor Berkembangnya Resistensi Jenis resistensi hama terhadap pestisida dapat berupa resistensi tunggal dan resistensi silang. Resistensi tunggal (multiple resistance) adalah ketahanan OPT terhadap satu jenis pestisida. Resistensi silang (cross resistance) adalah ketahanan OPT terhadap beberapa jenis
pestisida. Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada serangga-serangga pertanian, tetapi juga pada semua kelompok serangga termasuk serangga rumah tangga dan kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983 dalam Untung 2006). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.
Mekanisme Resistensi Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 1.
Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2.
Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
3.
Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida (Untung 2006).
Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga. Mekanisme resistensi penyakit terhadap fungisida dan resistensi gulma terhadap herbisida pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme resistensi hama terhadap insektisida.
Strategi Pengelolaan Resistensi Pestisida Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut Georghiou dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu dengan 1) sikap sedang (moderation), 2) penjenuhan ( saturation ) dan 3) serangan ganda ( multiple attack). Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi terhadap hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang lebih jarang. Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun genetik. Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai cara kerja atau mode of action yang berbeda. Adanya refugia merupakan mekanisme untuk menghambat pengembangan sifat resistensi pada populasi karena di refugia merupakan sumber individu imigran yang masih memiliki sifat peka terhadap pestisida (Georgiou dan Taylor, 1986 dalam Untung 2008). Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan frekuensi genotipe resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten terhadap pestisida.
B.
Resurjensi hama Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi
hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurjensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida. Resurjensi hama terjadi karena pestisida sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida, sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga
hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan. Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, ternyata dari penelitian lima tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenis-jenis pestisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama. Hasil ini telah dibuktikan International Rice Research Institute terhadap hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens). Kasus resurjensi di Indonesia muncul sebelum tahun 1980, dan paling banyak terjadi pada hama padi khususnya wereng coklat dan hama kedelai Spodoptera litura F. Insektisida permetrin, dekametrin, isoprokarb, karbaril, dan diazinon dengan dosis sublethal meningkatkan keperidian S. litura (Harnoto et al. 1983 dalam Laba 2010). Residu insektisida fenvalerat menyebabkan S. litura betina hidup lebih lama serta jumlah dan telur yang menetas lebih banyak (Harnoto dan Widodo 1991 dalam Laba 2010). Meningkatnya populasi wereng coklat akibat perlakuan insektisida disebabkan oleh: (1) pengaruh langsung terhadap wereng coklat yaitu meningkatnya jumlah telur; (2) pengaruh tidak langsung yaitu daur hidup nimfa wereng lebih singkat; (3) wereng dewasa dapat hidup lebih lama; (4) menambah aktivitas makan; (5) wereng tertarik untuk meletakkan telur; dan (6) terbunuhnya musuh alami (Laba 2010). Beberapa peneliti juga menyatakan bahwa efek resurjensi dari insektisida yang paling banyak diketahui pada tanaman padi adalah wereng coklat. Beberapa jenis insektisida antara lain Deltametrin dan Fentoat telah menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat (Bhudhasaman et al., 1992, Baco dan Yasin, 1983; Yasin dan Baco, 1996 dalam Saenong 2009). Berdasarkan hal tersebut dan berbagai pertimbangan lainnya maka melalui Inpres No. 3, 1996 sebanyak 57 jenis insektisida dilarang digunakan pada tanaman padi yaitu Agrothion 50 EC (fenitrotion), Azodrin 15 WSC ( monokrotofos), Basazinon 45/30 EC (diazinon + BPMC), Basmiban 20 EC (klorpirifos), Basminon 60 EC (diazinon), Basudin 60 EC ( diazinon), Bayrusil 250 EC (kuinalfos), Bayrusil 5 G (kuinalfos), Basudin 10 G (diazinon), Brantasan 450/300 EC (diazinon + BPMC), Carbavin 85 WP (karbaril), Cytrolane 2 G (mefosfolan), Dharmasan 60 EC (fontoat), Dharmathion 50 EC (fenitrotion), Diazinon 60 EC (diazinon), Dicarbam 85 S (karbaril), Dimaphen 50 EC (fonitotrion), Dimecron 60 SCW (fosfamidon), Dursban 20 EC (klorpirifos), Dursban 15/5 E (klorpirifos + BPMC), Dyfonate 5 G (fonofos), Ekalux 25 EC ( kuinalfos), Ekalux 5 G (kuinalfos), Ekamet 5 G
(etrimfos), Elsan 60 EC (fentoat), Elstar 45/30 EC (fentoat + BPMC), Eumulthion TM (triklorfon+azinfosmetil), Folimat 500 SL (ometoat), Fomadol 50 EC (malation), Gusadrin 150 WSC (monokrotofos), Hostathion 40 EC (triazofos), Karbathion 50 EC (fenitrotion), Lannato 25 WP (metomil), Lebaycid 550 EC (fention), Lirocide 650 EC (fenitrothion), Miral 2 G (isasofos), Monitor 200 LC (metamidofos), Nogos 50 EC (diklorvos), Nuvacron 20 SCW (monokrotofos), Ofunack 40 EC (piridafention), Paden 50 SP (kartap hidroklorida), Pertacide 60 EC (fentoat), Petroban 20 EC (klorpirifos), Phyllodol 50 EC (diklorvos), Reldan 24 EC
(metal
klorpirifos),
Sematron 75 SP (asefat), Sevin 5 D (karbaril), Sevin 5 G ( karbaril), Sevin 85 S (karbaril), Sumibas 75 EC (BPMC + fenitrotion), Sumithion 50 EC (fenitrotion), Sumithion 2D (fenitrotion), Surecide 25 EC (sianofenfos), Tamaron 200 LC (metamidofos), Thiodan 35 EC (endosulfan), Trithion 4 E (karbofenotion), dan Trithion 95 EC (karbofenotion). Kriteria suatu insektisida untuk dapat digunakan harus efektif terhadap hama sasaran dan aman terhadap lingkungan, seperti tidak menimbulkan resurjensi hama bukan sasaran atau tidak mempengaruhi musuh alami. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pengujian lapangan efikasi dan resurjensi wereng coklat, Nilaparvata lugens Stal. dan wereng punggung putih Sogotella furcifera Horvath. oleh insektisida Imidokloprid 350 SC pada tanaman padi.
C.
Ledakan Hama Sekunder Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-
hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder. Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan
menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan hama sundep dan beluk.
D.
Terbunuhnya Musuh Alami Penggunaan pestisida yang berspektrum luas dapat mengakibatkan terjadinya kematian
musuh alami (predator dan parasitoid) organisme pengganggu. Kemungkinan terjadinya hal tersebut cukup besar apabila pestisida tersebut digunakan tidak secara selektif ditinjau dari segi waktu dan cara. Kematian musuh alami dapat terjadi karena kontaminasi langsung maupun tidak langsung melalui organisme pengganggu yang telah terkontaminasi pestisida. E.
Meracuni tanaman bila salah menggunakannya (Fitotoksisitas) Beberapa pestisida seperti insektisida yang langsung digunakan pada tanaman dapat
mengakibatkan kerusakan pada tanaman yang diperlakukan. Penggunaan herbisida yang tidak hati-hati dapat pula mengakibatkan kerusakan pada tanaman yang ditanam pada waktu aplikasi maupun pada tanaman berikutnya yang ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Hal yang disebut terakhir ini, sangat perlu diperhatikan terutama apabila herbisida dipergunakan untuk mengendalikan gulma dari golongan tertentu yang secara taksonomi atau fisiologis mempunyai hubungan yang dekat dengan tanaman yang ditanam berikutnya. Terlebih lagi apabila herbisida yang digunakan relatif dan jarak waktu tanam relatif singkat.
Beberapa dampak negatif lain dari penggunaan pestisida yang tidak bijaksana selain disebutkan di atas antara lain: 1.
Residu Pestisida Khusunya pada tanaman yang Dipanen. Masalah residu pestisida pada hasil pertanian dewasa ini mendapat perhatian yang makin serius bagi kepentingan nasional maupun internasional. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, makin meningkatnya kesadaran individu (konsumen) tentang pengaruh negatif residu pestisida pada hasil pertanian terhadap kesehatan manusia. Kesadaran ini telah muncul di negara-negara maju dan meluas ke negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Konsumen akan memilih hasil pertanian yang aman konsumsi (dalam hal ini yang bebas pestisida) atau kalau mengandung residu pestisida, maka kadarnya masih di bawah batas toleransi. Kedua, makin ketatnya persyaratan keamanan pangan, yang berakibat pada meningkatnya tuntutan terhadap mutu pangan (kualitas produk). Ketiga, terjadinya hambatan perdagangan hasil pertanian terutama dalam ekspor. Residu pestisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia terutama pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.
Namun pada
kenyatannya, belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global. Besarnya residu pestisida yang tertinggal di tanaman tergantung pada dosis, banyaknya dan interval aplikasi, faktor-faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi dekomposisi dan pengurangan residu, jenis tanaman yang diperlakukan, formulasi pestisida dan cara aplikasinya, jenis bahan aktif dan persistensinya serta saat aplikasi terakhir sebelum hasil tanaman dipanen. Pentingnya residu pestisida bagi kesehatan konsumen disamping ditentukan oleh besarnya residu juga ditentukan oleh daya racun baik akut maupun kronik, yang berbeda antara pestisida yang satu dengan yang lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam usaha melindungi kesehatan konsumen perlu ditetapkan tingkat residu yang aman untuk tiap jenis pestisida pada tiap hasil tanaman yang dikonsumsi. Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian, terutama untuk perlindungan tanaman tidak saja mengakibatkan residu
pada tanaman tetapi juga pada unsur lingkungan lainnya. Oleh unsur-unsur lingkungan lainnya terutama air dan angin, residu pestisida yang tertinggal didaerah penggunaannya dapat menyebar ke daerah lain, sehingga tergantung pada besarnya residu maupun jenis pestisida.
2.
Menghambat Perdagangan Ekspor komoditi tertentu dari Indonesia dapat diklaim atau diembargo oleh negara tertentu apabila residu pestisida melebihi Batas Maksimum Residu (BMR) yang ditetapkan Negara pengimpor atau apabila pestisida tersebut dilarang/ tidak beredar di negara pengimpor. Masalah residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri. Tetapi
kurun waktu belakangan ini, seiring dengan
perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri, dengan alasan kandungan residu pestisida yang tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas.
9.2.2 Upaya Penanggulangannya Telah disadari bahwa pada umumnya pestisida merupakan bahan berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Namun demikian, pestisida juga dapat memberikan manfaat, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pembangunan di berbagai sektor, termasuk pertanian. Memperhatikan manfaat dan dampak negatifnya, maka pestisida harus dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan dampak negatif yang sekecil-kecilnya.
Beberapa upaya untuk mengurangi dampak negatif pestisida antara lain: 1.
Selektivitas Pestisida Dalam pengendalian OPT secara kimiawi, sebaiknya dipilih pestisida yang memiliki sifat selektif. Selektivitas pestisida adalah pengaruh maksimum suatu jenis pestisida terhadap organisme sasaran, dengan pengaruh minimum terhadap manusia, hewan, serangga berguna dan kualitas lingkungan hidup. Untung (2006) mengelompokan selektivitas insektisida dalam tiga kelompok yaitu: -
Selektivitas fisiologi Selektivitas fisiologi adalah penggunaan jenis-jenis insektisida yang secara intrinsic hanya mematikan serangga-serangga hama tetapi tidak membahayakan musuh alami dan serangga penyerbuk. Berdasarkan selektivitas fisiologi maka insektisida yang dimaksud adalah insektisida tersebut memiliki selektivitas yang berspektrum lebih sempit dengan serangga hama yang khas. Contoh:
Insektisida Bacillus thuringensis (Bt) dan insektisida biologis lainnya memiliki selektivitas tinggi
Bt umumnya ditujukan untuk mengendalikan hama ordo Lepidoptera
Piridafention dan tetraklorvinpos beracun terhadap wereng hijau Nephottix spp. dan kurang beracun terhadap predator lala-laba serigala Lycosa psedoannulata.
-
Selektivitas ekologi Selektivitas ekologi adalah selektivitas penggunaan pestisida yang berdasarkan pada pengetahuan bioekologi OPT. Dengan pengetahuan sifat biologi dan ekologi hama sasaran maka dapat diketahui waktu dan cara aplikasi pestisida yang tepat dan efesien. Misalnya dengan mempelajari neraca kehidupan, perilaku hama, kisaran inang maka dapat menentukan waktu aplikasi yang tepat. Aplikasi insektisida sebaiknya dilakukan pada bagian yang lemah kehidupan hama. Dalam praktek lapangan selektivitas ekologi perlakuan insektisida dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu: a. Penetapan waktu aplikasi yang tepat b. Perlakuan insektisida secara parsial yaitu penyemprotan hanya dipersemaian, bagian tanaman yang terserang, atau pada tanaman batas.
c. Perlakuan insektisida pada tanaman perangkap d. Perlakuan insektisida pada tanaman inang alternative (harus gulma) e. Perlakuan benih f. Aplikasi pestisida melalui tanah atau air pengarian untuk mengurangi terbunuhnya musuh alami. g. Aplikasi pestisida berdasarkan Ambang Ekonomi h. Penggunaan pestisida sintetik (Untung 2006; Nastain 2011) Dengan demikian, pestisida yang berspektrum lebar dapat digunakan secara selektif (selektivitas ekologi). Namun demikian, dalam kaitan dengan konsepsi PHT, yang diinginkan adalah penggabungan keduanya, yaitu penggunaan pestisida selektif (fisiologi) dan secara ekologi juga selektif. -
Selektivitas insektisida melalui formulasi dan cara aplikasi Tujuan dari selektivitas tersebut adalah menentukan dan memilih formulasi insektisida dan teknik aplikasi yang tepat sehingg efektif untuk mengendalikan hama sasaran dan kurang membahayakan keberadaan dan fungsi musuh alami. Contoh:
Penggunaan formulasi insektisida butiran dengan insektisida sistemik diharapkan efektif untuk mengendalikan hama penggerek tanaman dan membatasi pengaruh terhadap musuh alami
Penggunaan formulasi ULV (Ultra Low Volume) yang tepat dapat membatasi drift insektisida sehingga dapat mengurangi resiko pecemaran dan membatasi terbunuhnya musuh alami.
Cara aplikasi yang kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan kematian organism bukan sasaran.
2.
Penggunaan pestisida secara legal, benar, dan bijaksana Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida yaitu: -
Penggunaannya secara legal yaitu penggunaan pestisida pertanian yang tidak bertentangan dengan semua peraturan yang berlaku di Indonesia.
-
Penggunaan secara benar yaitu penggunaan sesuai dengan dengan metode aplikasinya sehingga yang diaplikasikan mampu menampilkan efikasi biologis yang optimal.
Dengan kata lain penggunaan pestisida harus efektif dan mampu mengendalikan OPT sasaran. Efikasi biologis adalah keampuhan pestisida dalam mengendalikan OPT sasaran seperti yang dinyatakan dalam label atau petunjuk penggunaannya. -
Penggunaan pestisida secara bijaksana yang meliputi tiga hal yaitu (1) penggunaan pestisida yang mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan resiko untuk menjamin keselamatan pengguna, konsumen, dan lingkungan; (2) penggunaan pestisida sejalan dengan prinsip-prinsip PHT; dan (3) penggunaan pestisida yang bijaksana juga berarti penggunaan pestisida yang ekonomis dan efesien. Pada kenyataannya, aplikasi pestisida di lapangan tidak memenuhi ketiga prinsip
tersebut. Hal ini dikarenakan kurang pengetahuan dan informasi dari pengguna. Oleh karena itu, tiga prinsip penggunaan pestisida sintetik tersebut seyogyanya disosialisasi kepada petani dan pelaku bisnis pertanian, petugas kesehatan, petugas karantina hewan dan tumbuhan, dan masyarakat umum.
3.
Berdasarkan Peraturan Tentang Penggunaan Pestisida Di Indonesia Pada dasarnya pestisida merupakan bahan beracun bagi manusia, hewan, tumbuhan,dan lingkungan hidup. Oleh karena itu penggunaannya perlu diatur dan dibatasi oleh perundang-undangan. Pengaturan dilakukan sejak pestisida diproduksi, pendaftaran dan perizinan serta penggunaan di lapangan, sampai pengawasan terhadap kandungan residu pada makanan dan lingkungan hidup (Untung 2006). Landasan hukum yang mengatur tentang penggunaan pestisida di Indonesia lebih banyak di bahas pada Modul II.
4.
Penggunaan Pestisida Berdasarkan Konsepsi PHT Pengendalian
hama
terpadu
(PHT)
merupakan
sistem
pengendalian
dengan
mengkombinasikan berbagai cara pengendalian yang dapat diterapkan menjadi satu kesatuan program yang serasi agar populasi hama tetap selalu ada dalam keadaan yang tidak menimbulkan kerugian ekonomi dan aman bagi lingkungan. PHT pada prinsipnya menekankan penggunaan pestisida secara bijaksana, artinya penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi hama sudah mencapai ambang ekonomi, aplikasinya tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, serta penggunaan pestisida merupakan pilihan terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya telah dicoba dan tidak menampakkan hasil yang memuaskan. Selain itu,
penggunaannya harus berhati-hati dan sekecil mungkin gangguannya terhadap lingkungan. Dengan demikian keberadaan pestisida dalam konsep PHT digunakan jika memang benar-benar diperlukan (sesuai dengan hasil pengamatan egroekosistem). Secara umum, penggunaan pestisida harus mengikuti 5 kaidah yaitu tepat sasaran, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, tepat cara penggunaan.
9.3 Penutupan 9.3.1 Rangkuman Pestisida termasuk salah satu input dalam proses produksi namun penggunaan yang tidak bijaksana akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak negatif tersebut adalah dapat membahayakan kesehatan manusia, mematikan organimse bukan sasaran, menurunkan kualitas lingkungan, meningkatkan populasi OPT (terjadi resistensi dan resurjensi), mematikan musuh alami, meninggalkan residu pada, dan menghambat perdagangan. Beberapa upaya yang dilakukan untuk menimalisir dampak negatif pestisida adalah 1) selektivitas pestisida; 2) penggunaan pestisida yang legal, benar, dan bijaksana; 3) berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang pestisida di Indonesia, dan 4) penggunaan pestisida berdasarkan konsep PHT.
9.3.2 Tes Formatif/Latihan Kunci Jawaban Tes Formatif/Latihan
DAFTAR PUSTAKA Afriyanto. 2008. Kajian Keracunan Pestisida Pada Petani Penyemprot Cabe Di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.[tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Manuaba, PIB. 2007. Cemaran Pestisida Klor-Organik pada Air Danau Buyan Buleleng Bali, Jurnal Kimia (Journal of Chemistry), 1 (2) : 39-46 Nastain N. 2011. Mengenal Pestisida. http://agrowangi.blogspot.com/2011/05/mengenalpestisida.html. Di akses 10 November 2011 Manuaba, PIB. 2008. Cemaran Pestisida Fosfat-Organik Di Air Danau Buyan Buleleng Bali, Jurnal Kimia (Journal of Chemistry), 2 (1) : 7-14
Saenong MS. 2009. Fenomena Resurjensi Pada Penggunaan Insektisida Imidokloprid 350sc Pada Hama Wereng Coklat. Prosiding Seminar Nasional Serealia. Hal 383 -394 Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (edisi kedua). Gadjah Mada University Press. Laba IW. 2010. Analisis Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010: 120-137