Pannavaro
Mengatasi Ketegangan Mental
Mengatasi Ketegangan Mental oleh: Sri Paññavaro Sanghanâyaka Thera
Ungkapan bahwa manusia hendaknya jangan diperbudak harta, tetapi harus menggunakan harta demi kesejahteraan, sudah lama kita kenal. Ungkapan ini memang cukup sulit untuk dilaksanakan. Bukannya seseorang sudah mencampakkannya, tetapi dengan tidak disadari sukses di bidang materi itu akan menyeret setiap orang untuk mencari materi yang lebih banyak lagi. Materi yang sesungguhnya menjadi sarana tercapainya kesejahteraan akhirnya berubah menjadi tujuan utama. Bila seseorang telah menjadi materisentris, sulit untuk melihat faktor lain yang bukan materi —yang juga menjadi faktor tercapainya kesejahteraan. Di zaman Buddha Gotama faham materi-sentris ini pun dianut oleh sebagian masyarakat sebagai pandangan hidup untuk mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan. Tetapi sebagian masyarakat yang lain berpandangan bahwa materi dan juga jasmani adalah penghalang tercapainya kebahagiaan sejati. Meninggalkan materi secara total seperti seseorang yang harus menjauhi racun, dan bahkan harus menghancurkan jasmaninya sendiri dengan cara-cara bertapa menyiksa diri yang sangat keras, adalah cara untuk mencapai kebahagiaan sejati. Dalam khotbahnya yang pertama, pada purnama di bulan Asadha yang jatuh bersamaan dengan bulan Juli, Buddha Gotama menyatakan bahwa materi-sentris dan juga penolakan
materi —kedua-duanya— adalah sikap hidup ekstrem. Sekarang —lebih dari 25 abad setelah kehidupan Buddha Gotama, dunia tampak lebih cenderung menggunakan ukuran materi-sentris sebagai ukuran kesejahteraan atau kebahagiaan. Sulit menjumpai lagi orang-orang yang bertapa menyiksa diri secara ekstrim di hutan-hutan dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan sejati. Tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi menjadikan penduduk dunia ini ekstrim memuja materi. Menjadikan materi sebagai ukuran segala-galanya. Tidak jarang praktek kehidupan beragama hanya menjadi kelengkapan bermasyarakat atau sekadar formalitas upacara yang memuaskan kebutuhan emosi. Bagaikan cahaya terang yang diperlukan pada waktu siang maupun malam, Jalan Tengah (Majjhima Patipada) yang ditemukan Buddha Gotama lebih dari 25 abad yang lalu ternyata tetap menerangi manusia di sepanjang masa untuk tidak jatuh pada salah satu pilihan ekstrim itu. Memang kalau seseorang memilih penolakan materi kemudian melakukan penyiksaan diri secara total, tidak akan ada persaingan yang dihadapi. Kehancuran jasmani menjadi tujuan. Penderitaan fisik dan mental justru dianggap sebagai bagian dari jalan kebahagiaan. Tetapi kematangan batin tidak akan dicapai. Sebaliknya, di masa budaya materi melanda dunia, persaingan menjadi tantangan bagi hampir setiap orang.
Hal 1 dari 4
Pannavaro Persaingan bukan hanya keras, tetapi juga kejam. Demi keberhasilan materi bagi kepentingan dirinya, manusia tidak akan lagi peduli pada nilai-nilai moral dan kasih sayang. Yang kini menjadi tolok ukur bukan lagi moral, kesetia-kawanan, kejujuran, atau ketulusan; tetapi materi atau kekayaan. Dalam perjuangannya mencapai sukses —yang sulit diketahui puncaknya— manusia bekerja keras, mencurahkan segenap daya, menggunakan segala cara; dengan tidak mengerti lagi apakah yang dilakukannya itu benar atau salah. Bahkan dalam memenuhi kebutuhankebutuhan emosi, seperti kasih sayang, kehangatan pergaulan, ataupun penghargaan; manusia kini tidak peduli lagi apakah yang diterimanya itu tulus atau pulasan. Hukum yang sedang berlaku adalah: "Dirinya merasa puas, dan pihak lain terpenuhi keinginannya pada saat saling memerlukan". Manusia berupaya meraih materi semaksimal mungkin, tetapi juga sebaliknya, manusia dengan susah payah berusaha mengejar kemajuan, materi yang begitu cepat. Kini manusia telah menjadi budak materi. Pengaruh materi yang melanda semakin kuat pada seluruh pelosok dunia, yang amat mudah menghanyutkan manusia itu, yang secara halus tetapi pasti menumbuhkan cara berpikir materisentris; sangat mudah menimbulkan ketegangan mental. Salah satu faktor yang juga membuat mudahnya timbul ketegangan adalah tidak adanya daya tahan mental. Oleh karena daya tahan mental tidak mungkin didapatkan dengan materi. Pikiran yang berwawasan materisentris amat sulit menerima perubahan. Apalagi perubahan yang membawa kemunduran, kehancuran, penurunan, dan semacamnya. Perubahan yang tidak menyenangkan selera itu —meskipun sedikit— akan
Mengatasi Ketegangan Mental ditanggapi sebagai kemerosotan, kegagalan, bencana, musibah, dan sebagainya. Pikirannya sulit menerima hal itu sebagai fakta kehidupan, tetapi memberinya predikat: "sial", yang harus segera dilenyapkan atau paling tidak disembunyikan —ditutupi. Perubahan yang pasti terjadi, yang sesungguhnya merupakan corak utama kehidupan, ditambah dengan pikiran yang berwawasan serba materi; membuat manusia modern mengalami ketegangan mental beruntun. Tekanan batin berkepanjangan —dan sulit untuk diatasi. Materi telah digunakan sebagai ukuran segala-galanya, dan kenikmatan duniawi dianggapnya sebagai kebahagiaan, menjadikan manusia sangat takut menghadapi kematian. Baginya kematian amat mengerikan dan menjadi akhir dan segala-galanya. Tetapi juga sebaliknya, kalau semuanya gagal —tidak ada lagi jalan ke luar— maka bunuh diri menjadi jalan satu-satunya, karena menganggap kematian adalah selesainya kehidupan ini. Demikianlah secara sekilas, kecenderungan dunia modern kita sekarang. Namun terdapat satu hal pada diri manusia modern yang sangat membantu untuk mengenal kehidupan. Manusia modern yang juga ditandai dengan usaha memacu intelektualitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggunakan teknologi harus mendapat wawasan intelektual tentang kehidupan sebagai cara untuk mengatasi ketegangan mentalnya sendiri. Manusia kini tidak mungkin lagi mengatasi ketegangan mentalnya dengan cara berserah diri atau percaya membuta pada upacaraupacara yang menjanjikan ketenangan dan kedamaian. Ketegangan yang sangat menyiksa itu harus dihadapi dengan mengenali sifat
Hal 2 dari 4
Pannavaro
Mengatasi Ketegangan Mental
kehidupan ini sebagaimana adanya. Tidak ada yang kekal dalam kehidupan ini —baik materi maupun kondisi mental, semuanya selalu berubah terus menerus, dan tergantung pada banyak faktor yang tidak semuanya berada di tangan kita.
menghadapi perubahan yang tidak menyenangkan, karena tidak pernah mengenal sifat-sifat kehidupan — hanya berpikir tentang kemajuan materi— akan amat terkejut dan merasa berat menerima kenyataan perubahan.
Balita menjadi kanak-kanak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dan selanjutnya mengalami ketuaan; itupun proses perubahan yang wajar. Penyakit datang pada setiap saat dan selanjutnya proses ketuaan berakhir pada kematian. Itupun hal wajar yang dialami oleh setiap orang.
Menyadari perubahan sama sekali bukan berarti menghentikan kemajuan. Prestasi yang dicapai akan membuat kehidupan berarti. Tetapi kehidupan mengisyaratkan kita untuk siap setiap saat menghadapi perubahan yang tidak menyenangkan. Perubahan yang merupakan corak atas segala sesuatu memang akan memungkinkan kita untuk berubah maju, tetapi corak perubahan itu pula menuntut kita untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan selera kita.
Demikian juga perubahan kecil menjadi besar, buruk menjadi indah, pangkat rendah naik menduduki kedudukan yang lebih tinggi; adalah proses perubahan. Tetapi juga sebaliknya, yang sudah besar menjadi kecil, yang telah tegak runtuh kembali, yang di atas kemudian harus turun. Janganlah memandang ketuaan, kematian, kemunduran, ketidakberhasilan, kehancuran: sebagai sial, aib, musibah, kegagalan, dan semacamnya. Tetapi sadarilah semuanya itu sebagai proses perubahan yang pasti terjadi dalam kehidupan ini. Tidak ada satu kekuatan pun, sekali pun para dewa dari alam Brahma turun menampakkan diri di planet bumi ini, mampu menghentikan proses perubahan yang terus menerus terjadi. Ini adalah sifat semesta yang menuntut setiap orang untuk menyadarinya. Pikiran yang buta akan fakta perubahan ini yang membuat seseorang amat sulit menerima perubahan yang tidak menyenangkan. Tidak pernah mau menyadari perubahan yang berlangsung setiap saat, inilah yang akan menimbulkan ketegangan mental dalam menghadapi setiap perubahan yang dialaminya. Mental yang tidak pernah siap
Namun mengatasi ketegangan mental —yang bisa juga berakibat fatal: kehancuran mental— tidak cukup hanya dengan pengetahuan intelektual tentang fakta kehidupan ini. Kesiapan dan ketahanan mental menghadapi perubahan yang setiap saat PASTI menimpa diri kita tidak cukup hanya dengan pengetahuan intelektual membaca dan mendengar. Tetapi kesiapan serta daya tahan mental itu harus dibangun dengan terus menerus melalui latihan. Latihan moral (sîla), meditasi (samâdhi) dan mengembangkan kebijaksanaan (pañña). Ketiganya merupakan latihan menuju Jalan Tengah untuk mencapai kebahagiaan secara utuh.*** Sumber: BUDDHA CAKKHU Dhammadipa Arama.
No.22-23/XII/91;
Yayasan
Hal 3 dari 4
Pannavaro
Mengatasi Ketegangan Mental
*****&&&&&*****
Hal 4 dari 4