Metodologi Penelitian

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Metodologi Penelitian as PDF for free.

More details

  • Words: 3,571
  • Pages: 18
22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian

ini

menggunakan

analisis

framing

sebagai

metode. Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam rumpun analisis isi. Sebagai kelanjutan analisis

isi

kovensional (klasik), analisis framing berusaha meninggalkan analisis isi konvensional disebabkan ketidakmampuan membaca urgensi pesan sebagai bagian terpenting dari analisis sosial. Karena itu karakteristik analisis framing berada diantara dua pendekatan, disatu sisi mempertahankan beberapa pendekatan dasar analisis isi dan disisi lain mengembangkan model yang mampu

mengungkapkan

makna

dibalik

idiologi

atau

cara

pandang (live word) media. 1. Saat 1995,

Konsep Framing Berita pertama kali diperkenalkan oleh Baterson di tahun

framing

dimaknai

sebagai

struktur

konseptual

atau

perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan, wacana, serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lebih lanjut Goffman pada tahun 1974,

mengandaikan

(kepingan-kepingan

framing

perilaku)

sebagai yang

strips

of

behavior

membimbing

individu

membaca realitas.1 Konsep framing atau frame --- istilah dari ranah psikologi--berangkat dari cara pandang bahwa kontruksi realitas pasti bergantung kepada bagaimana cara “sang pemilik cerita” menyampaikannya kepada khalayak. W. A Gamson2 mengatakan: 1

2

Agus Sudibyo, Politik 2001,Yogyakarta, hal. 23. Ibid Agus Sudibyo hal. 221

Media

dan

Pertarungan

Wacana,

LKiS,

23

“Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana”.

Kisah Kabayan Pergi ke Kota, tentu akan menjadi kisah mengiris hati bila yang diceritakan adalah tentang bagaimana ia tersesat, tidak tahu arah, kecopetan, dan mendapat perlakuan angkuh orang-orang kota. Namun kisah tersebut akan menjadi kocak

manakala

Kabayan

yang

dengan

diceritakan

penjaga

karcis

tentang gedung

percekcokan bioskop

si

yang

berulangkali menyobek karcisnya ketika hendak menonton film atau saat masuk sebuah bank dengan semangat berteriak salam dan berjabat tangan dengan nasabah karena dikira sedang ada pengajian. Media massa dalam analisis framing dipandang sebagai media diskusi antara pihak-pihak tertentu dengan idiologi dan kepentingan

yang

berbeda-beda.

Mereka

berusaha

untuk

memberi titik tekan kerangka dan prespektif pemikiran tentang satu objek wacana. Agus Sudibyo mencatat framing secara umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan aspek tersebut dapat menjadi lebih noticeable, meaningfull dan memorable bagi khalayak.3 Pada prakteknya framing memastikan adanya prioritas isu tertentu dengan menghilangkan isu yang lain. Penonjolan ini dapat dilacak dari strategi media dalam penempatan berita,

3

Ibid. Agus Sudibyo.

24

pengulangan, pemakaian gambar dan grafis, dan labelisasi.4 Definisi ini sejalan dengan pendapat Michel Parenti

5

sebagai

berikut :

“Framing is achieved in the way the news is packaged, the amount of exposure, the placement (front page of back, lead story or last), the tone of presentation (sympathetic or slighting), the accompanying headlines and visual effects, and labelling and vocabulary. Just short of lying, the media can mislead us in a variety of ways, telling us what to think abaout a story before we have had a change to think about ourselves”.

Pola penonjolan semacam itu dipandang

bukan hanya

sebagai bias media, namun lebih menukik pada level idiologis media menyajikan wacana. Proses

framing

multidispliner

untuk

komunikasi.6

Paktek

menuntut menganalisis analisis

kompleksitas fenomena

memungkinkan

dan

prespektif aktivitas

disertakannya

konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalis fenomena-fenoma komunikasi sehingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya. Dalam konteks ini, teori kritis memberi arahan lapangan kerja (fieldwork direction) guna memberi fokus pada kerangka proses framing itu sendiri. 2.

4

5 6

Teknik Framing Berita

Alex Shobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001 hal. 164. Op. Cit.Agus Sudibyo hal. 222 Op.Cit. Alex Shobur hal.177.

25

Seorang wartawan dengan keterbatasannya tidak mungkin mampu mem-framing seluruh bagian berita. Hanya bagianbagian tertentu saja yang dapat diframing namun bagian ini merupakan bagian penting dalam sebuah berita. Menurut Entman7,

framing dalam berita mempunyai

empat fungsi yaitu : 1. Mendefinisikan masalah—menetapkan apa yang dilakukan agen kausal ( baca : pihak media), dengan biaya dan keuntungan apa, biasanya pengukuran melalui nilai-nilai budaya bersama. 2. Mendiagnosis penyebab--mengidentifikasi kekuatan yang menciptakan masalah. 3. Melakukan penilaian moral--mengevaluasi agen-agen kausal beserta dampak-dampak yang diakibatkannya. 4. Menyarankan perbaikan--menawarkan dan memberikan pembenaran terhadap penanganan masalah, serta memprediksi kemungkinan akibatnya.

Sementara itu Abrar membuat empat

pola umum dari

teknik framing berita yang dipakai wartawan. Pertama, cognitive dissonance, ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku. Seorang wartawan dalam memberitakan kasus pemerkosaan dengan berempati pada korban, maka ia tidak dapat serta merta menunjukkan bentuk simpatinya tersebut. Ia masih harus tunduk pada aturan jurnaliastik dan menjunjung kaidah tersebut. Kedua, empati.

Teknik empati adalah menempatkan diri

dalam pribadi khayal dalam diri khalayak, sementara khalayak ditarik dalam posisi dan kondisi subjek pemberitaan yang dimaksud. 7

Ketiga, assosiasi, yaitu menggabungkan kondisi,

Ibid Alex Shobur hal.173-174.

26

kebijakan aktual dengan fokus berita. Hal ini guna memancing kesadaran khalayak untuk ikut turut serta melakukan perubahan sebagaimana yang diinginkan oleh wartawan. Selanjutnya berita ditutup dengan teknik packing, dimana khalayak diarahkan untuk menerima kebenaran tanpa syarat, sebab mereka tidak berdaya untuk membantah kebenaran yang

direkonstruksikan dalam

berita.8 B. Analisis Data Framing Analisis berita dengan konsep framing yang digunakan pada penelitian ini adalah model yang dikembangkan oleh Pan dan

Kosichi

dan

Teun

Van

Dijk.

Model

ini

berusaha

menghubungkan berbagai elemen yang ada dalam teks berita dengan mengasumsikan bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Contohnya pada kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata, dan lain sebagainya ke dalam teks secara keseluruhan. Cara wartawan memaknai suatu berita dapat dilihat dari berbagai perangkat tanda yang ada dalam teks berita yang dibuat. Sehingga makna berhubungan erat antara

frame

wartawan dan media yang menjadi objek penelitian.9 Perangkat framing dalam model Pan dan Kosichi dan Teun Van Dijk dibagi menjadi menjadi empat struktur besar yaitu Sintaksis, Skrip, Tematik, dan Retoris. a.

Sintaksis

Secara etimologis Sintaksis berasal dari kata Yunani yaitu “sun”

berarti

“dengan”,

dan

“tattien”

yang

berarti

“menempatkan”. Dalam pengertian umum, Sintaksis adalah 8 9

Ibid Alex Shobur. Eriyanto, Bimo Nugroho, Politik Media Mengemas Berita, ISAI Jakarta, 1999 hal 29.

27

susunan kata atau frase dalam kalimat. Sementara dalam pendekatan analisis framing, sintaksis adalah cara atau strategi wartawan untuk menyusun fakta yang diperoleh baik peristiwapernyataan, opini, kutipan, maupun pengamatan atas peristiwa ke dalam sebuah kesatuan/ bentuk umum berita. Struktur sintaksis yang paling populer dalam bentuk struktur piramida terbalik. Sehingga unit yang dapat diamati dalam struktur sintaksis adalah melalui kutipan

yang

diambil,

serta

judul (headline), lead,

penempatan

dari

berbagai

pernyataan sumber informasi. Headline mempunyai aspek sintaksis yang tinggi, karena headline merujuk pada tingkat kecenderungan sebuah berita.10 Headline mempengaruhi bagaimana kisah dimengerti dan dibuat untuk selanjutnya

dikonstruksi pengetahuan tersebut melalui

judul berita. Sementara lead berfungsi menunjukkan prespektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan. Sebagai paragraf pembuka, lead kaya

akan

nuansa

kecenderungan

sebuah

berita,

melalui

pemilihan atau penonjolan aspek berita tertentu. Latar adalah bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti kata) yang hendak ditampilkan. Wartawan dalam menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar pada umumnya ditampilkan diawal sebelum opini wartawan atau komunikator yang sebenarnya muncul, dengan maksud untuk mempengaruhi dan memberi bobot argumentatif yang kuat dan reasonable (beralasan). Sehingga latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam teks.

10

Ibid. 31

28

Bagian berita lain yang penting adalah pengutipan sumber berita. Bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk membangun objektifitas—prinsip keseimbangan dan ketidak-berpihakan (cover both side). Bagian ini juga menekankan bahwa apa yang ditulis wartawan bukan pendapat wartawan belaka, namun pendapat dari seseorang yang mempunyai otoritas tertentu. Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing untuk tiga hal. Pertama,

mengklaim validitas atau kebenaran dari

pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Wartawan dapat saja mempunyai pendapat sendiri

atas

suatu

peristiwa,

pengutipan

digunakan

untuk

memberi bobot atas pendapat yang dibuat, seolah pendapat tersebut tidak omong kosong tetapi didukung oleh ahli yang berkompeten.

Kedua,

pandangannya

kepada

mengecilkan

pendapat

dihubungkan

dengan

menghubungkan pejabat atau kutipan

yang

poin

berwenang.

pandangan atau

tertentu tertentu

pandangan

dari

Ketiga, yang

mayoritas

sehingga pandangan tersebut tampak sebagai penyimpangan dari

pendapat

umum.

Teknik

ini

sangat

berguna

untuk

menekankan aspek argumentatif dari keseluruhan pendapat dalam teks, bahwa meskipun ada yang berseberangan pendapat, namun hal itu kecil artinya dibanding dengan pendapat-pendapat lain yang tercantum. b.

Skrip

Laporan berita sering disusun sebagai suatu jalinan cerita. Hal ini disebabkan oleh dua hal; pertama, banyak laporan berita yang berusaha menunjukkan peristiwa yang ditulis merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya;

kedua, bahwa berita

29

sendiri mempunyai orientasi untuk menghubungkan dengan lingkungan komunal berita. dapat

disamakan

dengan

Sehingga menulis berita hampir menulis

cerita

atau

novel.

Perbedaannya bukan terletak pada cara bercerita namun lebih pada fakta yang dihadapi .11 Bentuk umum dari skrip adalah pola 5 W+1H ( who, what, where, when, why dan how). Meskipun pola ini tidak selalu dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, namun kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi framing yang penting. Bila dalam sebuah berita diterangkan unsur-unsur pelaku (who), tempat dan waktu kejadian (where dan when), dan bagaimana kejadian berlangusng (how), namun dengan serta merta menghilangkan unsur-unsur penyebab kejadian (why), maka wartawan mempunyai maksud tertentu. Tata urutan dalam menyusun berita juga mempunyai pengaruh penting dalam proses framing. Suatu kejadian yang mengedepankan unsur who misalnya, tentu ada pertimbangan yang cukup mendasar kenapa harus pelaku terlebih dulu dimunculkan, barangkali pelaku adalah tokoh besar, artis, atau orang yang mempunyai pengaruh di masyarakat. Hal ini bukan saja berhubungan dengan aspek nilai berita yang hendak ditonjolkan, namun ada konstruksi dan idiologi wartawan yang turut menentukan tata letak penggunaan unsur-unsur dari pola 5W+1H. Wartawan juga mempunyai cara bercerita tertentu seperti dengan gaya dramatis, mengaduk-aduk emosi pembaca, atau cara bercerita yang biasa-biasa saja. Cara bercerita semacam ini tidak pernah lepas dari strategi wartawan untuk menekankan atau mengaburkan fakta yang sebenarnya. Sebagai contoh, 11

Ibid. hal.33

30

sebuah berita pemerkosaan disusun wartawan menggunakan cara

bercerita

yang

dramatis

dengan

menyoroti

kejadian

pemerkosaan secara detail, sehingga aspek pidana atau latar kejadian tidak terlalu dipersoalkan. c.

Tematik

Setiap wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu peristiwa.

Tema tersebut muncul sebagai konstruksi wartawan

dalam membuat teks berdasarkan apa yang ia peroleh dan apa yang hendak ia tulis. Dalam peristiwa tertentu, pembuat teks dapat memanipulasi penafsiran pembaca atau khalayak dengan melakukan permainan definisi dan diksi guna menggambarkan fakta. Misalnya sebuah demonstrasi yang secara umum berjalan damai dapat dikonstruksi sebagai sebuah demonstrasi yang anarkis hanya karena penekanan fakta pada beberapa insiden yang sebenarnya tidak terlalu dipersoalkan. Tema tema tersebut dapat dilacak melalui susunan atau bentuk kalimat tertentu, proposisi atau hubungan antar proposisi. Elemen-elemen dalam tematik adalah sebagai berikut : Pertama,

elemen

berhubungan

detail

dengan

berita.

kontrol

Elemen

informasi

yang

detail

berita

ditampilkan

seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi

yang

menguntungkan

dirinya

atau

citra

yang

berlebihan. Sebaliknya ia akan menampilkan informasi dalam jumlah yang sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) bila hal

itu

merugikan

kedudukannya.

Informasi

yang

menguntungkan tidak saja ditampilkan secara berlebih tetapi dengan detail yang lengkap dan kalau perlu dengan data-data. Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan dengan sengaja untuk menciptakan citra tertentu

31

pada

khalayak.

dihilangkan

Sementara

bila

tidak

detail—meskipun

menguntungkan

lengkap--akan

posisi

komunikator.

Sebagai contoh, seorang pemerkosa dalam pernyataanya akan mengurangi detail yang kemungkinan akan memojokkan dia dan mencari detail-detail yang dapat menyelamatkannya dengan mencari alibi atau memaparkan kondisi kejiwaannya ketika melakukan tindak pemerkosaan. Kedua, elemen

Maksud. Hampir sama dengan elemen

Detail. Bila elemen detail informasi yang menguntungkan akan diuraikan

dengan

panjang

mengeksplisitkan

informasi

lebar,

maka

yang

elemen

maksud

menguntungkan

bagi

komunikator. Informasi tersebut disajikan secara jelas, dengan kata-kata

yang

tegas

dan

langsung

ke

fakta.

Sementara

informasi yang merugikan akan dibuat samar, implisit, dan tersembunyi dengan kata-kata yang berbelit-belit dan eufimistik. Ketiga,

Nominalisasi. Elemen ini berhubungan dengan

pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal atau berdiri sebagai satu kesatuan. Nominalisasi dengan sendirinya mengarah pada generalisasi. Jono yang dipukuli oleh polisi dalam demo mahasiswa akan mempunyai

makna

berbeda

ketika

teknik

nominalisasi

ini

digunakan, seperti dengan menyusun judul, “Bentrok, mahasiswa dipukuli polisi” dibanding dengan judul “Polisi

memukuli Jono,

seorang mahasiswa peserta demo”. Keempat,

Koherensi. Koherensi adalah pertalian atau

jalinan antar kata, proposisi, atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi

yang

dihubungkan

menggambarkan

fakta

berbeda

dapat

menggunakan koherensi, sehingga fakta yang

tidak berhubungan dapat menjadi terhubung karena teknik koherensi tersebut.

32

Proposisi “gadis menangis” dan “uang hilang” adalah dua fakta yang berbeda. Keduanya dapat dihubungkan dengan koherensi sebab-akibat sehingga proposisi tersebut menjadi “gadis

menangis

karena

uang(nya)

hilang”. Dua

proposisi

tersebut tidak berhubungan bila yang dipakai koherensi adalah kata hubung misalnya “dan”, menjadi “gadis menagis dan uang(nya) hilang”. Koherensi digunakan untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan, saling terpisah, atau justru sebab akibat. Pilihan-pilihan tersebut ditentukan oleh sejauh mana komunikator berkepentingan terhadap peristiwa tersebut. Koherensi terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, koherensi kondisional. Koherensi kondisional dapat berupa hubungan sebab akibat atau hubungan penjelas. Hal ini secara mudah dapat dilihat dari penggunaan kata hubung yang dipakai untuk mengggambarkan dan menjelaskan hubungan, atau memisahkan satu

proposisi

dihubungkan

dengan

bagaimana

seseorang

memaknai suatu peristiwa yang ingin ditampilkan di depan publik. Koherensi kondisional juga ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua proposisi. Proposisi pertama dijelaskan dalam proposisi kedua dengan menggunakan kata hubung seperti “yang” atau “dimana.” Sebagai

proposisi

penjelas,

arti

dari

proposisi

pertama

sebenarnya tidak terlalu dipengaruhi oleh proposisi kedua. Namun komunikator berusaha memasukkan kepentingannnya dalam proposisi penjelas ini. Seperti dalam kalimat,

“Presiden

Gus Dur memberi penjelasan kepada pers”, sebenarnya sudah

33

dapat dimengerti oleh khalayak. Namun dengan penambahan kalimat penjelas “yang memakai kaos oblong” maka khalayak mengasoisiasikan bahwa presiden Gus Dur cenderung informal, santai atau bahkan juga dikesankan tidak menghormati lembaga kepresidenan yang ia pimpin. Kedua, koherensi fungsional. Hubungan fungsional memuat generalisasi dan spesifikasi. Dikotomi “kami” dan “mereka” merupakan pola over generalisasi yang mudah dijumpai dalam teks berita. Ketiga,

koherensi

pembeda.

Koherensi

pembeda

berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua fakta atau peristiwa dibedakan. Dua peristiwa yang dibuat seolah-olah bertentangan (contras) dengan memberi kata hubung seperti “dibandingkan”, “tetapi” atau “meskipun demikian.” Strategi koherensi pembeda ini sangat efektif untuk melakukan penyangkalan, seperti dalam kalimat “ Saya bukan rasialis, tetapi.....”. Kalimat penyangkalan tersebut memposisikan komunikator secara positif, sementara tindakan atau fakta dibelakang “bukan rasialis” dijelaskan secara argumetatif yang mengukuhkan posisinya. Elemen kelima adalah bentuk kalimat. Elemen ini dari segi sintaksis berhubungan dengan cara berfikir logis yaitu kausalitas. Logika kausalitas dalam bahasa diterjemahkan dengan subjek (yang menerangkan) dan predikat ( yang diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa tetapi turut menentukan makna yang dibentuk melalui susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek

dari

pernyataannya,

sedang

dalam

kalimat

pasif

seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Susunan kalimat aktif

“Kumbang memperkosa Bunga” menempatkan Kumbang

34

sebagai subjek. Penempatan kumbang diawal kalimat atau frase, memberi glorifikasi atas kesalahan Kumbang. Sebaliknya kalimat “Bunga diperkosa Kumbang” mengesankan penghilangan subjek dimana

Kumbang

diletakkan

tidak

secara

menjadi

tersembunyi.

titik

sentral

Sehingga

kalimat,

bentuk

dia

kalimat

menentukan apakah subjek diekspresikan secara ekplisit atau implisit dalam teks. Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata yang

mempunyai

dua

fungsi

secara

politik.

Pertama,

menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan permainan semantik. Hal yang penting dari sintaksis adalah bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Kedua, mengenali bentuk kalimat sebagai deduktif atau induktif. Elemen keenam adalah elemen kata ganti. Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti juga merupakan alat bagi komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam

wacana.

Elemen

kata

ganti

“saya”

atau

“kami”

merupakan bentuk resmi dari sikap komunikator semata-mata. Sementara

“kita”

merujuk

pada

pembukaan

sekat

antara

khalayak dan komunikator sehingga apa yang menjadi sikap komunikator meresap seolah-olah menjadi sikap bersama. d.

Retoris

Struktur retoris dari sebuah berita menggambarkan pilihan gaya

atau

kata

yang

dilakukan

oleh

wartawan

untuk

menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Wartawan menggunakan perangkat

retoris

guna

membuat

citra,

meningkatkan

kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran

35

yang diinginkan dari suatu berita.

Hal ini juga menunjuk

kecenderungan konstruksi kebenaran yang hendak dibangun oleh wartawan. Beberapa elemen strukutur retoris

yang dipakai oleh

wartawan: Pertama, leksikon. Elemen ini menandakan pilihan kata dari berbagai kemungkinan kata yang dapat dipakai. Suatu fakta dapat digambarkan dengan beberapa kosa kata yang merujuk pada fakta tersebut. Kata “mati” mempunyai padanan kata lain seperti

tewas,

gugur,

meninggal,

menghembuskan

nafas

terakhir, dan lain sebagainya. Pilihan kata secara idiologis menunjukkan politik pemaknaan yang dilakukan seseorang. Bagi orang di luar pihak, musuh atau lawan, penggambaran kata tertentu

mempunyai

makna

politis,

sebagaimana

kita

melekatkan fakta yang sama dengan kata berbeda pada pihak kita. Misi perang Amerika dalam banyak kesempatan disinggung oleh presidennya

sebagai misi “pembela kebenaran” “Invansi

atas nama PBB” sementara bagi pihak lawan tentu hal ini disebut dengan “agresi”. Teknik

yang paling populer adalan dengan labelling,

sebuah teknik melekatkan idiom tertentu kepada fakta atau peristiwa

dengan

maksud

memberikan

makna

tendensius

terhadap fakta atau peristiwa tersebut. Kasus pembantaian rakyat disebut dengan upaya normalisasi keamanan, sementara pihak-pihak yang tidak sepakat dengan kebijakan yang dibuat dikatakan sebagai “oposan radikal”, “kelompok pengacau” dan lain sebagainya. Kedua, gaya. Elemen gaya berhubungan dengan bagaimana pesan yang disampaikan dibungkus dengan bahasa tertentu untuk menimbulkan efek tertentu pula. Sebuah kasus

36

pemerkosaan yang dipenuhi dengan tulisan dengan bahasa hukum bermaksud menggiring prespektif pembaca untuk melihat fakta dalam berita tersebut dalam sisi-sisi hukum. Sementara tulisan bombastis tentang kasus pemerkosaan yang dipenuhi dengan

bahasa-bahasa dan idiom-idom pornografis tentu juga

mengarahkan khalayak untuk berpikir pornografis. Ketiga, grafis. Elemen ini digunakan untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan, yang berarti dianggap penting. Elemen ini muncul lewat berbagai teks yang dibuat berbeda dengan teks lainnya. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, termasuk didalamnya caption, raster, grafik, gambar, dan tabel merupakan teknik-teknik dari grafis guna

mendukung

pesan.

Bagian

yang

dicetak

berbeda

merupakan bagian yang dianggap penting oleh komunikator, dimana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian yang besar kepada bagian tersebut. Elemen grafis memberi pengaruh kognitif, dalam arti mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukkan apakah informasi

itu dianggap penting atau

menarik sehingga harus dipusatkan/difokuskan. Melalui citra foto, tabel penempatan teks, tipe huruf, dan elemen grafis lain; pendapat idiologis yang muncul dapat dimanipulasi secara tidak langsung. Keempat, pengandaian. Elemen wacana pengandaian (presupposition) merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya untuk mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang maka pengandaian adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Pengandaian

37

hadir

dalam

pernyataan

yang

dipandang

terpercaya

dan

karenanya tidak perlu dipertanyakan. Ketika

seorang

pejabat

menyebutkan

bahwa

“kenaikan harga sudah dipertimbangkan masak-masak oleh pemerintah

dengan

menyerap

aspirasi

dari

rakyat”

maka

pernyataan ini sebenarnya merujuk bahwa kebijakan tersebut sudah tidak dapat ditawar, sehingga jangan dipertanyakan. Elemen kelima, metafora. Seseorang dalam suatu wacana tidak saja menyampaikan pesan pokok melalui teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, dan metafora yang dimaksudkan sebagai

ornamen

atau

bumbu

dari

suatu

berita.

Namun

pemakain metafora tertentu dapat dijadikan alat pelacak untuk mengerti suatu makna teks.. Metafora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis

sebagai landasan berfikir, alasan

pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah, atau bahkan ayat-ayat suci guna memperkuat pesan utama yang hendak disampaikan. Gamson menyebutnya sebagai popular wisdom, sebagai upaya untuk

merangkai

sejumlah

pesan

agar

khalayak

dapat

mengkontruksi suatu wacana. Ungkapan “ sudah jatuh tertimpa tangga pula” digunakan untuk mengambarkan sebuah partai politik kecil yang kalah dalam pemilu dan tidak mampu membuat koalasi dengan partai-partai besar, atau “ kebenaran memang pahit’ untuk menggambarkan sebuah demonstrasi mahasiswa yang membuat banyak jatuh korban. Bentuk lain dari popular wisdom adalah analogi. Analogi merujuk pada kisah-kisah romantik yang banyak diingat orang, atau pada konsep-konsep dan program-program dengan bahasa-bahasa yang dekat dan diketahui. Orde Baru sering

38

melakukan politik analogi dengan konsep Semar, seorang tokoh pewayangan setengah dewa dan setengah manusia untuk memberikan aspek legitimasi pada rejim yang berkuasa. Contoh klasik dari frame retoris ditampilkan oleh presiden pertama RI, Soekarno ketika menanggapi demontrasi mahasiswa tahun 60-an yang menuntut perubahan moralitas, kebijakan pemerintahan,

serta

kekecewaan

terhadap

kabinet,

dan

orientasi politik Sukarno yang dianggap masih melindungi tokohtokoh PKI dengan mengadakan aksi corat-coret di rumah salah satu istrinya dengan teks “lonte agung istana” “gerwani agung” dan “sarang sipilis”. Teks pidato Sukarno adalah sebagai berikut : “Kau tahu apa yang dilakukan mahasiswamahasiswa dirumah ibu Hartini? Kau tahu rumah ibu Hartini dicorat-coret “lonte agung, “gerwani agung dan lain-lainnya? Kau tahu apa artinya lonte? Hartini adalah istriku dan aku adalah bapakmu. Inikah yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya ?.” 12

Pada kutipan ini, Sukarno melakukan tiga teknik sekaligus, pertama

nominalisasi

generalisasi

dengan

menyebut

“mahasiswa-mahasiswa” (padahal yang melakukan aksi coratcoret

hanya satu elemen mahasiswa dari sekian elemen yang

tergabung dalam KAMI,

koherensi ( “Hartini adalah istriku dan

aku adalah bapakmu”) dan analogi dengan pertanyaan retoris “Inikah yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya ?.” Frame retoris tidak saja muncul pada pidato-pidato atau pernyataan-pernyataan politik tetapi juga pada wacana-wacana dan liputan yang tidak “berbau” idiologis-politis tetapi juga pada wacana pornografis media massa terutama dalam leksikon kata-

12

Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, 1983, Jakarta, hal 198.

39

kata konotatif yang membentuk dan menekankan makna kata tertentu (assosiatif). Elemen-elemen dalam analisis wacana Pan dan Kosicki dari Teun Van Dijk dalam bagan dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 3 Kerangka Framing Pan Kosicki dari Model Teun Van Dijk STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta

PERANGKAT FRAMING 1. Skema Berita

2. Berita 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Kelengkapan

Detail Koherensi Bentuk Kalimat Kata Ganti Leksikon Grafis Metafora

UNIT YANG DIAMATI headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup. 5W+1H paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat kata, idiom, gambar/foto, grafik

Sumber; Alex Shobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hal.176

Related Documents