Metopen 7-9.docx

  • Uploaded by: Fadhila
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Metopen 7-9.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 673
  • Pages: 3
bolak-balik dengan protein, amina, asam amino dan beberapa senyawa organik.

Commented [A1]: Sebelum dan diberi tanda (,)

Oleh karena itu, reagen Nash tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk mengukur total formaldehida yang terkandung, sehingga diperlukan destruksi sampel. Amano dan Yamada (1964) mengadaptasi metode Nash dengan ekstraksi, sampel dilakukan maserasi dan diekstraksi menggunakan larutan trikloroasetat (TCA) 20 %. Josh dkk.(2015) mengukur kadar formaldehida dalam sampel ikan

Commented [A2]: Diawal kata sampel diberi kata hubung

yang dipasarkan di Kathmandu, Nepal, melaporkan dengan menggunakan metode

Commented [A3]: Penulisan sitasi kurang spasi setelah (.)

Nash, sampel mengandung formaldehida 0,393 – 2,328 𝜇g/g dengan kondisi sekitar

Commented [A4]: Tidak diberi spasi

pH 6 saat pengukuran. Sementara itu Noordiana dkk. (2011) melaporkan kandungan formaldehida dalam ikan yang dipasarkan di Selangor berada dalam rentang 0,38 – 15,75 𝜇g/g. Ginting (2010) melaporkan kandungan formaldehida

Commented [A5]: Tidak diberi spasi

dalam bakso yang dipasarkan di Medan, beberapa mengandung formaldehida 20,71–49,44 𝜇g/g. II.1.4 Fluoresensi Kunci terpenting dalam sensor fluoresen adalah emisi luminensi. Luminensi adalah emisi cahaya dari keadaan elektronik tereksitasi dari suatu ion atau molekul yang terdiri dari dua jenis yaitu fluoresen di mana emisi berasal dari keadaan eksitasi singlet dan fosforesen di mana emisi terjadi dari keadaan eksitasi triplet. Keadaan tersebut diawali dari promosi elektron dari orbital keadaan dasar atau highed occupied molecular orbital (HOMO) ke orbital energi lebih tinggi atau lowest unoccupied molecular orbital (LUMO) oleh adanya irradiasi cahaya.

Gambar II.7 Diagam orbital molekul, menunjukkan promosi elektron dari orbital HOMO ke LUMO ketika eksitasi oleh energi cahaya

Commented [A6]: Tidak efektif

HOMO dan LUMO mendeskripsikan orbital n, 𝜋 dan 𝜋* di mana elektron mengintrpretasikan berbagai kemungkinan spesi eksitasi di mana energi dari keadaan eksitasi dapat terpaparkan, dikenal dengan diagram Jablonski.

Gambar II.8

Diagram Jablonski

Energi yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eksitasi bergantung secara langsung pada celah energi (energy gap) antara keadaan dasar dan keadaan eksitasi, sementara celah energi tersebut selalu berbeda antar molekul. Oleh sebab itu, bergantung pada besarnya celah energi, fluoresensi dapat terjadi pada energi tinggi,

Commented [A7]: Kalimat kurang efektif

yakni pada panjang gelombang pendek atau blue emission (<430 nm), daerah cahaya tampak (430-800 nm) dan daerah near-IR (800-1600 nm) (Parkesh dkk.,

Commented [A8]: Setelah dan kurang (,)

2011). Berdasarkan diagram Jablonski, tampak bahwa emisi fluoresen terjadi pada panjang gelombang lebih panjang dibanding absorpsi. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari hilangnya energi vibrasi dalam keadaan eksitasi oleh internal conversion. Perbedaan antara panjang gelombang dariemisi maksimum dan absorpsi maksimum dikenal sebagai Stoke shift (Callan dkk., 2005; Loudet dan

Commented [A9]: Lebih baik ditulis dalam bahasa indonesia

Burgess, 2007) Menurut Rochart (2010) sinyal berupa fluororesen diperoleh salah satunya melalui mekanisme photoinduced electron transfer (PET) sehingga menghasilkan kemosensor dengan sistem OFF-ON. Sistem OFF-ON terjadi dengan adanya interaksi dengan substrat menyebabkan eksitasi electron dari HOMO ke LUMO.

Commented [A10]: Sebelum sehingga diberi (,)

Kondre dkk. (2007) melaporkan keberhasilannya mensintesis senyawa turunan

3,5-dimetil-1,7-difenil-bis-pirazolo[3,4-b:3,4-e]piridin

menunjukkan

intensitas fluoresensi daerah biru-hijau.

Gambar II.9

Senyawa turunan piridin yang menghasilkan inntensitas fluoresensi (Kendre dkk., 2007)

II.1.5 Kemosensor Pembuatan Ikatan Kovalen Kemosensor didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat mengalami interaksi intermolekul dengan suatu substrat untuk dihasilkan sinyal (Rochart, 2010). Kemosensor dapat diklasifikasikan berdasarkan sinyal dan substrat yang dideteksi. Jenis kemosensor berdasarkan sinyal yang dihasilkan dibagi menjadi dua kelompok yaitu sensor elektronik dan sensor optik. Sensor elektronik dapat berupa elektroda ion selektif, transistor field-effect, sensorelektroaktif, biosensor dan fluorogenik. Jenis kemosensor berdasarkan substrat yang dideteksi terbagi menjadi

Commented [A11]: Sebelum dan diberi (,)

tiga kelompok yaitu sensor kation, anion dan netral. Untuk sensor substrat bersifat

Commented [A12]: Sebelum dan diberi (,)

netral dapat melalui interaksi dengan ligan atau melalui pembentukan ikatan

Commented [A13]: Untuk tidak boleh diawal kalimat

kovalen berupa adisi nukleofilik (Tavallali dkk., 2013). Sebuah sensor fluoresensi dapat didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunjukkan keberadaan suatu substrat seperti ion dan molekul melalui perubahan sinyal optik fluoresensi (Callan dkk., 2005). Dua komponen utama yang diperlukan untuk desain sensor fluoresensi yakni fluorofor (signaling moiety) dan reseptor (recognition moiety). Fluorofor bertindak sebagai signal transducer, mengubah informasi pengenalan menjadi respon optik. Sementara reseptor bertanggungjawab untuk mengikat substrat secara selektif dan efisien yang

Commented [A14]: dipisah

Related Documents


More Documents from "Felisitas Agnes"

Metopen 7-9.docx
April 2020 24
Gas 2.pdf
April 2020 21
Gas 2.pdf
April 2020 14
Data.docx
July 2020 14