Jawa Timur
Menjaring Kasus HIV/AIDS yang Tersembunyi Oleh Syaiful W. Harahap* Upaya penanggulangan HIV/AIDS belakangan ini kian tidak realistis karena cara-cara yang ditawarkan tidak berpijak pada langkah-langkah yang konkret. Salah satu cara yang mulai ’mewabah’ adalah pembuatan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Di Jawa Timur (Jatim) sudah dilaporkan 2.753 kasus AIDS. Secara nasional dilaporkan 17.699 kasus AIDS. Jatim ada di peringkat tiga dalam jumlah kasus kumulatif secara nasional. Secara global diperkirakan 33 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. . Hari AIDS Sedunia yang diperingati secara internasional hari ini mengajak kita merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV.
Sudah 32 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda. Cara yang ditawarkan dalam Perda tidak realistis karena mengedepankan norma, moral, dan agama. Tanpa intervensi yang realistis kasus-kasus infeksi baru HIV akan terus terjadi. Penyebaran Horizontal Salah satu pemicu penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah melalui hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. Kasus-kasus infeksi baru HIV, terutama di kalangan laki-laki dewasa, terjadi melalui hubungan tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK terselubung, seperti ’anak sekolah’, ’ayam kampus’, ’ibu rumah tangga’, karyawan tempat hiburan, dll. baik di lokalisasi maupun di luar lokalisasi. Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Di Indonesia diperkirakan 1
ada 3,3 juta laki-laki ’hidung belang’ pelanggan PSK. Laki-laki ini menjadi ’jembatan’ penyebaran HIV dari orang-orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV kepada orang-orang yang tidak berperilaku berisiko, seperti ibu-ibu rumah tangga, pacar, selingkuhan, dan pasangan seks lain. Akhir dekade 1990-an dikabarkan Thailand berhasil menurunkan infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang dijalankan Thailand secara simultan dan konsisten adalah: meningkatkan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks. Indonesia pun melirik keberhasilan Thailand itu dengan mengadopsi program Negeri Gajah Putih itu secara telanjang yang dituangkan dalam Perda. Yang diadopsi justru ekor dari rangkaian program yaitu ’program kondom 100 persen’. Ini artinya mengekor ke ekor program. Di Indonesia industri seks, seperti lokalisasi pelacuran atau rumah bordir, tidak diakui secara de jure. Akibatnya, program kondom 100 persen tidak bisa dijalankan secara resmi. Terjadi pula penolakan dari berbagai kalangan terhadap promosi kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks (yang berisiko). Mereka menuding promosi kondom sebagai upaya melegalkan pelacuran dan perzinaan. Padahal, laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan PSK langsung atau PSK terselubung. Penolakan terjadi karena pemahaman masyarakat luas terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis selama ini tidak akurat karena materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang dipahami masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Mitos yang berkembang di masyarakat al. HIV menular karena perzinaan, selingkuh, ’jajan’, pelacuran, waria, dan homoseksual. Perda Prov. Jatim No 5 Tahun 2004 tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur pada bab penanggulagan dan pencegahan (pasal 3 ayat a) disebutkan menyebarluaskan informasi HIV yang benar, jelas dan lengkap melalui media massa, dll.
2
Ayat b) melakukan pendidikan ketrampilan hidup. Tapi, apakah kedua hal itu dijalankan secara simultan dan konsisten sepanjang tahun? Tes Rekomendasi Pada ayat c disebutkan: “melaksanakan penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku berisiko tinggi termasuk di dalamnya keharusan penggunaan kondom 100%”. Program ini tidak bisa dijalankan secara resmi karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang resmi. Akibatnya, mekanisme kontrol terhadap kepatuhan pelanggan memakai kondom tidak bisa dilakukan. Di Thailand kontrol terhadap program dilakukan dengan tes PMS secara rutin terhadap PSK. Jika ada PSK yang tertular PMS maka itu menandakan ada pelanggan yang tidak memakai kondom. Germo dikenakan sanksi secara bertahap sampai pada penutupan usaha. Keberhasilan Thailand menanggulangi epidemi HIV tercapai karena semua program berjalan bersamaan yang dimulai dengan menggencarkan informasi HIV/AIDS melalui media massa. Sedangkan di Indonesia program penanggulangan dijalankan secara parsial dan tidak. Informasi HIV/AIDS melalui media massa praktis hanya pada Hari AIDS Sedunia (1 Desember), dan Malam RenunganAIDS Nasional (Mei). Di selasela kegiatan ini berita HIV/AIDS terdengar jika ada kasus atau kematian terkait AIDS. Itu pun lebih mengedepankan sensasi daripada empati sehingga muncul stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang membeda-bedakan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Ketika epidemi HIV sudah menjadi persoalan kesehatan masyarakat maka upaya yang perlu dilakukan adalah: (a) memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, dan (b) menurunkan kasus infeksi baru di kalangan dewasa dengan mewajibkan laki-laki pelanggan PSK langsung atau terselubung memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Point a dilakukan dengan menggencarkan penyuluhan agar orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko mau menjalani tes HIV secara sukarela. Sekarang sudah banyak tersedia klinik tes HIV sukarela dengan konseling atau bimbingan yang dikenal sebagai klinik VCT gratis. Tapi, cara ini dinilai pasif sehingga kasus yang terdeteksi sangat kecil karena menunggu kesadaran orang per orang.
3
Belakangan dikembangkan cara baru yaitu atas rekomendasi atau inisiatif petugas kesehatan yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV di masyarakat. *** * Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.
4