Migrain.docx

  • Uploaded by: riezhaf
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Migrain.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,745
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Nyeri kepala adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala (Goadsby, 2002) . Nyeri kepala merupakan salah satu gangguan sistem saraf yang paling umum dialami oleh masyarakat. Telah dilakukan penelitian sebelumnya bahwa dalam 1 tahun, 90% dari populasi dunia mengalami paling sedikit 1 kali nyeri kepala. Nyeri kepala diklasifikasikan oleh International Headache Society, menjadi nyeri kepala primer dan sekunder. Yang termasuk ke dalam nyeri kepala primer antara lain adalah: nyeri kepala tipe tegang (TTH - Tension Type Headache), migrain, nyeri kepala cluster dan nyeri kepala primer lain, contohnya hemicrania continua. Nyeri kepala primer merupakan 90% dari semua keluhan nyeri kepala. Sedangkan nyeri kepala sekunder disebabkan oleh kondisi kesehatan lain (Goadsby, 2002). Migrain termasuk ke dalam derajat nyeri kepala sedang-berat, dapat berlangsung 4-72 jam jika pasien tidak melakukan pengobatan (National Institute of Neurological Disorders and Stroke, 2009). Laporan WHO menunjukkan bahwa 3000 serangan migrain terjadi setiap hari untuk setiap juta dari populasi di dunia (WHO, 2001). Serangan migrain pertama kebanyakan dialami pasien pada 3 dekade pertama kehidupan dan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia produktif, yaitu pada rentang usia rentang usia 25 - 55 tahun (Lipton, et al., 2003). Biasanya penderita migrain juga memiliki riwayat penyakit tersebut pada keluarganya (Silberstein, 2007). Angka kejadian migrain lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki, kurang lebih tiga kali dibandingkan dengan laki-laki (Ojini, et al., 2007). Pada perempuan lebih tinggi diduga karena adanya faktor hormonal (hormonallydriven) yaitu hormon esterogen. Di Negara Barat angka kejadian migrain berkisar antara 8-14 % (WHO, 2001), sedangkan di Asia lebih rendah yaitu 4-8% (Cheung, 2000). Penelitian di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa 15-18% perempuan, 68% laki-laki, 4% anak-anak mengalami migrain setiap tahun, sedangkan di Asia 10% pada perempuan dan 3% pada laki-laki (Cleveland Clinic). Data di Indonesia yaitu dari 1

penelitian Zuraini dkk. menunjukkan angka kejadian migrain di Medan sebesar 18,26 % pada perempuan dan 14,87 % pada laki-laki sedangkan di Jakarta sebesar 52,5 % pada perempuan dan 35,8 % pada laki-laki (Zuraini, et al., 2005). Migrain diklasifikasikan menjadi migrain tanpa aura dan migrain dengan aura (International Headache Society, 2004). Pada semua usia, migrain tanpa aura lebih banyak terjadi dibandingkan dengan migrain dengan aura, dengan rasio kurang lebih antara 1,5 - 2:1 (Rasmussen, 2001). Dari beberapa penelitian juga didapatkan data bahwa sebagian besar migrain yang dialami perempuan usia reproduksi merupakan migrain tanpa aura (Steiner, 2003). Migrain pada saat ini menduduki urutan ke 20 dari semua penyakit yang menyebabkan disabilitas di dunia (Migrain Research Foundation). Penelitian sebelumnya juga melaporkan hal yang sama (Stovner, 2007), bahwa penderita migrain mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari saat serangan timbul. Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa nyeri kepala migrain merupakan jenis nyeri kepala yang cukup sering terjadi di masyarakat, dengan gejala klinis yang bervariasi dan menimbulkan disabilitas.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan mekanisme nyeri kepala? 2. Apakah definisi migren? 3. Epidem 4. Gejala klinik 5. Faktor-faktor pemicu migren 6. Klasifikasi 7. Pathogenesis 8. Diagnosis 9. Terapi 10. prognosis

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi dan Mekanisme Nyeri Kepala Terjadinya nyeri kepala menurut suatu proses yang bergantung kepada jenis nyeri kepala tersebut. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari struktur baik yang peka maupun yang tidak peka nyeri di dalam rongga kepala. Struktur-struktur peka nyeri Struktur intracranial peka nyeri : - Pembuluh darah arteri : a.karotis interna dengan cabangnya yang membentuk sirkulus Willisi, a.vertebralis, a.basilaris beserta cabangnya, cabang a.karotis eksterna (a.Meningea media dan anterior) - Sinus venosus dan vena kortikae yang bergabung dengannya - Duramater di sekitar pembuluh darah besar khususnya yang ada di dasar otak (jalinan sirkulus Willisi) - Saraf – saraf : Nn. Kranialis (N.V,N.XI,N.X) Struktur ekstrakranial peka nyeri : - Kulit, jaringan subkutan, fascia, otot kepala dan leher - Mukosa - Arteri (vena kurang peka) - Periosteum Impuls nyeri sebagian besar dihantarkan ke pusat oleh aferen N.trigeminus divisi 1 (N.oftalmikus) dan 3 Nn. Servikalis teratas (C1-C3). Iritasi pada strukturstruktur intracranial yang peka nyeri pada atau di atas fasies superior tentorium serebeli berakibat nyeri di berbagai area kepala (frontotemporal atau bagian daerah parietal kepala). Impulsnya dibawa oleh berkas aferen N.V ke pusat. Iritasi dari struktur dalam fosa posterior (pada atau di bawah fasies inferior tentorium serebeli) berakibat nyeri di daerah oksipital, suboksipital dan bagian atas servikal. Impulsnya dihantarkan oleh N.IX, N.X dan 3 Nn.servikalis teratas. 3

Lintasan saraf penghantar nyeri Pada umumnya rasa nyeri ditransmisikan dari perifer oleh serabut kecil A delta yang bermielin dan serabut C yang tak bermielin, akan berakhir di kornu dorsalis medulla spinalis. Neuron kedua berasal dari kornu dorsalis dan kemudian berakhir di thalamus melalui jaras spinotalamikus. Substansi P (SP) dan neuropeptide, merupakan neurotransmitter nyeri pada neuron pertama. Interneuron pada kornu dorsalis menggunakan enkephalin dan mungkin GABA (gama amino buteric acid) sebagai neurotransmitter inhibisi yang dapat menghentikan transmisi nyeri. Lintasan nyeri asenden Sistem neotalmikus (kualitas nyeri) berakhir pada nukleus thalamus ventro basal dan kemudian diproyeksikan ke korteks somatosensorik. Sistem paleotalamikus (emosional dari persepsi nyeri) mengirimkan proyeksi ke system formatio retikularis batang otak, substantia kelabu periakuaduktus, hipotalamus, nukleus talamikus medialis dan nukleus thalamus interlaminaris. Sistem serotoninergic asenden yang berasal dari region rafe mesenfalon, mensarafi pembuluh darah serebral. Sistem ini juga berlanjut ke thalamus, hipotalamus dan kortek. Neuron-neuron system ini terlibat dalam pengaturan aliran darah otak, pengaturan tidur dan mengontrol sistem neuroendokrin. Lokus seruleus

dengan

neurotransmitter

norepinefrin

(noradrenergik)

akan

menyebabkan pengurangan aliran darah serebral sehingga timbul gejala aura dari migren, sedangkan nukleus rafe dorsalis dengan neurotransmitter serotonin akan menyebabkan peningkatan aliran darah tersebut.

2.2

Definisi Migren Migren adalah nyeri kepala primer berulang dengan manifestasi serangan selama 4 – 72 jam. Karakteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah berat dengan aktifitas fisik rutin dan diikuti dengan nausea, fotofobia serta fonofobia. Menurut International Headache Society, 1988, migren adalah gangguan genetik yang dikarakteristikkan oleh nyeri kepala yang berulang dengan intensitas, 4

frekuensi, dan durasi yang bervariasi. Nyeri unilateral dengan mual, muntah, anoreksia dan gangguan mood.

2.3

Epidemiologi Migren Prevalensi migren didapatkan 18,2% pada wanita dan 6,5% pada laki – laki, dengan peningkatan umur antara 8 – 40 tahun kemudian menurun. Pada wanita ditemukan bahwa migren berkaitan dengan menstruasi dan relatif menurun pada saat hamil. Migren banyak pada orang kulit putih dibandingkan pada kulit hitam.

2.4

Gejala Klinik Migren 1. Nyeri kepala unilateral 2. Berlangsung beberapa jam ( 2 – 72 jam ) 3. Sering disertai gangguan mata (berkunang – kunang) 4. Gangguan gastrointestianal (mual, muntah) Selain sifat – sifat di atas, pada migren juga didapatkan : 1. Nyeri yang berdenyut 2. Nyeri kepala bertambah bila melakukan aktifitas fisik 3. Lebih banyak terdapat pada wanita 4. Serangan muncul pada saat menstruasi, tegang, makan keju atau coklat 5. Serangan menurun atau berkurang saat hamil dan menopause

2.5

Faktor – Faktor Pemicu Migren Hormonal

Menstruasi,

ovulasi,

kontrasepsi

oral,

hormonal

replacement Diet

Alkohol, monosodiumglutamat (MSG), aspartame, coklat, keju

Fisik

atau Glare, flashing light, stimulasi visual, fluorescent, lighting,

lingkungan

odora, perubahan cuaca, ketinggian

Psikologis

Stress, enxiety, worry, depresi, period after stress (weekend or vacation) 5

Tidur

Sulit tidur, kelebihan tidur

Miscellaneous

Trauma kepala, kelelahan

Drug

Nitroglycerin,

histamine,

reserpine,

hydralazine,

ranitidine, estrogen

2.6

Klasifikasi Migren 1. Migren tanpa aura 2. Migren dengan aura 2.1 nyeri kepala migren dengan aura tipikal 2.2 nyeri kepala non migren dengan aura tipikal 2.3 aura tipikal tanpa nyeri kepala 2.4 familial hemiplegic migren 2.5 sporadik hemiplegic migren 2.6 migren tipe basiler 3. Sindroma periodic pada anak yang sering menjadi precursor migren 3.1 clinical vomiting 3.2 migren abdominal 3.3 benigna paroksismal vertigo pada anak 4. Migren retinal 5. Komplikasi migren 5.1 migren kronik 5.2 status migrenosus 5.3 aura persisten tanpa infark 5.4 migren – trigger seizures 6. Probable migren 6.1 Probable migren tanpa aura 6.2 Probable migren dengan aura 6.3 Probable migren kronik

2.7

Patogenesis Migren 6

Berbagai teori telah dikemukakan untuk menerangkan pathogenesis migren, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan yang pasti. Beberapa teori antara lain: 1. Teori Vaskuler Teori Wolff : migren disebut sebagai nyeri kepala vascular, gangguan primer pada pembuluh darah tperemilerjadi vasospasme yang bersifat local dan reaksi hiperemik sehingga pembuluh-pembuluh darah di otak dan kepala mengalami vasokonstriksi pada fase awal dari kemudian vasodilatasi. Siklus ini dimulai dengan peningkatan kadar norepinefrin dalam plasma, sehingga menyebabkan platelet beragregrasi dalam pembuluh darah otak. Platelet ini melepaskan serotonin yang dapat menyebabkan konstriksi arteri maupun dilatasi kapiler. Arteri-arteri tersebut pertama-tama pada satu sisi kepala berkonstriksi menyebabkan iskemia sehingga menimbulkan gejala aura berupa gangguan visual, rasa tebal atau kelemahan pada satu sisi tubuh dll. Platelet yang beragregasi ini juga melepas neurokini-neurokinin yang mensensitifisir reseptor nyeri di dinding pembuluh ekstrakranial. Hal ini menerangkan mengapa scalp dan leher sering menjadi nyeri selama dan setelah serangan migren. 2. Teori trigeminovaskuler Teori trigeminovaskuler oleh Moskowitz menyatakan adanya jaras yang menghubungkan ganglia trigeminalis dan pembuluh darah serebral akan membentuk sistim trigeminovaskular. Ganglia trigeminalis merupakan struktur sensorik umum utama pada pembuluh darah yang membentuk sirkulus Wilisi. Saraf sensoris di sekitar sirkulus Wilisi banyak mengandung substansi P (SP), neurokinin A (NKA), calcitonin gen related peptid (CGRP) dan prostaglandin, mediator-mediator ini berperan dalam proses terjadinya inflamasi neurogenik. Saraf trigeminalis dapat diaktifkan pada tiap titik sepanjang perjalanannya, mulai dari perivaskuler sampai di daerah sentral pada batang otak, yang diduga karena prosesspreadng depression. Stimulasi dari saraf sensorik trigeminus akan melepaskan neuropeptide substansi P, CGRP, dan neurokinin A yang menyebabkan inflamasi neurogenic, peningkatan permeabilitas vaskuler, 7

dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi plasma dan kerusakan platelet sehingga terjadi nyeri kepala migren. 3. Teori Neurogenik Pada hipotesis neurogenic, perubahan – perubahan aliran darah otak yang menyertai migren dianggap sekunder terhadap gangguan neuroteansmiter di otak. Gangguan ini menyebabkan migren dan menjadi sumber dari nyerinya. Pembuluh darah otak hanya merupakan korban gangguan neurogenic, bukan merupakan sumber penyakitnya. Pembuluh darah otak diinervasi oleh serabut yang mengandung noradrenalin dan 5HT (5 Hydroxy Tryptamin) dari batang otak (locus caerolus, nuclei raphe). Rangsangan pada inti batang otak tersebut menyebabkan perubahan vaskuler (vasokonstriksi). Perubahan yang fluktuatif pada nuclei batang otak tersebut merupakan reaksi terhadap faktor di lingkungan yang bermacam-macam. 4. Teori “Cortical Spreading Depression” Leao dan Morrison (1945), menyatakan bahwa Cortical Spreading Depression (CSD) mungkin terlibat dalam patofisiolgi migren atas dasar persamaan dalam kecepatan dari kemajuan skotoma migren dengan CSD. Perubahan dalam aliran korteks otak pada serangan migren klasik menyebar dalam cara dan kecepatan yang sebanding serangan CSD sebagai mekanismenya. Hipotesis saat ini serangan migren klasik dicetuskan oleh CSD yang berasal dari bagian posterior otak. CSD maju ke depan dengan kecepatan 2-3 mm/detik, menyebabkan aura dan penururnan aliran darah korteks otak dalam jangka panjang. CSD ditemukan oleh Leao dalam korteks otak kelinci. Leao mengamati aktivitas neuronal yang berlangsung terus menerus dalam kortek otak kadang-kadang menjadi padam sama sekali selama periode satu menit, dan depresi ini akan menyebar sangat lambat menyebrangi daerah kortek yang luas. Ternyata CSD suatu potensial negative yang besar dalam jaringan yang terkena, dan terjadi shift ini yang substansial menyebrangi membrane sel. Menurut Grafstein pada depresi kortikal yang menjalar terdapat peningkatan aktifitas neuron yang menyebabkan perubahan cairan ekstrseluler (konsentrasi ion K2+. Disamping itu Ca2+ akan masuk ke sel yang berperan besar pada 8

pelepasan neurotransmitter, sehingga proses ini sangat sensitive terhadap zat yang memblokir Ca2+. 5. Teori Langnce-Fozard-Pearce 

Pada nukleus batang otak terjadi fluktuasi karena reaksi berbagai faktor di lingkungan antara lain : lelah, rasa lapar, perubahan hormone, dan sebagainya.



Perubahan aktifitas neuron yang mengandung 5HT dan noradrenalin menyebabkan perubahan dalam aliran darah vasa intra dan ekstrakranial.



Pelepasan 5HT dalam dinding vasa intracranial merangsang terjadinya reaksi inflamasi steril pada migren



Aktifasi nosiseptor pada terminal neuron atau akhiran saraf afferent N V oleh pro inflammatory mediator menyebabkan nyeri.



Rasa nyeri akan diproses dan diterima neuron batang otak, thalamus, korteks serebri

6. Teori Kaskade Migren Serangan migren timbul dari interaksi antara faktor pencetus instrinsik atau lingkungan dengan sistem saraf yang rentan. Penelitian klinik menyatakan bahwa serangan migren melibatkan 9 tahapan, beberapa tahapan terjadi berurutan sedangkan yang lain terjadi secara bersamaan. Kemungkinan pada beberapa pasien didapatkan variasi pada tahap awal dan variasi dari satu serangan ke serangan lainnya pada pasien yang sama. Tahapan ini meliputi : 1. Fase awal Lokasi dan sifat awal dari neurokimiawi migren belum diketahui, meskipun gejala prodromal (euphoria, depresi) dan gejala vegetatif (mengidam makanan,

retensi

cairan)

yang

timbul

beberapa

jam

sebelum

seranganmenunjukkan lokasinya pada daerah subkortikal atau limbik. 2. Kejadian kortikal Terjadi pada migren aura, yang menonjol adalah gejala neurologic yang menunjukkan lokalisasi di kortek serebri. Gejala klinik yang dijumpai selama migren aura dimana perhatian difokuskan pada “spreading depression” yang kemungkinan merupakan patofisiologinya. Penting peranan ion H dan 9

K, faktor metabolic seperti asam arakhidonat yang dilepaskan oleh SD, dapat mengaktivasi neuron perivaskuler nosiseptif. Penelitian terbaru menunjukkan pada binatang SD dapat mengaktivasi sistem nyeri kepala dengeluaran gen Cfos. 3. Faktor pembuluh darah dan autonom Meningen dan pembuluh darah meningen merupakan struktur intracranial peka nyeri utama, banyak mengandung serabut nosiseptif, parasimpatis dan simpatis. Penderita migren dengan aura, serangan dapat disebabkan bahan kimia eksogen (missal makanan yang mengaktifkan serabut nosiseptif pada pembuluh darah). Pada penderita migren terdapat abnormalitas sistem simpatis parasimpatis, sehingga stimulasi pada ganglion

sphenopalatina

pada

tikus

menyebabkan

peningkatan

ekstravasasi dura. Hal serupa dapat terjadi setelah stimulasi ganglion trigeminal. Penelitian terbaru membuktikan bahwa valpoat memodulasi insflamasi neurogenic. 4. Aktivasi aferen primer Serabut nosiseptif pada vasa meningeal berasal dari sel pada ganglion trigeminal melewati saraf ke V. Aktifasi neuron aferen trigeminal menyebabkan dua kejadian kemudian pada kaskade. 5. Pelepasan neuopeptid vasoaktif Dari terminal saraf sensorik dilepaskuran kadar SP, NKA, CGRkan mediator inflamasi neurogenic yaitu : SP, NKA, CGRP. Kadar CGRP pada vena jugularis dilaporkan meningkat selama serangan migren. Akibat pelepasan neuropeptide, timbul respon yaitu : kebocoran plasma dan protein plasma dari pembuluh darah kecil ke jaringan sekitar, vasodilatasi, aktivasi mast sel, respon neurogenic inflamasi / N I : respon ini bersifat maladaptive, bila terjadi pada meningen dapat merubah sensitifitas serabut perivaskuler menyebabkan stimulasi normal diterima sebagai nyeri. 6. Transmisi melalui saraf trigeminal

10

Proses ini akan mengaktivasi serabut aferen meningeal menghantarkan informasi nosiseptif melalui gsngguan trigeminal dan kemudian ke nukleus trigeminal di medulla khususnya nukleus kaudalis. 7. Integrasi pada nukleus kaudatus trigeminal (TNC) Pada TNC sinap serabut afferent primer dan sinyal nosiseptif dimodulasi oleh interneuron dan sistem inhibisi desenden. Aktivasi dalam TNC dapat diperiksa secara tak langsung dengan teknik imunohistokimia saat aktivasi neuron sekunder dalam TNC melepaskan gen cfos. 8. Proyeksi rostral dari TNC Dari TNC, neuron sekunder ke nukleus pontin parabrakhial dan serebelum dan juga thalamus ventrobasal, posterior dan medial. Dari rostral batang otak informasi nyeri ditransmisikan ke area otak lain seperti area limbic yang berperan pada emosi dan respon vegetative nyeri. 9. Nyeri sampai di kortek somatosensory dan frontal Proyeksi

berasal

dari

talamus

ventrobasal

dan

naik

ke

kortek

somatosensory untuk melokalisasi dan membedakan nyeri. Proyeksi talamus medial ke kortek frontal mengatur aspek afektif dsn motivasi nyeri.

2.8

Diagnosis Migren Diagnosis migren ditegakkan berdasarkan anamnesis, karena nyeri kepala merupakan keluhan yang sangat subyektif, jarang sekali didapatkan kelainan neurologis dan bila ada biasanya terjadi saat serangan.

2.8.1 Anamnesis Dalam anamnesis perlu digali : lokasi, penjalaran, intensitas, kualitas, gejala premonitory, aura, gejala penyerta, faktor pencetus, faktor peringan/perberat dan riwayat keluarga. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ketepatan diagnosis migren mencapai 95%. Apabila didapatkan kelainan neurologis lain perlu dilakukan pemeriksaan ulang saat bebas serangan, sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. 11

2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis Disamping pemeriksaan secara umum, dilakukan pemeriksaan neurologis yang meliputi: 

Nervi craniales, pupil, lapangan pandang, gerakan bola mata, funduskopi untuk evaluasi keadaan n.II, retina dan pembuluh darah retina, kekuatan otot, tonus dan koordinasi, reflex fisiologis dan patologis, sensorik terutama sensorik kortikal (stereognosis), gait, bising orbita, palpasi arteri superfisialis



PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada pemeriksaaan penunjang khusus untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang diperlukan bila dicurigai adanya kelainan struktural yang mempunyai gejala seperti migren. a. EEG Gambaran abnormal yang sering dijumpai : perlambatan aktifitas listrik, peningkatan gelombang teta dan delta di daerah kepala belakang, pada sisi nyeri kepala kadang-kadang didapatkan gelombang tajam yang tidak spesifik. Gambaran abnormal ini lebih sering didapatkan pada penderita migren daripada bukan migran, dan insidensinya 2-3 kali lebih tinggi daripada orang-orang bukan migren.

Indikasi pemeriksaan EEG pada migren: 

Sinkop yang menyertai serangan migren untuk membedakan dengan serangan epilepsy



Sakit kepala menetap pada satu sisi disertai kelainan visual, motoric, atau sensorik pada sisi kontralateral.



Adanya defek lapangan pandang yang berkepanjangan atau menetap atau gejala sisa dari paresis atau gangguan sensorik.



Terjadi perubahan dari intensitas, lama atau sifat serangan dengan kecurigaan adanya lesi structural di daerah serebral.



Penderita yang gagal terhadap terapi dan terdapat kekhawatiran kemungkinan adanya kelainan otak yang serius. 12

b. Angiografi cerebral Pemeriksaan ini bersifat invasif dan beresiko, dilakukan bila dicurigai adanya kelainan organik seperti AVM atau aneurisma. c. Brain Imaging 

CT Scan Pada migren klasik yang berat atau migren komplikata, pemeriksaan pada saat episode serangan didapatkan gambaran iskemik cerebral fokal atau edema, yang akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu. Indikasi pemeriksaan CT Scan pada penderita migren: -

Perubahan mencolok pada sifat serangan

-

Defisit neurologis fokal yang menetap.

-

Hemikrania yang selalu menetap, disertai gejala dan defisit neurologis kontralateral.



-

Riwayat kejang fokal

-

Pemeriksaan EEG menunjukkan lesi fokal akut.

MRI Igarashi (1991) melakukan pemeriksaan MRI pada 91 penderita migren dan 98 kontrol, didapatkan lesi kecil di substansia alba pada 15 dari 51 penderita (29,4%), sedangkan pada kontrol 11 dari 98 orang (11,2%) dan ini mempunyai perbedaan bermakna. Zigelar (1991) membandingkan hasil pemeriksaan MRI pada 18 penderita migren aura dan 15 penderita yang bebas sakit kepala sebagai kontrol, didapatkan lesi kecil pada substansia daerah subkorteks pada 3 penderita migren dan pada 2 kontrol, Zigelar meragukan kelainan pada pemeriksaan MRI mempunyai hubungan bermakna dengan migren.

d. PET ( Positron Emission Tomograph) Sachs membangkitkan serangan migren pada 5 penderita dengan injeksi 25-40 mg/kg reserpine subkutan, kemudian dilakukan pemeriksaan 13

PET 1,5 jam setelah pemberian, terjadi penurunan yang bermakna pada metabolism glukosa pada penderita migren dibandingkan kelompok kontrol.

2.9

Terapi Migren Ada dua strategi dalam penatalaksanaan migren, yaitu : terapi serangan migren akut (terapi simptomatis) dan terapi profilaksis. Pendekatan yang paling baik bagi penderita harus secara individual berdasar kebutuhan penderita dan integrasi informasi yang berhubungan dengan frekuensi dan beratnya serangan. Pendekatan paling sederhana pada terapi migren adalah pendekatan non farmakologik yang melibatkan penghindaran berbagai faktor trigger yang diidentifikasi.

A. Terapi profilaksis Terapi profilaksis diperlukan bila : 

Frekuensi serangan migren lebih dari 2 kali dalam satu minggu.



Serangan migren menyebabkan kondisi tubuh menjadi menurun, walaupun frekuensi serangannya jarang.



Adanya kontraindikasi dengan obat – obatan untuk terapi simptomatis, atau hasil terapi simptomatis tidak efektif.

Tujuan terapi profilaksis untuk memperkecil frekuensi dan intensitas serangan. Obat – obatan yang digunakan sebagai preventif adalah sebagai berikut : 1.

Obat untuk blokade reseptor 5HT2 (5 hidroksi triptamin) Efek 5 HT melalui reseptor 5 HT2 dapat menstimulasi metabolisme asam arakhidonat yang menyebabkan reaksi inflamasi steril pembuluh darah otak saat

serangan

migren

dimulai.

Antagonis

reseptor

5HT2

dapat

menghambat 5 efek 5HT dalam menginduksi terjadinya proses inflamasi tersebut. Obat – obatan yang termasuk : 

Amitriptilin : dosis 10 – 75 mg/hari, diberikan 1 kali sehari pada malam hari. Dosis awal 10 – 12,5 mg tiap malam, ditingkatkan perlahan – lahan sampai dosis sesuai yang dapat diterima penderita. 14

Efek samping : mengantuk, mulut kering, mata kabur, takikardi, retensio urine, konstipasi. 

Methylsergid : dosis 0,1 mg/Kg/BB/hari terbagi 3 dosis. Pemberian tidak boleh lebih 6 bulan untuk mencegah fibrosis. Efek samping : gastrointestianal seperti kram perut, mual, muntah, anoreksia, diare. SSP seperti mengantuk, depresi, insomnia, pusing, lethargi, halusinasi. Kardiovaskuler dan darah : angina pektoris, klaudikasio tungkai, pucat, netropeni Jaringan ikat : fibrosis pda retroperitoneal, paru – paru, pleura dan katub jantung



Pizotifen : dapat menurunkan frekuensi dan berat serangan pada 50 – 70% penderita. Efektifitas lebih rendah dibanding methylsergid tetapi tidak mempunyai efek samping yang serius sehingga merupakan pilihan utama bagi penderita dengan serangan lebih 1 – 2 kali sebulan. Dosis : mula – mula 0,5 mg malam hari dapat ditingkatkan tiap 0,5 mg bertahap dalam 1 minggu sampai 1 – 2,5 mg. Goadsby menganjurkan dosis 0,5 – 2 mg dalam satu hari. Efek samping : berat badan dan nafsu makan bertambah, mengantuk, mulut kering, retensio urine.



Cyproheptadine : dosis 1 x 4 mg per hari Efek samping : mengantuk, meningkatkan nafsu makan, berat badan bertambah, pusing.

2.

Obat untuk blokade beta adrenoseptor di luar otak Golongan beta bloker telah lama digunakan sebagai profilaksis migren, yang dipakai adalah symphatomimetic

obat

activity

yang tidak mempunyai efek intrinsic (ISA)

yaitu

propanolol,

atenolol,

metoprolol,timolol Efek samping : bradikardi, hipotensi, bronkospasme, depresi, hipogikemi pada pasien diabetes. 15

Dosis : propanolol 30 – 240 mg/hari, timolol 2 x 10 mg/hari, atenolol 1 x 100 mg/hari Kontraindikasi : gagal jantung, AV blok, SA blok, emphisema, asma, DM 3.

Obat untuk blokade selektif influks kalsium Obat ini termasuk golongan calsium antagonis atau “calsium channel blocker”, yang dapat digunakan sebagai terapi profilaksis maupun saat serangan migren akut. Yang sering dipakai : Flunarizine, mekanisme kerjanya dengan cara mencegah kerusakan otak akibat hipoksia, menaikkan ambang “spreading depression” dan mempercepat kembalinya “spreading depression”, mempengaruhi pelepasan transmitter seperti dopamin, menghambat transmisi impuls pada sistem trigeminovaskuler. Efek samping : berat badan bertambah, mengantuk, depresi, kelelahan, gangguan ekstra piramidal pada penggunaan jangka panjang.

4.

Obat – obat lain : 

Sodium valproat Obat ini lebih sering digunakan sebagai anti epilepsi tetapi dapat juga digunakan sebagai terapi profilaksis migren. Mekanisme kerja sebagai obat profilaksis migren kemungkinan pada reseptor GABA di sentral. Merupakan “GABA mimetic agent” yang bekerja pada reseptor GABA di nukleus rafe dorsalis yang akan menyebabkan penurunan “firing rate” dari sel serotoninergik. Dosis profilaksis : 400 – 800 mg/hari, 1500 mg/hari. Untuk serangan akut : 500 – 1000 mg/hari. Efek samping obat ini : nyeri pada lambung, dispepsia, hepatotoksik, rambut rontok, spina bifida pada bayi yang menggunakan obat ini.



Klonidin Klonidin merupakan agonis adrenoreseptor alfa2, yang diusulkan sebagai terapi profilaksis migren. Kegunaan klonidin sebagai profilaksis migren masih diragukan. Obat ini tidak begitu bermanfaat sebgai obat profilaksis migren dibandingkan dengan propanolol.



Magnesium 16

Magnesium dapat digunakan sebagai terapi preventif serangan migren. Pada penderita migren didapatkan kadar ion magnesium pada sel otak yang rendah sehingga memudahkan terjadinya CSD dan terjadinya serangan migren.

B. Terapi migren akut Terapi simptomatis dan terapi preventif dapat diberikan keduanya pada seorang penderita migren. Terapi simptomatis menghilangkan nyeri kepala dan gejala yang menyertai pada saat serangan migren. Kriteria pemberian terapi simptomatis saja, tanpa pemberian terapi profilaksis adalah : 

Serangan migren yang terjadi tidak lebih dari dua kali perminggu



Terapi simptomatis cukup efektif dan tidak ada kontraindikasi

Terapi simptomatis ada dua macam : terapi non spesifik dan erapi spesifik. Terapi non spesifik dapat menghilangkan simptom oleh karena efek analgesik tetapi tidak mempengaruhi patofisiologi migren. Terapi non spesifik mempunyai komponen analgesik dan anti inflamasi. Sedangkan terapi spesifik tidak mempunyai efek analgesik tetapi dapat menghentikan serangan migren akut. Obat – obatan yang digunakan adalah : 

Parasetamol dan aspirin : kedua jenis ini masih digunakan untuk serangan migren yang relatif ringan. Menurut Voalan (1974), 19 dari 42 pasien migren mempunyai gangguan absorpsi aspirin pada saat serangan migren, maka untuk memperbaiki absorpsi aspirin diberikan suntikan metoklorpropamide i.m saat serangan akut. Hasil penelitian Mac Gregor (1993), kombinasi parasetamol dan domperidon, lebih baik dibanding parasetamol saja. Dosis : parasetamol 300 – 800 mg tiap 8 jam dan aspirin 300 600 mg tiap 8 jam.



Naproxen : mempunyai keuntungan selain dapat diberikan per oral, juga secara suppositoria, sehingga tidak terpengaruh mual dan muntah yang sering menyertai serangan migren. Dosis : 1 x 500 – 1000 mg 17

Beberapa obat anti inflamasi non steroid lain meliputi ketoprofeb, diklofenak, flufenamic acid, ibuprofen, dan fenoprofen calcium ternyata cukup efektif untuk profilaksis migren. Golongan opioids seperti codein, petidin atau morfin merupakan pilihan terakhir terutama digunakan pada sakit kepala yang frekuensinya sering. Obat ini relatif masa kerjanya singkat sehingga kemungkinan efek obat sudah hilang tetapi nyeri kepala masih tetap ada maka diperlukan dosis yang kedua. Metoklopramid dan domperidon Digunakan untuk mengatasi rasa mual dan muntah yang sering menyertai saat serangan. Kedua obat tersebut bermanfaat memperbaiki absorpsi NSAID, analgesik dan ergotamin. Dosis : metilklorpamid 1 x 10 mg (i.m), 1 x 20 mg (suppositoria), 3 x 10 mg (oral). Domperidon 1 x 30 – 40 mg (oral) Lidokain (lignokain) Pemberian 100 mg i.v dapat menghilangkan nyeri kepala migren dan kluster. Bila nyeri tidak hilang dapat diberikan lignokain melalui infus dengan kecepatan 2 mg/menit. Ergotamin Pada akhir abad ke 19 ekstrak ergot digunakan pertama kali sebagai terapi migren, baru pada tahun 1920 ergotamin tartrat digunakan secara luas sebagai terapi migren. Mekanisme kerja : ergotamin bekerja sebagai agonis reseptor 5 HT1a dan 5 HT 1d, menurut Peroutka sebagai agonis reseptor 5 HT1a dan 5 HT1d kemampan utuk menghentikan serangan migren akut. Sedangkan antagonis 5 HT 2 dan antagonis 5 HT 1c mempunyai kemampuan sebagai propilaksis migren. Karena efek yang lama maka tidak digunakan pada penderita usia tua atau pada anak dibawah usia 10 tahun. Kontraindikasi pada penyakit jantung kronis, penyakit vaskuler perifer dan hipertensi serta kontraindikasi pada migren komplikata karena memperpanjang fase iskemik. 18

Efek samping : mual, muntah, iskemi pada ekstremitas, infark miokard, kelainan katup jantung, ulkus anorektal. Pada pemakaian lama dapat menginduksi nyeri kepala dan timbul gejala ergotismus, seperti : sianosis dan klaudikasio tungkai, parestesi bagian distal. Untuk mengurangi efek iskemik disediakan preparat dalam kombinasi dengan coffein. Dosis : 1 – 4 mg/hari (oral), dosis maksimal 6 mg/hari atau 10 mg dalam 1 minggu 0, 25 – 0,5 mg/hari (i.m), 0,25 – 0,5 mg/hari (i.v) Sumatriptan Sumatriptan merupakan obat yang relatif baru untuk terapi migren. Sumatriptan merupakan agonis reseptor 5 HT1 dan efektif untuk terapi serangan migren akut. Sumatriptan bekerja secara selektif pada reseptor 5 HT 1d dan 5 HT 1b. Stimulasi dari ganglion trigeminalis akan melepaskan CGRP dan substansi P pada sirkulasi kranial. Selama seranagn migren terjadi peningkatan CGRP. Keadaan ini akan menjadi normal kembali setelah pemberian sumatriptan. Efek sumatriptan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah kranial yang berada dalam keadaan dilatasi dan meregang. Sumatriptan juga bekerja pada akhiran saraf trigeminus pada duramater yang efeknya menyebabkan terjadinya penurunan neuropeptida. Menurut pedapatBernhard (1993), imigran (sumatriptan) lebih unggul terhadap ergotamin ataupun aspirin dalam mengatasi serangan migren. Sumatriptan dibanding plasebo juga lebih unggul dalam mengatasi gejala yang sering menyertai migren seperti mual, muntah, fotofobi, dan fonofobi. Sumatriptan efektif untuk terapi serangan migren akut bak pada migren dengan aura maupun tanpa aura. Efek samping : mual/muntah, gangguan pengecapan, letih, vertigo, dizzines, sedasi, kelemahan, rasa berat atau tertekan pada dada, nyeri tengkuk, terjadi reaksi pada tempat suntikan, flushing dan rasa terbakar. Dosis : serangan migren akut yaitu 6 mg (subkutan), dosis maksimal 12 mg dalam 1 hari. 19

C. Terapi tanpa obat Terapi tanpa obat pada saat serangan akut dapat berupa mengkompres dengan es, masuk ke tempat sejuk atau lingkungan gelap dan tenang, latihan biofeedback atau relaksasi dan tidur. Memberikan nasehat – nasehat dalam kehidupan sehari – hari seperti : Membagi beban kerja, menghindari beban kerja berlebihan dan stress Makan teratur, hindari makanan dan minuman yang dapat mencetuskan migren (misalnya keju, coklat, pisang, anggur) Hindari pola tidur yang salah (kebanyakan tidur atau kurang tidur) Membuat otot – otot serileks mungkin, bila dalam keadaan tanpa aktifitas fisik.

2.10

Prognosis Migren Perjalanan penyakit migren sebagaian besar bersifat jinak, dimana pada setiap akhir serangan migren akan sembuh sempurna tanpa ada tanda – tanda kerusakan struktural otak. Mathew dan kawan – kawan (1977) dikutip oleh Jenie, melaporkan bahwa penderita migren berat yang telah berlangsung 8 – 28 tahun dapat mengalami atrofi otak. Kematian pada penderita migren sangat jarang disebut tetapi Wolff dan Guest, 1964, yang dikutip oleh Jenie, pernah melaporkan terjadinya kematian pada penderita migren akibat infark otak yang fatal. Pada pasien migren atau nyeri kepala tegang, tidak menutup kemungkinan suatu saat mengalami nyeri kepala struktural misalnya tumor otak. Karena itu pada pasien migren atau nyeri kepala tegang perlu diwaspadai jika terjadi perubahan pola dan gambaran klinis nyeri kepalanya yang berbeda dengan biasanya. Pada penderita wanita migren, setelah menopause biasanya akan menjadi sembuh. Bille, 1989, yang dikutip Rasmussen mengikuti perjalanan penyakit pada 73 anak sekolah (umur onset rata – rata 6 tahun) selama 30 tahun. Menurut Bille, prognosis pada anak perempuan kurang baik dibanding anak laki – laki dan migren dengan aura visual mempunyai prognosis kurang baik. 20

DAFTAR PUSTAKA

1. Allan H.R and Martin A.S. Adam and Victor’s Principles of Neurology 9th ed. 2009. The MacGraw Hill Companies.Inc: Chapter 10 2. Blau JN: Migraine. 1992. Theories of Pathogenesis. Lancet. 3. Headache Classification Committee of International Headache Society.2013 Classification and Diagnostic Criteria for Headache Disorder. Cephalgia pages 644 4. Roger PS, Michael JA, David AG. 2009. Clinical Neurology 7th ed. Pages 71-92 5. Peter J.G and Michael D.F. 2002. Current Understanding and Treatment Migraine. New England Journal Medical. 6. Jimmy

H.W.

2004.

Mekanisme

Terjadinya

Nyeri

Kepala

Primer.

http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/vol1.no2.Juli2011/MEKANISME%20 TERJADINYA%20NYERI%20KEPALA%20PRIMER.pdf, September 2014.

21

Diakses

pada

24

More Documents from "riezhaf"

20994_lapsus.docx
May 2020 2
Migrain.docx
May 2020 3