Menghargai Diri Sendiri

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menghargai Diri Sendiri as PDF for free.

More details

  • Words: 688
  • Pages: 2
Menghargai diri sendiri

Ada dua catatan yang dapat dibuat selama bulan Puasa 2008. Kita tidak lagi hormat pada diri sendiri dan kita masih berdiri di dua dunia yang kedua-duanya tidak matang. Suatu awal yang menyentakkan hati pada saat mendengar ada 21 orang meninggal ketika ‘berebut’ zakat di Pasuruan. Diberitakan bahwa lebih dari 5 000 orang perempuan saling berdesakkan untuk menerima zakat sebesar Rp 30.000.. Gambaran umum tentang perempuan adalah lemah lembut dan berperasaan halus. Namun, peristiwa Pasuruan itu membuat hati bertanya-tanya. Masih lemah-lembutkah para perempuan Indonesia? Dengan harapan akan mendapatkan uang zakat sebesar Rp. 30.000 rela mendesak orang lain hingga meninggal sungguh keadaan yang sangat kontras dengan gambaran perempuan pada umumnya. Mengapa? Tampaknya, banyak di antara kita yang sudah tidak menghormati diri sendiri. Dibandingkan dengan imbalan yang diterima (baca: diperebutkan) tindakan mendesak orang lain hingga lemas dan akhirnya meninggal dunia sungguh sesuatu yang tidak seimbang. Apa lagi imbalan itu merupakan suatu pemberian. Mengapa kita harus memperebutkan pemberian? Karena, kita tidak lagi menghormati diri sendiri. Sesungguhnya, kita mempunyai kewajiban untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada diri kita sendiri karena kita sebagai manusia merupakan pribadi yang berpengertian, mempunyai kehendak, kekuasaan, suara hati dan tentu saja berakal budi. Kita tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu sekali pun itu tujuan kita sendiri. Sikap hormat kepada diri sendiri berarti tidak membiarkan diri diperas, ditindas, diperalat atau diperbudak oleh siapapun. Dengan alasan tidak memiliki uang yang cukup menjelang lebaran tidak perlu kita merendahkan diri sendiri menjadi ’tontonan’ berebut uang zakat. Apa lagi kalau disertai tindakan mendesak orang lain karena yang lain itu dianggap pesaing yang harus dieliminasi. Sikap hormat kepada diri sendiri juga bermakna tidak membiarkan diri terlantar. Kita wajib mengembangkan diri. Kalau ingin di hari lebaran mempunyai uang yang cukup semestinya kita hidup hemat. Dalam sebuah tanyangan televisi tampak ada yang menggenggam HP, ada yang memakai pehiasan. Sekali lagi jika ditimbang dengan uang Rp. 30.000 tentu kepemilikan orang ini tidak berimbang. Dengan demikian, seandainya mereka mau berhemat dan menabung tentu masih bisa. Bukan orang yang sungguhsungguh memerlukan Rp 30.000 itu. Ada lagi yang berasal dari daerah lain, tentu dengan ongkos kendaraan dan mungkin harus membeli air minum. Catatan lain dapat dibuat di sekitar hari lebaran terkait dengan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di sekitar hari lebaran. Tampaknya, penyebab kecelakaan ini lebih mengarah pada keteledoran kita. Kita teledor karena kurang memeriksa kalaikan kendaraan yang

kita gunakan. Kita teledor karena kurang memperhatikan rambu-rambu lalulintas serta kondisi jalan yang dilewati. Kita teledor dengan sengaja tidak mentaati rambu-rambu lalulintas yang ada di sekitar kita. Keteledoran semacam ini berakar pada cara bepikir kita yang belum berubah. Cara berpikir kita masih sama dengan generasi kakek yang mengendarai gerobag atau sampan. Kecepatan tertinggi gerobag dan sampan sekitar 10 km/jam. Karena itu, setiap kali terjadi perubahan mudah diditeksi oleh orang lain. Maka, tidak perlu banyak aturan yang harus ditaati. Sebaliknya, kecepatan kendaraan yang kita gunakan saat ini sekitar 80 km/jam. Setiap perubahan diukur dengan menggunakan satuan detik, sekejab. Sanggat singkat, sehingga tidak mudah diantisipasi oleh yang lain. Karena itu, diperlukan sejumlah peraturan yang wajib ditaati. Sayang, karena keliru menggunakan kerangka berpikir (gerobag/sampan) maka kecelakaan lalulintas tidak terhindari. Selain unsur keteledoran, juga ada sikap lain yang dapat menjadi penyebab kecelakaan laulintas, yaitu sikap bangga kalau dapat ’melanggar’ aturan lalu lintas dengan selamat. Kepatuhan terhadap aturan lalulintas dianggap ’kuno’. Sebaliknya, perilaku berlalintas yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dianggap ’modern’. Paling tidak seperti perilaku para bintang film dalam lakon yang diperankan. Modern identik dengan film. Mereka tidak menyadari bahwa film adalah sebuah karya seni pertunjukan. Banyak adegan yang hanya ada ‘dipanggung’. Tetapi itulah, kita masih hidup di dua kaki. Satu kaki tradisional satu kaki yang lain modern. Sayang kedua-duanya tidak matang, tradisional tidak, modern pun tidak. Jalannya membungkuk-bungkuk tetapi rambutnya sudah berwarna pirang. Ibaratnya seperti campuran bubur pedas dan hotdog. Hanya membuat mual perut. Inilah catatan yang dibuat dalam refleksi di bulan Ramadhan. Kita tidak lagi menghargai diri sendiri, sehingga sangat mudah diperhamba. Kita juga sudah tidak berminat memelihara suatua yang tradisional karena berarti tidak modern, walaupun sesungguhnya keduanya mentah. Semoga tahun depan dua hal ini sudah berubah. Semoga! Leo Sutrisno Komplek Untan P.13, Pontianak

Related Documents