BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima
diusianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari 2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) (1) Kejadian stunting pada balita merupakan salah satu permasalahan gizi secara global. Berdasarkan data UNICEF 2017 menunjukkan prevalensi kejadian stunting di dunia mencapai 22% atau sekitar 150,8 juta anak usia dibawah usia 5 tahun. Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013 menemukan 37,2% mengalami stunting dan pada tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 30,8 %.Provinsi jambi menyumbang angka anak dengan stunting sebesar 37,2 % dari angka nasional pada tahun 2013, sedangkan pada tahun 2018, provinsi menyumbang angka nasional sebesar 30 %. (2,3) Wilayah provinsi Jambi, kabupaten Kerinci merupakan wilayah dengan prevalensi anak stunting tertinggi. Sekitar 55,26% atau 9846 balita dari total 236 ribu penduduk jiwa kabupaten Kerinci menderita stunting sehingga wilayah ini ditetapkan dalam 100 kabupaten/kota prioritas intervensi stunting pada tahun 2017. Sementara itu, kabupaten Batanghari memiliki persentase sekitar 28,1% balita yang menderita stunting pada tahun 2017. Artinya, kasus stunting di Batanghari diatas standard nasional.(4,5) Banyak faktor risiko yang dapat memengaruhi kondisi stunting pada anak seperti kondisi gizi ibu hamil baik keadaan kesehatan dan perkembangan janin, kondisi panjang dan berat badan lahir anak, asupan ASI eksklusif, status sosial
1
ekonomi keluarga (pendapatan, pendidikan orangtua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga). Pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehtana yang tidak tepat sering tidak disadari saat kondidi hamil. Hal ini akan berdampak pada stunting. Seribu awal kehidupan memegang peranan penting terhadap kondisi gizi anak. Periode ini merupakan jangka waktu yang snsitif karena dampak nya bagi bayi akan bersifat permanen. Periode ini mencakup masa kandungan, tahun pertama kelahiran, dan tahun kedua kelahiran.Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami IUGR sehingga bayi berisiko mengalami
kurang
gizi
dan
mengalami
gangguan
pertumbuhan
dan
perkembangan. Stunting pada anak sangat perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, dan status kesehatan pada anak. Stunting juga berhubungan dengan peningkatan kerentanan anak terhadap penyakit baik penyakit menular (PM) maupun penyakit tidak menular (PTM) serta peningkatan risiko overweight dan obesitas. (1,6) Puskesmas Muara Bulian merupakan satu-satunya Puskesmas yang berada di kecamatan Muara Bulian. Wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian masih menghadapi berbagai masalah terkait kesehatan anak salah satunya stunting. Pada tahun 2019 Puskesmas Muara Bulian bersama dinas Kesehatan Batanghari berinisiatif dalam melakukan intervensi penurunan angka stunting, Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
1.2 Rumusan masalah 1. Apa jenis penyakit infeksi yang diderita anak yang mengalami stunting usia 12 -60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian? 2. Bagaimana status imunisasi dasar anak yang mengalami stunting usia 12 - 60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian? 3. Bagaiamana gambaran pendidikan orang tua anak yang mengalami stunting usia 12-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian? 4. Berapa jumlah pendapatan orang tua anak yang mengalami stunting usia 12 60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian? 5. Bagaimana pola asuh anak yang mengalami stunting usia 12 - 60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian?
2
6. Bagaimana pola asuh makan anak yang mengalami stunting usia 12 - 60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian? 1.3
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 12-60 bulan di wilayah kerja Puskemas Muara Bulian. 2. Tujuan Khusus 1. Mendeskripsikan penyakit infeksi yang diderita anak yang mengalami stunting usia 12-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 2. Mendeskripsikan status imunisasi dasar anak yang mengalami stunting usia 1260 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 3. Mendeskripsikan pendidikan orang tua anak yang mengalami stunting usia 1260 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 4. Mendeskripsilan jumlah pendapatan orang tua anak yang mengalami stunting usia 12-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 5. Mendeskripsikan pola asuh anak yang mengalami stunting usia 12-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 6. Mendeskripsikan pola asuh makan anak yang mengalami stunting usia 12-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dan pembaca mengenai pola asuh yang dapat menyebabkan stunting pada anak. 2. Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dan pembaca mengenai pola makan anak yang dapat menyebabkan stunting pada anak. 3. Dapat menjadi acuan untuk melakukan intervensi lebih lanjut pada anak yang mengalami stunting pada wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 4. Sumber referensi yang dapat digunakan untuk penelitian berikutnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Balita pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted).(1,7) 2.2 Epidemiologi Kejadian stunting pada balita merupakan salah satu permasalahan gizi secara global. Berdasarkan data UNICEF 2017 menunjukkan prevalensi kejadian stunting di dunia mencapai 22% atau sekitar 150,8 juta anak usia dibawah usia 5 tahun. Target global adalah menurunkan sebanyak 40% pada tahun 2025. Kejadian stunting pada balita lebih banyak terjadi di negara berkembang. Penurunan angka stunting atau postur tubuh pendek menjadi target internasional 2025 dan menjadi salah satu output bidang kesehatan dari Sustainable Developmet Goals
(SDGs),
yang
merupakan
program
kelanjutan
dari
Millennium
Development Goals (MDGs). (2,8) Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013 adalah sebesar 37,2%, kemudian jika dibandingkan dengan persentase tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%), prevalensi tersebut mengalami peningkatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2017 menemukan 30,8% mengalami stunting. Walaupun prevalensi stunting menurun dari angka 37,2% pada tahun 2013, namun angka stunting tetap tinggi dan masih ada 2 (dua) provinsi dengan prevalensi di atas 40%. Empat provinsi di Pulau Sumatera memiliki angka kejadian stunting pada balita tinggi yaitu Provinsi Aceh (39.0%), Sumatera Utara (42.3%), Sumatera Selatan (40.4%), dan Lampung (36.2%). Angka prevalensi tersebut dapat dinyatakan tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi kejadian rata-rata stunting pada balita secara nasional yaitu 35.6%. (2,8)
4
2.3 Faktor Resiko 2.3.1 Anak A. Penyakit Infeksi Salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan stunting adalah kejadian infeksi seperti diare, infeksi cacing, tuberkulosis paru dan infeksi saluran nafas. Sejalan dengan kerangka konsep UNICEF salah satu faktor penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah penyakit infeksi. Anak-anak merupakan subjek yang rentan terhadap penyakit infeksi karena secara alami kekebalan anak tergolong rendah. Dengan adanya penyakit infeksi maka kondisi kesehatan anak menurun sehingga berdampak pada nafsu makan dan akan mengurangi jumlah asupan makanannya, sehingga kurangnya zat gizi yang masuk kedalam tubuh. Dampak lain dari infeksi adalah muntah-muntah dan diare yang menyebabkan kurangannya zat gizi dan cairan dalam tubuh. Penelitian di Tasikmalaya melaporkan bahwa anak dengan gizi kurang memiliki riwayat penyakit infeksi, seperti diare berulang, ISPA berulang, dan tuberkolusis. Anak yang mendapat makan cukup tetapi sering terserang penyakit infeksi juga dapat menderita kekurangan energi protein (KEP) serta terdapat hubungan antara riwayat diare dengan status gizi anak balita. Gizi kurang dapat menghambat reaksi imunologis terhadap infeksi penyakit tertentu seperti diare. Infeksi berat juga membuat tubuh anak kehilangan energi serta kurangnya cairan tubuh akibat muntah dan diare.(9,10) Penelitian di Peru melaporkan bahwa kejadian diare dapat menyebabkan efek jangka panjang berupa defisit pertumbuhan tinggi badan. Diare dan muntah dapat menyebabkan anak kehilangan cairan serta sejumlah zat gizi. Seorang anak yang mengalami diare akan terjadi malabsorbsi zat gizi dan hilangnya zat gizi dan bila tidak segera ditindak lanjuti dan diimbangi dengan asupan yang sesuai makan terjadi gagal tumbuh. Diare yang terjadi dalam periode yang panjang pada saat balita berusia dua tahun pertama kehidupan dapat berpengaruh terhadap terjadinya retardasi pertumbuhan. Jumlah kejadian diare berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2015 adalah sebanyak 5.405.235 dan kasus yang ditangani adalah 74% dari total kasus. (6,8,10)
5
B. Berat Badan dan Panjang Badan Lahir Berat badan lahir rendah banyak dihubungkan dengan tinggi badan yang kurang atau stunting pada BALITA. Ukuran bayi ketika lahir berhubungan dengan pertumbuhan anak. Anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah menunjukkan adanya retardasi pertumbuhan selama masa kehamilan baik akut maupun kronis. Sebagian besar bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki kemungkinan mengalami gangguan pertumbuhan pada masa anak-anak karena lebih rentan terhadap penyakit diare dan penyakit infeksi. Efek berat badan lahir rendah terhadap stunting terbesar pada usia 6 bulan awal, kemudian menurun hingga usia 2 tahun. Bila pada 6 bulan awal, balita dapat melakukan kejar tumbuh maka ada kemungkinan balita dapat tumbuh dengan tinggi badan normal. Pertumbuhan setelah usia 6 bulan lebih dipengaruhi oleh pola makan dan pola asuh ibu yang baik dalam pemberian ASI ekslusif, MP ASI maupun perawatan kesehatan. (6,10) Balita dengan berat lahir <2500 gram memiliki resiko menjadi stunting 5,6 kali dibandingkan dengan balita berat badan lahir >2500 gram. Di negara berkembang, bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin yang terjadi karena buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju. Bayi berat lahir rendah yang diiringi dengan konsumsi makanan yang tidak adekuat, pelayanan kesehatan yang tidak layak, dan sering terjadi infeksi pada anak selama masa pertumbuhan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan menghasilkan anak yang stunting. (6,11) C. Imunisasi Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas anak akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit tersebut antara lain: TBC, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, hepatitis B. Penelitian yang dilakukan oleh Neldawati (2006)
menunjukkan bahwa status imunisasi menjadi underlying
factor dalam kejadian stunting pada anak <5 tahun. Penelitian lain menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada anak usia <5 tahun. (10,11)
6
2.3.2 A.
Orang Tua Genetik Tinggi badan orang tua berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang
pendek merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain. (11) B.
Ekonomi Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan
terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek. Menurut Bishwakarma (2011), keluarga dengan status ekonomi baik akan dapat memeroleh pelayanan umum yang lebih baik seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, akses jalan, dan lainnya sehingga dapat memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya beli keluarga akan semakin meningkat sehingga akses keluarga terhadap pangan akan menjadi lebih baik. (12) Pendapatan keluarga berkaitan dengan kemuampuan rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup baik primer, sekunder, maupun tersier. Pendapatan keluarga yang tinggi memudahkan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sebaliknya pendapatan keluarga yang rendah lebih memalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan yang rendah akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga. Makanan yang di dapat biasanya akan kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak sumber protein, vitamin, dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi. Keterbatasan tersebut akan meningkatkan risiko seorang balita mengalami stunting. Rendahnya tingkat pendapatan dan lemahnya daya beli memungkinkan unntuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif tertutama untuk anak-anak mereka. (13)
7
C.
Tingkat Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seorang ibu
dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan. Pendidikan diperlukan agar seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat sesegera mungkin. (12) Ibu dengan pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan anak serta mampu menjaga dan merawat lingkungannya agar tetap bersih. Orang tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi dapat melakukan perawatan anak dengan lebih baik daripada orang tuadengan pendidikan rendah. Orang tua dengan pendidikan yang lebih rendah lebih banyak berasal dari keluarga yang sosial ekonominya rendah sehingga diharapkan pemerintah meningkatkan akses pendidikan untuk keluarga dengan sosial ekonomi yang kurang. (12) D.
Pengetahuan Ibu Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya
peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Ketidaktahuan mengenai informasi tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan keluarga khususnya makanan yang dikonsumsi balita. Salah satu penyebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan
gizi
dan
kemampuan
seseorang
menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan gizi ibu memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan makanan, yang lebih lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya. (13) E.
Pola Asuh Makan Faktor pola asuh makan balita yang terkait dengan kebiasaan makan,
kesehatan dan gizi balita di antaranya sebagai berikut: Asupan zat gizi dari makanan untuk ibu hamil yang kurang mengandung protein dan zat gizi lainnya dapat berakibat pada status gizi ibu hamil terutama bila ibu mengalami kesulitan makan karena perubahan metabolisme tubuh, sehingga ibu merasa mual dan muntah-muntah yang mengakibatkan terjadinya penurunan nafsu makan. Kondisi
8
tersebut
menyebabkan asupan zat gizi yang diperlukan pada saat kehamilan
berkurang di mana berpengaruh pada gizi bayi yang dikandungnya. Pemberian minuman dan makanan selain ASI Sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan (bukan ASI eksklusif), menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi yang dapat mengakibatkan bayi sakit perut dan diare atau mencret. Jika bayi sakit, akan kurang mendapat asupan makanan yang bergizi, beragam dan bervariasi sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan balita menjadi kurang gizi. (13) Sebagian ibu memberikan susu formula, air madu atau tajin kepada bayi baru lahir. Hal ini dilakukan baik oleh ibu yang sudah memproduksi ASI, maupun yang belum. ASI pada umumnya diberikan sehari sampai seminggu setelah bayi lahir. Kebiasaan ini mengakibatkan bayi kekurangan asupan makanan bergizi yang dibutuhkan sesuai dengan umur bayi. Selain ASI, jenis makanan yang diberikan pada anak usia 0-6 bulan meliputi madu, air tajin, susu formula, biskuit bayi, pisang yang dilembutkan, bubur susu, makanan lunak/lembik, nasi, sayur, ikan, telur, dan daging sapi. Makanan ringan juga diberikan seperti jajanan dan camilan, dengan alasan agar anak mau makan sehingga tidak menangis. Kebiasaan ini menyebabkan ibu tidak dapat melakukan inisiasi menyusu dini dan memberikan ASI ekslusif pada bayi. (13) Hasil penelitian Kusumaningsih (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi pada bayi usia 6–12 bulan. Sebagian besar bayi yang diberi makanapendamping ASI (MP-ASI) sesuai dengan umur, jenis, dan jumlah pemberiannya maka bayi tersebut berstatus gizi baik. (13) Dalam pemberian makanan bayi dan anak perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya. Adanya kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, antara lain : pemberian makanan yang terlalu dini atau terlambat, makanan yang diberikan tidak cukup dan frekuensi yang kurang. (14) F.
Pola Asuh Anak Pengasuhan yang kurang memadai seperti pemberian makan yang kurang
tepat sejak bayi hingga balita menyebabkan balita lebih sering menderita sakit, akibat terganggunya pencernaan karena usus bayi yang masih rentan. Kondisi
9
sakit yang terlalu lama mengakibatkan berat badan balita cepat turun dan memudahkan balita menjadi kurang gizi. (13) Pada individu (ibu batita), karena ibu sebagai pembina pertama dan utama terhadap pendidikan dan kesehatan anak, dan pengelola atau penyelenggara makanan dalam keluarga, memiliki peranan yang besar dalam peningkatan status gizi anggota keluarga. Model pengendalian faktor risiko melalui peningkatan pemeliharaan sanitiasi lingkungan yang baik, praktik perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) untuk keluarga dan higiene personal khususnya untuk anak dalam upaya untuk menurunkan dan mencegah penyakit infeksi yang sering diderita anak. Adapun yang termasuk komponen PHBS dalam rumah tangga meliputi pemberian ASI ekslusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan dan sebagiannya. (15) 2.4
Diagnosis Anak balita dengan kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual serta mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Status gizi merupakan indikator kesehatan yang penting bagi balita karena anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi yang dampak fisiknya diukur secara antropometri dan dikategorikan berdasarkan standar bakuWHO dengan indeks BB/U (Berat Badan/Umur), TB/U
(Tinggi
Badan/Umur) dan BB/TB (Berat Badan/Tinggi Badan). (16) Salah satu indikator status gizi adalah balita dengan keadaan tinggi badan menurut umur (TB/U) sangat
pendek hingga melampaui defisit dua standar
deviasi (SD) berdasarkan pengukuran antropometriyang dikenal dengan istilah stunting. Stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh merupakan salah satu bentuk kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan menurut usia dibawah
standar
deviasi
(<
-2SD)
Organization(WHO)2005. (17)
10
dengan
referensi
World
Health
Gambar 2.1. Anak laki-laki usia 1 tahun 6 bulan dengan tinggi badan 75 cm dengan status gizi <-2 SD
Gambar 2.2 Anak perempuan usia 1 tahun 3 bulan dengan tinggi badan 70 cm dengan status gizi <-2 SD
2.5
Tatalaksana Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan dinegara-negara
berkembang berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Upaya tersebut dijabarkan sebagai berikut(2): a. Zero Hunger Strategy Stategi yang mengkoordinasikan program dari sebelas kementerian yang berfokus pada yang termiskin dari kelompok miskin
11
b. Dewan Nasional Pangandan Keamanan Gizi Memonitor strategi untuk memperkuat pertanian keluarga,dapur umum dan strategi untuk meningkatkan
makanan sekolah dan promosi kebiasaan
makanan sehat c. Bolsa Familia Program Menyediakan transfer tunai bersyarat untuk 11 juta
keluarga
miskin.
Tujuannya adalah untuk memecahkan siklus kemiskinan antargenerasi d. Sitem Surveilans Pangandan Gizi Pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi dan yang determinan. e. Strategi Kesehatan Keluarga Menyediakan
perawatan
kesehatan
yang
berkualitas
melalui
strategi
perawatan primer. Upaya penanggulangan
stunting menurut
Lancet pada Asia Pasific
Regional Workshop diantaranya(18): a. Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan) b. Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (umur 6 bulan-2 tahun) c. Intervensi mikro nutrien melalui fortifikasi dan pemberian suplemen. d. Iodisasigaram secaraumum. e. Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah f. Intervensi tentangkebersihan dan sanitasi Di Indonesia upaya penanggulangan stunting diungkapkan disebut strategi lima pilar,yang terdiri dari(18): a. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu prahamil, ibu hamil dan anak. b. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi c. Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat e. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup 12
gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6bulan (Eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.Ibu di fase lain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi
zat
gizi
berupa
kapsul vitamin A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan,sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting. (18) 2.6
Komplikasi Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi dalam jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.Sedangkan dalam jangka panjang akibat burukyang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasibelajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. (19) Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda, dengan dampak negatifyang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya.Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk,lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurangsehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumberdaya manusia yang diterima secara luas,yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa dimasa yang akan datang. (19) Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan perempuan di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang
13
menunjukkan hubungan antara perawakan orang dewasa yang lebih pendek dan hasil pasar tenaga kerja seperti penghasilan yang lebih rendah dan produktivitas yang lebih buruk. Anak-anak stunting memiliki gangguan perkembangan perilaku diawal kehidupan, cenderung untuk mendaftar disekolah atau mendaftar terlambat, cenderung untuk mencapai nilai yang lebih rendah,dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih buruk dari pada anak-anak yang normal. Efek merusak ini diperparah oleh interaksi yang gagal terjadi. Anak yang terhambat sering menunjukkan perkembangan keterampilan motorik yang terlambat seperti merangkak dan berjalan, apatis dan menunjukkan perilaku eksplorasi kurang, yang semuanya mengurangi interaksi dengan teman dan lingkungan.(19)
14
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan survei sampel untuk melihat gambaran faktor – faktor resiko penyebab kejadian stunting pada BALITA di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Taman kanak-kanak dan paud di wilayah kerja PKM Muara bulian .Waktu penelitian yaitu mulai dari tanggal 3 Maret - 2019. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah anak yang berada di taman kanak-kanak dan paud di wilayah kerja PKM Muara Bulian. 3.3.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling yaitu pengambilan sampel dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian Sampel penelitian ini adalah seluruh bagian dari populasi yang didapat pada periode penelitian tersebut yang memenuhi kriteria inklusi.
Adapun besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Lameshow,1990) n = Z21-α p (1-p) d2 Keterangan: n
= Besar sampel
Z21-α=
Nilai Z pada derajat kemaknaan (biasanya 95%=1,96)
p = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak
15
diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,50) d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10).
Maka diperoleh besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah: n = 1,962 . 0,50 . (1-0,50) 0,102 n = 0,9604 = 96,04 = 97 orang 0,01
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1.
Anak usia 12 bulan - 60 bulan
2.
Memenuhi kriteria stunting berdasarkan grafik PB/U atau TB/U dengan nilai z score di ≤ -2 SD
3.
Mendapat persetujuan dari orang tua.
Kriteria ekslusi pada pasien ini adalah: 1.
Anak yang memiliki kelainan anatomi pada ekstremitas bawah sejak lahir.
2.
Anak yang didiagnosis dengan gizi buruk.
3.4
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini adalah:
1.
Microtoise untuk mengukur tinggi badan.
2.
Kuisioner penelitian.
3.
Kurva WHO PB/U
16
3.5
Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau
ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, pola asuh, pola makan dan sebaginya. Defenisi operasional adalah petunjuk bagaimana sebuah variabel di ukur. Variabel
Defenisi Operasional
Hasil Ukur
Alat Ukur
Skala
Penelitian Tinggi
badan
anak.
Ukuran
tubuh
anak
linear
yang
dengan
Angka
diukur
menggunakan
yang
Microtoise
menunjukkan
dan
tinggi badan anak.
penggaris.
Rasio
microtoise/penggaris dari ujung kaki sampai kepala.
Riwayat
Adanya
kecacingan,
penyakit
diare, ISPA, Tb Paru
infeksi
dalam 1 tahun terakhir.
kuisioner
Status
Imunisasi
Wawancara
Imunisasi
bayi yang berusia 0-12
Dasar Lengkap
bulan
pada
yang
imunisasi DPT,
Wawancara Ada/tidak
dengan
bayi Lengkap/tidak
meliputi
polio,
dengan
Nominal
Nominal
kuisioner
Hb,
BCG
dan
Campak. Pendapatan orang tua
Wawancara Jumlah orang
tua
bulan
pendapatan
Diatas
selama
≥2.423.889
1
menggunakan
Dibawah
formulir.
UMR
dengan
Rasio
kuisioner UMR
jika < 2.423.889
Pendidikan
Wawancara dengan
Orangtua
Rendah Jenjang formal
pendidikan terakhir
(tamat
SMP kebawah)
yang
Menengah (SMA)
17
kuisioner.
Ordinal
Pola
dicapai oleh ibu dan
Tinggi
(tamat
ayah.
Perguruan Tingi)
Asuh
Wawancara dengan kuisioner
Anak
Baik jika skor 10 Upaya yang dilakukan
Tidak baik jika <
orang
10
tua
dalam
mengasuh
Ordinal
anak
termasuk tindakan yang dilakukan apabila anak sedang
sakit,
PHBS,
pemberian obat cacing. Pola
Asuh
Makan anak
Tindakan dilakukan
yang orang
tua
dalam memberi makan
Baik jika skor 16
Wawancara
Tidak baik jika
dengan
<16
kuisioner
Ordinal
kepada anaknya usia 1260 bulan.
3.6
Prosedur Penelitian 1. Peneliti melakukan penelitian di Puskesmas Muara Bulian dengan cara mengukur tinggi badan, kemudian di interpretasikan ke kurva PB/U WHO. 2. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diikutsertakan kedalam penelitian. 3. Peneliti menerangkan kepada responden mengenai tujuan peneltian. 4. Peneliti melakukan wawancara berdasarkan kuisioner. 5. Peneliti melakukan pengolahan data dan analisis data. 6. Peneliti menarik kesimpulan.
18
3.7
Analisis Data Penelitian Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah univariat dengan menggunakan microsoft excell dan SPSS.
19
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 1 Januari -12 Januari 2019.
Sampel pada penelitian ini yaitu sebanyak 20 responden yang diambil secara accidental di Poli Anak dan Poli P2M Puskesmas Muara Bulian. 4.1.1 Karakteristik Responden Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Presentase (%)
Laki-laki
10
50
Perempuan
10
50
Total
20
100
Tabel 4.1 Karakteristik responden penelitian berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah responden laki – laki tidak terlalu jauh berbeda dengan perempuan. Responden laki – laki sebanyak 38 orang (48,7 %) dan perempuan 40 orang (51,3 %).
20
Distribusi Usia Responden 60
54
50
38 39
40 30
24
20
22
24
13 12
12
12
14 15
18 18
Usia (Bln)
14 14 13 12 12 12
10
An.FA
An.DW
An.AP
An.HMF
An.ZZTS
An.AA
An.AG
An.FKL
An.KE
An.BP
An.ARS
An.ARA
An.MI
An.JK
An.CCS
An.AMU
An.AF
An.IHN
An.R
An.A
0
Grafik 4.1 Distribusi Usia Responden
Distribusi hasil penelitian sesuai dengan kriteria inklusi yaitu usia dari 12 bulan sampai 60 bulan. 4.1.2 Hasil Analisa Statistik 1.
Penyakit Infeksi Analisa data yang dilakukan pada Grafik 4.2 didapatkan bahwa 15
responden memiliki riwayat penyakit infeksi yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan atau diare dan 5 orang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi. Hasil tersebutmenunjukkan bahwa 8 responden memiliki kedua riwayat penyakit infeksi ISPA dan diare. Rerata frekuensi penyakit infeksi yang dialami oleh responden seperti penyakit diare atau ISPA dalam setahun adalah tiga hingga empat kali.
21
ISPA
An. FA
An. DW
An. AP
An. HMF
An. ZZTS
An. AA
An. AG
An. FKL
An. KE
An. BP
An. ARS
An. ARA
An. MI
An. JK
An. CCS
An. AMU
An. AF
An. IHN
An. R
an. A
Diare
Grafik 4.2 Riwayat Penyakit Infeksi Pada Responden
2
Imunisasi Imunisasi Dasar Lengkap
35% Lengkap Tidak Lengkap 65%
Diagram 4.1 Imunisasi Dasar Lengkap Responden
Hasil analisa data pada Diagram 4.1 menunjukkan bahwa 65 % responden mendapatkan imunisasi dasar yang lengkap dan 35% tidak lengkap. 3. Pendidikan Orang Tua
22
Riwayat Pendidikan Ibu 12 10 10 8 6 6
Pendidikan
4
3
2
1
0
SI
SMA/SMK
SMP
SD
Grafik 4.3 Riwayat Pendidikan Ibu
Hasil analisa data pada Grafik 4.3 menunjukkan bahwa 1 responden memiliki riwayat pendidikan ibu setingkat perguruan tinggi, 10 responden memiliki riwayat pendidikan ibu setingkat SMA/SMK, 3 responden memiliki pendidikan ibu setingkat SMP,dan
6 orang responden memiliki riwayat
pendidikan ibu setingkat SD. Sehingga dapat dilihat bahwa riwayat pendidikan ibu tinggi sebanyak 5 %, riwayat pendidikan ibu menengah 50 %, dan riwayat pendidikan ibu rendah sebanyak 45 %. 4. Pendapatan Orang Tua Hasil analisa data pada Diagram 4.2 menunjukkan bahwa 75 % responden dengan pendapatan keluarga dibawah UMR sebanyak 75% dan pendapatan diatas UMR 25% .
23
Pendapatan Keluarga Responden(Bln)
25%
>UMR
75%
Diagram 4.2 Pendapatan Orang Tua Responden
5. Pola Asuh Makan Anak Pola Asuh Makan Anak
20%
Baik Tidak Baik
80%
Diagram 4.3 Pola Asuh Makan Anak
Hasil analisa data yang dilakukan didapatkan bahwa pola asuh makan anak tidak baik sebanyak 80 % dan pola asuh makan anak baik sebanyak 20%.
24
6. Pola Asuh Anak Pola Asuh Anak
40% Baik
Tidak Baik 60%
Diagram 4.4 Pola Asuh Anak
Hasil analisa data didapatkan bahwa pola asuh anak tidak baik sebanyak 60% dan pola asuh anak baik sebanyak 40%.
4.2
Pembahasan
4.2.1 Faktor Infeksi Pada Anak Salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan stunting adalah kejadian infeksi seperti diare, infeksi cacing, tuberkulosis paru dan infeksi saluran nafas. Sejalan dengan kerangka konsep UNICEF salah satu faktor penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah penyakit infeksi.Anak-anak merupakan subjek yang rentan terhadap penyakit infeksi karena secara alami kekebalan anak tergolong rendah.(2,10) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa didapatkan bahwa 15 responden memiliki riwayat penyakit infeksi yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan atau diare dan 5 orang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa 8 responden memiliki kedua riwayat penyakit infeksi ISPA dan diare. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumawati, E dkk (2015) yang menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh infeksi, dan paling banyak oleh
25
ISPA dan diare. Penelitian Glaudia P, G dkk (2014) juga menyatakan bahwa riwayat penyakit infeksi berhubungan dengan terjadinya stunting. (15,21) 4.2.2 Faktor Imunisasi Vaksinansi pada anak melindungi status gizi anak- anak dan dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan anak di negara-negara berkembang. Vaksinasi juga merupakan investasi tingkat tinggi karena menghasilkan manfaat kesehatan jangka panjang untuk anak. Imunisasi merupakan hak anak yang wajib dipenuhi dan dilindungi oleh hukum. Dengan imunisasi daya tahan tubuh anak menjadi kuat dan terhindar dari resiko berbagai macam penyakit menjadi rendah. Penyakit yang dapat di cegah antara lain seperti TB, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, hepatitis B dan lainnya. (22) Hasil penelitian ini menunjukkan responden stunting 65% mendapatkan imunisasi dasar lengkap dan 35% tidak lengkap. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Candra et al (2011) yang menunjukan tidak adanya signifikansi hubungan dengan stunting. Namun, hal ini kurang sejalan dengan penelitian oleh Milman et al (2005) yang mengemukakan bahwa status imunisasi menjadi underlying factor dalam kejadian stunting analisis usia < 5 tahun.. (22,23) 4.2.3 Faktor Pendidikan Orang Tua Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa riwayat pendidikan ibu tinggi sebanyak 5 %, riwayat pendidikan ibu menengah 50%, dan riwayat pendidikan ibu rendah sebanyak 45%. Sebanyak 95% riwayat pendidikan ibu menengah kebawah. Berdasarkan hasil penelitian ini umumnya pendidikan ibu yaitu sekolah menengah Atas (SMA) dengan sosial bervariasi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Febelina dkk pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu sangat mempengaruhi penerimaan informasi termasuk informasi tentang gizi. Hasil penelitan yang sama menunjukkan bahwa kondisi balita stunting lebih banyak pada ibu yang pengetahuan kurang baik dan memiliki resiko 1,2 kali untuk memiliki balita stunting dibandingkan dengan ibu yang pengetahuannya baik.
(24)
Tingkat pendidikan juga menentukan mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan.Pendidikan merupakan salah satu akar masalah yang mempengaruhi status gizi anak dan berhubungan dengan status gizi anak serta 26
akses informasi dan pola asuh yang menjadi penyebab tidak langsung masalah status gizi pada anak.
(24)
Hasil penelitian berbeda dengan penelitian oleh Rr.
Dewi Ngarsyah pada tahun 2013 yang menyatakan tidak adanya hubungan antara pendidikan dan pendapatan keluarga dengan kejadian Stunting. Penelitian tersebut juga menyatakan Balita yang mempunyai Ibu yang berpendidikan rendah memiliki resiko Stunting 1,6 kali dibandingkan balita yang memiliki ibu pendidikan tinggi. (25) 4.2.4 Faktor Pendapatan Keluarga Rendahnya ketersediaan pangan dapat mengancam penurunan konsumsi makanan yang beragam dan bergizi seimbang dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya akan berdampak pada semakin beratnya masalah gizi masyarakat, termasuk stunting pada batita. Masalah akses dan ketersediaan pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan dari masalah kemiskinan, kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli. (15) Pada penelitian ini didapatkan gambaran pendapatan keluarga dibawah upah minimum regional (UMR) sebanyak 75% dari total responden. Hal ini sesuai dengan penelitian Kusumawati, E dkk (2015) yang menerangkan bahwa pendapatan keluarga berpengaruh terhadap kejadian stunting. Penelitian Oktarina, Z dan Sudiarti, T (2013) juga menyatakan bahwa balita yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah lebih banyak mengalami stunting dibandingkan balita dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. (15,26) 4.2.5 Faktor Pola Asuh Makan Anak Stunting dapat disebutkan sebagai efek kumulatif dari asupan energi. Beberapa penelitian menunjukkan pola asuh makan yang baik dapat mempengaruhi, asupan zat gizi anak dan berimplikasi pada baiknya status gizi anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden stunting memiliki pola asuh yang tidak baik sebanyak 80% dan baik 20%. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Basri Aramico (2011) yang menyatakan adanya hubungan antara pola makan dengan status gizi. Masalah stunting ini seringkali dipengaruhioleh rendahnya akses terhadap makanan baikdari segi jumlah, kualitas gizi, dan keragaman makanan. Hasil pemantauan status gizi (PSG) pada tahun 2017 27
menunjukkan bahwa persentase balita stuntingpada kelompok balita (29,6 %) lebih besar jika dibandingkan dengan usia baduta (20,1 %). Hal ini terjadi karena pada usia tersebut balita sudah tidak mendapatkan asi dan balik mulai memilih makanan yang dimakan. (7,24) Asupan makanan yang dinilai secara kualitatif digambarkan melalui keragaman konsumsi pangan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa keragaman pangan yang rendah berhubungan erat dengan peningkatan resiko stunting dan masalah gizi lainnya serta jangka panjang berefek pada penurunan fungsi kognitif, gangguan memori, dan produktivitas kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Widyaningsih NN, dkk (2018) menunjukkan pula adanya hubungan antara pola asuh makan dan keragaman pangan dan kejadian stunting. (15) Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Reza Meltica (2016) menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pola asuh makan dengan stunting. Penelitian tersebut juga menyebutkan tidak adanya hubungan antara kecukupan energi dan protein dengan status gizi stunting.(27) 4.2.6 Faktor Pola Asuh Anak Salah satu faktor yang memepengaruhi status gizi anak adalah pengasuhan yang diberikan oleh orang tuanya. Pola asuh yang tidak memadai dapat mempengaruhi status gizi maupun stunting pada balita baik secara langsung dan tidak langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden stunting memiliki pola asuh yang tidak baik sebanyak 60% dan baik 40%. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumawati dkk (2015) faktor pendidikan ibu terkait dengan pola asuh, yang mana menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian stunting. Dari penelitian tersebut dapat diinterpretasikan bahwa pengetahuan dan pendidikan ibu yang kurang baik berisiko meningkatkan 3,27 kali lebih besar kejadian stunting dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang baik. Penelitian Hendrayani dkk (2014) menyatakan bahwa tidak adanya hubungan signifikan antara pola asuh dengan kejadian stunting. Dari penelitian tersebut disimpilkan bahwa pola asuh bukan merupakan faktor langsung yang bersifat dominan. (15)
28
4.3
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan survei sampel sehingga tidak bisa menghasilkan analisa hubungan dari variabel penelitian. 2. Sampel penelitian ini
jumlahnya sedikit karena keterbatasan waktu
penelitian. 3. Ada recall bias pada saat wawancara pengisian kuisioner yang nantinya dapat mempengaruhi hasil penelitian.
29
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian deskriptif dengan pendekatan survei sampel
didapatkan bahwa gambaran faktor resiko yang bermasalah pada stunting yaitu faktor infeksi yakni diare dan ISPA, faktor pendidikan ibu banyak menengah kebawah, pendapatan keluarga dibawah UMR, pola asuh makan yang tidak baik dan pola asuh yang tidak baik. 5.2
Saran Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan seperti yang disampaikan
pada hasil penelitian, sehingga peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian analitik 2. Penelitian selanjutnya menggunakan sampel yang lebih banyak dengan waktu yang lebih panjang 3. Peneliti dapat mengembangan instrumen penelitian dan cara pengambilan data yang lebih baik sehingga menghindari recall bias. 4. Meningkatkan cakupan skrining balita stunting melalui program posyandu maupun pendekatan PIS-PK Puskesmas Muara Bulian 5. Melakukan penatalaksanaan lebih lanjut terhadap responden yang telah didiagnosa stunting.
30
DAFTAR PUSTAKA
1.
100 Kabupaten / Kota untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). , Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan; 2017. Halaman 11
2.
Badan Penelitian dan Pengembangan KEMENKES RI RISKESDAS; 2013. Halaman iv
3.
Badan Penelitian dan Pengembangan KEMENKES RI RISKESDAS; 2018.
4.
Profil Kesehatan Kabupaten Batang Hari tahun 2016. Muara Bulian:, Dinas Kesehatan Kabupaten Batang Hari; 2017.
5.
Laporan Hasil RISKESDAS Provinsi Jambi Tahun 2007. , Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 2008.
6.
Anisa P. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibiru Depok Tahun 2012. 2012: Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat; 2012.
7.
Arisman. Gizi Dalam Daur Kehidupan Jakarta: EGC; 2009.
8.
Kesehatan dalam Rangka Sustainable Development Goals (SDGs). In Kementrian Kesehatan RI ; 2015.
9.
Nasikhah R. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada BALITA Usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Univrsitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran ; 2012.
10. Desyanti C, Susila T. Hubungan Riwayat Penyakit Diare dan Praktik Hygiene dengan Kejadian Stunting pada Usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Simolawang Surabaya. Research Study. 2017 Deseber;(4): p. 243-251. 11. Nasikhah R, Margawati. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 36 Bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College. 2012; 1. 12. K N, Nadhiroh S. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia. 2015; 10: p. 13-19. 13. Andriani M, Kartika V. Pola Asuh Makan pada Balita dengan Status Gizi Kurang di Jawa timur, Jawa Tengah, dan kalimantan Tengah Tahun 2011. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2013; 16(2): p. 185–193. 14. Rahmad A, Miko A. Kejadian Stunting pada Anak Balita Berdasarkan Pola Asuh dan Pendapatan Keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas Indonesia. 2016; 8.
31
15. Kusumawati E, Rahardjo S, Sari H. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia di Bawah Tiga Tahun. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2015; 9. 16. Khoeroh , H I. Evaluasi Penatalaksanaan Gizi BALITA Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sirampog. Journal of Public Health. 2017; 6(3): p. 189-195. 17. Hafidz F, Nasrul. Faktor Resiko Stunting pada Anak usia 6-24 Bulan di Kabupaten Jeneponto. Indonesia Journal of Human Nutrition. 2016; 3(1): p. 4253. 18. Mitra. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). Jurnal Kesehatan Komunitas. 2015; 2(6). 19. Improving Child Nutrition the Achieveable Imperative for Global Process. Nutrition Report, UNICEF; 2013. 20. Notoadmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan Jakarta: Rineka Cipta; 2012. 21. Glaudia GP, Nancy M, Dina RV. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 13-36 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado. Manado:, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado; 2014. 22. Milman Aea. Differential Improvement among Countries in Child Stunting is associated with long term development at spesific intervention. The journal of Nutrition. 2005; 135: p. 1415-1422. 23. Candra A, Puruhita M, Susanto J. Risk Factor of Stunting among 1 untill 2 years old children in Semarang city. Semarang:, Media Medika Indonesia; 2011. 24. Febelina N, Mawreen PS, Nancy MS. Hubungan Antara Sosial Ekonomi dan Kejadian Stunting pada Balita di Pulau Mantehaye Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Medical Kesehatan. ;: p. 1-10. 25. RR ND. Hubungan Sosial Ekonomi dengan Kejadian Stunting pada Balita di Desa Kanigoro Saptosari dan Gunung Kidul. Jurnal Medika Respati. 2013; 10(4). 26. Oktarina Z, Sudiarti T. Faktor Resiko Stunting pada Balita (24-59 bulan) di Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan. 2013; 8(3). 27. Reza Meltica. Hubungan Pola Asuh Makan Dengan Status Gizi Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kabupaten Sleman. Universitas Gajah Mada. 2016
32
33