Mengukir Poci Dengan Senyummu

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mengukir Poci Dengan Senyummu as PDF for free.

More details

  • Words: 736
  • Pages: 3
Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2004 biasawae.com

Mengukir poci dengan senyummu Sumber : Berbagai Sumber



!

"

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2004 biasawae.com Apa kabar? Sepanjang hari ini, di sebuah minggu yang redup dan mendung, aku putar ulang semua peristiwa yang pernah kita alami bersama. Betapa banyak hal-hal kecil yang jadi begitu berarti. Ah, lagi-lagi cinta. Ya, memang itu saja alasan kita bukan? Cinta sudah memberi kita energi yang begitu menggelora, dan dahsyat. Porak-poranda hati kita kemudian diterjangnya. Ada saat-saat dimana kita diguyur dengan rasa gembira dan rindu dendam yang memekarkan hati. Ada juga saat ketika kita diterkam rasa cemas, gelisah juga cemburu dan nafsu. Sementara itu ada pula ketika belati-belatinya menyayat tipis-tipis serat-serat paling halus perasaan kita. Kamu tahu? Ternyata aku justru bersyukur sempat mengalaminya, menangis karena rindu atau kecewa, terharu karena kebaikan dan rasa sayang yang tulus, gembira karena punya cinta yang bikin aku mabuk terhuyung-huyung. Entahlah, meski dengan campuran rasa cemas dan rasa bersalah, toh aku terus saja nekat mendekapnya. Dan itu karena kamu. Aku tak bermaksud apapun dengan surat ini. Aku hanya sekedar bercerita, bahwa jika kamu sebut aku bajingan, karena aku tak pernah menyesalkan apa yang pernah aku alami denganmu dan mengenangkannya seperti saat ini, aku tidak perduli. Aku ingin belajar memahami, bahwa kadang tusukan duri-duri cinta dengan cara seperti itu, menyakitkan, sekaligus bikin rindu ingin mengalaminya lagi. Apakah ini sebuah gejala sado masochisme? Eksperimenku yang lain tentang perasaan seperti itu? Aku tidak tahu, karena aku tak berpikir apapun ketika mengalaminya. Kita toh sudah tahu apa yang mestinya terjadi. Terkadang dengan naifnya masih saja aku bisikkan ajakan dan angan-angan yang tinggi tentang kita. Dan pagar norma dan logika rasional kita, tak menggubrisnya. Kadang-kadang Tuhan dengan jenaka dan bijaknya mengirim isyarat-isyarat yang sedikit saja kita pahami. Kita cuma menerka-nerka dan berharap bahwa kesabaran akan menuntun kita ke arah pengertian yang lebih dalam tentang semua yang terjadi atas kita. Memandang bintangbintang di langit, menatap senyummu di benakku, aku mengukir poci dengan namamu dan semua yang pernah begitu mendebarkan bagi kita. Aku rasa bukan semacam rindu yang telah basi, :). Barangkali titrasi pada senyawa senyum dan bau parfummu. Waktu itu sering yang terpikir dariku adalah "carpe diem", "seize the day", "raihlah hari ini". Barangkali sedikit sekuler, karena seolah hanya mendewakan hiruk pikuk sesaat. Tapi coba kita pahami dengan cara lain, bahwa hidup mengajarkan kita sesuatu dengan mengalaminya. Makin tinggi kita mendaki keindahannya, maka resiko kita terguling ke jurang nista makin besar dan

Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft  2004 biasawae.com menakutkan pula. Tapi karenanya kita belajar dan menjadi dewasa. Mungkin ada pernah kusampaikan padamu, bahwa kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia kita. Aku selalu mengagumi orang-orang yang telah mengalami begitu banyak hal, hingga hatinya makin terbuka dan lembut, lebih bijak atas segala hal yang tak selalu jelas. Waktu menjadi lapisan tipis saja, jika sengkarut semua warna kita ingin kita raup. Sungguh pada saat seperti itu, aku mungkin akan menjadi rakus, karena semua begitu berharga, untuk hidup yang singkat ini. Begitu banyak rasa terimakasihku padamu, atas semuanya. Rasanya tak pernah cukup apapun yang kulakukan untuk membalas semua yang pernah kita lalui. Ketika kamu ijinkan aku menyusup sejenak diantara kelopak-kelopak bunga hatimu. Dan kamu biarkan aku nikmati pendar-pendar warnanya. Kamu tahu? Semua tampak indah dan bercahaya bagiku. Seperti butiran permata dan wangi-wangian dari surga, ketika aku lekat denganmu. Harapan... ah harapan, tentu saja ada. Pada puisi aku belajar mengeja makna, pada kata aku belajar menangkap dunia tanda. Ternyata, mencari struktur sempurna dari cahaya keindahan kalimat adalah menenggelamkan diri sepenuhnya pada seluruh peristiwa hidup kita. Tak lagi ada hal-hal tanggung yang bisa kita lakukan. Semua yang mulia hanya butuh totalitas demi kesempurnaannya. Dan kita mungkn tak pernah pantas untuk itu. Aku cuma seorang pemungut kata jalanan, yang sedang mencoba mengais-ngais serabut makna yang bisa kupahami dari carut-marut dunia tanda. Dan cinta dimana namamu pernah aku eja, terlibat di dalamnya sayang. Aku tuliskan surat ini buatmu seorang dengan cara membukanya. Dunia modern (apa sebenarnya arti modern?), mengajarkan kita menggauli kontradiksi. Menyimpan sesuatu yang amat rahasia dengan membukannya di ruang publik. Hingga seolah tak ada lagi yang tersisa untuk disembunyikan. Tapi toh seluruh maknanya menjadi begitu pribadi dan terjaga karenanya. Apa yang bisa dipahami dari cara berpikir seperti itu? Hm.... tampaknya kita mesti belajar lagi untuk mengerti bukan? Biarkan semuanya mengalir dengan wajar tanpa kita menjadi terhanyut karenanya.

Jakarta, ketika waktu tersendat di ruas-ruas rindu Semoga kurnia Allah selalu menyelimuti senyummu

Related Documents