Mini Clinical Examination Alfi.docx

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mini Clinical Examination Alfi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,709
  • Pages: 39
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien Nama

: Ny. S

Umur

: 69 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Dusun 5 RT 002 RW 009 Arenan

Agama

: Islam

Diagnosis

: Batu Ren Sinistra

Pro

: Extended Pyelolitothomy

DPJP Anestesi

: dr. Dudik Haryadi, Sp.An

No. CM

: 02062011

Tanggal masuk RSMS : Rabu, 18 Juli 2018 Tanggal Operasi

: Jumat, 20 Juli 2018

B. Follow up Pra Anestesi 1.

Anamnesis Pra Anestesi Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis. a. Keluhan Utama Pasien mengeluh nyeri di pinggang kiri. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Poliklinik Urologi RSUD Margono Soekarjo Purwokerto pada hari Rabu tanggal 18 Juli 2018 dengan keluhan nyeri pada pinggang kiri. Pasien mengatakan terdapat batu di ginjal kiri dan ginjal kanannya dan pasien akan dilakukan operasi extended pyelolithotomy pada hari kamis tanggal 19 Juli 2018. Namun ternyata pasien harus ditunda operasinya karena harus di hemodialisa dahulu. BAK normal lancar, nyeri (-). Batuk (-), pilek (-), demam (-) c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit Jantung (-), penyakit Ginjal (+)  CKD, alergi (-), riwayat operasi (-).

1

d. Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit Jantung (-), penyakit Ginjal (-), alergi (-) e. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama anakanak dan cucunya. Pembiayaan kesehatan menggunakan Jamkesda. 2.

Pemeriksaan Pra Anestesi a. Tanda vital Tekanan Darah

: 120/70 mmHg

Heart Rate

: 80 x/menit, denyut kuat, isi cukup, reguler

Respiratory Rate : 24 x/menit, simetris Suhu

: 36.7oC

b. Status Antropometri Berat Badan

: 40 kg

Tinggi Badan

: 150 cm

BMI

: 17.78 (under weight)

c. Status Generalis a. Kepala : Mesochepal b. Mata : Konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-, Reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm. c. Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) d. Mulut : Lidah kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III. e. Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), massa jalan nafas (-). f. Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk g. Leher : Simetris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm. h. Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-), Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra

2

Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS Auskultasi : S1>S2, murmur (+), gallop i. Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai

j. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). k. Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik. l. Pemeriksaan Vertebrae Tidak didapatkan kelainan d. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 18/07/2018 Hb

: 8.0 g/dL (L)

Leukosit

: 8320 U/L

Ht

: 27 % (L)

Eritrosit

: 3.7 juta/µL (L)

Trombosit

: 317000 µL

PT

: 10.7 detik

3

APTT

: 42.6 detik (H)

SGOT

: 31 U/L

SGPT

: 21 U/L

Ur

: 89.65 mg/dl (H)

Cr

: 3.52 mg/dl (H)

GDS

: 103 mg/dl

Natrium

: 142 mmol/L

Kalium

: 4.9 mmol/L

Klorida

: 113 mmol/L

HbsAg

: reaktif

Pemeriksaan EKG 18/07/18

Ro Thorax 18/07/18

4

3.

Terapi pra Anestesi - Hemodialisa

4.

Kesimpulan a) Assesment - Batu Ren Sinistra dengan CKD dan anemia - ASA III b) Rencana operasi: Extended Pyelolitothomy c) Rencana anestesi: General Anestesi – ET

Follow up pasien post HD tanggal 19/07/2018

RPS: nyeri pada pinggang kiri Tanda vital Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Heart Rate

: 78 x/menit, denyut kuat, isi cukup, reguler

Respiratory Rate : 22 x/menit, simetris Suhu

: 36,5 oC

Status Generalis Kepala : Mesochepal Mata : Konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-, Reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm. Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) Mulut : Lidah kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III. Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), massa jalan nafas (-). Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk Leher : Simetris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm. Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-), Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/5

Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Nyeri tekan (+) di seluruh region abdomen

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai

Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 19/07/2018 Ureum darah : 19,95 mg/dL Kreatinin darah : 1,10 mg/dL (H)

C. Laporan Anestesi 1. Persiapan Anestesi o Informed consent o Puasa minimal 6 jam sebelum operasi 2. Durante Operasi a. Tanggal operasi

: 20/07/2018

b. Jam mulai anestesi

: 10.05 WIB

c. Jam selesai anestesi

: 11.45 WIB

d. Kondisi prainduksi 6

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4V5M6

Tekanan darah

: 110/70mmHg

Heart rate

: 78x/menit, denyut kuat, isi cukup, reguler

RR

: 22 x/menit, pola napas thorakoabdominal

Suhu

: 36,5 0C

e. Teknik anestesia Anestesi

: General Anestesi

Premedikasi

: Ondansentron 4 mg

Preemptive analgesia

: Fentanyl 100 mikrogram

Inhalasi

: Sevoflurane

Intravena

: 1) Propofol 100 mg 2) Recuronium 30 mg 3) Midazolam 3 mg 4) Asam tranexamat 500 mg 5) Pethidin 6) Atropin 7) Prostigmin 0,5 mg

Airway

: Goedel no 3

Intubasi

: ET kinking no. 7,0 semi open

f. Monitoring 1. Tekanan darah, SpO2, dan HR Tabel 1. Monitoring Durante Operasi Waktu

TD (mmHg)

SpO2

HR

10.00

110/70

100%

78

10.15

170/120

100%

79

10.30

170/120

100%

79

10.45

150/90

100%

58

11.00

110/90

100%

58

11.15

130/100

100%

78

11.30

130/90

100%

58

7

2. Obat yang masuk - Ondansentron 4 mg - Fentanyl 100 mcg - Propofol 100 mg - Recuronium 30 mg - Asam tranexamat 500 mg - Tramadol 100 mg (drip) - Pethidin 50 mg - Atropin - Prostigmin 0,5 mg 3. Cairan yang masuk - RL 1000 ml 4. Cairan yang keluar - Darah

: 100 ml

- Urine

:-

5. Terapi cairan Rumus: Maintenance

= 2 x kgBB/jam

Pengganti Puasa (PP)

= Puasa (jam) x M

Stress Operasi (SO)

= 6cc/kgBB (operasi sedang)

Jam I

= ½ PP + M + SO

Jam II

= ¼ PP + M + SO

Jam III

= jam II

Jam IV

= M + SO

30 menit

= ½ jam I

EBV

= 70 x BB

Perhitungan (BB= 40 kg): Maintenance (M)

= 2 x 40 = 80 ml/jam

Pengganti puasa (PP)

= 6 x 80 = 480 ml

Stress Operasi (SO)

= 6 x 40 = 240 ml

EBV = 70 x 40 = 2800 ml Lama Operasi (90 menit) 8

Input cairan durante operasi Jam I = ½ PP + M + SO = ½ (480) + 80 + 240 = 560 ml Jam II (30 menit)

= ½ jam I

= ½ (560) = 280 ml Output durante operasi Jumlah perdarahan = 100 ml Urin Output

= - ml

Total output durante operasi = 100 ml

Tabel 2. Keseimbangan Cairan Durante Operasi Output Cairan Perdarahan + urin output = 100 + - cc Output cairan D.O. = 100cc

Input Cairan Durante operasi = 1000 cc Input cairan D.O. = 1000 cc

Kebutuhan durante operasi 90 menit : 840 cc Total Cairan Output 840 + 100 = 940 cc Balance Cairan: 1000 – 940 = 60 cc

Total Cairan Input 1000 cc = 1000 cc

D. Follow up post operasi Perkembangan Pasien Sabtu, 21 Juli 2018 pukul 18.00 WIB Subject

:

Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah post operasi. Mual (+), muntah (+) Object

:

Ku/ kes: baik/ E4M6V5 TD: 150/90 mmhg N: 69x/menit RR: 18 x/ menit T: 36.2 C a. Kepala : Mesochepal

9

b. Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm c. Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) d. Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III e. Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-), massa jalan nafas (-) f. Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk g. Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm h. Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-) Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop i. Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) di hampir seluruh lapang

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai

j. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). 10

k. Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik. l. Pemeriksaan Vertebrae Tidak didapatkan kelainan Assessment : CKD Batu Renal Dextra Et Sinistra Post Ext Pylo + DJ Stent H+1 Planning

:



Inj. Ceftriaxone 2x1



Inj. Ranitidin 2x1



Inj. Asam tranexamat 3x1



Inj. Tramadol 2x1



BNO Evaluasi (+)



Ganti vakum drain



Awasi KU/Kes, Tanda vital, TD, Nadi, RR



Cek lab DL, ureum/creatinin/elektrolit



Jika Hb < 9gr  transfusi sampai target Hb >= 10g



Apabila pasien sadar dan peristaltik usus (+) boleh makan/minum

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 20/07/2018 

Hb : 11,1 g/dL (L)



Ht : 36 %

X-FOTO POLOS ABDOMEN AP SUPINE

11

Minggu, 22 Juli 2018 pukul 18.00 WIB Subject

:

Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah post operasi. Mual (+), muntah (+) Object

:

Ku/ kes: baik/ E4M6V5 TD: 180/120 mmhg N: 80x/menit RR: 20 x/ menit T: 36.5 C Kepala : Mesochepal Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-), massa jalan nafas (-) Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-) Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS 12

Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) di hampir seluruh lapang

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai

Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik. Pemeriksaan Vertebrae Tidak didapatkan kelainan Assessment : CKD Batu Renal Dextra Et Sinistra Post Ext Pylo + DJ Stent H+2 Planning

:



Tx. Lanjut



Inj. Ceftriaxone 2x1



Inj. Ranitidin 2x1



Inj. Asam tranexamat 3x1



Inj. Tramadol 2x1



BNO Evaluasi (+)



Ganti vakum drain



Mobilisasi duduk-duduk

Senin, 23 Juli 2018 pukul 18.00 WIB Subject

:

Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah post operasi. Mual (-), muntah (-) Object

:

Ku/ kes: baik/ E4M6V5 TD: 130/70 mmhg N: 82x/menit RR: 22 x/ menit 13

T: 36.7 C Kepala : Mesochepal Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-), massa jalan nafas (-) Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-) Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) di hampir seluruh lapang

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai 14

Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik. Pemeriksaan Vertebrae Tidak didapatkan kelainan Assessment : CKD Batu Renal Dextra Et Sinistra Post Ext Pylo + DJ Stent H+3 Planning

:



Tx. Lanjut



Inj. Ceftriaxone 2x1



Inj. Ranitidin 2x1



Inj. Asam tranexamat 3x1



Inj. Tramadol 2x1



BNO Evaluasi (+)



Ganti vakum drain



Mobilisasi duduk-duduk

Selasa, 24 Juli 2018 pukul 18.00 WIB Subject

:

Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah post operasi. Mual (-), muntah (-) Object

:

Ku/ kes: baik/ E4M6V5 TD: 130/90 mmhg N: 78x/menit RR: 18 x/ menit T: 36.4 C Kepala : Mesochepal Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III

15

Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-), massa jalan nafas (-) Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-) Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) di hampir seluruh lapang

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai

Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik. Pemeriksaan Vertebrae Tidak didapatkan kelainan Assessment : CKD Batu Renal Dextra Et Sinistra Post Ext Pylo + DJ Stent H+4 16

Planning

:



Tx. Lanjut



Inj. Ceftriaxone 2x1



Inj. Ranitidin 2x1



Inj. Asam tranexamat 3x1



Inj. Tramadol 2x1



BNO Evaluasi (+)



Ganti vakum drain



Mobilisasi duduk-duduk

Rabu, 25 Juli 2018 pukul 18.00 WIB Subject

:

Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah post operasi. Mual (-), muntah (-) Object

:

Ku/ kes: baik/ E4M6V5 TD: 130/100 mmhg N: 85x/menit RR: 20 x/ menit T: 37.0 C Kepala : Mesochepal Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil isokor diameter 3mm/3mm Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-) Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallapati kelas III Gigi : Karies gigi (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-), massa jalan nafas (-) Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 6-7 cm Thorax: simetris, retraksi (-) Paru: Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-) 17

Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kanan atas di SIC II LPSD kanan bawah di SIC IV LPSD kiri atas di SIC II LPSS kiri bawah di SIC V LMCS Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop Abdomen Inspeksi

: Datar, distensi (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) di hampir seluruh lapang

Hepar

: sulit dinilai

Lien

: sulit dinilai

Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (/-). Integumen : ikterik (-), turgor kulit < 2 detik. Pemeriksaan Vertebrae Tidak didapatkan kelainan Urine output dalam 6 jam 600 cc warna kuning Assessment : CKD Batu Renal Dextra Et Sinistra Post Ext Pylo + DJ Stent H+5 Planning

:



Tx. Lanjut



Inj. Ceftriaxone 2x1



Inj. Ranitidin 2x1



Inj. Asam tranexamat 3x1



Inj. Tramadol 2x1 18



BNO Evaluasi (+)



Ganti vakum drain



Mobilisasi duduk-duduk



BLPL

19

II. PEMBAHASAN

Anestesia untuk Pembedahan Ginjal a. Intra Operatif Anestesi umum biasanya digunakan untuk operasi ginjal terbuka atau laparoskopi. Karena posisi pasien dan peningkatan tekanan intra-abdominal yang terkait dengan operasi laparoskopi, intubasi endotrakeal dianjurkan. Induksi anestesi mungkin dengan agen intravena atau inhalasi, dan induksi cepat harus dilakukan pada mereka yang memiliki neuropati otonom. Pemeliharaan harus dengan agen inhalasi, sebaiknya halotan, isofluran atau desfluran. Atracurium adalah relaksan otot non-depolarisasi pilihan pada mereka dengan gangguan fungsi ginjal. Akses intravena dengan ukuran aboccath besar adalah wajib karena risiko perdarahan. b. Obat-obat Anestesi Premedikasi 1. Obat-obat anastesi inhalasi: Semua obat anestesi inhalasi mengalami biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi, efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut. Methoxyfluran kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menjadi nephrotoksik, yaitu florida inorganik dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anestesi hanya 19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari isoflurana adalah 35 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksis. Desfluran

dan

sevofluran,

berbeda

dalam

stabilitas

molekular

dan

biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC (minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal. 20

Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran. Terdapat laporan konsentrasi inorganik plasma mencapai kadar nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran. Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal manusia. 2. Obat-obat anastesi intravena Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80% midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxyl, yang dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada gagal ginjal. Pemeliharaan Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi, adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan mengubah obat tersebut. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis. Posisi Posisi pasien dalam operasi ginjal khususnya extended pyelolithotomy umumnya adalah posisi lumbotomy (flank). Dilakukan dengan posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, kepala dan kaki diposisikan lebih rendah sementara regio lumbal yang akan dibedah lebih tinggi (Gambar). Posisi lumbotomy ini akan mempermudah operator dalam melakukan tindakan pembedahan (extended pyelolithotomi).

21

Gambar 1. Posisi Lumbotomy

Gambar 2. Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian bawah. Kidney rest, penghalang meja yang dielevasikan, digunakan untuk semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta. Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa penelitian menggambarkan efek hemodinamik pada perubahan posisi dari supine ke posisi lateral. Perubahan akan lebih sering pada posisi lateral yang lebih dari biasanya dengan posisi rest kidney, dimana vena cava inferior dapat memampat (kinking), terutama di posisi lateral kanan, selain itu posisi kepala dan kaki yang lebih rendah (gravitasi) akan menyebabkan penurunan aliran balik vena (venous return) dan curah jantung (cardiac output). Perambahan hati pada vena kava dan pergeseran mediastinum dapat menurunkan aliran balik vena lebih lanjut.Venous return dipengaruhi oleh; kontraksi otot, penurunan venous compliance, aktivitas respirasi, kompresi vena cava, dan gravitasi. Ini menjelaskan mengapa posisi lumbotomy berisiko untuk hipotensi. Posisi lumbotomy memiliki efek mendalam pada sistem pernapasan. Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan menyebabkan berkurangnya volume paru. Ventilasi paru menurun sementara perfusi meningkat mengakibatkan ketidakcocokkan antara ventilasi dan perfusi yang besar. Terdapat juga penurunan pada komplians thoracic, volume tidal, kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional. Masalah-masalah ini dapat diperburuk oleh penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya. Kesulitan dengan saturasi oksigen arteri yang rendah selama operasi dapat diatasi dengan meningkatkan fraksi oksigen inspirasi, atau menerapkan sejumlah kecil positive end expiratory pressure (PEEP).

22

Monitoring Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting karena risiko dari masalah yang terjadi karena posisi pasien. Pemantauan invasif tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung pada kondisi pra-operasi pasien dan risiko operasi. Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat mengambil manfaat dari pemantauan tekanan vena sentral untuk memandu kebutuhan cairan. Namun, akses vena sentral mungkin sulit pada mereka yang sebelumnya pernah dimasukkan jalur hemodialisis ke dalam pembuluh darah leher. Panduan USG harus digunakan pada pasien ini jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat mengakibatkan perdarahan major dan penggunaan pemantauan invasif dianjurkan. Operasi ginjal mungkin memakan waktu beberapa jam dan suhu pasien harus diperhatikan.

Keseimbangan Cairan Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitungkan, dapat terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan cairan selama operasi menjadi tinggi. Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan. Cairan yang mengandung potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan. Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma, cryopresipitat dan platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang massif. Keluaran urin dapat menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai untuk menilai penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ jam pada fungsi ginjal normal.

Analgetik Post-operatif Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah operasi. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hati, pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10 menit). Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai. Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi relatif karena memiliki efek nephretoksik.

23

A. Nefrolitiasis (batu ginjal) Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih batu di dalam pelvis atau kaliks dari ginjal. Secara garis besar pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh faktor intrinsik yaitu umur, jenis kelamin, dan keturunan, sedangkan faktor ekstrinsik yaitu kondisi geografis, iklim, kebiasaan makan, zat yang terkandung dalam urin, pekerjaan, dan sebagainya. Faktor resiko nefrolitiasis (batu ginjal) umumnya biasanya karena adanya riwayat batu di usia muda, riwayat batu pada keluarga, ada penyakit asam urat, kondisi medis lokal dan sistemik, predisposisi genetik, dan komposisi urin itu sendiri. Komposisi urin menentukan pembentukan batu berdasarkan tiga faktor, berlebihnya komponen pembentukan batu, jumlah komponen penghambat pembentukan batu (seperti sitrat, glikosaminoglikan) atau pemicu (seperti natrium, urat). Anatomis traktus anatomis juga turut menentukan kecenderungan pembentukan batu. Nefrolitiasis berdasarkan komposisinya terbagi menjadi batu kalsium, batu struvit, batu asam urat, batu sistin, batu xanthine, batu triamteren, dan batu silikat. Pembentukan batu pada ginjal umumnya membutuhkan keadaan supersaturasi. Namun pada urin normal, ditemukan adanya zat inhibitor pembentuk batu. Pada kondisi-kondisi tertentu, terdapat zat reaktan yang dapat menginduksi pembentukan batu. Adanya hambatan aliran urin, kelainan bawaan pelvikalises, hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli bulineurogenik diduga ikut berperan dalam proses pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut akan tetap berada posisi metastable (tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan yang menyebabkan presipitasi kristal. Apabila kristal mengalami presipitasi membentuk inti batu, yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan yang lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Kristal akan mengendap pada epitel saluran kemih dan membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih sehingga nantinya dapat menimbulkan gejala klinis. Terdapat beberapa zat yang dikenal mampu menghambat pembentukan batu. Diantaranya ion magnesium (Mg), sitrat, protein Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid, dan glikosaminoglikan. Ion magnesium ternyata dapat menghambat batu karena jika berikatan 24

dengan oksalat sehingga oksalat yang akan berikatan dengan kalsium menurun. Demikian pula sitrat jika berikatan dengan ion kalsium (Ca) untuk membentuk kalsium sitrat, sehingga jumlah kalsium oksalat akan menurun. Terdapat beberapa jenis variasi dari batu ginjal, yaitu: 

Batu kalsium

Batu yang paling sering terjadi pada kasus batu ginjal. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut. Faktor-faktor terbentuknya batu kalsium adalah:  Hiperkalsiuri Terbagi menjadi hiperkalsiuri absorbtif, hiperkalsiuri renal, dan hiperkalsiuri resorptif. Hiperkalsiuri absorbtif terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium melalui usus, hiperkalsiuri renal terjadi akibat adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal dan hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi kalsium tulang.  Hiperoksaluri Merupakan eksresi oksalat urin yang melebihi 45 gram perhari.  Hiperurikosuria Kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850 mg/24 jam.  Hipositraturia Sitrat yang berfungsi untuk menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat sedikit.  Hipomagnesuria Magnesium yang bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium kadarnya sedikit dalam tubuh. Penyebab tersering hipomagnesuria adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti dengan gangguan malabsorbsi. 

Batu struvit

Batu yang terbentuk akibat adanya infeksi saluran kemih 25



Batu asam urat

Biasanya diderita pada pasien-pasien penyakit gout, penyakit mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan terapi anti kanker dan yang banyak menggunakan obat urikosurik seperti sulfinpirazon, thiazid dan salisilat. 

Batu jenis lain

Batu sistin, batu xanthine, batu triamteran, dan baru silikat sangat jarang dijumpai. Berdasarkan penelitian Martha di RSUP Prof Dr. R. D Kandou Manado dengan menggunakan 35 orang sample, didapatkan jumlah penderita dengan lokasi batu di pielum adalah 30 penderita (85,75), lokasi batu di kaliks adalah 2 penderita (5,7%) dan lokasi batu di pelviokaliks adalah 3 penderita (8,7%). Tabel 3. Lokasi batu Letak

N

%

Pielum

30

85,75

Kaliks

2

5,7

Pelviokaliks

3

8,7

Total

35

100

Penderita nefrolitiasis sering mendapatkan keluhan rasa nyeri pada pinggang ke arah bawah dan depan. Nyeri dapat bersifat kolik dan non kolik. Nyeri dapat menetap dan terasa sangat hebat. Mual dan muntah sering hadir, namun demam jarang dijumpai pada penderita. Dapat juga muncul adanya bruto atau mikrohematuria. Selain dari keluhan khas yang didapatkan pada penderita nefrolitiasis, ada beberapa hal yang harus dievaluasi untuk menegakkan diagnosis, yaitu:  Evaluasi skrining yang terdiri dari sejarah rinci medis dan makanan, kimia darah, dan urin pada pasien  Foto rontgen abdomen yang digunakan untuk melihat adanya kemungkinan baru radio-opak  Pielografi intra vena yang bertujuan melihat keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Pemeriksaan ini dapat terlihat batu yang bersifat radiolusen 26

 Ultrasonografi (USG) dapat melihat semua jenis batu  CT Urografi tanpa kontras adalah standar baku untuk melihat adanya batu di traktus urinarius Tujuan utama tatalaksana pada pasien nefrolitiasis adalah mengatasi nyeri, menghilangkan batu yang sudah ada, dan mencegah terjadinya pembentukan batu yang berulang. 

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) Alat ini ditemukan pertama kali pada tahun 1980 oleh Caussy. Bekerja dengan

menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan di luar tubuh untuk menghancurkan batu di dalam tubuh. Batu akan dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL dianggap sebagai pengobatan cukup berhasil untuk batu ginjal berukuran menengah dan untuk batu ginjal berukuran lebih dari 20-30 mm. 

PCNL (Percutanues Nephro Litholapaxy) Merupakan salah satu tindakan endourologi untuk mengeluarkan batu yang berada di

saluran ginjal dengan cara memasukan alat endoskopi ke dalam kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil. Asosiasi Eropa Pedoman Urologi tentang Urolithiasis merekomendasikan PCNL sebagai pengobatan utama untuk batu ginjal berukuran >20 mm. 

Bedah terbuka Untuk pelayanan kesehatan yang belum memiliki fasilitas PCNL dan ESWL, tindakan

yang dapat dilakukan melalui bedah terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal. Extended Pyelolithotomy Merupakan suatu tindakan operasi terbuka (selain nefrektomi dan anatrophic nephrolithotomy) yang dalam prosedurnya dilakukan insisi pielotomi dengan hooked scalpel. Insisi apek dilakukan langsung dekat dengan ureteropelvic junction dimana keuntungan dari tindakan ini adalah batu dapat terpajan secara maksimal sehingga pada stone free rate berkisar antara 71%-82% dan jumlah prosedur yang kecil yakni 1,4%. Namun, operasi terbuka ini memiliki risiko terjadinya komplikasi minor (demam, perdarahan yang membutuhkan transfusi, ekstravasasi, pneumonia/atelektasis, ileus paralitik, dll) maupun 27

mayor (kematian, perdarahan yang memerlukan transfusi berkala, infeksi, cedera saluran kemih dll). Selain itu, tindakan operasi terbuka memiliki kerugian yakni, nyeri pasca operasi, jaringan parut pasca operasi, serta lama perawatan dan pemulihan di rumah sakit. 

Terapi konservatif Terapi dengan menggunakan medikamentosa ini ditujukan pada kasus dengan batu

yang ukurannya masih kurang dari 5 mm, dapat juga diberikan pada pasien yang belum memiliki indikasi pengeluaran batu secara aktif. Terapi konservatif terdiri dari peningkatan asupan minum dan pemberian diuretik; pemberian nifedipin atau agen alfa-blocker, seperti tamsulosin; manajemen rasa nyeri pasien, khususnya pada kolik, dapat dilakukan dengan pemberian simpatolitik, atau antiprostaglandin, analgesik; pemantauan berkala setiap 1-14 hari sekali selama 6 minggu untuk menilai posisi batu dan derajat hidronefrosis. Komplikasi pda nefrolitiasis bedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. -

Komplikasi akut

Kematian, kehilangan fungsi ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan invensi sekunder yang tidak direncanakan -

Komplikasi jangka panjang

Striktura, obstruksi, hidronefrosis, berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis, dan berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. B. Anemia 1. Definisi Anemia Anemia didefinisikan sebagai penurunan massa sel darah merah (RBC). Fungsi RBC adalah mengirim oksigen dari paru ke jaringan dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Ini dicapai dengan menggunakan hemoglobin (Hb), protein tetramer yang terdiri dari heme dan globin. Pada anemia, penurunan jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen dan karbon dioksida merusak kemampuan tubuh untuk pertukaran gas. Penurunan dapat terjadi akibat kehilangan darah, peningkatan kerusakan sel darah merah (hemolisis), atau penurunan produksi sel darah merah (DeLoughery, 2014). 28

Kriteria WHO mendefinisikan anemia berdasarkan konsentrasi hemoglobin. Definisi ini berakar pada distribusi nilai hemoglobin yang diamati di seluruh populasi (dengan stratifikasi untuk jenis kelamin, usia, dan seterusnya). Nilai-nilai yang merupakan standar deviasi lebih dari atau di luar rata-rata yang diamati dianggap tidak normal. Meskipun praktik ini diterima secara luas dan diterapkan pada berbagai parameter fisiologis alami, pendekatan ini memiliki potensi kesalahan mengingat sesuatu menjadi normal hanya berdasarkan prevalensinya yang tinggi. Dalam kasus anemia, karena kadar hemoglobin biasanya lebih rendah pada wanita dibandingkan dengan pria, ambang hemoglobin untuk menentukan anemia pada wanita juga lebih rendah. Dengan demikian, seorang wanita dengan kadar hemoglobin 12,5 g / dL dianggap nonanemic, sedangkan pria dengan tingkat hemoglobin yang sama dianggap anemia.

Gambar 3. Diagnosis anemia (Muñozet al., 2015)

Pada dasarnya, hanya ada tiga penyebab anemia: kehilangan darah, peningkatan kerusakan sel darah merah (hemolisis), dan penurunan produksi sel darah merah. Setiap penyebab ini termasuk sejumlah gangguan yang memerlukan terapi spesifik dan tepat (Adamson & Longo, 2001). Etiologi genetik termasuk yang berikut: a) Hemoglobinopathies b) Thalassemia c) Kelainan enzim dari jalur glikolitik 29

d) Cacat sitoskeleton RBC e) Anemia diserythropoietic kongenital f) Rh penyakit nol g) Xerositosis herediter h) Abetalipoproteinemia i) Anemia Fanconi Etiologi nutrisi meliputi hal-hal berikut: a) Kekurangan zat besi b) Kekurangan vitamin B-12 c) Kekurangan folat d) Kelaparan dan malnutrisi umum Etiologi fisik meliputi hal-hal berikut: a) Trauma b) Luka bakar c) Radang dingin d) Katup dan permukaan prostetik e) Penyakit kronis dan etiologi ganas termasuk yang berikut: Penyakit ginjal Penyakit hati Infeksi kronis Neoplasia Penyakit vaskular kolagen Etiologi infeksi meliputi yang berikut: a) Viral - Hepatitis, mononukleosis infeksiosa, cytomegalovirus b) Bakteri - Clostridia, sepsis gram negatif c) Protozoa - Malaria, leishmaniasis, toksoplasmosis 2. Anemia Pre Operasi Anemia adalah masalah hematologi yang paling umum pada pasien pra operasi. Seringkali, itu adalah tanda penyakit atau kondisi yang mendasari yang dapat mempengaruhi hasil operasi. Akibatnya, transfusi darah biasanya diberikan secara perioperatif pada pasien anemia. Pada tahun 2006 pasokan allogenic whole blood / PRC di AS diperkirakan mencapai lebih dari 15,7 juta unit, dan diperkirakan 14,6 juta unit telah ditransfusikan. Telah terbukti bahwa 40 hingga 70% dari semua unit sel darah merah ditransfusikan dalam kamar operasi. Oleh karena itu, 30

pemahaman tentang penyebab dan konsekuensi anemia, serta setiap perawatan potensial, sangat penting dalam pengaturan pra operasi (Patel & Carson, 2009). Evaluasi pasien preoperatif anemia harus selalu dimulai dengan riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Anamnesis harus terlebih dahulu mencoba untuk mendapatkan gejala perdarahan seperti kehilangan darah menstruasi, hematochezia, melena, hematemesis, hemoptisis, atau hematuria. Penting juga untuk menanyakan tentang gejala yang berkaitan dengan anemia dan mekanisme kompensasi tubuh, yaitu nyeri dada angina, dyspnea, kelelahan, dan palpitasi. Setiap riwayat atau gejala penyakit yang mendasari, seperti gejala konstitusional, keganasan, gagal ginjal, endokrinopati (gangguan tiroid, misalnya), infeksi, atau penyakit hati, harus ditargetkan. Riwayat anemia sebelumnya juga penting, termasuk nilai hemoglobin sebelumnya dan terapi, onset, kebutuhan untuk transfusi darah sebelumnya, splenektomi, dan donor darah. Riwayat keluarga pasien mungkin memiliki riwayat anemia, perdarahan, dan gangguan hematologi lainnya, splenektomi, dan kolelitiasis awal, yang dapat mengindikasikan gangguan hemolitik kongenital. Anamnesis sosial harus mempertimbangkan bahaya dan eksposur pekerjaan, kebiasaan diet, alkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang, dan daftar terperinci semua obat resep dan non-resep, termasuk obat-obatan herbal dan yang dijual bebas (Patel & Carson, 2009). Pemeriksaan fisik harus fokus pada manifestasi dan potensi etiologi anemia, seperti pucat pada kulit dan mukosa, ikterus, tanda-tanda perdarahan, purpura, petechiae, hepatosplenomegali, dan limfadenopati. Suatu bising jantung kadang terdengar, dan ini mungkin merupakan murmur aliran darah yang disebabkan oleh penurunan viskositas darah dan peningkatan curah jantung dari anemia, atau mungkin menunjukkan adanya katup prostetik. Pemeriksaan panggul dan dubur dengan stool guaiac mungkin perlu dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan sumber kehilangan darah (Patel & Carson, 2009).

31

Gambar 4. Resiko Anemia pada Pasien Pre operasi (Patel & Carson, 2009)

Risiko anemia pada pasien dapat diketahui dari penelitian yang melibatkan pasien anemia yang menolak transfusi darah. Penelitian terbesar seperti itu adalah penelitian kohort retrospektif yang dilakukan pada 1958 pasien bedah berturut-turut yang menolak transfusi berdasarkan alasan agama. Dalam waktu keseluruhan 30 hari, risiko kematian meningkat dengan penurunan konsentrasi hemoglobin pra operasi, terutama pada pasien dengan tingkat hemoglobin kurang dari 6 g / dL. Risiko kematian jauh lebih besar, meskipun dengan pasien dengan penyakit kardiovaskular dan pra operasi nilai hemoglobin 10 g / dL atau kurang. Sebuah studi berikutnya pada populasi yang sama menunjukkan bahwa tidak ada dari 99 pasien dengan konsentrasi hemoglobin pasca operasi antara 7 dan 8 g / dL meninggal, sedangkan ada peningkatan tajam dalam kematian pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin kurang dari 5 sampai 6 g / dL (Patel & Carson, 2009). Hasil ini konsisten dengan serangkaian penelitian dimana subyek yang sehat mengalami reduksi isovolemik akut hingga tingkat hemoglobin 5 g / dL. Dua dari studi ini menemukan bukti adanya perubahan segmen ST asimptomatik dan reversibel yang sugestif myocardial ischemia pada 5 dari 87 pasien gabungan pada konsentrasi hemoglobin antara 5 hingga 7 g / dL. Penelitian lain mengevaluasi delapan sukarelawan sehat selama reduksi isovolemik dan menemukan gejala kelelahan yang dinilai sendiri pada tingkat hemoglobin 7 g / dL, yang kemudian menurun lebih lanjut pada tingkat hemoglobin 6 g / dL dan 5 g / dL. Perubahan kognitif minor dan reversibel terlihat pada sembilan subyek sehat, termasuk penurunan waktu reaksi pada konsentrasi hemoglobin kurang dari 6 g / dL dan 32

gangguan memori segera dan tertunda di kadar hemoglobin kurang dari 5 g / dL Penelitian ini menunjukkan bahwa subjek yang sehat pun dapat menunjukkan perubahan klinis pada konsentrasi hemoglobin antara 5 dan 7 g / dL (Leung et al., 2000). 3. Manajemen Pre Operasi Pasien Anemia

Gambar 5. Manajemen Pre Operasi Pasien Anemia Selama bertahun-tahun transfusi darah telah dan terus menjadi pengobatan standar pasien bedah dengan anemia. Sifatnya yang tampaknya tidak berbahaya, ketersediaan yang dirasakan, diasumsikan biaya rendah, kemudahan pemesanan, dan kemampuan untuk mengamati efek pengobatan segera dalam hal peningkatan kadar hemoglobin semuanya berkontribusi terhadap penggunaannya secara luas. Anemia pra-operasi adalah faktor prediktor independen utama untuk kebutuhan transfusi darah perioperatif. Transfusi darah telah menjadi prosedur yang paling umum dilakukan di rumah sakit di Amerika Serikat. Transfusi darah biasanya diberikan untuk menghindari efek merugikan dari anemia akut (Schander et al., 2016). Namun, meskipun transfusi darah menghasilkan peningkatan kadar Hb yang cepat dan efektif, ada kurangnya bukti mengenai kemanjurannya pada peningkatan konsumsi oksigen jaringan atau mengurangi kekurangan oksigen jaringan pada pasien tertentu, dan penggunaan transfusi sering dikaitkan dengan outcome yang buruk. Pada pasien sakit kritis dan bedah, baru-baru ini ditemukan bahwa transfusi satu unit PRC meningkatkan risiko multivariat mortalitas, masalah luka, komplikasi

33

paru, disfungsi ginjal pasca operasi, sepsis sistemik, morbiditas komposit, dan perawatan pasca operasi berkepanjangan (Muñozet al., 2015). Perhatian lebih lanjut telah dikemukakan bahwa transfusi darah dikaitkan dengan kekambuhan dalam operasi kanker. Data dari pengamatan kohort dari 2.087.423 total artroplasti pinggul primer menunjukkan bahwa transfusi darah secara independen terkait dengan lebih lama tinggal di rumah sakit, peningkatan biaya dan hasil bedah dan medis yang lebih buruk tanpa mempengaruhi mortalitas di rumah sakit. Selain itu, efek negatif dari kehilangan darah, transfusi darah dan anemia pra operasi merupakan hal yang sinergis. Sebuah penelitian retrospektif pada 16.154 pasien dewasa berturut-turut yang menjalani operasi jantung (2002-2010) menunjukkan bahwa perdarahan besar adalah suatu faktor risiko untuk kematian pasca-operasi dalam 30 hari yang sangat ditingkatkan oleh transfusi PRC dan untuk tingkat yang lebih rendah anemia pra-operasi (Saleh et al., 2014). Jika memungkinkan, anemia pra-operasi harus dideteksi dan diklasifikasikan setidaknya 4 minggu sebelum prosedur yang dijadwalkan dan pengobatan farmakologis yang tepat dilaksanakan jika memungkinkan. Transfusi darah harus disediakan untuk pasien dengan anemia berat, perdarahan berkelanjutan dan / atau keadaan fisiologis yang buruk. Karena jenis anemia yang paling umum di antara populasi pembedahan adalah anemia defisiensi besi dan anemia peradangan kronis, pasien yang datang dengan Hb <13 g / dL awalnya dapat diobati dengan besi intravena dan rhuEPO subkutan, menyesuaikan dosis setelah 2 minggu sesuai dengan respon hematologi. Suplemen asam folat rutin (5 mg / hari, oral) dan vitamin B12 (1 mg intramuskular) dapat dipertimbangkan untuk mencegah defisiensi fungsional atau absolut dari vitamin-vitamin ini. Untuk pasien yang menjalani prosedur non-elektif atau gejala muncul sesaat sebelum operasi, bukti saat ini secara luas mendukung pengobatan dengan memberikan besi intravena dan / atau ESA untuk mengurangi tingkat transfusi darah. Selain itu, profil keamanan yang dapat diterima dari perawatan ini dan kemampuannya untuk dikelola tanpa menunda operasi tampaknya lebih mendukung penggunaan klinisnya (Muñozet al., 2015).

34

C. Chronic Kidney Disease 

Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan

irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel oada suatu derajat atau tingkatan yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Smeltzer, 2010) 

Patofisiologi penyakit Ginjal merupakan pengatur utama natrium, keseimbangan air, serta homeostasis

asam-basa. Ginjal juga memproduksi hormon yang diperlukan untuk sintesis sel darah merah dan homeostasis kalsium (Derebail, et al, 2011). Pada awalnya, ginjal yang normal mempunyai kemampuan untuk memperatahankan nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR). Namun, karena beberapa faktor, ginjal mengalami penurunan jumlah nefron. Karena penurunan jumlah nefron, glomerulus mengalami hiperfiltrasi yaitu oeningkatan tekanan glomerular yang dapat menyebabkan hipertensi sistemik di dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi pada nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat eksresi natrium melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat perkembangan dari gagal ginjal (Derebail, et al, 2011). 

Etiologi penyakit Penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) belum diketahui. Tetapi, beberapa kondisi

atau penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah atau struktur lain di ginjal dapat mengarah ke CKD. Penyebab yang paling sering muncul adalah: a. Diabetes melitus Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus. Jika kadar gula darah mengalami kenaikan selama beberapa tahun, hal ini dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (WebMD, 2015).

35

b. Hipertensi Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab penurunan fungsi ginjal dan tekanan darah sering menjadi penyebab utama terjadinya CKD (WebMD, 2015). Kondisi lain yang dapat merusak ginjal dan menjadi penyebab CKD antara lain: -

Penyakit ginjal dan infeksi, seperti penyakit ginjal yang disebabkan oleh kista

-

Memiliki arteri renal yang sempit

-

Penggunaaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat merusak ginjal. Seperti obat Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), seperti Celecoxib dan Ibuprofen dan juga penggunaan antibiotik (WebMD, 2015).



Klasifikasi penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai dengan

penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR) selama tiga bulan atau lebih. Menurut (Derebail, et al, 2011), klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR dapat dilihat pada tabel. Tabel 4. Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR. Stage

Deskripsi

GFR (ml/min per 1.73 m2)

1

Kerusakan ginjal dengan GFR normal

> 90

2

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

60 – 89

3

Penurunan GFR sedang

30 – 59

4

Penurunan GFR berat

15 – 20

5

Gagal ginjal

< 15 (atau dialisis)

36

Menurut (Saseen and Maclaughlin, 2011), klasifikasi penyakit hipertensi dapat dilihat pada tabel. Tabel 5. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa. Klasifikasi

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

<120

<80

Prehipertensi

120 – 139

80 – 89

Hipertensi Stage 1

140 – 159

90 – 99

Hipertensi Stage 2

>= 160

>= 100

Normal

37

III. KESIMPULAN

1. Persiapan pre operatif meliputi evaluasi pre operasi, yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan rencana anestesi serta puasa pre operatif. 2. Anemia merupakan masalah paling umum dalam pre operasi. Anemia pre operasi dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas baik selama operasi maupun setelah operasi. 3. Penurunan konsentrasi hemoglobin pada anemia mengurangi kapasitas darah mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh sehingga harus dilakukan tata laksana sebelum operasi. 4. Pasien pada kasus ini menderita anemia akut yang disebabkan oleh perdarahan yang berjalan terus menerus karena mioma uteri yang dimilikinya. 5. Tata laksana yang paling efektif dalam anemia akut karena perdarahan adalah transfusi darah. Pada pasien ini tidak dilakukan transfusi darah karena nilai Hb >8 mg/dl sebelum operasi dan operasi yang dilakukan merupakan operasi kecil. Hal ini sesuai dengan guideline transfusi darah menurut American Assosciation of Blood Banks.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98. 2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Fisiologi Ginjal. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2009. p. 21. 3. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006. p: 742-754. 4. Kohl

JL.

Anesthesia

for

Patient

with

Renal

Failure.

Available

at:

http://www.aana.com/newsandjournal/Documents/renal_failure_1085_p431.pdf. Accessed on June 14th, 2018. 5. Rang ST, West NL, Howard J, Cousins J. Anaesthesia for Chronic Renal Disease and Renal Transplantation. EAU-EBU 2006. doi:10.1006/j.eeus.2006.08.005. 6. Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. Preoperative evaluation. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 5th Edition. Philadelphia: Churchill-Livingstone; 2000. 7. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: InternaPublishing; 2010. p. 1035-40. 8. Sherwood L. Sistem Kemih. In: Yesdelita N, editor. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 6th Ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 554. 9. Muñoz, M., Gómez-Ramírez, S., Campos, A., Ruiz, J., & Liumbruno, G. M. (2015). Pre-operative anaemia: prevalence, consequences and approaches to management. Blood Transfusion, 13(3), 370–379. http://doi.org/10.2450/2015.0014-15 10. Patel, M. S., & Carson, J. L. (2009). Anemia in the Preoperative Patient. The Medical Clinics

of

North

America,

93(5),

1095–1104.

http://doi.org/10.1016/j.mcna.2009.05.007 11. Shander A, Lobel GP, Javidroozi M. 2016. Anesthesia for Patients with Anemia. Anesthesiol Clin, 34(4):711-730. doi: 10.1016/j.anclin.2016.06.007.

39

Related Documents