4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi dan Deskripsi Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Secara umum klasifikasi buah mengkudu menurut Djauhariya (2003) adalah Kingdom Plantae, Divisi Miagnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Gentianales, Famili Rubiaceae, Genus Morinda, Spesies Morinda citrifolia L. Morinda citrifolia L mempunyai nama daerah eodu, mengkudu, bengkudu untuk daerah Sumatera. Sedangkan di daerah Jawa disebut kudu, cengkudu, kemudu, dan pace. Daerah Nusa Tenggara mengkudu biasa disebut wangkudu, manakudu dan bakulu. Sulawesi dikenal dengan noni dan di daerah Kalimantan dikenal dengan nama mangkudu, wangkudu, dan labanan. Mengkudu merupakan tumbuhan asli Indonesia, penyebarannya dari Asia tropis sampai ke Polynesia. Mengkudu termasuk jenis tanaman yang rendah dan umumnya memiliki banyak cabang dengan ketinggian pohon sekitar 3-8 meter serta tumbuh secara liar di hutan-hutan, tegalan, pinggiran sungai dan di pekarangan. Mengkudu juga dapat tumbuh dari daerah dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1500-3500 mm/tahun, pH tanah 5-7, suhu 22-300C dan kelembaban 50-70% (Rukmana, 2002). Tanaman ini mempunyai daun tunggal berwarna hijau kekuningan, bersilang hadapan, memiliki tangkai daun, bertepi rata dengan ukuran panjang 1040 cm dan lebar 15-17 cm, ujung meruncing, pangkal menyempit dan tulang daun menyirip (Heyne, 1987).
5
Gambar 1. Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sumber : Dokumen pribadi
Buah mengkudu bertangkai, berbentuk bulat lonjong seperti telur ayam sampai berbentuk elips, berupa buah buni majemuk yang berkumpul menjadi satu sebagai buah yang besar (Gambar 1). Panjang buah berdiameter 7,5-10 cm, permukaan tidak rata berbenjol-benjol, warna hijau, jika masak berdaging dan berair, warna kulit pucat atau kuning kotor, berbau busuk, berisi banyak biji berwarna hitam (Bangun dan Sarwono, 2002). 2.2. Kandungan Kimia Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Senyawa fitokimia yang umum terindentifikasi dalam buah mengkudu adalah acubin, alizarin, scopoletin, antraquinon, octoanoic acid, terpenoid, alkaloid, beta-sitosterol, beta-karotene, flavonoid, caproic acid, caprylic acid, ursolic acid dan proxeronine (Jayaraman et al., 2008). Kandungan senyawa Acubin, L. asperuloside, alizarin, saponin, flavonoid, minyak atsiri, alkaloid dan zat antraquinon dalam buah mengkudu berfungsi sebagai zat-zat yang bersifat antibakteri (Antara et al., 2001). Buah mengkudu mengandung zat kimia yang mempunyai efek antifungi dan antibiotik, yaitu scopoletin sebagai anti jamur, antraquinon untuk melawan
6
infeksi bakteri dengan cara meningkatkan sistem imun, asam ursolik secara internal dapat mengatasi inflamasi dan infeksi jamur pada kulit, asam kaprilik mengatasi pertumbuhan jamur yang berlebihan pada tubuh, terpenes bioflavanoid dan karotenoid merupakan zat anti infeksi fungi dan bakteri, dan xeronine anti infeksi jamur dan meningkatkan imunitas tubuh (Waha, 2000). Selanjutnya Karou et al., (2006) melaporkan bahwa senyawa turunan antraquinon dalam mengkudu seperti adalah morindin, morindon dan alizarin, sedangkan yang termasuk golongan alkaloidnya antara lain xeronin dan proxeronin (suatu bahan aktif pembentuk xeronine). Xeronin merupakan alkaloid yang dibutuhkan tubuh untuk mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur serta membentuk struktur protein. Senyawa alkaloid sering digunakan dalam bidang pengobatan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif. Skopoletin juga telah terbukti dapat membunuh beberapa tipe bakteri, bersifat fungisida (pembunuh jamur) terhadap Phythium sp. dan juga bersifat antiperadangan dan anti-alergi (Mangoting et al., 2008). Skopoletin dan flavonoid yang terkandung dalam buah mengkudu juga berfungsi sebagai antibakteri. Senyawa terpenoid yang terkandung dalam buah mengkudu merupakan senyawa yang sangat penting bagi tubuh untuk membantu sintesa organik dan pemulihan sel-sel dalam tubuh (Waha, 2000). Selanjutnya Nurrafita, (2013) juga menambahkan bahwa senyawa terpenoid adalah senyawa hidrokarbon isometrik yang juga terdapat pada lemak atau minyak esensial (essential oils), yaitu sejenis lemak yang sangat penting bagi tubuh. Senyawa asam askorbat dan selenium dalam buah mengkudu berfungsi sebagai antioksidan (Djauhariya, 2003), morindin, vitamin A, niasin, thiamin,
7
riboflavin dan damnacanthal berfungsi sebagai antikanker (Winarti dan Nanan, 2005). Asam askorbat yang terdapat di dalam buah mengkudu merupakan sumber vitamin C dan antioksidan yang kuat. Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan (Waha, 2000; Peter, 2005; Winarti, 2005). Kandungan flavonoid pada mengkudu sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif. Flavonoid merupakan senyawa antibakteri yang paling banyak terdapat dalam buah mengkudu (Djauhariya, 2003). Flavonoid bersifat polar sehingga lebih mudah menembus lapisan peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri Gram positif daripada lapisan lipid yang nonpolar. Selain itu pada dinding sel Gram positif mengandung polisakarida (asam terikoat) yang merupakan polimer dan larut dalam air, berfungsi sebagai transfor ion positif untuk keluar masuk. Sifat larut inilah yang menunjukkan bahwa dinding sel Gram positif bersifat lebih polar. Aktivitas penghambatan ekstrak mengkudu pada bakteri Gram positif menyebabkan terganggunya fungsi dinding sel sebagai pemberi bentuk sel dan melindungi sel dari lisis osmotik. Terganggunya dinding sel akan menyebabkan lisis pada sel (Dewi, 2010). II.3.
Zat Antibakteri
Zat antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri melalui mekanisme penghambat pertumbuhan (Pelczar dan Chan, 1988). Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus memiliki toksisitas selektif setinggi mungkin. Zat antibakteri tersebut harus bersifat sangat toksik untuk bakteri tetapi relatif tidak toksik terhadap ikan. Oleh sebab itu, berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada anti bakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dikenal dengan aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh
8
bakteri dikenal dengan aktivitas bakterisidal. Selanjutnya mekanisme kerja antibakteri dibagi menjadi lima bagian, yaitu 1). dapat mengganggu metabolisme sel bakteri, 2). menghambat sintesis dinding sel bakteri, 3). mengganggu permeabilitas membran sel bakteri, 4). menghambat sintesis protein sel bakteri dan 5). menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri (Setiabudy dan Vincent, 2002). Aktivitas zat antibakteri dengan menggunakan metode pengenceran bisa dilihat dari tingkat kekeruhan (turbidity) media (Irianto, 2006). Konsentrasi terendah dari tabung yang tidak tampak keruh menunjukkan bahwa penghambatan pertumbuhan dan konsentrasi ini disebut konsentrasi hambat tumbuh minimal. Pengamatan aktivitas antibakteri juga bisa dilakukan dengan melihat zona hambat (clear zone) pada media padat dengan menggunakan disk. Apabila suatu zat antibakteri mampu menghambat pertumbuhan bakteri, maka akan terbentuk zona hambat di sekitar disk, sedangkan di luar zona hambat bakteri akan terus tumbuh yang menandakan pada zona tersebut tidak terdapat aktivitas antibakteri (Lennete et al., 1985). Hasil penelitian Jayaraman et al., (2008) membuktikan bahwa pada buah mengkudu terdapat acubin, L. asperuloside, alizarin dan beberapa zat antraquinon yang berfungsi sebagai zat antibakteri terhadap infeksi yang disebabkan oleh Bassilus subtilis dan Lactobacillus lactis, Salmonella typhi, Pseudomonas aeruginosa, Echerichia coli, Shigella flexneri, Staphylococcus aureus, Vibrio harveyi, Streptococcus thermophiles, Chromobacterium violaceum, Aeromonas hydrophila, dan Salmonella paratyphi A. Selanjutnya Djauhariya (2003) juga telah membuktikan bahwa buah mengkudu mengandung senyawa
9
aktif yang berfungsi sebagai zat antibakteri. Bakteri yang telah diketahui dapat mengontrol jenis-jenis bakteri yang mematikan (patogen) seperti Salmonella dan Sigella (Waha, 2000). Selanjutnya Lee et al., (2008) juga melaporkan bahwa pada dosis 250 mg/mL ekstrak buah mengkudu dengan menggunakan pelarut akuades dapat menghasilkan zona hambat terhadap bakteri Vibrio vulnificus (7 mm), Citrobacter freundi (7.5 mm), Edwardsiella tarda (7 mm), Schewanella putrifaciens (8.5 mm), Vibrio harveyi dan Vibrio alginolyticus (9.5 mm), Vibrio cholera dan V. parahaemolyticus (10.5 mm). Selanjutnya, ekstrak buah mengkudu dengan menggunakan metode maserasi dengan metanol dapat menghasilkan zona hambat terhadap bakteri Streptococcus sp. dan Edwardsiella tarda (7 mm), Vibrio harveyi dan Vibrio vulnificus (8 mm), Vibrio alginolyticus (9,5 mm) dan Vibrio parahaemolyticus (10,5 mm). II.4.
Bakteri Streptococcus agalactiae.
Bakteri Streptococcus agalactiae secara umum memiliki karakteristik seperti bentuk kokus, Gram positif, motilitas negatif, oksidatif fermentatif positif, katalase negatif (Hardi et al., 2011). Streptococcus agalactiae dikelompokkan ke dalam grup B Streptococcus (GBS). Berdasarkan kandungan kapsul polisakarida, terdapat 10 jenis tipe serotype yang telah teridentifikasi (Kong et al. 2002; Slotved et al. 2007). Selain pengelompokan Lancefield, identifikasi S. agalactiae berdasarkan kemampuannya menghemolisis darah pada media agar darah. Tipe hemolisis yang ada untuk bakteri Streptococcus adalah alpa (α-), beta (β-) dan non (γ-) hemolitik. α hemolitik memiliki kemampuan parsial menghemolisis media agar darah dan mengekspresikan zona kehijauan disekitar koloni, β hemolitik
10
mengekspresikan zona bening disekitar koloni dan non hemolitik tidak mampu melisis darah pada media agar (Gambar 2).
a b c Gambar 2. Streptococcus pada media agar darah. (a) β-hemolitik, (b) αhemolitik dan (c) Non-hemolitik Sumber : Dwinanti (2011)
S. agalactiae dibagi menjadi dua tipe yaitu β hemolitik dan non hemolitik. S. agalactiae β-hemolitik tumbuh baik (cepat) pada suhu 37°C dan mampu menghidrolisis gula lebih banyak sedangkan bakteri non-hemolitik memiliki sifat yang bertolak belakang dengan bakteri β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae nonhemolitik lebih bersifat virulen dibandingkan dengan β-hemolitik dilihat dari kemampuan menyebabkan kematian pada ikan. Sedangkan berdasarkan pengujian ekspresi fenotif, derajat hidrofobitas dan aktivitas hemaglutinasi, bakteri ini dikelompokkan dalam tipe berkapsul dan non kapsul (Wibawan et al. 1992). Streptococcus agalactiae sebagai bakteri patogen, memiliki faktor virulensi untuk membantu proses infeksi pada inang. Streptococcus memproduksi beberapa jenis toksin protein dan enzim yang mampu membunuh atau menghancurkan susunan sel inang yang memungkinkan bakteri memanfaatkan nutrisi inang untuk berkembangbiak. Pada beberapa kasus, toksin protein dan enzim tersebut berperan penting dalam resistensi terhadap sistem imun inang, baik komponen itu sendiri ataupun kombinasi dengan faktor virulen pada sel seperti kapsul atau protein permukaan. Salah satu faktor virulensinya adalah kandungan eksotoksin yang terlarut pada extracellular product (ECP)-nya. Sedangkan pada
11
bakteri
Gram
negatif
faktor
virulensi
lebih
banyak
terdapat
pada
lipopolysacharida (endotoksin) (Williams et al., 2003). Glaser et al., (2002) menyatakan bahwa ECP S. agalactiae yang terdiri dari kapsular polisakarida, protein permukaan dan beberapa sekresi protein inilah yang membantu bakteri menempel pada sel epitel inang serta menghindari mekanisme pertahanan tubuh inang. ECP merupakan salah satu faktor virulensi S. agalactiae. Selanjutnya Segura dan Gottschalk (2004), menjelaskan faktor virulensi ekstraseluler pada bakteri ini terdiri dari kapsul polisakarida, hemolisin, pirogenik eksotoksin, hialuronidase, CAMP-faktor, superoksida dismutase dan bakteriosin. Selain faktor virulensi yang menjelaskan karakteristik interistik dari bakteri ini, patogenesitas S. agalactiae merupakan hal penting untuk diketahui terkait dengan proses perjalanan bakteri dari awal infeksi hingga menyebabkan kematian pada inang dalam upaya pengendalian penyakit. Hardi (2011), menyatakan bahwa tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan tipe β hemolitik dilihat dari jumlah kematian ikan nila yang lebih cepat dan banyak, perubahan pola renang, pola makan dan patologi anatomi secara makroskopis dan mikroskopis. Selanjutnya Hardi et al., (2011) telah membuktikan bahwa kematian ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik lebih tinggi daripada β-hemolitik mulai dari 12 jam pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan. Kematian yang terjadi secara cepat dan banyak dalam waktu 12 jam kemungkinan disebabkan karena adanya beberapa enzim seperti hemolisin, lipase, elastase, gelatinase, chitinase dalam bakteri (Austin dan Austin, 2007). Selain itu penyebaran bakteri Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik lebih luas dan ditemukan di beberapa wilayah di Asia seperti China, Indonesia, Vietnam, dan
12
Philippina, selain itu juga ditemukan di wilayah Amerika Latin seperti Ekuador, Honduras, Mexico dan Brazil. Evans et al., (2006) melaporkan bahwa hasil pengamatan terhadap patogenitas S. agalactiae dapat menyebabkan kematian ikan hingga 90% dalam waktu 6 hari setelah diinfeksi. Gejala tingkah laku ikan nila sebelum mati terlihat seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respons terhadap pakan lemah, berenang whirling (menggelepar), tubuh membentuk huruf C, perubahan pada warna tubuh, dan bukaan operkulum menjadi lebih cepat. Taukhid (2009), berhasil mengisolasi S. agalactiae dari ikan nila yang berasal dari beberapa daerah seperti Cirata, Klaten, Kalimantan, Sulawesi, dan Aceh. Gejala klinis yang tampak pada ikan-ikan yang terinfeksi S. agalactiae ini adalah clear operculum, berenang whirling (menggelepar), warna tubuh menjadi gelap, dan pada kasus kronis ikan yang ditemukan mengalami eksoptalmia (mata menonjol). II.5.
Uji MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
Konsentrasi minimum penghambat pertumbuhan bakteri atau lebih dikenal dengan MIC (Minimun Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari antibiotik atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Greenwood dalam Rachdie (2005), nilai MIC adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotik dan mikroba. Nilai MIC digunakan untuk mengetahui sensitivitas antibiotik terhadap mikroba. Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang di uji. Jika sensitivitas dari bakteri semakin besar, maka nilai MIC akan semakin kecil. MIC dari sebuah antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata MIC terhadap seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda dalam hal sensitivitas. Metode uji antimikrobial
13
yang sering digunakan adalah metode Difusi Lempeng Agar. Uji ini dilakukan pada permukaan media padat. Mikroba ditumbuhkan pada permukaan medium dan disk blank yang telah mengandung anti mikroba. Setelah diinkubasi diameter zona hambat diukur. Menurut Greenwood dalam Rachdie (2005), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona hambat dan harus dikontrol diantaranya yaitu konsentrasi mikroba pada medium (semakin tinggi konsentrasi mikroba maka zona penghambatan akan semakin kecil), kedalaman medium pada cawan petri (semakin tebal medium pada cawan maka zona penghambatan semakin kecil), nilai pH medium (beberapa antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi asam dan beberapa basa kondisi alkali atau basa), dan kondisi aerob atau anaerob (beberapa antibakterial kerja terbaiknya pada kondisi anaerob dan yang lainnya pada kondisi aerob). Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut diinkubasi dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan kekeruhan. Larutan senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC) (Pratiwi, 2008).
II.6.
Uji Toksisitas (LD50)
Toksisitas
diartikan
sebagai
kemampuan
racun
(molekul)
untuk
menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang
14
rentan terhadapnya (Soemirat, 2003). Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat. Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian hewan uji (LD50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari (Soemirat, 2003). Lethal Dosis50 adalah konsentrasi sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik pada 50% dari ikan uji. LD 50 merupakan tolak ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal. Maksud dilakukan LD50 adalah uji untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada ikan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan dalam satu kesempatan saja. Nilai LD50 24 jam suatu senyawa terhadap ikan uji ditentukan dengan menggunakan metode Reed dan Muench (1938) dalam Ibrahim et al., (2012).