Nama : Muhammad Alief Ardiansyah Nim
: A12.2016.05576
Meningkatkan tingkat literasi masyarakat di media social Pemerhati komunikasi dari Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta, Dr Rajab Ritonga mengatakan masyarakat Indonesia cenderung mudah mengumbar hal yang bersifat pribadi di media sosial."Masyarakat kita cenderung mudah mengumbar hal yang bersifat pribadi, seperti sedang berada di mana, makan apa ataupun melakukan aktivitas apa," ujar Rajab di Jakarta, Ahad (29/4).
Padahal idealnya yang perlu dibagikan kepada teman-teman di media sosial bukanlah hal yang bersifat pribadi, melainkan yang sifatnya informasi, pendidikan dan kemanusiaan."Hal-hal yang bermanfaat bagi sesama manusia, bukan yang sifatnya narsis," tambah dia.
Rajab memberi contoh ketika seseorang sedang jalan-jalan di Eropa dan kemudian singgah di Museum Louvre Paris, Prancis, maka yang perlu dibagikan bukan hanya foto orang tersebut yang sedang berada di depan museum itu. Melainkan informasi yang berkaitan dengan museum tersebut, sehingga para pembaca yang melihat foto tersebut mendapatkan pengetahuan baru.
"Fungsi media sebenarnya adalah untuk pendidikan, bukan untuk hiburan. Namun masyarakat kita cenderung memanfaatkan media terutama media sosial untuk hal-hal yang bersifat hiburan".
Akibat mudahnya masyarakat membagikan hal yang bersifat pribadi, lanjut dia, data tersebut dikapitalisasi untuk keuntungan bisnis. Meskipun sebenarnya hal itu tidak merugikan yang bersangkutan.Kunci keamanan data yang terutama adalah jangan mudah membagikan hal-hal yang bersifat pribadi.
"Apa gunanya orang lain tahu, kita sedang menginap di mana atau melakukan apa," cetus dia.
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya keamanan data, sambung dia, perlu dilakukan literasi media sosial, yang berguna untuk memahami bagaimana bermedia sosial yang baik.Di sejumlah negara seperti di Eropa, bahkan di India sekalipun, fungsi media sosial tidak lagi bersifat hiburan melainkan edukasi.
"Masyarakat Indonesia butuh proses untuk memahami bahwa media sosial bukan hanya untuk hiburan tetapi untuk edukasi. Maka penting diberikan literasi media sosial pada masyarakat," kata Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi tersebut. RENDAHNYA literasi media sosial dalam masyarakat digital menjadi salah satu pendorong maraknya dampak negatif penggunaan internet seperti informasi hoaks, pelanggaran privasi, cyberbullying, konten kekerasan dan pornografi, dan adiksi media digital. Kondisi tersebut mendasari Jepang, negara-negara Asia Tenggara dan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) untuk memberikan perhatian khusus terhadap literasi media sosial bagi keluarga dan masyarakat pendidikan Rendahnya literasi media sosial menjadi topik yang dibahas secara mendalam di ajang "ASEAN-Japan Forum on Media and Information Literacy for the Youth" yang digelar di Manila, Filipina pada 20-21 Maret 2018. Forum ini mempertemukan para pihak dari berbagai sektor komunikasi baik di pemerintahan, swasta, media, akademisi dan pelajar dari Jepang dan negara Asia Tenggara. Saya bersama dua rekan dari Kementerian Komunikasi
dan
Informatika
(Kominfo)
hadir
di
ajang
tersebut.
Masalah bersama Ming Kuok-Lim, penasehat komunikasi dan informasi UNESCO menuturkan gerakan literasi media sosial mendesak untuk dilakukan seluruh negara terutama di Asia Tenggara mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh konten negatif yang mudah menyebar melalui sosial media. “Kemudahan mengakses dan saling tukar informasi melalui media sosial membuat literasi media sosial bukan lagi menjadi kemewahan, justru literasi media kini menjadi salah satu modal bertahan hidup,” tuturnya. Sementara itu dalam tataran individual, Ramon Tuazon yang merupakan Presiden Institut Jurnalisme dan Komunikasi Asia, justru menyatakan literasi media
sosial tidak sekadar belajar melek media tetapi justru seharusnya bagaimana belajar menggunakan media sosial yang ada saat ini untuk proses penyebaran informasi baik. Belajar dan menyebarkan informasi baik menggunakan media sosial menjadi lebih penting dan mendesak mengingat penggunaan media sosial yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat digital. Tanpa kesadaran tersebut, tingginya pendidikan formal akan menjadi sia-sia. Senada dengan Ramon, pembicara di ajang ini, Jiow Hee Jhee dari Institut Teknologi Singapura menyajikan data yang menarik perihal tingginya kasus perundungan di dunia maya (cyberbully) di negara tersebut yang ternyata menempati posisi ketiga tertinggi di dunia. Selain itu, survei pemerintah Singapura menemukan dua dari tiga responden ternyata tidak bisa memilah berita palsu yang beredar di sosial media, bahkan 25 persen diantaranya justru membagikan informasi tersebut. Fakta Singapura seperti menghentak saya terhadap fakta jumlah terbesar pengguna internet di Indonesia berdasarkan riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun lalu justru mereka yang berpendidikan Sarjana-Diploma (79,23 persen) hingga Magister-Doktor (88,24 persen). Pantas saja, di antara mereka yang terjerat kasus berita bohong di Indonesia tak sedikit yang bergelar Sarjana maupun Magister (S2). Menyedihkannya ada pula guru besar bergelar profesor yang seharusnya disibukkan dengan kegiatan meneliti atau malah menimang cucu justru tak bosan menyebarkan ketakutan melalui media sosial. Dan repotnya pesan-pesan negatif tersebut rupanya justru dimanfaatkan oleh segelintir media massa untuk mengais rejeki khususnya media online. Rachel Khan, Profesor komunikasi massa Universitas Filipina mencontohkan maraknya berita di media massa yang menggunakan sumber berasal dari cuitan pengguna media sosial tanpa proses klarifikasi. Kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya literasi media sosial pada orang tua yang berujung pada keengganan para orangtua mendampingi putra-putrinya ketika memanfaatkan akses internet. “Di Jepang persoalan pendampingan orangtua terhadap anak yang mengakses internet juga marak terjadi,” tutur Nagayuki Saito, peneliti Universitas Keio. Menariknya para petinggi Facebook untuk Asia Pasifik, Roy Tan dan Michael Yoon yang diundang ke acara ini menegaskan platform media sosial itu terus mengembangkan cara agar pengguna memiliki kuasa dalam mengontrol konten apa yang mereka konsumsi maupun bagaimana mereka berhubungan di dunia maya. “Kami memastikan, jika Anda tidak berkenan dengan sebuah konten. Satu laporan saja akan kami tindaklanjuti. Tidak benar dikatakan diperlukan banyak laporan untuk menangani sebuah konten negatif,” tegas Roy Tan. Bisa disimpulkan sebetulnya saat ini kita dalam kondisi darurat melek informasi media sosial yang menuntut kita untuk berperan serta menanggulangi
maraknya konten negatif di media sosial tersebut. Tidak sekadar frustrasi terhadap informasi negatif
yang
beredar
di
sekeliling
kita.
Mengupayakan Digital Citizenship Dalam Framework for 21st Century Learning digambarkan bahwa core dalam pendidikan di abad ini menekankan pada pembelajaran dan keterampilan yang inovatif, pembelajaran hidup dan keterampilan berkarir, serta pemanfaatan media informasi dengan menggunakan keterampilan memanfaatkan teknologi. Learning and innovation skill yang meliputi kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi dan berkreasi (4Cs) dikembangkan ke dalam core subject yang berisi penguatan tentang civic literacy, global awareness, financial literacy, health literacy, dan environmental literacy. Pada aspek pengembangan keterampilan hidup dan berkarir memuat tentang “flexibility and adaptability, initiative and self-direction, social and cross-cultural interaction, productivity and accountability, leadership and responsibility”. Aspek ketiga yaitu literasi media ditujukan bagi mengumpulkan dan/atau mengolah kembali informasi, mengevaluasi kualitas, relevansi dan kegunaan informasi, serta melakukan pengecakan terhadap keakuratan informasi yang diperoleh.
Gambar 2. Framework Pembelajaran Global Abad 21 (P21, Hlm. 13)
Gerakan literasi media ke dalam dunia pendidikan penting dilakukan karena para peserta didik kita adalah dari generasi millenial sedang berada dalam abad teknologi dan informasi. Meskipun gerakan literasi di tingkat SD dan SMP masih fokus pada sumber bacaan berupa media cetak seperti buku, majalah, koran, dan seterusnya. Namun secara tersirat menyebutkan bahwa kemampuan literasi diharapkan pula menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik mengakses beragam informasi dari sumber-sumber lainnya. Apalagi mereka yang ada dalam satuan pendidikan mulai dari SD/MI sampai dengan SMA/MA selain sebagai warga negara juga sudah menjadi warga jaringan (netizen) yang aktif menjadi media teknologi komunikasi seperti dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sudah menjadi bagian dari komunitas technology natives (pengguna asli teknologi) karena sejak lahir sudah berinteraksi dalam era teknologi. Sementara itu para guru sebagian besar masih termasuk kategori pendatang baru (migran) ke dunia baru TI atau Teknologi Informasi sehingga terkadang kalah cakap dari peserta didiknya dalam mengenal dan menggunakan media internet (Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA/SMK, 2016, Hlm. 9). Dalam Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA/SMK yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membagi literasi media ke dalam lima komponen. Pertama, yaitu kemampuan mendengar, membaca, dan menulis (basic literacy). Kedua, yaitu kemampuan untuk mengembangkan basic literacy ke arah pemanfaatan sumber dari perpustakaan (library literacy). Ketiga, berupa kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya (media literacy). Keempat, kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.
Berikutnya,
kemampuan
dalam
memahami
teknologi
untuk
mencetak,
mempresentasikan, dan mengakses internet (technology literacy). Kelima, pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat atau diistilahkan sebagai visual literacy (2016, Hlm. 5-6).
Pengembangan literasi media dalam menyiapkan sumber daya manusia di abad ke-21 dapat diterapkan ke dalam semua materi pelajaran, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal ini dapat ditemukan apabila kita membedah muatan Kurikulum 2013 hasil revisi tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam Kurikulum 2013 hasil revisi tersebut terlihat bahwa sudah ada upaya menjadikan para pelajar kita tidak lagi terbatasi sumber belajarnya pada buku atau diktat pembelajaran. Bahkan dikatakan guru PPKn harus berupaya memanfaatkan jaringan internet dalam pembelajaran dengan mengembangkan pembelajaran berbasis jaringan (pembelajaran daring) sehingga pembelajarn PPKn menjadi proses belajar yang terpadu/teraduk (blended learning). Di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), siswa diminta untuk mencari informasi dari berbagai sumber belajar (buku, video, internet, dll.). Kebutuhan akan literasi media internet semakin terlihat di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) karena banyak dituliskan tentang “membaca dari berbagai sumber (buku, media cetak maupun elektronik)” dengan komponen literasi telah meluas menggunakan berbagai sarana dan sumber informasi. Oleh sebab itu, pelatihan pemanfaatan TI bagi guru PPKn harus pula menjadi bagian penting untuk diupayakan agar mereka mampu mengelola pembelajar PPKn dalam konteks dinamika kehidupan abad ke-21 saat ini. Tantangan bagi pengembangan literasi media ke dalam PKn tidak hanya kecakapan guru, tetapi yang perlu untuk diperhatikan yaitu budaya instan dalam mengakses informasi melalui media internet. Budaya inilah yang menyebabkan para netizen kurang peka dalam merespon setiap informasi dan acapkali latah untuk menyebarluaskan informasi yang belum valid kepada netizen lainnya. Mereka barangkali sudah dibekali dengan sarana memperoleh informasi yang mudah dan keterjangkauan alat komunikasi bagi semua kalangan, tetapi penyiapan mental pengguna media internet belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Pada konteks inilah pendidikan harus hadir untuk membekali masyarakat, terutama generasi mudanya sebagai penikmat dari kemajuan teknologi tersebut agar terarah ke hal-hal yang produktif. Apalagi ketika guru memberikan tugas untuk mencari informasi dari media internet guna mendukung keluasan dari materi yang diberikan, maka para peserta didik harus dipertemukan dengan konten-konten materi yang lebih inovatif dan padat isi. Hal ini guna merangsang daya kritis mereka tidak hanya terhadap isi konten yang ada tetapi juga memastikan bahwa sumber rujukan dari internet seperti situs-situs pemerintah, blog, jurnal ilmiah, portal berita online dan sebagainya memiliki nilai kebenaran dan kejujuran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya, para peserta didik secara tidak langsung akan mempraktekkan cara berpikir dan bertindak yang ilmiah dari mulai mengamati, menanyakan, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan hasil penelusuran datanya kepada guru dan peserta didik lain lain. Dengan kata lain maka peran PKn bukan saja sebagai resources informasi, melainkan penyiapan attitude dan self control bagi netizen. Pembekalan etika berinternet bagi para peserta didik merupakan bagian dari tanggung jawab untuk melindungi mereka dari dampak buruk media. Hobbs menyinggung pentingnya literasi media sebagai kapasitas penting yang harus dimiliki oleh pendidik maupun orang tua. Pemberian literasi media kepada peserta didik yang terintegrasi antara di rumah dan sekolah dan orang tua melalui upaya pendidikan dan pendampingan. Upaya yang dilakukan diantaranya adalah dengan membekali mereka dengan etika berinternet secara sehat. Etika dalam berinternet secara sehat diperlukan sebab Indonesia telah merumuskan dan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi bagi orang yang menyalahgunakan media informasi termasuk internet untuk merugikan orang lain atau melakukan tindakan melawan hukum yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cyber crimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 1. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29); 2. Akses ilegal (Pasal 30); 3. Intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32); 5. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33); dan 6. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34);
Aturan-aturan di atas dapat dibahasakan lebih mudah kepada peserta didik ke dalam etika sosial berkomunikasi yang pada prinsipnya merupakan panduan berperilaku dan bertindak yang mengacu pada apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Hal ini agar secara praktis dapat dengan mudah dipraktekkan, yaitu tentang hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga mereka memiliki self control yang akan menjadi kebiasaan mereka sebagai netizen.
Tabel 1. Prinsip Berinternet dan Etika Berienternet secara Sehat
No. 1
Prinsip Berinternet
Etika Berienternet secara Sehat 1.
Sebaiknya memberikan informasi pribadi dan keluarga secara bijak atau tidak mengumbar informasi yang mengandung privasi.
2.
Berkomunikasi secara santun dan tidak mengumbar kata-kata kasar serta menggunakan kaidah-kaidah bahasa dengan baik dan benar.
3.
Jangan
menyebarkan
konten
yang
bersifat
pornografi dan dapat mengganggu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), baik itu berupa tulisan, foto, gambar, ilustrasi, suara maupun video. 4.
Think before you write. Mengecek kebenaran konten dan informasi suatu berita atau kejadian sebelum menyebarkannya kembali.
5.
Hormati hasil karya orang lain dengan mengutip sumber asli (bukan copy-paste/Copas). Hal ini dilakukan agar nilai-nilai orisinalitas juga dijunjung tinggi dalam konteks ilmiah, seni dan budaya.
6.
Sebaiknya mengomentari sesuatu hal, topik, dan masalah dengan memahami dulu isinya secara komprehensif dan tidak sepotong-potong.
7.
Jangan menggunakan media sosial saat hati dalam kondisi emosi, pikiran jenuh dan kondisi kejiwaan yang labil.
8.
Jangan menggunakan nama samaran, nama orang lain atau membuat akun samaran dengan tujuan apa pun. Hal itu bisa menjadi awal dari bentuk penipuan karena menyembunyikan identitas aslinya.
9.
Pergunakan media sosial untuk hal-hal positif, baik dari segi konten maupun cara menyampaikannya.