Misorientasi Gelar Akademik

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Misorientasi Gelar Akademik as PDF for free.

More details

  • Words: 1,250
  • Pages: 6
Misorientasi Gelar Akademis Oleh: Agus Saputera

Gelar akademik atau gelar akademis adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan formal dalam bidang studi tertentu dari suatu perguruan tinggi baik berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan sebagainya. Gelar akademik di Indonesia terdiri dari sarjana (strata 1), magister (strata 2), dan doktor (strata 3), serta ditambah dengan gelar profesi ahli madya (diploma). Tradisi pemberian ijazah dan pemakaian gelar akademis dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bukanlah peristiwa baru, tetapi telah ada sejak berpuluh-puluh tahun bahkan berabad-abad silam. Tentunya semua itu tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan filosofis dibalik berlangsungnya tradisi tersebut sampai saat ini. Sejarah pemberian gelar akademis salah satunya dapat ditelusuri dari benua Eropa yaitu di Bologna dan Paris pada abad ke-12. Ketika itu guru-guru dan murid-murid membuat asosiasi yang disebut gilda. Di Bologna mereka menamakan diri universitas, yang berarti suatu keseluruhan. Pada abad ke-13, Bologna menjadi pusat kajian hukum sipil dan hukum gereja. Gurunya disebut doktor (dari kata doctorem yang artinya guru). Sedangkan di Paris gurunya disebut magister (yang juga berarti guru). Sebutan doktor dan magister dianugerahkan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan kajiannya, telah melaksanakan ujian dan diterima secara resmi sebagai anggota gilda di universitas tersebut. Pekerjaannya adalah mengajar di universitas. Dalam Islam juga terdapat tradisi yang hampir sama, yaitu pengakuan atau pemberian (syahadah/ijazah) dari seorang guru, ustadz, ulama, kyai, buya, dan sebagainya kepada murid-muridnya - karena mereka sudah menyelesaikan pendidikan atau suatu pelajaran, atas

1

keahlian khusus, ataupun karena menamatkan kitab tertentu setelah belajar selama jangka waktu yang ditetapkan. Namun kini, sayangnya aspek historis dan filosofis dari pemberian ijazah dan penggunaan gelar akademis menjadi terlupakan (atau sengaja dihilangkan). Orang lebih mementingkan bagaimana mendapatkan ijazah dan meraih gelar secepat-cepatnya, semudahmudahnya, dengan biaya semurah-murahnya - dengan harapan akan memudahkan mendapat pekerjaan, memuluskan usaha atau bisnis, melancarkan urusan, dan meningkatkan karir. Nyatalah, bahwa orientasi pemakaian gelar semakin tidak jelas dan tidak terarah. Ini ditandai dengan semakin meningkatnya kuantitas orang bergelar akademis, tetapi ternyata tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Feodalisme gaya baru Gelar

akademis

yang

seharusnya

menunjukkan

potensi,

kompetensi,

dan

menghasilkan prestasi sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, kenyataannya tak lebih sebagai alat/sarana untuk meraih prestise. Hal ini menunjukkan bahwa budaya feodalisme masih melekat dalam diri rakyat Indonesia. Meskipun masa kejayaan kerajaan dan kesultanan berikut tradisi gelar kebangsawanannya sudah lama berakhir di Indonesia, namun feodalisme lain masih wujud dalam bentuknya yang baru, bahkan cenderung semakin berkembang, yaitu apa yang disebut neo-feodalisme gelar akademis. Praktek penyalahgunaan penggunaan gelar akademis yang bisa dianggap sebagai neofeodalisme tersebut adalah sangat kentara terlihat dalam berbagai bidang baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan pemerintahan. Dalam kampanye politik misalnya, para caleg hampir tak pernah lupa mencantumkan gelarnya, meskipun kadangkala palsu dan tidak ada kaitan langsung dengan kemampuan menjalankan tugas apabila menjadi anggota dewan. Kasus pemalsuan ijazah sudah menjadi hal biasa ditemukan terhadapa calon ataupun sudah menjadi anggota dewan maupun kepala daerah. Para artis, pejabat, termasuk pejabat tinggi

2

negara, bahkan dulu pernah ada seorang pimpinan tertinggi universitas tanpa rasa malu memamerkan titelnya yang mentereng di hadapan khalayak ramai, tetapi ternyata ijazah berikut gelarnya adalah palsu - karena diberikan oleh suatu lembaga di luar negeri yang tidak berwewenang dalam mengeluarkan ijazah. Hal ini diperparah dengan pemikiran yang menilai keberhasilan sebagai sesuatu yang tampak. Kehebatan dan kesuksesan selalu dihubungkan dengan keberhasilan yang sifatnya bisa dilihat. Misalnya kekayaan atau gelar yang banyak, walaupun didapatkan secara tidak sah. Jarang sekali, petuah-petuah hidup di zaman ini yang mengajarkan tentang kesuksesan yang berhubungan dengan nilai-nilai spititual, misalnya orang yang sukses adalah orang mampu memelihara kejujuran dan keikhlasan, selalu bertindak adil dan benar, dan sebagainya. Maka tak heran, semua kita berlomba memakai formulasi sukses yang dicitrakan oleh dunia barat (modern). Gelar akademis adalah salah satunya. Iapun dikejar, walaupun mendapatkannya dengan jalan pintas yang ilegal. Gelar merupakan konsekuensi logis dari sebuah kualifikasi keilmuan dan keahlian yang didapat. Seseorang pun layak dihargai sesuai dengan kemampuan dan kelimuan yang dimiliki. Tetapi, jika dipakai secara salah, apalagi didapatkan secara ilegal, tentu merupakan masalah. Jika kita menggunakan sedikit perbandingan, di negara-negara maju, gelar-gelar akademis hanya digunakan di lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian serta kegiatankegiatan yang berhubungan dengan keduanya. Maka, sesungguhnya tempat yang paling layak menggunakan gelar akademis adalah di dunia pendidikan, bukan untuk dipamerkan, dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Gelar akademis sejatinya adalah sebuah bentuk penghargaan bagi seseorang atas “jerih payah” menyelesaikan pendidikannya di tingkat tertentu dengan menempuh masa belajar yang tidak singkat. Belajar adalah proses mendapatkan ilmu dengan sungguhsungguh, berkorban material, tenaga dan waktu, bahkan jiwa. Itulah sebabnya menuntut ilmu

3

dinilai sebagai suatu ibadah (jihad fi sabilillah). Tetapi kini, belajar tidak identik lagi dengan konsep menuntut ilmu dalam Islam. Paradigma belajar atau kuliah kini, adalah untuk mendapatkan secarik kertas ijazah, meraih gelar, dan ujungnya mendapatkan pekerjaan. Bagi para pegawai atau karyawan, kuliah/ijazah/gelar akademis adalah sebuah shortcut untuk menuju karir yang lebih baik. Esensi bukan eksistensi Pergeseran paradigma dalam memaknai suatu gelar akademis ini juga dipengaruhi oleh besarnya kemungkinan gelar dijadikan sebagai jalan pintas kesuksesan atau alat untuk menunjukkan eksistensi. Akibatnya, eksistensi seringkali menutupi esensi. Esensi nilai sebuah kesarjanaan/kemasteran/kedoktoran dan kualifikasi apa yang disyaratkan oleh gelar tersebut dikalahkan atau kalah mentereng dengan kebanggaan menggunakan gelar-gelar itu. Ketika gelar sarjana sudah menjadi barang umum, dicarilah gelar akademis yang lebih tinggi seperti magister/master dan doktor. Tetapi, gelar saja tanpa kemampuan hanyalah omong kosong. Seyogyanya sebuah gelar menunjukkan kwalitas, kapasitas, dan nilai lebih yang dimiliki seseorang. Dan yang paling penting lagi adalah tanggung jawab ilmiah dan moral serta kontribusi yang diberikan bagi orang lain sebagai konsekwensi kepemilikan gelar. Kalau tidak, gelar akademis justru akan memperlihatkan kelemahan dan kebodohan pemiliknya. Ada contoh yang layak diajukan, yakni Andi Hakim Nasution, tokoh pertanian utama di Indonesia yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor. Semasa hidupnya, sejak mendapatkan gelar insinyur dari IPB sampai kemudian mendapatkan gelar doktor dari universitas terkemuka di Amerika Serikat dan kemudian menjadi Rektor IPB, beliau tidak pernah mencantumkan gelar-gelar akademis yang dimilikinya. Ketika ditanya kenapa, alasannya sungguh sangat sederhana, tapi berwibawa. Ia ingin diketahui sebagai ahli

4

pertanian bukan dari gelar yang disandangnya, tetapi dari kontribusinya terhadap dunia pertanian di Indonesia. Ironisnya, masyarakat kita juga secara tidak sadar terbawa arus yang salah dalam memandang gelar kesarjanaan. Gelar yang seharusnya menjadi prestasi, cenderung bergeser ke wilayah prestise tanpa isi. Alhasil, gelar yang dimiliki seseorang seringkali menipu. Kemampuan yang dimiliki tidaklah semegah gelar yang disandang. Apalagi jika gelar yang dimiliki adalah gelar yang diperoleh secara “tidak wajar”. Kepakaran tidak identik dengan gelar. Gelar bisa menjadi jalan menuju keahlian di suatu bidang walaupun itu bukan jaminan. Artinya, tanpa sekolah formal pun orang bisa menjadi pakar di bidang yang ditekuninya. Alangkah baiknya dan sudah seharusnya kalau gelar didukung dan dibuktikan dengan kepakaran. Tetapi, mengapa gelar-gelar akademis, baik yang legal maupun yang ilegal menjamur? Hal ini tidak lepas dari adanya fundamental budaya yang mendukung perkembangan hal tersebut, yakni feodalisme. Dulu kita butuh gelar keningratan untuk menunjukkan eksistensi dan mendapatkan derajat mulia di masyarakat. Struktur pemikiran seperti inipun belum sepenuhnya hilang dari memori kolektif bangsa kita. Akar permasalahan lainnya adalah komersialisasi pendidikan. Meningkatnya kebutuhan akan angkatan kerja, membuat dunia pendidikan seakan-akan menjadi industri baru. Hal ini kemudian menggiring kemunduran orientasi dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan hanya menjadi industri sumber daya manusia yang digerakkan oleh dunia kerja. Pendidikan hanyalah respon. Lulusan pun hanya disiapkan menjadi robot industrialisasi. Alhasil, komersialisasi pendidikan menjadikan perguruan tinggi kita hanyalah sebagai tokotoko penjaja gelar sarjana. Sedangkan kualitas adalah urusan belakangan. Ambisi untuk mengejar prestise kadangkala mengabaikan prestasi. Dengan memanfaatkan kelemahan

5

sistem yang ada, banyak diantara kita yang dengan mudah mendapatkan prestise yaitu gelar akademik yang tidak mencerminkan adanya prestasi yang baik.

6

Related Documents