Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja as PDF for free.

More details

  • Words: 22,486
  • Pages: 78
menapak jejak, meretas simbol

Tim Penyusun Mahasiswa S2 Arkeologi 2007 Universitas Gadjah Mada

D

aftar Isi

DAFTAR ISI Sebuah Pengantar: Menapak jejak, meretas simbol Keraton Yogyakarta Bermula dari Garjitawati: Sejarah dan Lansekap Keraton Yogyakarta Dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan A. Sebaran Tinggalan Bangunan Keraton 1. Gladhag-Pangurakan 2. Alun-alun utara 3. Mesjid Raya Yogyakarta 4. Kompleks Pagelaran 5. Siti Hinggil Lor 6. Kamandhungan Lor 7. Sri Manganti 8. Kedhaton •

9. Pelataran Kedhaton



10. Keputren dan Kesatriyan 11. Kamagangan 12. Kamandhungan Kidul 13. Siti Hinggil Kidul 13. Alun-alun Kidul 14. Plengkung Nirbaya

B. Nilai Penting Keraton Yogyakarta dan Pengelolaannya Perencanaan Pengelolaan Wisata Budaya Keraton Yogyakarta A. Landasan Konseptual B. Perencanaan Kawasan Wisata Budaya 1. Jeron Beteng a. Wajah fisik b. Kampung c. Dinamika sosial ekonomi dan budaya

d. Jeron Beteng masa sekarang 2. Pagelaran a. Makna simbolik pagelaran b. Fungsi pagelaran 3. Mesjid Gedhe Keraton a. Latar belakang sejarah pendirian mesjid Gedhe b. Data Fisik Masjid Gedhe Keraton c. Pengembangan dan pemanfaatan d. Kesimpulan 4. Plengkung a. Prolog b. Kisah dibalik Plengkung c. Memaksimalkan potensi Plengkung 5. Kamagangan a. Pendahuluan b. Pembahasan c. Arti dan Makna Kamagangan Kraton Yogyakarta d. Meningkatkan Pariwisata dengan Mengangkat Objek Daya Tarik Wisata di Kompleks Kamagangan e. Tahap Pengembangan 6. Siti Hinggil a. Latar Belakang Masalah b. Gambaran Kompleks Siti Inggil Kraton Yogyakarta c. Siti Inggil dan Legitimasi Raja d. Konsep Pemanfaatan Berwawasan Pelestarian Komplek Siti Inggil Sebuah epilog: Keraton Yogyakarta tapal batas pelestarian warisan budaya DAFTAR PUSTAKA

S

ebuah Pengantar: Menapak jejak, meretas simbol Kraton Yogyakarta

Jika kota Bandung mempunyai Braga sebagai jantung Paris van Java, maka kota Yogyakarta memiliki Kraton Yogyakarta sebagai pusat dari kearifan simbolisme Yogyakarta. Hal demikian menjadi sesuatu yang wajar, ketika kita menelusuri bagian demi bagian Kraton Yogyakarta yang ternyata memperlihatkan konsep manunggaling kawula lan Gusti, yaitu konsep dimana menyatunya hamba dengan Tuhannya. Seperti yang diutarakan Rendra, setiap bagian dari Kraton penuh dengan simbol yang melukiskan perjalanan hidup dari awal kehidupan sampai pada perjalanan hidup manusia pada akhir hidupnya. Secara etimologis pun kata kraton penuh dengan makna simbolis. Kraton berasal dari kata : ka + ratu + an = Kraton yang berarti tempat bersemayam ratu-ratu. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datuan) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam. Kraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Kraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kulturil (kebudayaan). Dan sesungguhnya kraton Yogyakarta penuh dengan arti-arti tersebut diatas. Arsitektur bangunan-bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya, sampai pada warna gedung-gedungnya pun mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di dalamnya bukan sembarangan pohon. Semua yang terdapat di sini seakan-akan memberi nasehat kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri kita kepada Tuhan yang Maha Esa, berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah laku kita sehari-hari dan lain-lain. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama kraton. Penataan tata ruang kraton, termasuk pula pola dasar lansekap kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai

filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri. Makna filosofis Kraton Jogja pun dapat kita lihat dari penampakan bangunan Kraton jika dilihat dari udara, dimana Kraton membentang dari utara ke selatan yang memperlihatkan desain bangunan yang menunjukkan bahwa Kraton, Tugu dan Gunung Merapi berada dalam satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang keramat. Dalam Balairung Kraton, dapat disaksikan adegan pisowanan (Persidangan) Agung, dimana Sri Sultan duduk di Singgasana di hadapan para pemangku jabatan istana. Regol Donopratopo yang menghubungkan halaman Sri Manganti dengan halaman inti Kraton, dijaga oleh 2 (dua) patung Dwarapala yang diberi nama Cingkarabala dan Balaupata, yang melambangkan kepribadian baik dari manusia, yang selalu menggemakan suara hatinya, agar selalu berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat. Sedangkan dalam halaman inti Kraton, antara lain dapat dilihat bangunan tempat tinggal Sri Sultan sehari-hari, tempat Sri Sultan menerima tamu kehormatan, tempat untuk berpesta, tempat para tamu beristirahat atau merapikan pakaian, serta gedung - gedung dan bangunan yang lain. Di tempat ini juga terdapat Kaputren, atau tempat tinggal putri - putri Sultan yang belum menikah. Makna simbolis yang penuh nilai filosofis menjadi daya tarik tersendiri dari Kraton Yogyakarta yang didirikan oleh oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Uraian yang lebih lengkap disajikan pada bagian lain tulisan ini yang mengupas tentang sejarah dibalik Kraton Yogyakarta. Sebagai sebuah pengantar, bagian ini diharapkan dapat membawa kita untuk memasuki dan menjelajahi jejak-jejak sejarah Kraton Yogyakarta bukan hanya sekedar nostalgia masa lalu semata tetapi mencermati kembali kearifan dari masa lalu, sehingga kita dapat lebih bijak dalam menyongsong masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat membuka kembali cerita keindahan, kenyamanan, keteraturan dalam perencanaan tata kota Kraton Yogyakarta di masa lalu yang sering menimbulkan decak kagum setiap generasi, bahkan hingga sekarang kekaguman itu tetap ada dari semua pengunjung yang datang ke Kraton Yogyakarta. Walaupun keindahan dan kenyamanan masa lalu itu tidaklah lagi sama dengan apa yang kita nikmati sekarang, karena banyaknya peninggalan dari Kraton yang sedikit demi sedikit pudar dan mungkin akan segera hilang sama sekali dari kita. Di satu sisi kompleks Kraton Yogyakarta beserta bangunan dan lansekapnya menjadi sangat penting karena menjadi penanda yang mewakili perkembangan jaman sekaligus

titik pengingat proses sejarah Yogyakarta baik sebagai sebuah kesultanan maupun sebagai kota.

Diharapkan dengan pengenalan yang lebih baik terhadap Kraton Yogyakarta ini dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan warisan budaya Kraton Yogyakarta. Melalui tulisan ini, kita mencoba menelusuri kembali jejak sejarah Kraton Yogyakarta dengan berbagai catatan dan kisah. Dengan panduan berupa tulisan dan foto, semoga kita dapat lebih mudah untuk menengok kembali ke belakang, yaitu ke masa awal perkembangan Kraton Yogyakarta, sambil berupaya mengenali kembali rangkaian bangunan-bangunan yang menjadi bagian dari Kraton. Bermula dari kompleks utama Kraton dimulai dari Gapura Gladhad di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan.

B

ermula dari Garjitawati: Sejarah dan Lansekap Kraton Yogyakarta

Kraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Waktu masih muda, baginda bergelar pangeran Mangkubumi Sukowati. Menurut Dr.F.Pigeund dan Dr.L.Adam di majalah Jawa tahun 1940 Sultan pun diberikan julukan: "de bouwmeester van zijn broer Sunan P.B II" ("arsitek dari kakanda Sri Sunan Paku Buwono II"). Pada saat pendirian Kraton, Sultan memilih lokasi bekas sebuah pesanggarahan (semacam istana peristirahatan/villa) yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi kraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari kraton berikut landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Istana ini menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta (bersama-sama Kadipaten Paku Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Di samping Kraton Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta setidaknya memiliki dua istana peristirahatan yaitu Ambar Binangun di sebelah barat kota dan Ambar Rukmo di sebelah timur kota (saat ini menjadi lokasi Ambarrukmo Plaza). Di masa lalu kompleks utama Kraton dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama kraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag, Pangurakan nJawi/luar, dan Pangurakan Lebet/dalam; Kompleks Alunalun Lor (Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Lor, Kompleks Kamandhungan Lor; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul (Selatan); Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut

Plengkung Gadhing. Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain. Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan kraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Kraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Kraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan kraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo. Tiap-tiap kompleks terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan dan ditanami pohon tertentu serta bangunan-bangunan utama dan pendamping. Kompleks satu dengan yang lain dihubungkan dengan Regol (Regol=Gerbang) yang biasanya bergaya Semar Tinandu, beratap trapesium seperti joglo tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya. Pintu yang berketinggian sekitar 2,5-3 m terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas. Bangunan-bangunan Kraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi. Permukaan atap joglo berupa trapesium dengan bahan terbuat dari sirap kayu, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Saka Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang

lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi [[Allah]], [[Muhammad]], dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya. Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam/marmer (marble) warna putih atau dari ubin bermotif. Ketinggian lantai secara umum sekitar 5-15 cm dari permukaan halaman. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi sekitar 40-60 cm (misal pada bangsal Witono dan Kencana). Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan. Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri. Berbagai aspek yang menarik perhatian itulah yang menyebabkan banyak ahli yang membahas Kraton Yogyakarta dari sudut pandang keahlian masing-masing. Ada yang membahas dari sudut pandang sejarah, dari sudut pandang politik, ada yang mengupas arsitektur, ada yang mengupas aspek sosiologis, kehidupan seni, dan masih banyak yang lain. Kraton Yogyakarta memang yang mempunyai banyak aspek untuk dibahas dan dikupas. Maka dari itu, dalam kesempatan ini diuraikan permasalahan mengenai potensi dan masalah yang muncul berkaitan dengan status Kraton Yogyakarta sebagai kawasan pusaka budaya. Selain itu akan diuraikan usulan model pengelolaan Kraton Jogja sebagai objek wisata budaya.

D

ari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan

A. Sebaran Tinggalan Bangunan Kraton 1. Gladhag-Pangurakan Gapura Gladhag kini hanya bisa disaksikan lewat dokumentasi foto saja, karena sekarang bangunan gapura itu sudah tidak ada. Di masa lalu Gapura Gladhag terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46). Di sebelah selatan gapura Gladhag terdapat Gapura Pangurakan nJawi (luar) yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Kraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet (dalam) yang juga masih berdiri. Ketiga gapura tersebut adalah gerbang utama (main gate) untuk masuk ke Kraton Yogyakarta. Selepas dari Gapura Pangurakan Lebet terdapat Kompleks Alun-Alun Lor (utara). 2. Alun-alun utara Alun-alun Lor (Utara) adalah sebuah lapangan berumput (aslinya berpasir) di bagian utara Kraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi. Sekarang tembok ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Gambaran yang relatif masih seperti aslinya ada di Alun-Alun Kidul (selatan) dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan secara utuh. Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung. Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Versi lain Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem (Chief of Adminstrative Officer) yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Pejabat rendah apalagi rakyat tidak diperbolehkan melewatinya dan harus berjalan memutar. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" (harfiah=menjemur diri) saat

Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Pejabat istana (abdi-Dalem Kori) akan menerima mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta. Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bagunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran. Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng (rakyat dan pejabat menghadap raja sebagai tanda kesetiaan mereka kepada raja dan kerajaan) dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaran. 3. Mesjid Raya Yogyakarta Kompleks Masjid Raya Kesultanan terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman ini dikelilingi oleh suatu dinding yang cukup tinggi sekitar 2-3 meter. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura yang pada zamannya (untuk alasan keamanan) dipergunakan Sultan untuk beribadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi 50-80 cm dari serambi masjid dan

lantai serambi sendiri lebih tinggi 80-100 cm dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil yang pada zamannya digunakan untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid. Pagongan berada di timur laut dan tenggara bangunan masjid raya. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Lor dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul. Saat upacara Sekaten, Pagongan Lor digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan selatan untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Bata (harfiah: menendang batu bata) pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu (semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan) di sebelah utara masjid dan pemakaman di sebelah barat masjid. 4. Kompleks Pagelaran Bangunan utama adalah Tratag Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat kraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor. Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada beliau. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit kraton dan lainya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan [Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur. 5. Siti Hinggil Lor Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil

secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae) Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertalulut dan Singanegara (para algojo/eksekutor putusan hakim pengadilan kerajaan) sampai sekitar tahun 1926. Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan. Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi sekitar 4060 cm. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan. Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Sitihinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Sitihinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun. 6. Kamandhungan Lor Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan

di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Kraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan. Kompleks Kamandhungan Lor/utara sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati di mana Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini. 7. Sri Manganti Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Lor dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka kraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata kraton. Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan. Lokasi ini pernah digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu sebelum 27 Mei 2006 saat bangsal ini runtuh akibat gempa bumi yang hanya menyisakan bagian lantainya saja yang dapat kita saksikan sekarang. Sedangkan si sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi T inggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.

8. Kedhaton Kompleks kedhaton merupakan inti dari Kraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putraputra Sultan. Di komplkes ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencana ke barat. Kompleks ini terletak di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna. 9. Pelataran Kedhaton Bangsal Kencana (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Prabayaksa (Proboyakso) yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya. Di sebelah utara nDalem Ageng Prabayaksa berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB IX tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Kraton Kilen (harfiah=Istana Barat). Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam kraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.

Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro (bulan pertama dalam kalender Jawa). Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak (tempat menunggu para penari untuk pentas di bangsal Kencana), Bangsal Mandalasana (tempat abdi-Dalem Musikan memainkan ansambel musik diatonis), Gedhong Patehan (tempat mempersiapkan minuman teh), Gedhong Danartapura (kantor bendahara), Gedhong Siliran (tempat menyimpan lampu/lentera), Gedhong Sarangbaya (tempat menyimpan peralatan makan dan minum), Gedhong Gangsa (tempat memainkan orkestra gamelan), dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX. 10. Keputren dan Kesatriyan Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja serta diperuntukan pula untuk para puteri raja yang belum menikah. Sehingga tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Di tempat ini terdapat Mesjid Keputren yang menjadi tempat khusus untuk beribadat bagi para penghuni Keputren. Adapun Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan event pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan. 11. Kamagangan Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa jawa : "Dwi naga rasa tunggal" Artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. warna naga hijau, Hijau ialah symbol dari pengharapan. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.

Dahulu kompleks Kamagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdiDalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Kraton. Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan. Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari. 12. Kamandhungan Kidul Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sukawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang. 13. Siti Hinggil Kidul Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter

persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu-lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta. Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit kraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. 13. Alun-alun Kidul Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Kraton Yogyakarta. Alunalun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang kraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya. 14. Plengkung Nirbaya Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan bagian utama kraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke kraton pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi

Sultan yang sedang bertahta. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja. Kata nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke kraton tanpa bahaya, maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan. B. Nilai Penting Kraton Yogyakarta dan Pengelolaannya Bangunan-bangunan dalam Kraton Yogyakarta seperti yang telah diuraikan di atas, menjadi penanda perjalanan panjang sejarah Kraton dan juga kota Yogyakarta. Dengan beragam tinggalan budayanya, Kraton Yogyakarta merupakan sebuah kawasan cagar budaya, sesuai dengan Perda Prov. DIY no. 11 tahun 2005 ps. 1 ayat 6 yang menyatakan ”Kawasan Cagar Budaya adalah kawasan yang melingkupi aglomerasi wilayah yang memiliki benda atau bangunan cagar budaya dan mempunyai karakeristik serta kesamaan latar belakang budaya dalam batas geografis yang ditentukan dengan deliniasi fisik dan non fisik”. Nilai penting yang terkandung di dalamnya menjadikan Kraton Yogyakarta sebagai warisan budaya yang harus kita lestarikan bersama. Di sisi lain nilai penting tinggalan-tinggalan itu sudah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan, sehingga harus dilindungi. Bahkan berkaitan dnegan itu telah diundangkan peraturan perundangan untuk melindungi pusaka-pusaka budaya. Peraturan perundangan tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakartano. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya. Upaya-upaya untuk sosialisasi peraturan perundangan, dan penerapannya di dalam kehidupan bermasyarakat juga sudah dilakukan. Demikian pula, kajian-kajian tentang berbagai aspek Kraton Yogyakarta, khususnya yang berhubungan dengan statusnya sebagai kawasan pusaka budaya sudah dilakukan. Namun, rasanya sosialisasi masih perlu lebih diintensifkan dan diperluas jangkauannya, serta dilakukan dengan bersinergi antar berbagai kalangan. Misalnya dengan membuat versi populer baik dalam bentuk cetak atau elektronik kajian-kajian yang pernah dilakukan, melakukan lawatanlawatan sejarah pada siswa-siswa sekolah dan para guru. Sebab sangat diharapkan bahwa tinggalan-tinggalan bangunan kuno yang masih relatif utuh di Kraton Yogyakarta dipelihara dan dijaga supaya kita tidak kehilangan jejak-jejak sejarah yang berharga.

Berkaitan dengan nilai penting

Kraton Yogyakarta dalam kaitannya dengan aspek

pelestarian dan pemanfaatan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, maka diperlukan model pengelolaan Kraton Yogyakarta yang tepat. Sebagai benda cagar budaya, pengelolaan Kraton Yogyakarta yang berwasan pelestarian mutlak diperlukan, karena pada hakekatnya tujuan pelestarian itu sendiri adalah mempertahankan nilai penting benda cagar budaya agar tidak hilang atau pun berkurang (Pearson dan Sullivan, 1995; McGimsey dan Davis, 1977). Proses tentang pemberian nilai terhadap tinggalan budaya inilah yang disebut sebagai penilaian atas makna budaya. Ada dua unsur yang penting dan saling terkait dalam proses ini, yaitu penentuan unsur-unsur yang menjadikan tempat itu penting serta nilai penting atau makna budaya itu sendiri di masyarakat. Jika mengacu pada Burra Charter, makna budaya adalah sesuatu yang memiliki nilai 'estetis, bersejarah, ilmiah, atau nilai sosial untuk masa lampau, sekarang, dan masa depan'. Keanekaragaman warisan pusaka yang ada menjadikan beragamnya makna budaya, untuk itulah penaksiran nilai penting agar setiap warisan pusaka memiliki makna budaya yang jelas dan memudahkan dalam memenejnya (Sullivan & Person, 1995:126). Beberapa pernyatan yang termuat di charter misalnya tentang elements of significance ini yaitu nilai/makna estetis, belum bisa memberikan penjelasan yang mendetail. Padahal nilai estetis ini merupakan nilai penting yang terdapat di warisan pusaka sehingga seharusnya memiliki penjelasan yang lebih tegas. Untuk menilai makna estetis itu tentu saja dibutuhkan panduan dari pakarnya. Hal lainya berkaitan dengan menaksir nilai ini adalah penjelasan tentang nilai-nilai lainnya berupa nilai arsitektural, nilai sejarah, nilai pengetahuan, dan nilai sosial. Setiap nilai-nilai tersebut memiliki uraiannya masing-masing dan merupakan bagian dari manajemen sumberdaya budaya yang akan membantu kita dalam menaksir warisan pusaka, termasuk dalam hal ini menaksir nilai penting Kraton Yogyakarta. Dalam arkeologi pengelolaan nilai penting termasuk dalam kajian manajemen sumberdaya budaya atau cultural resource management, yang pada intinnya adalah pelestarian atau konservasi, dimana konsep pelestarian harus dipahami dalam konteks transformasi budaya, proses transformasi dari konteks sistem ke konteks arkeologi. Pelestarian menjadi hal karena sumberdaya budaya pasti akan mengalami degradasi, semakin lama semakin

menghilang. Sehingga dalam hal ini hakekat pelestarian adalah berusaha mempertahankan sumberdaya budaya agar tetap dalam konteks sistem atau mengembalikannya ke dalam konteks sistem dengan cara selalu memberi makna baru bagi sumberdaya budaya. Di konteks inilah, penerapan manajemen sumberdaya budaya dalam pengelolaan Kraton Yogyakarta akan memberikan manfaat yang positif. Pemberian makna baru terhadap tinggalan-tinggalan yang terdapat di Kompleks Kraton dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif akan dapat mempertahankan keberadaan sumberdaya budaya tersebut. Dengan melestarikan sumberdaya budaya maka kita akan dapat mengambil manfaatnya, dan jika kita ingin memahami manfaat yang kita peroleh, kita harus menerjemahkan pengetahuan yang kita peroleh untuk masyarakat. Pada intinya dari masyarakatlah proses ini berawal dan kepada masyarakat pula semua itu harus diserahkan. Dengan konsep ini manajemen sumberdaya budaya harus diterapkan dengan keterlibatan masyarakat secara aktif sehingga tercipta masa depan bagi masa lalu Kraton Yogyakarta yang lebih baik. Cleere (1990) menjelaskan bahwa manajemen sumberdaya budaya mempunyai dasar filosofi yang mengkaitkan kegunaan warisan budaya itu untuk jati diri (cultural identity) yang dikaitkan dengan fungsi pendidikan, manfaat ekonomis lewat kepariwisataan, dan fungsi akademis untuk menjaga dan menyelamatkan basis data tentang sumberdaya tersebut. Berkaitan dengan fungsi tersebut, maka pengelolaan Kraton Yogyakarta dapat ditempuh melalui pemanfaatannya sebagai objek wisata budaya. Dalam upaya pengembangan objek wisata budaya, salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian, adalah visi pelestarian tinggalan budaya. Konsep pelestarian pengembangan dalam rangka pemanfaatan tinggalan budaya, perlu dicermati mengingat kelestarian tinggalan budaya, menjadi bagian penting pemanfaatan jangka panjang objek wisata tersebut.

Dalam kondisi itu, konsep pelestarian berwawasan pengembangan dan

pengembangan objek wisata yang berwawasan pelestarian tinggalan budaya sangat dibutuhkan. Pelestarian diharapkan mampu menjadi indikator penguatan jatidiri bangsa, dalam rangka membangun bangsa yang lebih berkualitas. Untuk mencapai itu ada tiga aspek pokok yang jadi prioritas, yakni pelestarian tinggalan budaya, pengembangan lingkungan dan masyarakatnya sebagai objek wisata terpadu. Korelasi dan keterpaduan ketiga aspek tersebut diharapkan nantinya menjadikan kawasan Kraton Yogyakarta sebagai tujuan wisata budaya terpadu yang handal dan berkelanjutan.

P

erencanaan Pengelolaan Wisata Budaya Kraton Yogyakarta

(Suatu model pemanfaatan Sumberdaya Arkeologi sebagai objek wisata minat khusus) A. Landasan Konseptual Tak dapat dipungkiri wisata budaya memiliki ketertarikan tersendiri untuk dikunjungi oleh wisatawan, hal ini disebabkan karena dalam diri manusia selalu ada dorongan untuk mengetahui keunikan kebudayaan lain, seperti yang dikemukakan oleh Lester Borley bahwa wisata budaya adalah aktifitas yang memungkinkan manusia menjelajahi atau mendapatkan pengalaman yang berbeda dari jalan hidup orang lain yang menggambarkan adat, tradisi keagamaan dan nilai-nilai intelektual mereka dari sebuah warisan budaya yang tidak lazim (Borley dalam Nuryanti 1999). Dalam proses pengembangan sebuah warisan budaya untuk dijadikan obyek wisata, diperlukan sebuah sistem manajemen dan dukungan dari semua pihak agar nantinya hasil yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal. Proses tersebut meliputi perencanaan, analisis lingkungan (keruangan), analisis potensi atau nilai penting benda cagar budaya dan rekomendasi. Dalam kerangka inilah cutural resource management dapat diterapkan. Agar pengembangan pariwisata bisa berjalan efektif selain mengharapkan dukungan pemda, juga diperlukan dukungan masyarakat secara luas dan pihak swasta. Dukungan masyarakat terutama sangat diperlukan dalam menciptakan kondisi lingkungan yang aman dan nyaman. Sehingga wisatawan merasa terlindungi dan tidak merasa terganggu. Sedangkan dukungan swasta sangat diperlukan dalam penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang juga dapat memberikan kepuasan kepada para wisatawan. Perkembangan pariwisata yang cukup menguntungkan, diperkirakan akan semakin menarik minat investor untuk berinvestasi di sektor pariwisata ini. Di sisi lain aspek kelestarian dari objek tinggalan budaya tersebut tetap dapat dipertahankan sebagai warisan budaya masa lalu. Dengan penerapan konsep cultural resource management yang tepat diharapkan berdampak positif pada pengembangan pariwisata budaya di Kraton Yogyakarta yang tetap berwawasan pelestarian. Adapun pengembangannya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang kreatif dan inovatif, termasuk dalam hal ini pengemasan dan penataan kawasan wisata budaya yang merupakan bagian dari perencanaan pariwisata budaya Kraton Yogyakarta

yang menjadi fokus dari tulisan ini. Penataan kawasan wisata budaya diharapkan memberi jaminan keberhasilan pengembangan pariwisata daerah berbasis budaya dengan: •

menciptakan lingkungan yang memenuhi harapan dan kebutuhan wisatawan,



menawarkan lingkungan yang memberikan pengalaman baru,



tanggap terhadap tuntutan wisatawan. Langkah awal yang dapat dilakukan berupa identifikasi dan inventarisasi benda cagar

budaya yang terdapat di Kraton Yogyakarta, kemudian diplot dalam sebuah peta sebaran, sehingga memudahkan saat melakukan zoning kawasan wisata budaya. Selain itu tahap penilaian nilai penting untuk setiap objek budaya perlu dilakukan untuk mendapatkan peringkat setiap benda cagar budaya tersebut sehingga memudahkan pada pemanfaatannya nanti. Dalam tahapan ini kalangan arkeolog baik dari akademisi maupun institusi arkeologi dapat dilibatkan oleh pemerintah daerah. Proses tentang pemberian nilai terhadap tinggalan budaya inilah yang disebut sebagai penilaian atas makna budaya. Ada dua unsur yang penting dan saling terkait dalam proses ini, yaitu penentuan unsur-unsur yang menjadikan tempat itu penting serta nilai penting atau makna budaya itu sendiri di masyarakat. Penataan kawasan wisata budaya ini tidak terlepas dari konsep perencanaan pariwisata secara umum. Di era otonomi saat ini, daerah diberikan kewenangan untuk melakukan perencanaan, pengembangan dan pengelolaan pariwisata di daerah. Proses dan mekanisme pengambilan keputusan menjadi lebih sederhana dan cepat. Di samping itu peluang untuk melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengembangan pariwisata menjadi lebih terbuka. Kesempatan ini harus dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemerintah daerah, karena sebenarnya ini merupakan modal besar untuk mempercepat proses pengembangan pariwisata di Kraton Yogyakarta. Perencanaan kawasan wisata budaya Kraton Yogyakarta dalam hal ini, baru difokuskan pada sebagian bangunan saja yaitu, Jeron Benteng, Plengkung, Mesjid Gedhe Kraton, Pagelaran Kraton, Kamagangan, dan Siti Hinggil

Alur proses perencanaan kawasan wisata budaya secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.

U M P A N B A L I K

LATAR BELAKANG (Mengapa diperlukan penataan kawasan wisata budaya)

PERUMUSAN TUJUAN (Hendak digunakan untuk apa penataan kawasan tersebut)

IDENTIFIKASI SUMBERDAYA BUDAYA (Atraksi, aksesibilitas, pasar, dampak, promosi, akomodasi, kelembagaan)

ANALISIS KEBIJAKAN (Apa visi/misi stakeholder? Apakah kebijakan lintas sektoral bersifat komplementer)

REKOMENDASI (Konservasi, atraksi, aksesibilitas, pasar, dampak, promosi, akomodasi, kelembagaan)

PENENTUAN PRIORITAS DAN STRATEGI PELAKSANAAN (Produk, Pasar, Promosi

Gambar 1. Alur Proses Perencanaan Kawasan Wisata Budaya

Berdasarkan alur di atas, perencanaan kawasan wisata budaya di Kraton Yogyakarta secara teknis dapat dijabarkan sesuai dengan tahapan yang ada. Di tahap pertama, landasan filosofis menjadi ruh dari penataan kawasan wisata budaya ini yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk peningkatan kesejahtaraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi sumberdaya budaya yang berkorelasi positif dengan upaya pelestarian sumberdaya budaya. Adapun, tujuannya secara kongkrit misalnya diarahkan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dengan cara mendiversifikasi atraksi dan optimalisasi pemanfaatan wilayah sebagai zona wisata budaya Kraton Yogyakarta guna meningkatkan pendapatan masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestarian benda cagar budaya dan daya dukung lingkungan. Tujuan tersebut bukan sesuatu yang mutlak, jadi bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, pada tahapan pengembangan perlu kiranya untuk menghidupkan kembali ruh objek daya tarik wisata, yaitu dengan menerapkan konsep manajemen pemanfaatan tinggalan

budaya menjadi objek daya tarik wisata. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mewujudkan konsep tersebut adalah sebagai berikut: 1. Atraktif, kegiatan ini bertujuan menjadikan objek budaya menjadi sesuatu yang menarik sehingga mampu mendatangkan keuntungan melalui pendapatan yang akan digunakan untuk operasional dan perawatan obyek warisan budaya itu sendiri. 2. Detraktif, kegiatan yang dapat dimaknai ganda yang mengandung pengertian positif dan negatif. Dalam pengertian positif tindakan detraktif dilakukan untuk meminimalkan resiko dan kemungkinan-kemungkinan negatif pada objek yang akan dikembangkan. Sedangkan dalam pengertian negatif, detraktif adalah upaya mengurangi dan menghilangkan suatu daya tarik dan bentuk fisik bangunan warisan budaya dan kondisi sekitarnya. 3. Edukatif dan informatif, kedua hal ini dapat memotivasi para wisatawan untuk berkunjung tidak hanya diberikan paket keindahan warisan budaya, tetapi sekaligus dapat belajar dan mengembangkan wawasannya. Hal ini senada dengan pendapat Cleree yang memasukkan aspek edukatif pada prinsip pelestarian. 4. Menghibur (entertaining), suasana menghibur dan menyenangkan mampu memberikan suasana/atmosfir yang gembira. Suasana tersebut menimbulkan kesan mendalam sehingga wisatawan berkeinginan kembali untuk mengunjungi objek wisata budaya. 5. Komersil, hal ini dapat dilakukan tetapi harus diperhatikan pemanfaatannya agar tidak berlebihan. Nilai-nilai komersil dapat mendukung sebagai daya tarik wisata, sehingga pengalaman yang diperoleh sesuai dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan. 6. Memiliki manfaat terhadap lingkungan setempat, selain mafaat nilai komersil juga mampu memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitarnya (Wiendu Nuryanti, 2007). Ketika konsep tersebut menjadi landasan dari pengembangan wisata, maka dalam tahapan selanjutnya, diperlukan analisis kebijakan untuk memperkuat rumusan tujuan yang telah ada. Visi dan misi dari stakeholder, baik itu pemerintah, masyarakat maupun kalangan peneliti dan para wisatawan, dijabarkan dengan jelas. Selain itu aspek regulasi, baik kebijakan pemarintahan maupun perundang-undangan yang terkait setidaknya dikaji lebih mendalam agar penerapannya di lapangan dapat berjalan dengan maksimal. Adapun dalam tahapan identifikasi sumberdaya budaya, inventarisasi tinggalan budaya difokuskan pada bangunan-

bangunan Kraton Yogyakarta, atrakasi budaya penunjang, aksesibilitas, pasar, dampak, promosi, akomodasi, dan kelembagaan. Dari kegiatan itulah diharapkan muncul rekomendasi yang tepat untuk setiap aspek yang berdampak pada perencanaan penataan kawasan wisata budaya yang lebih terencana. Perencanaan yang matang dan sistematis tersebut dapat memudahkan kita untuk menentukan prioritas dan strategi pelaksanaan yang tepat, terutama berkaitan dengan produk, pasar dan promosi untuk wisata budaya Kraton Yogyakarta. Berkaitan dengan strategi ini, pengemasan produk wisata budaya sangat berperan penting dalam menunjang keberhasilan promosi. Disisi lain yang cukup menggembirakan adalah, Kraton Yogyakarta sudah cukup dikenal di dunia. Seperti yang terlihat pada hasil penelusuran di search engine di internet yaitu : Di Google : Urutan 1 - 10 dari sekitar 525,000 hasil telusur untuk kraton Yogyakarta. (0.23 detik) Urutan 1 - 10 dari sekitar 99,600 hasil telusur untuk Kraton Ngayogyakarta. (0.39 detik) Urutan 1 - 10 dari sekitar 392,000 hasil telusur untuk Kraton yogyakarta. (0.29 detik) (sumber www.google.com diakses 13 Janurai 2009) Di yahoo: 1 - 10 of 368,000 for Kraton yogyakarta (About) - 0.25 s 1 - 10 of 257,000 for kraton yogyakarta (About) - 0.34 s 1 - 10 of 93,200 for Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (About) - 0.36 s (sumber www.yahoo.com diakses 13 Janurai 2009) Berdasarkan data tersebut, penyebarluasan informasi mengenai Kraton Yogyakarta di dunia maya dapat dijadikan pemicu bagi kita untuk melakukan yang terbaik penataan kawasan budaya Kraton Yogyakarta.

Sehingga wisatawan yang datang berdasarkan informasi dari

internet dapat terpuaskan pada saat berkunjung ke Kraton Yogyakarta. Seperti yang telah disampaikan di awal, luasnya ruang lingkup kawasan Kraton Yogyakarta menjadi hal yang melatarbelakangi perencanaan kawasan wisata budaya baru sebatas pada sebagian bangunan saja yaitu, Jeron Benteng, Plengkung, Mesjid Gedhe Kraton, Pagelaran Kraton, Kamagangan dan Siti Hinggil yang masin-masing tulisan merupakan hasil kajian tersendiri.

B. Perencanaan Kawasan Wisata Budaya 1. Jeron Beteng1 Kawasan di dalam lingkungan benteng, biasa disebut Jeron Beteng, merupakan situs pusaka budaya utama di Kota Yogyakarta. Selain Kraton sebagai situs terpenting, di kawasan ini juga berdiri sisa bangunan Pesanggrahan Tamansari, sebuah bangunan indah dengan konsep istana diatas air. Disini juga terdapat pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya dua setengah abad yang lalu. Meski tidak semuanya utuh sebagaimana adanya semula, kawasan Jeron Benteng menjadi ciri paling spesifik keberadaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu bekas kota kerajaan yang paling utuh dan lestari di Indonesia. Inilah monumen terpenting usia dua setengah abad Kota Yogyakarta, sejak didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1756 Masehi. Jeron beteng –yang dalam bahasa Indonesia berarti “dalam benteng”—adalah sebutan untuk kawasan seluas 139 ha yang berada di selingkar dalam tembok benteng Kraton Yogyakarta. Secara administratif Jeron Beteng termasuk dalam wilayah kecamatan Kraton, yang terbagi atas tiga kalurahan—Kadipaten, Panembahan dan Patehan– dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa. Kawasan yang menjadi cikal-tumbuhnya kota Jogja 250 tahun lalu ini menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Wisatawan bisa menyaksikan sejumlah Dalem (rumah pangeran) yang telah berusia ratusan tahun namun masih terpelihara dengan apik, perkampungan tradisional dengan tata ruang dan arsitektur yang khas, pohon-pohon langka dan menyimpan makna, serta aneka pernik aktivitas budaya tradisional yang bersisian akrab dengan budaya kontemporer. Jeron Beteng adalah titik mula kota Yogyakarta, di mana kawasan ini pada awalnya adalah lingkungan Kutaraja (kompleks tempat tinggal raja) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada tanggal 7 Oktober 1756 rombongan Pangeran mangkubumi (kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I) meninggalkan peanggrahan Ambar Ketawang (ditinggali sejak 9 Oktober 1755) menuju Kraton Yogyakarta. Lokasi Kraton berawal dari sebuah perkampungan kecil bernama Umbul Pacethokan yang terletak di tengah belantara Beringan.

1

Disajikan oleh Nurachman Irianto (PSA/1820)

Pada masa Pakubuwono II, raja Mataram yang saat itu berkedudukan di Kartasura, Umbul Pacethokan dikembangkan menjadi pesanggrahan Gardjitowati yang dipergunakan sebagai tempat singgah keluarga Mataram yang hendak berziarah dan tempat bersemayam jenazah keluarga kerajaan sebelum dimakamkan di Imogiri atau Kotagede. Kawasan ini diapit dua aliran sungai, Sungai Winongo di sisi barat dan Code di sebelah timur, berupa dataran subur dengan kemiringan moderat ke arah selatan. Pada sisi utara menjulang gunung Merapi setinggi 2900 m dan di ujung selatan terbentang Samudra Indonesia, sebuah kombinasi pertahanan alamiah yang unik. Wilayah ini dikembangkan berdasar kesepakatan Giyanti (1755) yang difasilitasi Gubernur Jendral Nicholaas Hartingh dan membagi wilayah Mataram menjadi dua. Wilayah timur menjadi Kasunanan Surakarta dan separuh bagian barat menjadi wilayah Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kompensasinya, kedua wilayah harus mengakui kekuasaan VOC yang ditandai dengan penempatan dua garnisun pasukan VOC di wilayah kedua kerajaan dan pelimpahan wewenang tertentu di tangan pejabat pemerintah kolonial atau residen. Kompleks kerajaan tersebut dibangun secara bertahap. Tata bangun Kesultanan Yogyakarta mengacu pada filosofi Catur Gatra Tunggal, yakni kemanunggalan empat elemen kerajaan : Kraton, masjid, alun-alun dan pasar. Pada tahap awal dibangun kompleks tempat tinggal Sultan ini dilengkapi 18 buah taman dan sejumlah kolam pemandian. Pada tahun 1785 dibangun benteng di sekeliling kompleks pemukiman raja dengan rentang lk 1 km di setiap sisinya. Benteng yang disebut sebagai Baluwarti ini dibangun seiring menguatnya kedudukan pasukan VOC dan pembangunan benteng Rustenburg (kini Vredeburg) yang dimulai 1765-1787. Di bawah pengawasan Sultan HB II, benteng diperkuat dengan menambah ketebalan dinding menjadi 4 meter. Pada bagian sudut benteng (dikenal sebagai Pojok Benteng) ketebalan tembok bisa mencapai 6-8 meter yang dilengkapi meriam dan lubang pengawasan. Sebagian besar kompleks bangunan di Kraton kemudian runtuh akibat gempa besar 10 Juni 1867. Benteng yang dibangun atas prakarsa Adipati Anom di tahun 1785 sebagai reaksi atas pembangunan Benteng Vredeburg oleh Belanda (1765-1787). Benteng Baluwerti memiliki 5 gerbang bertutup (plengkung) sebagai akses keluar masuk kawasan, yaitu Plengkung Tarunosuro, Nirboyo, Madyasuro atau Tambakboyo, Jogoboyo dan Jogosuro. Menurut catatan K.R.T. Partahdiningrat, tiga plengkung terakhir diruntuhkan menjadi gapura terbuka pada tanggal 23 Juli 1812 atau tepat satu bulan sesudah “geger Spei”. Saat itu tentara Inggris

pimpinan Jendral Gillespie menyerbu dan menguasai Kraton Yogyakarta selama beberapa waktu dan menimbulkan kerusakan parah pada plengkung Madyasuro yang kemudian sempat ditutup sehingga disebut plengkung Buntet. Pada 1878 kawasan Jeron Beteng telah dipadati penduduk tak kurang dari 15.000 jiwa. Sebagai perbandingan pada tahun yang sama penduduk kota Yogyakarta secara keseluruhan baru 57.000 orang termasuk 600 orang Eropa dan sekitar 1000 bangsa Cina. Sebagian besar penghuni Jeron Beteng saat itu adalah kerabat Sultan dan para pegawai istana yang terdiri atas abdi dalem, prajurit dan punggawa. Abdi dalem yang melayani kebutuhan harian Kraton bermukim dalam blok-blok pemukiman berdasar jajaran tugas atau profesi masing-masing, semisal abdi dalem yang mengurusi masalah penerangan di Kraton (abdi dalem silir) tinggal di blok pemukiman yang kemudian dikenal sebagai Siliran dan abdi yang mengurusi perlengkapan kuda istana (gamel) tinggal di Gamelan. a. Wajah Fisik Secara fisik, Jeron Beteng masa kini seakan bergerak meninggalkan karakter dasarnya. Pemukiman bernuansa tradisional hampir tak tersisa digantikan bangunan berarsitektur baru, kecuali bangunan-bangunan milik Kraton, beberapa dalem milik keluarga istana dan sejumlah rumah milik warga. Bangunan-bangunan hunian bertumbuhan memenuhi ruang-ruang kosong, termasuk di sela reruntuhan Tamansari. Pemukim baru kebanyakan berasal dari luar kawasan Jeron Beteng yang berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya. Masyarakat yang semakin heterogen ini, selain memperkaya struktur sosial budaya kawasan ini, tidak bisa tidak membawa penyikkapan dan konfigurasi sosial baru di Jeron Beteng. Dari penampakan fisik kawasan tercermin karakter masyarakat Jeron Beteng masa kini yang cenderung tidak mengabaikan konvensi budaya yang berlaku semisal tidak diperbolehkan mendirikan bangunan melebihi atap Kraton (7 meter). b. Kampung Tata pemukiman menjadi salah satu karakteristik khas kawasan Jeron Beteng. Nama-nama kampung di kawasan ini merekam sejarah tata mukim masa lalu yang berdasar pada profesi, strata sosial dan tapak peninggalan.

Berdasar Dalem Pangeran Wijilan : kampung sekitar Dalem Pangeran Wijil Kadipaten : kampung sekitar Dalem Adipati (Pangeran Mangkubumi, Pangeran Purbaya, Purwadiningratan) Suryamentaraman : kampung sekitar Dalem Pangeran Suryamentaram Suryaputran : kampung sekitar Dalem Pangeran Suryaputra Ngadisuryan : kampung sekitar Dalem Pangeran Hadisurya Berdasarkan keahlian Musikanan : pemukiman abdi dalem musisi Kemitbumen : pemukiman abdi dalem penyapu halaman Bludiran : pemukiman abdi dalem tukang sulam/bludir Pandean : pemukiman abdi dalem pandai besi Sekullanggen : pemukiman abdi dalem penanak nasi Mantrigawen : pemukiman abdi dalem kepala pegawai Keparakan : pemukiman abdi dalem penjaga Pesindenan : pemukiman abdi dalem sinden Siliran : pemukiman abdi dalem tukang menyalakan lampu Namburan : pemukiman abdi dalem penabuh tambur Gamelan : pemukiman abdi dalem perawat kuda Ngrambutan : pemukiman abdi dalempenata rambut Kriyan : pemukiman abdi dalem tukang kayu Gebulen : pemukiman abdi dalem yang menyiapkan api Sraten : pemukiman abdi dalem perawat binatang Penandoan : pemukiman abdi dalem pengurus air Patehan : pemukiman abdi dalem pengurus minuman Polowijan : pemukiman abdi dalem dengan kekurangan fisik Nagan : pemukiman abdi dalem niyaga/penabuh gamelan Suranatan : pemukiman abdi dalem kiai/ulama Berdasarkan kesatuan prajurit

Langenastran : pemukiman prajurit pengawal raja Langenarjan : pemukiman prajurit pengawal raja c. Dinamika Soasial Ekonomi dan Budaya Berlainan dengan elemen fisik, keberadaan Kraton sebagai pusat kebudayaan Jawa terus dihidupi dan menghidupi aneka bentuk aktivitas sosial dan budaya tradisional di Jeron Beteng, seperti prosesi garebeg, sekaten dan aneka seremoni yang melibatkan kerabat Kraton. Di tengah masyarakat pun muncul aktivitas budaya yang berbasis tradisi. Dinamika sosial ini melahirkan titik-titik aktivitas ekonomi yang terkait dengan tumbuhnya pariwisata dengan tradisi, struktur dan kehidupan tradisional sebagai atraksi utama. Meski elemen budaya tradisional relatif dominan dan telah menjadi karakter kawasan, ekspresi seni budaya kontemporer pun mendapat ruang untuk berkembang. Mulai tahun 1990an, beberapa komunitas seni kontemporer mulai berkarya dan bergiat di kawasan ini. Aktivitas mereka didukung infrastruktur yang tumbuh kemudian, seperti galeri seni dan ruang pamer alternatif serta lembaga penelitian dan media. Seiring dengan dibukanya jalur kereta api ke Jogja pada tahun 1887, dunia wisata juga mulai tumbuh. Groneman, seorang dokter berkebangsaan Belanda yang bekerja untuk Sultan HB VIII, membuat buku panduan wisata Yogyakarta untuk pertama kalinya di tahun 1900. Kraton dan reruntuhan Tamansari menjadi salah satu tujuan wisata utama saat itu dan kawasan Tamansari dipromosikan sebagai water castle yang masih menawan. Teknologi lain pun susul menyusul diperkenalkan di Yogyakarta. Kraton atau keluarga istana selalu menjadi salah satu pihak yang mendapat kesempatan pertama untuk mencoba, seperti listrik (1883) dan telepon beberapa tahun kemudian. d. Jeron Beteng Masa Sekarang Pada masa Sultan HB IX peran kraton Yogyakarta dalam perjuangan melewati penjajahan semakin kentara. Ketika militer Belanda berupaya menguasai kembali Indnesia, Kasultanan Yogyakarta secara tegas menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia. Padahal pada saat itu daerah-daerah lain menjadi negara boneka Belanda. Tahun 1946-1949 kota Yogyakarta menjadi ibukota RI dan pada masa kemerdekaan ditetapkan sebagai daerah istimewa yang salah satunya ditandai dengan penunjukkan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam

sebagai gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta secara turun temurun. Saat terjadi konflik peralihan kekuasaan, Jeron Beteng menjadi salah satu pusat koordinasi bagi para gerilyawan dengan dedikasi Sultan HB IX pada kemajuan bangsa juga terlihat ketika beliau mempersilahkan gabungan perguruan tinggi Gadjah Mada untuk memepergunakan gedung-gedung milik Kraton sebagai kampus pada akhir tahun 1950-an. E. Pengembangan Pemanfaatan Dalam upaya pengembangan objek wisata budaya, salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian, adalah visi pelestarian tinggalan budaya. Konsep pelestarian pengembangan dalam rangka pemanfaatan tinggalan budaya, perlu dicermati mengingat kelestarian tinggalan budaya, menjadi bagian penting pemanfaatan jangka panjang objek wisata tersebut.

Dalam kondisi itu, konsep pelestarian berwawasan pengembangan dan

pengembangan objek wisata yang berwawasan pelestarian tinggalan budaya sangat dibutuhkan. Pelestarian, dalam konteks ini adalah upaya pengelolaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan pengendalian, untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukung sebagai bagian dari perjalanan peradaban bangsa. Pelestarian diharapkan mampu menjadi indikator penguatan jatidiri bangsa, dalam rangka membangun bangsa yang lebih berkualitas. Untuk mencapai itu ada tiga aspek pokok yang jadi prioritas, yakni pelestarian tinggalan budaya, pengembangan lingkungan dan masyarakatnya sebagai objek wisata terpadu. Korelasi dan keterpaduan ketiga aspek tersebut diharapkan nantinya menjadikan kawasan ini sebagai tujuan wisata terpadu yang handal dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, acuan dasar dalam penanganannya, harus mempertimbangan berbagai aturan dan kepentingan. Acuan yang dimaksud adalah, UndangUndang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan peraturan turunannya, peraturan kepariwisataan dan peraturan daerah sebagai acuan terdepan dalam pengelolaan dan penanganannya, Undang-Undang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan agar, segala aspeknya dapat dipertimbangkan, termasuk pelibatan masyarakatnya.

2. Pagelaran2 a. Gambaran Umum Bangunan ini termasuk kedalam halaman alun-alun lor (utara). Salah satu bangunan utama yang ada adalah Bangsal Pagelaran serta dua Bangsal Pengapit atau Pasewakan di timur dan barat serta sebuah bangsal di tenggara. Dahulu tempat ini disebut dengan Tratag Rambat. Merupakan tiga buah bangunan dalam satu lantai yang berdenah huruf U terbalik. Bangunan tersebut pada bagian depan membujur dari barat ke timur dan diapit oleh dua buah bangunan lain di kanan dan kirinya yang membujur dari utara ke selatan. Ketiga bangunan berbentuk limasan klabang nyander, yaitu bangunan dengan atap limasan yang disangga oleh beberapa tiang berderet.

Bangunan di sebelah utara atau bagian depan mempunyai atap limasan

bersusun dua, membujur dari barat ke timur dengan dua buah tonjolan ke utara dan selatan yang memakai tutup keong di tengahnya. Bangunan berdenah segi empat dengan panjang 45 meter dan lebar 20 meter, atapnya disangga oleh beberapa tiang berderet dari barat ke timur. Bangunan pengapit di sebelah kanan dan kiri masing-masing juga mempunyai atap limasan tetapi tidak bertingkat. Bangunan ini disangga oleh beberapa tiang yang membujur dari utara ke selatan yang berdiri di atas lantai segi empat berukuran panjang 27 meter dan lebar 17 meter. Ketiga bangunan pagelaran merupakan bangunan terbuka tanpa dinding penutup dengan keseluruhan jumlah tiang 56 buah yang terbuat dari semen cor. Pada bangunan bagian depan terdapat dua buah gapura, yang terletak pada bagian depan dan belakang. Pada bidang gapura bagian depan terdapat sengkalan memet, berupa enam ekor lebah dan seekor biawak yang dibaca Panca Gana Salira Tunggal. Dalam bahasa Jawa sengkalan ini berarti panca (5), gana (6), salira (8), tunggal (1) atau tahun 1865 Jawa, tahun ini menunjukan pemugaran tratag pagelaran. Pada bidang gapura bagian belakang terdapat sengkalan memet tahun masehi berupa sekuntum bunga dan empat buah trisula berbunyi Catur Trisula Kembang Lata menunjukan angka tahun 1934 M. Pemugaran kedua ini dilaksanakan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII (Pratiwi, D., 2006).

2

Disajikan oleh Ari Swastikawati

b. Makna simbolik Pagelaran Pagelaran berasal dari kata pagel, pagol yang berarti batas, sehingga pagelaran memiliki arti tidak ada perbedaan antara orang satu dengan lainnya, baik laki-laki maupun perempuan. Kata pagelaran juga dapat berasal dari kata gelar yang berarti dibuka maka kata ini lebih diarahkan bahwa pagelaran menunjukan unsur-unsur keterbukaan yang segala sesuatunya tidak perlu disembunyikan. Makna pagelaran sebagai bentuk kesamaan kedudukan dan derajat di dalam kraton Yogyakarta antara lain ditunjukan dengan digunakannya bahasa Bagongan, yaitu bahasa krama inggil yang sudah mengalami perubahan (Khairudin, 1995). Ketiga bangunan pagelaran

berbentuk limasan klabang nyander, yaitu bangunan

dengan atap limasan yang disangga oleh beberapa tiang berderet. Menurut Pantja Sunjata (1995: 225-226), klabang adalah nama binatang yang berbisa (racun) sangat ampuh, sedang nyander berarti mengejar. Bisa melambangkan orang yang tak tahu benar salah dan tidak mematuhi tata tertib, nyander dimaksudkan sebagai dikejar orang banyak atau petugas hukum. Sehingga makna dari bentuk bangunan ini adalah untuk mengingatkan manusia bahwa orang yang tidak mematuhi tata tertib kerajaan pasti akan dikejar oleh orang banyak atau petugas hukum dan yang bermasalah akan mendapat hukuman. Selain itu bentuk bangunan pagelaran juga lowahan lambang gantung. Lowahan lambang gantung memiliki makna bahwa manusia tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa, manusia hanya sekedar melaksanakan dan berusaha. Pertemuan sultan dengan dengan para bangsawan dan pejabat di pagelaran merupakan gambaran kedudukanya sebagai wakil Allah di dunia, Sultan berfungsi sebagai penghubung dan penerima langsung dari Allah c. Fungsi Pagelaran Pagelaran berfungsi sebagai tempat patih beserta bawahannya menghadap sultan, tempat mewisuda patih baru dan tempat upacara kerajaan lainnya (Pratiwi, 2006). Pagelaran sebenarnya merupakan tempat pertemuan utama Kraton yang lebih bersifat umum, digunakan oleh bangsawan daerah dan pejabat Kraton lainnya yang tidak dapat mengikuti upacara di Siti Inggil pada hari Grebeg dan acara kenegaraan lainya. Pada acara Grebeg ini khususnya Grebeg Maulud para bangsawan daerah harus hadir untuk membayar pajak dan sewa tanah, ketidakhadiran mereka dianggap sebagai suatu penghianatan.

Sekarang selain sebagai tempat upacara seremonial Kraton tempat ini juga menjadi pusat kegiatan seni dan budaya serta even-even pariwisata. Salah satu yang fenomenal adalah digunakan sebagai tempat Pisowanan Agung rakyat Jogja menghadap Sultan ketika Sultan tidak bersedia lagi dicalonkan lagi menjadi calon gubernur untuk periode selanjutnya. d. Rencana Pengembangan Dalam proses pengembangan sebuah warisan budaya untuk dijadikan obyek wisata, diperlukan sebuah sistem manajemen dan dukungan dari semua pihak agar nantinya hasil yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal. Proses tersebut meliputi perencanaan, analisis lingkungan (keruangan), analisis potensi atau nilai penting benda cagar budaya dan rekomendasi. Menurut McGimsey, munculnya gerakan manajemen terhadap benda cagar budaya dilatarbelakangi adanya permasalahan benturan antar kepentingan, keterbatasan dana, kekurangan tenaga ahli, belum undang-undang perlindungan benda cagar budaya dan masih rendahnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya budaya. (McGimsey, 1977; 27). Untuk itu dalam melakukan perencanaan terhadap sebuah sumberdaya budaya untuk dikembangkan mejadi obyek wisata, seseorang harus mampu bertindak sebagai seorang manajer. Secara umum seorang manajer harus memiliki dan menguasai kemampuankemampuan seperti perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, dan pengawasan. Sumberdaya budaya yang berupa sumberdaya arkeologi dapat dibedakan menjadi bergerak dan tidak bergerak. Sumberdaya arkeologi tidak bergerak dibedakan menjadi dua; Pertama, monumen mati (death monument), yaitu banguan yang sejak ditemukan hingga saat ini tidak difungsikan sebagaimana fungsi semula, contoh bangunan candi atau bangunan megalitik. Kedua, monumen hidup (living monument) adalah monumen yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk kraton dan bangunan pagelaran yang masih digunakan sampai sekarang.

Namun sebelum melakukan pengembangan terhadap sebuah sumberdaya budaya untuk dijadikan obyek wisata, terlebih dahulu mengetahui nilai penting yang dikandung oleh sumberdaya tersebut agar nantinya nilai penting tersbut mempunyai nila “jual” dan dapat dipersaingkan dengan obyek lain. Menurut Pearson dan Sullivan penilaian arti penting

sumberdaya budaya meliputi nilai kesejarahan, ilmu pengetahuan, kejamakan, hubungan dengan sosial masyarakat, nilai estetis dan nilai arsitektural (Pearson dan Sullivan, 1995; 133168). Pada kesempatan ini, diajukan rencana pengembangan pagelaran sebagai obyek wisata serta kegiatan-kegiatan pendukung lainnya, dimana nantinya diharapkan pagelaran dapat menjadi obyek yang “hidup” dengan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di Kraton Yogyakarta tanpa menghilangkan nilai-nilai arkeologis dan budaya yang ada pada obyek ini. Pada dasarnya pembangunan kepariwisataan di suatu wilayah, dapat dilakukan secara makro, meso maupun mikro (Nuryanti, 1995; 15). Untuk itu pada kawasan pagelaran, secara mikro ditawarkan konsep pengembangan sebagai obyek wisata. Tawaran konsep ini selalu terbuka untuk diterapkan, sebab sebuah sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan beberapa faktor kepentingan diantaranya; Education, benda cagar budaya merupakan obyek yang memiliki peranan penting dalam pendidikan bagi anak-anak dan remaja, khususnya untuk menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsanya yang selanjutnya akan menimbulkan rasa cinta terhadap bangsa dan tanah airnya; Recreation and Tourism, benda cagar budaya dapat dijadikan sebagai obyek rekreasi dan hiburan; Money and Economic Gain, keberadaan Benda Cagar Budaya di suatu daerah akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat setempat. Masyarakat setempat dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan seperti penjualan buku-buku informasi tentang benda cagar budaya tersebut, menjadi pemandu wisata, membuat souvenir dan kegiatan lainnya (Darvill, 1995 : 40-45). Dalam prakteknya nanti sebagai obyek wisata, terlebih dahulu diperlukan sebuah bentuk pengamanan terhadap situs, agar dalam pemanfaatannya nanti keaslian situs dapat dipertahankan. Menurut Pearson, untuk mempertahankan aspek keaslian sumberdaya budaya diperlukan perlindungan sumberdaya budaya secara khusus. Perlakuan khusus terhadap sumberdaya budaya prioritas pertama dilakukan dengan menerapkan sistem pemintakatan atau zoning situs (Pearson, 1995; 221). Pada prinsipnya, konsep ini merupakan konsep yang ideal diterapkan dengan tujuan melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi di sekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zoning merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott, 1989:38). Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis

kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zoning arkeologi tujuan utamanya adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zoning arkeologi yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing-masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestariannya. 3. Mesjid Gedhe Kraton3 A. Latar Belakang Sejarah Pendirian Masjid Gedhe Secara substansial dengan adanya perjanjian Gianti pada tanggal 29 Robiulakhir 1680 Jw (13 Pebruari 1755 M), bahwa Kerajaan Mataram di bagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Adanya palihan nagari yang ditandai dengan candra sengkala Nir Brahmana Angoyag Bumi (1680 Jw), maka Kasultanan Ngayogyakarta diakui keberadaannya. Konsekuensi logisnya Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I Senopati Ing Ngalogo Ngabdurachman Sayidin Panotogomo Khalifatullah (1755 – 1792 M), kenudian membangun sarana dan prasarana untuk menjalankan aktivitas-aktivitas kerajaan. Kraton Ngayogyakarta dibangun di kawasan hutan perburuan Beringan. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Amangkurat IV (1719 – 1727 M) di tempat tersebut terdapat Pesanggrahan Garjitawati, kemudian pada masa Paku Buwono II diganti namanya menjadi Pesanggrahan Ayodya. Pada saat pembangunan Kraton Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga bertempat sementara di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping selama satu tahun. Pembangunan Kraton dapat diselesaikan pada hari Kamis Pahing tanggal 13 Sura, tahun Jimakir 1682 Jw ( 7 Oktober 1756 M). Struktur atau tata rakit Kraton dibangun berorientasi arah utara – selatan, secara simbolis berporos pada garis imajiner ( Gunung Merapi – Tugu – Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan). Garis poros tata rakit Kraton tersebut konfigurasi fisiknya menjadi suatu bentuk awal kota Yogyakarta. Dalam perspektif historis-kultural tata ruang, bangunan-bangunan, dan 3

Disajikan oleh Syukronedi

masyarakat pendukungnya secara konsentris berorientasi kepada keberadaan Kraton. Sarana dan prasarana yang ada antara satu dengan lainnya secara inheren mempunyai konfigurasi fungsi, serta mengekspresikan nilai-nilai seni, etik estetik, simbolis, filosofis, religius, dan lainlain. Fungsi dan nilai-nilai tersebut pada dasarnya untuk mendukung kelembagaan norma atau pranata-pranata sosial kasultanan. Pada dasarnya suatu lingkungan binaaan secara arsitektural dibuat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan, baik untuk berusaha, aktivitas sosial, budaya, maupun religius. Untuk memenuhi kebutuhan religius dan sosial budaya tersebut, maka pendirian mesjid dan lembaga-lembaga keagamaannya merupakan urgensi yang diutamakan. Oleh karena itu, secara fisik dalam tata rakit pembangunan Kraton ( untuk menjalankan pemerintahan) juga dilengkapi dengan tempat ibadah, yaitu Mesjid Gedhe Kasultanan Ngayogyakarta yang terletak di sebelah barat Alun-alun utara dan di wilayah negorogung (masjid pathok negoro). Secara simbolis hal itu merupakan langkah transendensi untuk menunjukkan keberadaan sultan, yaitu disamping sebagai pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalogo) juga sebagai sayidin panotogomo khalifatulah ( wakil Allah) di dunia di dalam memimpin agama (panotogomo) di kasultanan. Mesjid Gedhe Kraton Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I, sebagai penghulu pertama, yaitu Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat, sebagai arsiteknya yaitu K. Wiryokusumo. Secara arsitektural Mesjid Gedhe Kraton mempunyai ciri-ciri atau tipe yang sama dengan mesjid-mesjid kerajaan, baik Mesjid Demak, Mataram Islam (Kotagede), maupun Kasunanan Surakarta. Ciri-ciri unik Mesjid Gedhe tersebut, yaitu bentuk tajug menggunakan mustoko, atap tumpang di sekeliling (utara – timur – selatan) mesjid terdapat kolam, di halaman (di luar pagar) terdapat pohon sawo kecik, sisi utara dan selatan terdapat pagongan Gamelan Sekaten, serta di depan ada gapura berbentuk limasan semar tinandhu. Dilihat dari struktur atau tata rakit bangunan serta nilai-nilai sosio-kulturalnya mempunyai makna akulturatif antara unsur lama dan baru. Mesjid Gedhe Kraton sebagai mesjid Jami’ kerajaan mempunyai fungsi utama tempat beribadah, upacara ritual, syiar agama, dan satu penegakan tata hukum kerajaan. Pagongan Gamelan Sekaten di halaman mesjid – halaman sisi utara Gamelan Kiai. Nogowiligo dan selatan Kiai. Gunturmadu – berkaitan erat dengan fungsi mesjid untuk upacara ritual kerajaan dan syiar agama, yaitu dengan mengadakan acara sekaten (syahadataini) pada saat bulan Maulud atau

peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perlu diketahui, bahwa perpaduan unsur seni budaya untuk dakwah tersebut sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Demak pada abad ke 16 dan terus berlanjut sampai dengan Kerajaan Mataram di bagi 2 atau palihan nagari. Berkaitan dengan penegakan hukum, dimanifestasikan pada pelaksanaan Pengadilan Surambi – mengurusi perdata, perkawinan dan warisan yang dilaksanakan oleh seorang penghulu dan 4 orang pathok nagaro. Visi, misi, dan tata fisiknya kemudian menjadi model bagi mesjid-mesjid pathok nagoro yang secara konsentris tersebar di wilayah negorogung, walaupun bentuknya lebih sederhana. Arsitektur

mesjid

dan

lingkungannya

mempunyai

makna

filosofis-religius,

yaitu

mengekspresikan ajaran yang inheren dengan nilai-nilai kultural, keimanan, serta nilai-nilai Islam. Dengan demikian, setiap orang yang memasuki mesjid dapat mengerti dan memahami nilai-nilai yang ada, antara lain : •

Ajaran kebaikan atau kebecikan, yaitu makna simbolis pohon sawo kecik (fungsi praktisnya sebagai perindang.



Kedalaman iman dan kebersihan hati, yaitu makna simbolis kolam (fungsi praktisnya untuk wudlu.



Atap tumpang (meru) dan mustoko melambangkan proses atau tahapan perjalanan hidup manusia pada akhirnya bermuara untuk bersujud kepada yang Maha Tinggi dan hiasan buah waloh mempunyai arti (nama) Alloh.

B. Data Fisik Masjid Gedhe Kraton Bangunan Mesjid Gedhe Kraton terdiri dari beberapa ruangan, antara lain: ruang utama, serambi pawestren, serambi depan (utama), dan serambi pabongan. Dilihat secara arsitektural bangunan Mesjid Gedhe mempunyai atap bertingkat, berdenah bujur sangkar, serta mempunyai pondasi tinggi. Pada bagian depan dan samping terdapat kolam, hal tersebut merupakan ciri-ciri bangunan mesjid kuno. 1. Ruang Utama Ruang utama Mesjid Gedhe mempunyai ukuran 27,95 m arah utara – selatan dan 27,70 m arah barat – timur, serta ruang mihrab berukuran 3,30 x 2,80 m. Ruang tersebut menggunakan lantai marmer putih dengan ukuran 0,70 x 0,70 m. Lantai marmer tersebut merupakan lantai pengganti dari tegel batu hitam pada waktu dilaksanakan

renovasi pada tahun 1936. Ruang utama mempunyai 4 buah soko guru berbentuk bulat dan masing-masing mempunyai ukuran diameter 0,60 m serta tinggi 16 m. Dismaping itu terdapat 12 soko penanggap masing-masing mempunyai ukuran diameter 0,45 m dan 20 soko penitih masing-masing mempunyai diameter 0,33 m. Masing-masing soko dihubungkan dengan tiang sungkup. Dinding ruang utama berupa tatanan-tatanan batu pasir (sand stone) berspesi. Dinding ruang utama bagian dalam tidak mempunyai hiasan, tetapi dinding bagian luar sisi timur (bagian depan) terdapat beberapa prasasti yang berjumlah 6 buah. Untuk sirkulasi udara, tiap-tiap dinding terdapat beberapa jendela, antara lain: -

Dinding sebelah barat 4 buah, 2 buah di selatan ruang mihrab dan 2 buah di utara mihrab.

-

Dinding utara 4 buah

-

Dinding timur 2 buah

-

Dinding sebelah selatan 4 buah.

Tiap-tiap jendela mempunyai ukuran dan bentuk yang sama, masing masing mempunyai ukuran 117 x 145 cm. Secara fungsional untuk memasuki mesjid, baik kepentingan ibadah maupun melihat kemegahan salah satu produk budaya masa Sri Sultan Hamengku Buwono I, terdapat 4 buah pintu masuk, yaitu 3 buah pintu di dinding timur dan 1 buah di dinding utara. Pintu di dinding utara tersebut menghubungkan antara ruangan utama dan pabongan. 2. Serambi Pawestren Sesuai dengan namanya ruang pawestren dipergunakan khusus untuk tempat ibadah wanita. Ruangan ini mempunyai ukuran 27,70 x 5 m, terletak di sebelah selatan bangunan utama. Bangunan ini merupakan serambi, melihat bentuk atapnya merupakan pengembangan mesjid. Keberadaan serambi ini berkaitan dengan fungsi ruang utama. Serambi pawestren mempunyai 2 buah jendela di bagian dinding selatan, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan jendela ruang utama. Pintu di serambi ini 2 buah, yaitu 1 di dinding sisi timur (untuk masuk/keluar) dan 1 buah di sisi selatan (untuk ke halaman serambi) di dalam ruang pawestern terdapat bangunan kelir. Bangunan ini

terletak tepat di depan pintu masuk, dengan bentuk segi empat. Lantai ruangan ini menggunakan marmer putih, sama seperti ruangan utama. 3. Serambi Utama Serambi adalah salah satu komponen mesjid yang berada di bagian depan maupun kanan-kiri

dari suatu bangunan utama, antara ruang utama dan serambi secara

fungsional saling terkait. Seperti halnya mesjid-mesjid kuno, khususnya di Jawa sebagian besar mesjid dilengkapi dengan bangunan serambi. Serambi utama Mesjid Gedhe Kraton mempunyai denah empat persegi panjang mempunyai ukuran 18,10 x 28,20 m. Secara arsitektural bangunan serambi tersebut bentuk atapnya limasan, hal ini berbeda dengan bangunan utama yang menggunakan bentuk atap tajuk dan bertingkat tiga. Di bagian pinggir di lengkapi dengan emperan mempunyai ukuran 3,60 m keliling. Emperan tersebut lantainya lebih rendah dibanding dengan lantai serambi utama , yaitu 90 cm. Bangunan serambi utama mempunyai 8 soko utama dan 16 soko penanggap. Soko utama mempunyai ukuran 33 cm dan penanggap mempunyai ukuran 24 cm berpenampang bujur sangkar, tetapi soko utama mempunyai ukuran lebih besar. Bagian soko kaya ragam hias, bercorak huruf arab atau secara tradisional disebut dengan nama mirong. 4. Serambi Pabongan Serambi pabongan merupakan bangunan tertutup, seperti halnya serambi pawestren, berbeda dengan serambi utama yang merupakan bangunan terbuka. Bangunan ini ini tidak mempunyai tiang, tetapi sebagai pengganti dilengkapi dengan pilar-pilar dan dinding dari pasangan batu, ukuran bangunannya 27,70 x 6,00 m. Ruangan serambi dibagi 2, dibatasi oleh sekat dari pasangan batu yang membujur utara-selatan. Hubungan antara ruang yang satu dengan yang lainnya menggunakan pintu yang berjumlah 5 buah dengan fungsi sendiri-sendiri yang dirinci sebagai berikut: -

1 buah pintu masuk ke ruang serambi pabongan berada di sebelah timur menghadap ke emperan serambi.

-

1 buah pintu untuk menuju ke ruang utama dengan dilengkapi dengan trap/tangga, sehubungan lantai ruang utama lebih tinggi 1,80 m bila dibanding serambi pabongan.

-

2 buah pintu menuju halaman serambi pabongan.

-

1 buah pintu yang terletak di dinding penyekat atau pembagi ruang serambi pabongan.

Pemanfaatan serambi ini sesuai dengan namanya (pabongan) pada waktu dahulu untuk melaksanakan acara khitan. Khitan adalah kegiatan yang diwajibkan bagi pemeluk agama Islam, khususnya laki-laki yang memasuki masa akhil baliq. Selain itu terdapat bangunan penyerta yaitu bangunan lain sebagai pelengkap keberadaan mesjid. Bangunan penyerta ini dibangun berkaitan dengan fungsi dan peranan Mesjid Gedhe Kraton, yang terdiri dari: dalem pengulon, makam, pagongan, bangunan pertemuan, regol depan, dan bangunan sekretariat takmir Mesjid. C. Pengembangan dan Pemanfaatan Pengelolaan sumberdaya budaya mempunyai dua kepentingan strategis yakni: pelestarian dan pemanfaatan. Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya budaya haruslah berorientasi kepada upaya pelestarian. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatannya mempunyai dampak positif bukan dampak negatif terhadap BCB. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 menegaskan: ”perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional. Ada baiknya dikutip pernyataan dalam Symposium of International Comittee on Archaeological Heritage Management di Stockholm, Swedia tahun 1988 seperti dalam laporan ICOMOS: The archaeological resource can be exploited for variety of purposes: academic, educational, or ceremonial. Such uses almost inevitably alter character of site decay or destruction (seperti dikutip oleh Hari Untoro Drajat, 1994) Pernyataan tersebut menegaskan bahwa sumberdaya arkeologi (termasuk sumberdaya budaya lainnya) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yakni: kepentingan akademik, kepentingan pendidikan, dan kepentingan yang bersifat seremonial. Namun perlu diingat bahwa pemanfaatan untuk kepentingan tersebut dapat mengubah situs atau bahkan merusak situs jika tidak dilakukan secara hati-hati. Dalam Undang-undang RI No.4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP no. 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan (AMDAL), warisan budaya atau BCB ditetapkan sebagai komponen lingkungan hidup yang apabila terancam kena dampak suatu proyek haruslah dibuat AMDALnya. Sementara itu menurut UU RI nomor 5 tahun 1992 tentang BCB serta PP No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU BCB dinyatakan bahwa rencana kegiatan yang dapat mencemarkan, merusak, mengubah, dan bahkan memusnahkan BCB harus dilaporkan kepada Pemerintah. Tentang siapa yang berhak memanfaatkan dan mengapa dimanfaatkan, perlu ditegaskan lagi tentang rekomendasi UNESCO tahun 1974 tentang perlindungan properti budaya yang menyatakan bahwa: Cultural property is the product and witness of the different traditions and of the spiritual achievements of the past, and is thus an essential element in the personality of the peoples of the world. It is the duty of goverment to ensure the protection and the preservation of the cultural heritage of mankind, as much as to promote social and economic development (Pearson & Sullivan, 1995) Dijelaskan dalam rekomendasi tersebut bahwa pada dasarnya peninggalan budaya adalah produk dan saksi berbagai kehidupan tradisi dan kehidupan spiritual masa lampau sehingga merupakan unsur yang penting dalam personalitas suatu bangsa. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk melindungi dan memelihara warisan budaya bangsa, sebagaimana juga untuk memajukan perkembangan sosial dan ekonomi. Namun dibalik ini perlindungan dan pemeliharaan warisan budaya bukan semata-mata menjadi tugas dan hanya di tangan pemerintah saja, akan tetapi masyarakat pun harus terlibat karena masyarakat juga mempunyai kepentingan dalam pemanfaatannya. Masyarakat adalah pewaris tinggalan budaya.

Berbagai kepentingan ada di sekitar pemanfaatan sumberdaya budaya, yakni;

kepentingan pendidikan; kepentingan ideologi ; kepentingan ekonomi. Benda cagar budaya memiliki potensi bagi pendidikan generasi bangsa. BCB sebagai produk masa lampau dapat menyadarkan bangsa akan sejarah masa lampau. Dengan memiliki kesadaran masa lampau diharapkan dapat mempertebal ketahanan budaya. Dalam era global sekarang ini mau tidak mau bangsa Indonesia haruslah memiliki ketahanan budaya yang tangguh agar tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Kontak budaya Indonesia dengan budaya asing tidak dapat dihindari, namun jika kita telah memiliki ketahan budaya yang tangguh tidak mungkin terjadi pengrusakan budaya oleh pendukung budaya itu sendiri. BCB juga mempunyai kepentingan

ideologis dalam arti bahwa ia merupakan kebanggaan bangsa dan dapat memperkuat jati diri bangsa sehingga makin mempertebal rasa kebanggaannya. Dalam kepentingan ekonomi, warisan budaya juga dapat bermanfaat untuk kemajuan perkonomian melalui sektor pariwisata. Oleh karena itu ada tiga sektor yang merupakan ”triumvirate” yang berkepentingan dalam keberadaan aset budaya ialah pemerintah, masyarakat akademis, dan masyarakat publik. Masing-masing sektor tersebut haruslah seimbang dalam mengembangkan dan memanfaatkan aset budaya. Kalau kepentingan sektor akademis semata-mata, kepentingan masyarakat publik akan terabaikan. Sebaliknya jika kepentingan masyarakat umum yang dominan, kepentingan akademis akan tidak mendapat tempat. Sumberdaya budaya yang ada harus dimanfaatkan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas serta berorientasi ke masa depan. Sumberdaya budaya, sebagaimana sumberdaya budaya yang lainnya, adalah warisan untuk seluruh masyarakat sehingga pemanfaatannya perlu sepengetahuan masyarakat luas. Masyarakat luas tersebut memiliki beragam kepentingan. Keterlibatan berbagai kepentingan inilah yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan. Untuk itu diperlukan azas keseimbangan dalam pemanfaatan sehingga masingmasing kepentingan dapat terakomodasi secara berimbang, kepentingan yang satu tidak meninggalkan atau merugikan kepentingan yang lainnya (Haryono, 1995). Kalau demikian halnya, maka manjemen sumberdaya budaya pada hakekatnya adalah sebagai manjemen konflik (Tanudirjo, 1998). Perbedaan kepentingan sebagai penyebab konflik kepentingan haruslah dikelola sedemikian rupa agar kepentingan yang satu tidak mengalahkan kepentingan yang lain. Dengan manejemen yang baik konflik akan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Mengapa pemanfaatan sumberdaya budaya harus berorientasi pada wawasan pelestarian? Sumberdaya budaya memiliki sifat keterbatasan antara lain: terbatas jumlahnya (finite), tak terbaharui (non renewable), tak dapat dipindahkan (non movable), mudah rapuh (fragile). Keterbatasan dalam jumlah berarti bahwa peninggalan budaya yang sampai kepada kita jumlahnya sangat terbatas dan dari yang yang terbatas tersebut tidak semuanya utuh serta dapat bertahan terus. Sifat tak terbaharui berarti sumberdaya budaya harus dimanfaatkan dengan hati-hati agar tidak rusak karena sifatnya yang fragile.

Sifat-sifat benda cagar budaya seperti tersebut seharusnya diketahui oleh masyarakat luas sehingga masyarakat dapat ikut berperan serta dalam upaya pelestarian. Pemanfaatan benda cagar budaya telah memiliki acuan yang jelas sebagaimana diatur dalam UU nomor 5 tahun 1992 Bab V pasal 36 sampai dengan pasal 40. di dalam pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) dikatakan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya diberikan Pemerintah untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan atau kebudayaan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian benda cagar budaya. Pengembangan aset budaya harus pula melihat nilai kepentingannya dan melihat wujud serta unsur budaya yang dimaksud. Berbeda wujud dan unsur budaya berbeda pula cara pengembangannya. Pengembangan mencakup dalam dimensi bentuk dan dimensi ruang. Pengembangan dimensi bentuk artinya tekanan pengembangannya kearah pengembangan fisik. Harus diingat bahwa undang-undang benda cagar budaya telah menetukan wilayah inti, wilayah penyangga, dan wilayah pengembangan. Dengan demikian bararti bahwa dilihat dari dimensi ruang, pengembangan hanya boleh dilaksanakan di wilayah yang sudah ditentukan, yakni zona pengembangan. Mesjid Gedhe Kraton yogyakarta merupakan tinggalan yang berkaitan dengan keberadaan Kraton, sampai saat ini masih difungsikan seperti fungsi semula yaitu sebagai tempat ibadah dan upacara-upacara yang diadakan dari Kraton. Mesjid Gehde Kraton Yogyakarta yang letaknya sangat strategis ini dapat dijadikan sebagai Objek Wisata minat khusus seperti religius dan pendidikan dengan prinsip pemanfaatan berbasis pelestarian. Kegiatan wisata religi yang ditawarkan antara lain : 1. Mujahadah Kegiatan yang dilakukan berupa pendekatan kepada Allah Swt sebagai sang pencipta dengan kegiatan tahlilan, yasinan, serta upacara ritual agama lainnya. Masyarakat dapat menunjang kegiatan tersebut dengan menjual berbagai kebutuhan yang diinginkan wisatawan. Kegiatan ini menunjang aspek batiniah berupa memakmurkan mesjid dan disisi lain dapat mensejahterahkan masyarakat sekitar. 2. Iqtikab Kegiatan ini dilakukan pada event-event tertentu seperti; bulan ramadhan, maulud nabi, isra’ mikraj, muharram dsb. Kegiatan ini dilakukan pada malam hari dengan

melakukan membaca istighfar dan doa-doa kepada Allah SWT, serta melakukan kegiatan semedi (iqtikab) untuk introspeksi diri. 3. Sholat Berjamaah Kegiatan ini dilakukan pada malam hari dengan kegiatan sholat tahajjud yang dipimpin oleh seorang Kyai diikuti oleh pengikutnya dalam pelaksanaan ritual keagamaan. Selain itu kegiatan pencerahan ini bertujuan untuk kepuasan batiniah sehingga memperoleh suatu ketenangan di dalam kehidupannya. Sedangkan wisata pendidikan kegiatan yang ditawarkan antara lain: 1. Konservasi Kegiatan ini dilakukan untuk tingkatan SD, SMP, SMA, serta Universitas. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan suatu bangunan yang disebabkan oleh faktor internal yang berupa bahan dan teknologi pembuatannya dan faktor eksternal berupa faktor biotis dan abiotis. Kerusakan oleh faktor internal berupa bahan dan teknologinya wisatawan bisa dikenalkan mengenai sifat-sifat kayu dan bahan bangunannya yang terbuat dari bata dan plester semen dan bagaimana cara pengawetannya serta pemugarannya. 2. Arsitektur Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk arsitektur bangunan mesjid, ragam hias dan simbol-simbol yang terkandung didalamnya. 3. Biologi Wisatawan diperkenalkan untuk mengetahui jenis jenis mikroorganisme yang tumbuh di dalam maupun di luar bangunan yang menyebabkan kerusakan dan pelapukan pada bangunan mesjid melalui pengamatan mikroskop. Kemudian mengetahui jenis-jenis pohon yang ada di sekitar Kraton serta makna philosopisnya. Misalnya pohon kemuning yang merupakan simbol kesucian, dan tidak pernah digunakan untuk upacara ritual maupun keagamaan. Pada situasi dan tempat tertentu, pada saat harus berbuat sesuatu, maka ketika melihat pohon kemuning batin dan pikiran terpusat pada makna kata “kemuning” = ngemu (mengandung), ning/bening (jernih/bersih). Pohon cendana yang ditanam di Kraton melambangkan keharuman. Keharuman bagi nama diri, bangsa, negara, dan nama penguasa. Pohon kepel merupakan simbol persatuan.

Buahnya tumbuh di batang , berbentuk bulat tidak bersendi. Kata “kepel” beranalogi “kempel” artinya berkumpul menjadi satu. Pohon sawo kecik melambangkan simbol kewibawaan dan keluhuran budi. Pohon namnaman merupakan simbol kebijaksanaan, berhati-hati dan penalaran yang logis. Pohon asem londo melambangkan kegembiraan. Pohon sawo bludru merupakan simbol kehalusan budi. Pohon nogosari merupakan simbol keberuntungan. Pohon beringin merupakan simbol pengayoman dan kesucian. Pohon ketimoho merupakan simbol kebudayaan yang adiluhung. Kebudayaan yang besar, kuat, berwibawa, lembut dan luwes. Pohon kawisto merupakan simbol keterbukaan, kejujuran, dan bersedia menerima kritikan. Pohon gayam merupakan simbol ketinggian derajat dan cita-cita atau ketentraman. Kata gayam beranalogi gayuh = gapai, atau gayam = ayem (tentram). Pohon bintaro merupakan simbol keprajuritan atau kewiraan. Pohon kweni merupakan simbol keberanian. Pohon kebon merupakan lambang keteguhan hati. Selain itu masih banyak tumbuhan lainnya yang tumbuh di Kraton yang mempunyai manfaat dan makna simbolis yang berbeda-beda. d. Kesimpulan 1. Keberadaan Mesjid Gedhe tidak dapat dipisahkan dengan Kraton Yogyakarta, hal itu mengingat pendiriannya merupakan satu rangkaian konsep keberadaan sultan yang bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah. 2. Dilihat dari latar belakang pendirian, konteks zaman, dan struktur bangunannya Mesjid Gedhe mempunyai nilai penting yang tinggi, apabila ditinjau dari segi sejarah, arkeologi, pengembangan ilmu pengetahuan, arsitektural, dan kebudayaan. Nilai penting dan potensipotensi yang ada dapat diaktualisasikan dan dikembangkan untuk kepentingan agama, sosial, ekonomi dan pariwisata. 3. Mesjiid Gedhe Kraton merupakan bangunan tinggalan living monument sejak berdiri sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Hal itu disebabkan oleh kerusakan maupun untuk pengembangan sarana-prasarananya. 4. Mesjid Gedhe Kraton dapat dikembangkan menjadi objek wisata minat khusus religi dan pendidikan dengan konsep pelestarian berbasis masyarakat sekitar.

4. Plengkung4 a. Prolog Plengkung merupakan bangunan melengkung yang berfungsi sebagai gapura atau pintu gerbang yang memisahkan kompleks Kraton dengan dunia luar. Sampai saat ini di Yogyakarta cuma dikenal ada 4 (empat) plengkung atau gapura dengan plafon yang melengkung indah sehingga diberi nama tersendiri. Padahal awalnya terdapat 5 (lima) buah plengkung, sayang sejalan dengan waktu, sebuah plengkung dibuntukan yaitu plengkung Suryomentaraman pada 23 Juli 1812. Menurut buku yang ditulis oleh KRT Partahadiningrat, penutupan plengkung kelima ini dibuat syair “mijil” yang menyatakan “plengkung lima, mung papat mengane“- artinya, ada lima gapura melengkung tetapi hanya empat yang terbuka. Sejak Sultan Hamengku Buwono II plengkung ini dijaga prajurit-prajurit kraton, bahkan ada kanon di atas plengkung yang di fungsikan ketika ada penyerangan tentara Inggris tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei. Pada jamanya, plengkung-plengkung ini ditutup setelah jam 20:00 dengan upacara khusus, dan dibuka kembali tepat jam 05:00 diiringi barisan korps pemusik. Lagu pengiring penutup pintu plengkung namanya Lagu Sumedhang dan lagu pembukaannya pintu plengkung adalah adalah Lagu Clunthang. Selepas jam 20.00 tidak ada orang masuk atau keluar beteng. Instruksi penutupan ini datang dari Kagungan Dalem Pancaosan di Bangsal Kamagangan, jadi memang sudah ada Undang-undangnya. Selain kedua lagu itu terdapat lagu ke tiga yang dikumandangkan pada jam 18:00, yang bernama Kinjeng Trung yang isyarat agar pintu Kraton harus sudah tertutup rapat. Adapun pintu-pintu kraton diberi nama seperti Magangan, Danapertapa, Srimanganti dan Brajanala. Ketika Nippong masuk, upacara-upacara yang indah dan anggun ini distop sampai waktu yang sampai sekarang. Lantas bagaimana dengan orang yang rada mbalelo, kemudian ingin masuk “beteng” jika pintu sudah tertutup?. Tak soal bagi penduduk “njeron beteng” tinggal bilang “Lapuuur (lapor), mau keluar beteng” - sementara tamu dari luar tinggal ketuk pintunya serta

4

Disajikan oleh Yadi Mulyadi (PSA/1919)

mengatakan maksud dan tujuannya. Biasanya yang sudah paham akan ada uang “smeer” sebesar satu benggol sebagai uang lelah membuka pintu di luar jam kerja.

b. Kisah di balik Plengkung Berdasarkan penelusuran data, lima buah plengkung atau pintu gerbang dalam beteng yang menghubungkan kompleks kraton dengan dunia luar adalah: 1. Plengkung Tarunasura atau plengkung Wijilan di sebelah timur laut. 2. Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat daya. 3. Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat. 4. Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. 5. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing di sebelah selatan. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh. Kata tarunasura berasal dari dua unsur kata, yakni taruna 'muda, pemuda' dan sura 'berani, pemberani'. Nama Tarunasura berarti pemuda yang berani. Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Kata jagasura berasal dari dua unsur kata yakni jaga 'menjaga' dan sura 'berani'. Dengan demikian,Plengkung Jagasura memiliki arti sebagai pintu gerbang (tempat keluar masuk) kompleks kraton yang melambangkan rasa keberanian. Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari. Saat ini, Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Kata plengkung berarti pintu gerbang kota. Sedang kata jagabaya berasal dari dua usnsur kata jaga 'menjaga' dan baya 'bahaya'. Secara keseluruhan kata jagabaya berarti menjaga marabahaya. Di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Kata tambakbaya berasal dari dua unsur kata yakni tambak 'segala sesuatu yang dijadikan penghalang air' dan baya 'bahaya'. Nama Tambakbaya tersebut dimaksudkan sebagai

penghalang marabahaya. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja. Kata nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke kraton tanpa bahaya, maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan. c. Memaksimalkan potensi Plengkung Berdasarkan pemaparan di atas, keberadaan plengkung sebagai bagian tak terpisahkan dari Kraton Yogyakarta memiliki nilai kesejarahan dan budaya yang penting. Sangat disayangkan apabila kondisinya sekarang ini yang kurang diperhatikan. Plengkung sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara kompleks kraton dengan dunia luar, memiliki peranan penting di masa lalu yang dapat menggambarkan sejarah perkembangan kraton Yogyakarta. Sebagai bangunan yang berfungsi pintu gerbang, plengkung dengan namanya yang masing-masing berbeda memiliki makna kultural tersendiri. Dalam konteks pelestarian maupun perlindungan, maka upaya yang harus kita lakukan selain melestarikan dan melindungi bangunan fisik dari plengkung itu sendiri, juga melestarikan makna kultural yang melekat pada setiap plengkung tersebut. Salah satu upaya yang dapat kita tempuh yaitu dengan melakukan revitalisasi plengkung kraton Yogyakarta yang dapat memvitalkan kembali fungsi plengkung. Proses revitalisasi plengkung kraton Yogyakarta mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik plengkung, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap plengkung tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari kraton Yogyakarta.

Pemaknaan nilai penting kesejarahan dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam plengkung yang tersisa dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan kesinambungan budaya dan sejarah dari masa silam hingga sekarang. Dalam konteks plengkung sebagai tinggalan arkeologi, maka plengkung-plengkung Kesultanan Yogyakarta

yang tersisa merupakan bukti nyata masa lalu

yang perlu segera ditangani dengan baik untuk kepentingan

masyarakat. Sebagai tinggalan arkeologi, plengkung menjadi objek yang menarik dalam kajian manajemen sumberdaya budaya, yang menjadi alternatif model pemanfaatan tinggalan arkeologi yang berorientasi pada pemaknaan nilai penting kesejarahan maupun ilmu pengetahuan untuk kepentingan masyarakat. Model pemanfaatan ini sejalan dengan hakekat dari pelestarian sebagai upaya untuk mempertahankan tinggalan arkeologi sebagai sumberdaya budaya, tetap berada pada konteks sistem agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Model pemanfaatan ini pun membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam melestarikan tinggalan arkeologi yang pada hakekatnya adalah warisan budaya. Keterlibatan masayarakat menjadi penting dalam hal ini karena mereka adalah pemilik syah dari warisan budaya. Karena itu masyarakatlah yang berhak memperoleh manfaat dari keberadaan tinggalan arkeologi yang merupakan sumberdaya budaya warisan dari masa lalu. Salah satu bentuknya bisa ditempuh dengan menghidupkan kembali sajian musik pada saat membuka dan menutup gerbang plengkung yang dapat menjadi alternatif atraksi wisata. Pengelolaan berbasis komunitas yang menitikberatkan pada keterlibatan masyarakat dalam upaya memunculkan kemandirian sejalan dengan model pengelolaan manajemen sumberdaya budaya yang juga memfokuskan pada peran serta masyarakat. Upaya pengelolaan sebagai bentuk pemanfaatan dengan konsep seperti ini, menurut Atmosudiro (2004:21), kiranya dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, baik yang berkepentingan mengambil manfaat dalam ekonomi, ideologi, maupun pendidikan. Pengelolaan berbasis komunitas merupakan salah satu strategi pengelolaan sumberdaya yang memberi peran dominan kepada masyarakat pada tingkat komunitas untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya produktif dalam rangka pembangunan masyarakat, termasuk pengelolaan sumberdaya budaya. Melalui model pengelolaan ini, setiap komunitas dapat mengembangkan

sistem

dan

mekanisme

yang

memungkinkan

warga

masyarakat

memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia disekitar mereka (Soetomo, 2006:384). Dalam pelaksanaan di lapangan, model pengelolaan ini diterapkan dengan melibatkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang terdapat di setiap wilayah dimana plengkung tersebut berada tentu saja tetap berkoordinasi dengan stakeholder lainnya yang terkait. Plengkung sebagai bagian dari tapak sejarah kesultanan Yogyakarta memiliki nilai yang penting bagi kesejarahan Kesultanan Yogyakarat dan sejarah kota Yogyakarta sendiri. Keberadaan plengkung dan tinggalan lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan sekaligus merupakan salah satu bukti perjalanan sejarah kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, keberadaan plengkung dan kawasannya perlu dipertahankan dan dilestarikan serta dimanfaatkan sesuai dengan konteks kekinian yang bermuatan makna luhur. Untuk itu pengelolaan berbasis komunitas dalam penerapannya untuk plengkung perlu dipahami dalam kerangka konsep kawasan cagar budaya kraton Yogyakarta, yang memerlukan penanganan dan perencanan yang baik untuk memudahkan askes publik, baik secara visual maupun fisik. Makna dan nilai dari tinggalan budaya ini memang telah berubah seiring dengan perjalanan waktu, namun bukan berarti makna itu hilang akan tetapi telah bertambah nilainya sesuai dengan konteks kekinian, baik sebagai bagian dari kesultanan Yogyakarta (heritage), obyek wisata kota (urban heritage), maupun bagian dari wisata budaya Kraton Yogyakarta. Untuk itu dibutuhkan perencanaan yang matang guna mewujudkan hal tersebut. Beberapa tahapan yang dapat dilakukan diantaranya: a. Desain fasilitas penunjang pariwisata Objek dan destinasi wisata membutuhkan beragam unsur penunjang dan fasilitas amenitas agar wisatawan merasa aman dan nyaman, contohnya : hotel/fasilitas akomodasi, warung/restoran, pusat informasi pengunjung. Unsur-unsur penunjang tersebut perlu dirancang dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan lingkungan alam dan budaya setempat, sehingga dalam hal ini unsur penunjang untuk objek wisata plengkung tidak dapat dilepaskan dari konteks kawasan budaya Kraton Yogyakarta. Agar lebih informatif, dapat dibuatkan direktori yang memuat semua informasi tentang fasilitas penunjang pariwisata di Kraton Yogyakarta sehingga dapat menjadi panduan bagi para wisatawan. b. Desain bahan promosi pariwisata

Kegiatan promosi dibutuhkan dalam pemasaran produk pariwisata, termasuk pariwisata budaya dan menjadi media untuk menginformasikan potensi pariwisata kepada wisatawan. Agar efektif, pilihan media dan teknologi, informasi dan target pengguna harus direncanakan sesuai dengan tujuan promosi. Bahan promosi didesain sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing pelaku kepariwisataan dan disampaikan melalui media cetak, antara lain leaflet/brosur, greenmap, kalender event, poster maupun media interaktif (visual, audio) dalam bentuk CD-ROM. Pembuatan bahan promosi ini bisa menjadi peluang pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengembangan pariwisata budaya di Yogyakarta. Misalnya dalam bentuk kompetisi desain poster pariwisata Kraton Yogyakarta termasuk objek plengkungnya atau lomba pembuatan film profile wisata budaya yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat. Hasil dari perlombaan itulah yang kemudian dikembangkan untuk menjadi media promosi yang efektif. Keberadaan bahan promosi ini, memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan bagian vital dari kemasan. Media promosi merupakan kemasan luar yang harus dibuat semenarik mungkin sehingga orang tertarik. Potensi budaya, geografis dan potensi lain yang dimiliki Purworejo sekiranya diekplorasi mendalam untuk kemudian menjadi isi dan bagian tak terpisahkan dari media promosi tersebut. Dalam pembuatan media promosi, data memiliki peranan yang penting, karena data itulah yang akan diolah dan dikemas menjadi media promosi. Untuk itu ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam pembuatan media promosi yaitu: •

Pengumpulan data dan informasi dasar yang menjadi basis perencanaan, meliputi pendeskripsian dan pendokumentasian baik visual maupun audio visual



Analisis data, meliputi pengklasifikasian dan pengolahan data



Pembuatan gambar atau peta yang menunjukkan posisi setiap plengkung maupun objek wisata budaya lainnya yang terdapat di kawasan Kraton Yogyakarta dan fasilitas penunjang, faktor fisik, aksesibilitas, maupun unsur-unsur pengembangan lainnya



Berdasarkan data itulah kemudian dikembangkan dan diolah menjadi sebuah media promosi, dalam hal ini pemanfaatan teknologi menjadi syarat mutlak.

Data yang diperoleh dari pengumpulan data di lapangan termasuk data pendeskripsian, pemetaan dan perekaman visual serta audio visual diolah dengan bantuan

program

Macromedia® Flash™ MX untuk menghasilkan bentuk dokumentasi yang interaktif sehingga memudahkan kita dalam mengakses data arkeologi yang terdapat di dalamnya. Salah satu nilai lebih dari program ini adalah dapat menampilkan file dalam bentuk gambar, teks, serta file video sehingga dokumentasi objek wisata budaya plengkung dan Kraton Yogyakarta dapat ditampilkan berupa gambaran visual dalam bentuk animasi dan video. Hasil akhirnya adalah media promosi berupa CD interaktif wisata budaya Kraton Yogyakarta yang didalamnya memuat objek wisata budaya Plengkung. CD Interakatif ini, memilki banyak kelebihan sebagai sebuah media promosi, yaitu selain biaya produksinya yang relatif terjangkau, juga mudah untuk dipergunakan sehingga sangat tepat dimanfaatkan untuk kepentingan promosi wisata budaya Yogyakarta. Selain itu, aspek kesejarahan dari Plengkung maupun Kraton Yogayakarta perlu digali lebih mendalam. Bagaimana Plengkung dan Kraton Yogyakarta di masa lalu sebagai salah satu kota dengan jejak sejarah yang panjang, dimana hal tersebut kemudian dikemas menjadi daya tarik tersendiri yang cukup atraktif. Misalnya dengan menjadikan peristiwa-peristiwa di masa lalu tersebut sebuah sajian teater singkat atau happening art yang ditampilkan di bangunan plengkung maupun bangunan lainnya yang ada yang disesuaikan dengan konteks sejarahnya. Muatan kesejarahan itu pun ditampilkan pula dalam CD Interaktif tersebut sehingga, kedalaman informasi dari objek wisata budaya Plengkung dan Kraton Yogyakarta diharapkan dapat semakin menjadi daya tarik yang menarik wisatawan untuk datang berkunjung. Sebagai salah satu alternatif lain yang dapat ditawarkan dalam media promosi wisata, adalah wisata nostalgia dalam bentuk wisata tempo dulu. Suatu bentuk perjalanan wisata yang dilakukan dalam bentuk napak tilas perjalanan Kraton Yogyakarta menjadi sebuah kota, dengan memfokuskan pada bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di kraton Yogyakarta. Selain nilai kesejarahan, nilai pengetahuan dan arsitektur yang terkandung dalam bangunan tersebut dapat diekplorasi lebih dalam sehingga makna yang terkandung dapat terungkap dan menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan. Bentuk arsitektur yang unik, mulai bangunannya sendiri, bentuk atapnya, atau bentuk plengkungnya yang unik bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dengan catatan makna dibalik itu dapat kita sampaikan dengan menarik. Dalam hal ini bisa melakukan kajian bersama dengan institusi arkeologi, arsitektur maupun teknik sipil. Makna-makna positif dibalik plengkung akan memberikan nilai tambah sekaligus dapat memperkuat identitas diri dari Kraton dan kota Yogyakarta sendiri.

5. Kamagangan5 Pendahuluan Dalam makalah ini dibahas mengenai keunikan Kamagangan Kraton Yogyakarta yang didalamnya terdapat Regol Kamagangan. Keunikan dan ciri khas halaman belakan tersebut dapat dijadikan daya tarik wisata yang juga sebagai media sosialisasi tradisi dan budaya kraton. Banyak khalayak umum atau masyarakat Yogyakarta sendiri tidak mengetahui tradisi yang berlaku di halaman kraton. Hal menarik dari kompleks halaman ini adalah tradisi penghargaan terhadap Kraton Yogyakarta yang masih dapat dijumpai sampai saat ini. Akan tetapi, daya tarik ini perlu ditingkatkan apabila hendak dijadikan paket wisata unggulan kraton. Manajeman terpadu yang mengakaitkan antara objek yang satu dengan yang lainnya perlu diupayakan agar kompleks Kamagangan dapat menjadi pelengkap dari daya tarik wisata di kraton. Gambaran potensi masa depan kompleks Kamangangan ditentukan oleh upaya perencanaan wisata di masa sekarang ini. Hal yang perlu ditingkatkan adalah bagaimana upaya marketing dan mempresentasikan keunggulan yang dimiliki objek wisata Kamangangan karena atraksi di lokasi ini tidak setiap hari dapat dinikmati oleh para wisatawan. Mayarakat yag harus turun dari kendaraan adalah salah satu daya tari itu, tetapi akan lebih baik jika atraksi lainnya dapat mendukung potensi yang telah ada. Dengan demikian keberlanjutan wisata dapat terjaga untuk masa mendatang. Pada hakekatnya pariwisata hendaknya berimbas langsung terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar objek wisata. Kesejahteraan yang tidak hnaya pada tataran ekonomi tetapi juga batin, karena masyarakat sadar bahwa dirinya adalah bagian yang tidak terlepaskan dalam konteks budaya di kawasan itu. Objek daya tarik wisata yang bersifat fisik dengan didukung oleh budaya masyarakat yang melingkupinya mejadaikan objek daya tarik wisata diupayakan mendukung aspek edukatif dan informatif. Kamagangan menghadirkan aspek tersebut, tradisi yang terus berlangsung sampai sekarang adalah bukti bahwa masyarakat di sekitarnya merasakan dampak positif dari hal itu. Untuk lebih mengekspos daya tarik ini maka pemasangan papan-papan informasi hendaknya menjadi prioritas serta dukungan sosialisasi dan publikasi disekitar kompleks kamagangan. Hal ini lah menjadi prioritas bahasan pada kesempatan ini bagaimana 5

Disajikan oleh Denny Santika (PSA/1816)

menghadirkan atau menyajikan Kamagangan yang tidak lekas pudar dan tetap bertahan sampai masa mendatang, sehingga keberadaan objek wisata ini dapat dinikmati oleh seluruh wisatawan yang hadir ke Kraton Yogyakarta.

a. Pembahasan Kamagangan merupakan komponen yang terdapat di kompleks Kedhaton. Di dalam kompleks ini terdapat empat bangunan utama, Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen, Pawon Ageng Gebulen, Panti Pareden dan Bangsal Magangan. Melewati halaman kompleks ini pengunjung disambut oleh sepasang naga pada pintu masuk menuju kompleks Kamagangan. Sepasang naga itu merupakan sengkalan memet Dwi naga rasa tunggal, yang memiliki arti Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. Hal ini menunjukan bahwa kompleks ini diidirikan pada tahun 1682 saka. Kompleks Kamagangan sampai sekarang digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Kraton. Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Hal menarik dari bangunan Pawon Ageng adalah tiang-tiang kokoh yang menyangga bangunan yang berbentuk persegi panjang itu. Kemudian, di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Beberapa bangunan lain di kompleks Kamagangan kraton di antaranya adalah bangunan untuk pos penjagaan dan bangunan untuk tempat istirahat para abdi dalem. Pawon Ageng Sekul dan Pawon Ageng Gebulen digunakan sebagai tempat untuk membuat gunungan. Gunungan dibuat dalam rangka untuk upacara Grebeg (tradisi kraton yang dilakukan dua kali dalam setahun). Perayaan Grebeg memang identik dengan gunungan yang akan diperebutkan oleh masyarakat setelah dibawa menuju Masjid Agung Kauman. Masyarakat diperkenankan untuk melihat proses pembuatan gunungan yang terbuat dari berbagi bahan dari hasil bumi. Pembuatan gunungan memakan waktu selama dua sampai tiga hari, yang dikerjakan dengan sistem shif. Pembuat gunungan biasanya adalah abdi dalem Kraton Yogyakarta (laki-laki dan perempuan). Jam lima dini hari atau setelah pelaksanaan

sholat subuh, gunungan mulai di bawa dari Pawon Ageng menuju bagian dalam kraton untuk kemudian didoakan di Keben dan setelah itu diarak menuju Masjid Agung Kauman. Gunungan memiliki arti simbolis yang kompleks karena didalamnya syarat makna Islam. Hal ini ditunjukkan dengan lima banderan yang disusun di atas kepala adalah melambangkan rukun Islam. Banderan ini juga bermakna empat mazhab dalam agama Islam: Maliki, Hambali, Syafi’i, dan Hanafi. Didalam gunungan juga terdapat simbol yang di maknai sebagai nirwana. Interpretasi pada materi dalam gunungan seperti Kacang gleor (Vigna Sinensis) yang dipasang menjurai ke bawah mewakili dinamika kehidupan manusia. Warna hijau pada cabai melambangkan kesuburan yang dihubungkan dengan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Simbol-simbol yang berkaitan dengan berbaggi aspek kehidupan , rumusan-rumusan mengenai pedoman tingkah laku, norma-norma, dan aturan moral disusun disusun dengan rumit dan rapih dengan media simbol (Irwan Abdullah, 1981: 92-93). Upacara Grebeg dikaitkan dengan berdirinya Kraton Yogyakarta pada tahun 1755, yakni sebulan setelah perjanjian Giyanti ditandatangani (13 Maret 1755). Upacara tersebut diprakarsai oleh Kanjeng Pangeran Haryo Mangkubumi, setelah ia dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah. Sultan ini adalah putra Susuhunan Prabu Amangkurat IV (17191726) dianggap sejak kecil memiliki perhatian besar terhadap tata cara dan adat kraton. Usaha pelestarian tradisi oleh Sultan dianggap sebagai sikap memuliakan leluhur (Irwan Abdullah, 1981: 89-90). Bangunan yang paling besar di Kamagangan kraton adalah Bangsal Magangan. Bangunan ini digunakan untuk acara wayangan. Wayangan dilakukan rutin satu kali dalam setahun, tepatnya setelah sawalan. Kegiatan wayangan terbuka untuk umum dengan menampilkan berbagi tema, seperti Semar Bangun Kayangan, Gatot Gojo Jadi Ratu, Lobini Ling Sanggeni. Menurut pemaparan abdi dalem yang bernama Mas Lurah Yudo Sunardjo (Mantri Jero Reh) bahwa tema wayangan yang paling diminati adalah Semar Bangun Kayangan. Masih menurut pemaparan Mas Lurah wayangan dilaksanakan semalam suntuk yang didalamnya terjadi interaksi antar pihak kraton dengan masyarakat sekitar kraton. Kegiatan-kegiatan di kraton sebenarnya jika diamati adalah bentuk keselarasan antara penguasa dan masyarakat yang dipimpinnya.

Kamagangan memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek daya tarik wisata di kraton. Kompleks ini menampilkan satu sisi yang tidak banyak orang mengetahuinya, yaitu tentang local wisdom, etika, atau tradisi kepedulian serta rasa hormat masyarakat sekitar terhadap kraton. Masyarakat yang mengendarai kendaraan roda dua yang hendak melewati halaman ini maka harus menuntun kendaraannya hingga ke pintu gerbang di depannya. Hal ini berlaku utnuk yang masuk di gerbang barat atau gerbang timur Kamagangan kraton. Jarak halaman yang membentang timur-barat kurang dari satu kilo harus ditempuh oleh siapapun yang mengandarai kendaraan roda dua. Aturan ini berlaku untuk umum apapun pangkat dan jabatannya, kedudukan atau strata sosial yang bersanding pada dirinya maka wajib untuk menuntun kendaraannya. Masyarakat tidak ada yang keberatan dengan penerapan aturan yang telah sejak lama diterapkan ini. Kepastian waktu diberlakukannya aturan ini secara pasti tidak diketahui. Bahkan seorang nenek dengan membawa barang belanjaannya tampak dengan tenang dan sadar turun dari motor sesaat ketika akan masuk ke halaman itu, kemudian ia berjalan kakai denggan perlahan-lahan. Para penggunan sepedah, penjual makanan atau minuman, dan para tukang becak semua menuntun gerobak atau kendaraannya hingga pintu gerbang selanjutnya. Memang di depan gerbang tertulis “mohon maap kendaraan roda dua, lewat harap dituntun”. Turis mancanegara yang melewati halaman itu disuguhi atraksi budaya yang nyata unik dan menarik. Mendengar tentang informasi ini saja orang-orang akan langsung tertarik dan merasa heran, dan ternyata setelah hadir langsung di lapangan memang benar kenyataannya. Hal ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai wisata yang menghadirkan kesan tidak terlupakan kepada para wisatawan yang berkunjung ke kamagangan kraton. Hanya saja perlu kembali ditata manajemen pengelolaannya dan terutama masalah publikasinya. Sebetulnya di lokasi yang sama terdapat restoran dan tempat souvenir yang juga banyak di kunjungi oleh wisatawan, tetapi tradisi ini luput dari pantauan mereka. Publikasi dan sosialisasi sangat penting dilakukan untuk mengangkat wisata ini. Mungkin dengan tambahan atraksi lainnya yang tidak menyalahi konteks budaya di sana dapat dikembangkan untuk mendukung wisata alternatif ini. b. Arti dan Makna Kamagangan Kraton Yogyakarta Upacara merupakan merupakan sisi paling menonjol pada prilaku sosial dan sistem gagasan orang Jawa. Upacara muncul secara luas, melingkupi siklus hidup dan berbagi kegiatan

sosial di dalam kehidupan masyarakat. Upacara yang meluas seperti ini menunjukan arti penting bagi masyarakat Jawa. Upacara yang dimaksud adalah ritual bukan ceremony. Mempelajari upacara berarti mempelajari nilai-nilai penting di dalam masyarakat itu. Konsep kosmologi mengandung seluruh unsur pola pikir, sikap dan tingkah laku masyarakat Jawa. Simbol-simbol dari material upacara maupun yang diwujudkan dalam bentuk banguan adalah penyederhanaan atau pemadatan gambaran kehidupan tentang dunia nyata atau yang sebenarnya. Memahami dimbol berarti menggabungkan sesuatu yang menjiwai atau melatarbelakanginya yang lainnya karena simbol merupakan pemadatan gambaran dunia nyata. Kosmologi Jawa memperlihatkan du aperbedaan sifat pada manusia, yaitu sifat baik dan buruk atau lazim disebut alus (halus) dan kasar. Kedua sifat ini digambarkan oleh konsep kakang kawah adi ari-air. Kawah (air ketuban) dipandang sebagai jiwa manusia, sedangkan ariari (tembuni) dianggap sebagai badan kasar manusia. Bersatunya air ketuban dan tembuni dipandang sebagai bersatunya kekuatan baik dan kekuatan buruk dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini menjadi dasar lahirnya tindakan (Irwan Abdullah, 1981: 93-94). Konsep kosmologi kraton yang dikenal dengan mikro kosmos dan makro kosmos juga merupakan simbol dari kedudukan kraton itu sendiri. Kearah utara langsung mengarah pada tugu dan Gunung Merapi sebagai perlambang hubungan vertikal raja dengan Kholik (Allah SWT), sedangkan kearah selatan mengarah pada panggung krapyak perlambang hubungan raja dengan rakyatnya. Interaksi yang baik antara raja dengan Allah serta dengan masyarakatnya maka akan menciptakan tatanan masyarakat yang makmur. Kamagangan kraton yang letaknya diantara mikro kosmos dan makrokosmos menunjukan kestabilan tatanan pemerintahan. Kamagangan bersifat semi profan, satu tahapan menuju sakral maka masyarakat yang melewati halaman ini bersikap tunduk pada aturan serta bertingkah laku sopan menghargai keudukan raja berarti menghargai dirinya sendiri. c. Meningkatkan Pariwisata dengan Mengangkat Objek Daya Tarik Wisata di Kompleks Kamagangan Pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya arkeologi sebagai objek daya tarik wisata yang divariasikan dengan tambahan atraksi budaya perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

a. pemanfaatan tersebut sebagai upaya bagi penguatan pelestarian sumber daya tersebut, b. berguna bagi pengkayaan interpretasi nilai dan makna yang secara langsung akan memfokuskan kebesaran nilai dan memperkaya pengalaman pengunjung. (Pemahaman lintas budaya), dan

c. bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Wiendu Nuryanti. 2007). Tahap Pengembangan 1.

Penataan Kawasan Pariwisata Penataan kompleks Kamagangan memiliki peran yang penting dalam industri pariwisata

di Kraton Yogyakarta. Tanpa penataan yang baik, produk pariwisata yang ditawarkan kepada konsumen tidak akan bertahan lama. Penataan kompleks itu lebih menekankan pada penataan sarana umum, penataan lansekap, penataan fasade kawasan, dan penataan sirkulasi dan informasi bagi para wisatawan. Rincian penataan sebagai berikut: a. Penataan sarana fasilitas umum (tempat sampah, lampu, bangku, reklame, dan akses untuk divabel). c. Penataan para pedagang yang menjajakan dagangannya di kompleks Kamagangan. d. Arus sirkulasi bagi para wisatawan dan pejalan kaki yang kebetulan kompleks ini terbuka untuk umum dan kendaraan (karena kendaraan boleh diparkir di kompleks ini). e. Penataan vegetasi dan taman-taman. f. Penataan ruang fungsi terbuka. g. Penataan parkir (Wiendu Nuryanti. 2007). Hal ini direncanakan sebagai bagian yang mendukung kelanggengan wisata di kompleks Kamagangan. Akan tetapi, keberlanjutan pariwisata harus senantiasa didukung dengan monitoring, meningkatkan peran istitusi/lembaga dalam pengelolaan, dan kebijakan regulasi yang mengakomodir semua kepentingan. 2. Strategi Pengembangan Pada era glogalisasi sekarang ini para wisatawan cendrung untuk kembali menuju nuansa yang bersifat alami dan budaya tradisional. Dukungan atraksi budaya yang bersifat intanggibel dapat mendukung daya tarik wisata itu sendiri. Penguatan nilai atraktif di kompleks Kamagangan sebagai alternatif penunjang daya tarik wisata bagi pengunjung yang jenuh

melihat budaya materi di kompleks kraton lainnya. Selain itu, perlu juga diupayakan terobosan dalam memahamkan para wisatawan tentang pentingnya menghargai dan melestarikan warisan budaya. Program sosialisasi akan lebih efektif dengan membuat papan himbauan dan leaflet-leaflet yang dipasang dan disebarkan di lokasi wisata. Informasi tersebut bernilai edukatif dan informatif tentang kawasan wisata yang sedang dikunjungi oleh para wisatawan. Sosialisasi bisa dipandu oleh pemandu wisata (guide) yang professional sehingga bisa menyuguhkan kesan mendalam terhadap para wisatawan yang berkunjung di kompleks Kamagangan tersebut. Nilai suatu produk tergantung pada kemasannya, kemasan itualah yang memberikan nilai imajinasi, ekspresi/identitas diri, gaya hidup dan emosi konsumen. Kemasan tersebut dikenal dengan sebutan knowledge management (KM). KM adalah aset pariwisata sebuah kawasan. Oleh karen itu, dalam memaksimalkan manfaatnya diperlukan proses transfer pengetahuan dari pemandu wisata kepada para wisatawan dengan metode story telling (pengungkapan knowledge dengan cara cerita). Metode tersebut merupakan salah satu cara efektif untuk mentransfer knowledge yang ada dalam pikiran menjadi penjabaran explisit secara sistematis dan terdokumentasikan (Lendy Widayana, 2004). Penerapan KM memang bukan prioritas tetapi hal ini adalah bagian dari sistem manajemen pariwisata. Kompleks Kamagangan penuh dengan muatan pengetahuan sehingga memerlukan knowledge manajemen dalam memasyarakatkannya. Knowledge (pengetahuan dan pengalaman) tersebut dikelola hingga mempunyai manfaat dan nilai ekonomis. Oleh karena itu seorang pemandu wisata adalah knowledge worker, karena ia sangat mengandalkan knowledge yang dimilikinya untuk menjadi nilai bagi dirinya sendiri dan obyek yang ia terangkan dalam bentuk suatu cerita (Lendy Widayana, 2004). Keberhasilan menciptakan kesan mendalam yang dirasakan wisatawan tergantung dari peran pemandu wisata. Setelah penekanan tentang nilai penting objek yang dikunjungi, aspek hiburan dan komersil diperkokoh dengan tidak mengabaikan aspek pelestarian. Keuntungan ekonomis bergantung pada kreativitas, inovasi, dan memperluas jaringan pemasaran objek wisata. Berikut ini adalah panduan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dalam pariwisata, yaitu: 1. Meningkatkan jumlah pengunjung secara berlebihan bukan berarti untung. Di sisi lain justru akan menimbulkan dampak negatif yaitu mengurangi pendapatan. 2. Meningkatkan lamanya waktu kunjungan lebih menguntungkan karena jumlah uang yang dikeluarkan wisatawan secara otomatis tertuju pada produk-produk wisata yang ditawarkan.

3. Fokus pemasaran prioritas orang-orang kalangan ke atas, walaupun kalangan menengah kebawah perlu diperhatikan. Wisatawan kalangan menengah ke atas memiliki daya beli yang lebih daripada wisatawan lainnya. 4. Meningkatkan penjualan kepada pengunjung, terutama poduk lokal (handy craft) baik langsung maupun tidak langsung yang dapat membantu pendapatan masyarakat lokal. 5. Penyediaan penginapan dan sarana prasarananya. 6. Penyediaan servis lainnya terutama informasi tambahan yang memberikan peluang mengunjungi objek-objek lainnya. 7. Menambah bentuk suguhan atraksi, seperti: pameran seni kebudayaan lokal, festivalfestival seni budaya lokal. Tujuannya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budayanya sekaligus menambah daya tarik wisata (Paul F. J. Eagles, Stephen F. McCool, and Christopher D. Haynes, 2002). Poin-poin tersebut pada dasarnya untuk memaksimalkan identitas lokal dan mensejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar objek wisata adalah menjadi keutamaan dalam pariwisata. 3. Diversifikasi Pariwisata Melakukan penggabungan diversifikasi wisata secara integral dengan objek daya tarik lainnya di kawasan Kraton Yogyakarta. Pengembangan wisata dengan memanfaatkan keunggulan objek wisata lainnya perlu diperhatikan sebagai sarana mengupgrade objek wisata yang belum berkembang. Hubungan ini ibarat simbiosi mutualisme yang saling menguntungkan antara satu dengan lainnya. Diversifikasi yang tepat dalam konteks ini adalah mengkaitkan kompleks Kamagangan dengan Taman Sari. Taman sari terlebih dulu telah dikenal sebagi wisata alternatif setelah Ktaron Yogyakarta, walaupun sebenarnya lokasi tersebut merupakan bagian dari Kraton Yogyakarta. Lokasi Taman sari yang terpencar atau berpisah dengan kraton banyak diinterpretasikan oleh sebagian wisatawan awam sebagai bangunan tersendiri yang terpisah dari kraton. 4. Marketing Melaksanakan bentuk kegiatan festival yang berlokasi di sekitar Kompleks Kamagangan tepatnya di

jalan Suryoputran dan jalan Magangan. Festival yang menggabungkan unsur

modern dan tradisional, dengan menghadirkan beberapa atraksi budaya, seperti: tarian,

kesenian adat setempat, yang pernting tidak keluar dari konteks budaya di sana. Konsep pemasaran ideal pariwisata warisan budaya sebaiknya dilakukan oleh sektor publik (berperan sebagai pengusaha) atau kerja sama antara sektor publik dan swasta. Sektor publik memegang peranan sangat penting dalam pendidikan pariwisata dan pengaturan penyelesaian masalah atau konflik. Apabila peran tersebut terlalu berat dan tidak bisa dilakukan sama sekali, maka memberikan kesempatan kepada pihak swasta akan lebih baik. Marketing pariwisata dengan memanfaatkan media cetak, media elektronik, dan sarana teknologi informasi adalah langkah strategis dan efektif dalam mempromosikan suatu produk pariwisata. Tujuan promosi tersebut mencakup: a. Pengidentifikasian target audensi yang akan dicapai, b. Pengidentifikasian tujuan komunikasi yang akan dicapai, c. Formulasi bentuk pesan untuk mencapai tujuan, d. Pilihan media untuk menyampaikan pesan secara efektif kepada audiesi yang dituju, dan e. Alokasi anggaran untuk mencapai produksi dan penyampaian pesan (I Nengah Subadra, 2007). Promosi pariwisata juga biasa dilakukan pengiklanan (advertising), humas (public relation), penjualan langsung (direct selling), dan promosi penjualan (sales promotion yang dapat dilakukan secara direct maupun indirect). Iklan memiliki banyak fungsi dalam pariwisata antara lain: •

Membuat keperdualian (awareness) terhadap suatu produk.



Menginformasikan tentang suatu produk yang baru atau spesial.



Menanamkan citra yang memiliki legalitas.



Mempengaruhi citra daerah tujuan.



Menyediakan informasi mengenai pelayan special dan penawaran khusus.



Penjualan langsung untuk mendatangkan respon langsung.



Pengenalan terhadap penamaan (branding) suatu produk.



Mencapai target audensi yang baru.



Menyediakan informasi tentang penggunaan alat yang baru.



Mengumumkan peluncuran kembali suatu produk baru.



Iklan yang bersifat mengingatkan bertujuan untuk menjaga atau mempertahankan

hubungan dalam benak konsumen (I Nengah Subadra, 2007).

6. Komplek Siti Inggil6 A. Latar Belakang Masalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah peninggalan budaya kerabat keraton sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta. Keraton ini adalah salah satu sumber daya arkeologi yang harus dijaga kelestariannya. Keraton dan dengan bangunan di sekelilingnya serta kawasannya merupakan kawasan wisata budaya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara. Karena ada bagian-bagian dari keraton yang memiliki daya tarik tersendiri. Kekhasan tersebut yang perlu dijaga secara berkelanjutan sehingga

tidak menghilangkan

keaslian

dengan memperbaharuinya. Meskipun ada

penambahan atau pemugaran di beberapa tempat, selayaknya dipikirkan ke depan untuk menjaga keaslian merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena keinginan pengunjung atau wisatawan adalah aura keaslian dari suatu kawasan wisata budaya. Tantangan seperti ini perlu dipecahkan secara bersama-sama, tidak cukup hanya ahli arkeolog saja, akan tetapi semua pihak yang merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan sumber daya budaya setempat yang menjadi ciri khas tersendiri bagi wilayahnya ikut memikirkan jalan keluarnya agar keasliannya wisata budaya dapat terjaga dan wisatawan merasa puas dengan menyaksikan secara langsung atau menikmati pemandangan yang benarbenar diinginkan oleh wisatawan saat ini. Dengan demikian yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana pemanfaatan Kompleks Siti Inggil yang menjadi bagian terpenting dari keraton dapat lestari secara berkelanjutan. B. Gambaran Kompleks Siti Inggil Kraton Yogyakarta a. Kompleks Siti-Inggil Utara/Siti-Inggil Lor Komp leks Siti-Inggil Uta ra merupakan sekumpu lan bangunan dengan arah hadap ke utara. Letak Siti-Inggil Utara berada di halaman pertama pada sisi utara kraton Yogyakarta. Luas kompleks Siti-Inggil Utara + 1000 m2. Di utara berbatasan dengan bangunan yang disebut bangsal Pa gela ra n a ta u T ra ta g Pa g ela ra n . Di tengah-tengah Tratag Pagelaran terdapat sebuah bangunan yang ditinggikan + 30 cm dari permukaan lantai Pagelaran yang disebut bangsal Pangrawit. Bangsal Pangrawit dilengkapi dengan sela gilang 6

Disajikan oleh Marduati

yang berfungsi sebagai tempat duduk raja untuk melantik dan mangangkat patih D i s i s i s e l a t a n , k o m p l e k s S i t i - I n g g i l berbatasan dengan jalan supit urang dan Kori Brajanala Lor. Di sisi barat berbatasan dengan Tepas Keprajuritan Kra to n Y ogya ka rta . D i sisi timur berbatasan dengan sekolahan. K o m p l e k s S it i - I n g g i l U ta ra p e r m u ka a n ta n ah n y a ditinggikan + 150 cm dari permukaan tanah sekitarnya. Di u jung tangga naik menuju Siti-Inggil terdapat sebuah bangunan yang d isebut Tarub A gung . Atap ban gunan berbentuk atap kampung yang disangga oleh empat tiang kayu berhias kuncup melati dan garis-garis pada tubuh tiangnya. Fungsi bangunan ini sebagai tempat bagi raja untuk mempersiapkan diri untu k menuju bangsa l Pangrawit di Pagelaran (Nunuk, 1994: 41). Bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kompleks Siti-Inggil Utara kraton Yogyakarta, yaitu: 1). Tratag Siti-Inggil Tratag Siti-Inggil merupakan bangunan terbuka dengan a ra h h a d a p k e u ta ra . L u a s ban guna n + 300 m 2 . Ka k i bangunannya ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah sekitarnya. Di atas lantai berubin kembang, terdapat 34 buah tiang berhias motif tumbuhtumbuhan. Atap bangunan berb en tuk rumah kampung dara gepak. Pada mu la nya bangunan ini terbuat dari bambu yang diberi atap dan pada b agian atasn ya diberi tu mbuhan yang mera mbat seba gai p en ed uh. B a n gu nan ya n g tam p a k sep ert i se ka ra n g in i merupakan perbaikan yang dilakukan oleh Sultan HB VIII yang ditandai dengan sengkalan memet pandhita cakra naga wani. Sengkalan ini terletak pada bidang lengkung, tepat di atas pintu masuk Tratag Siti-Inggil. Fungsi bangunan ini sebagai tempat duduk bagi para Pangeran Adipati Anom untuk menghadap ra ja a tau bia sanya disebut pisowanan agung. 2). Bangsal Witana Bangsal Witana merupakan bangunan terbuka dengan arah hadap ke utara. Letak bangunan di dalam Tratag Siti-Inggil sisi selatan. Luas bangunan + 50 m2. Kaki bangunan ditinggikan + 40 cm dari permukaan lantai bangsal SitiInggil. Di atas lantai ubin kembang terdapat 32 buah tiang pengarak dan empat saka guru yang pada tubuh tiangnya berhias motif tumbuh-tumbuhan. Atap bangunan berbentuk tajug lambang gantung. Bangsal Witana mengalami perbaikan pada tahun 1855 J atau 1921 M, yang dilukiskan dengan sengkalan

memet tinata piranti ing madya witana. Sengkalan ini terletaki pada batur bangunan sebelah timur. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk meletakkan pusaka-pusaka kraton pada perayaan garebeg. 3). Bale Bang dan Bale Angun-angun Bale Bang dan Bale Angun-angun merupakan sepasang bangunan terbuka dengan arah hadap ke timur. Bale Bang terleta k d i seb elah barat Trata g Siti-Inggil. Lu as bangunan + 30 m2. Kaki bangunan ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah sekitarnya. Di atas lantai ubin abu-abu terdapat empat tiang kayu berhias motif tumbuh-tumbuhan pada tubuh tiangnya. Atap bangunan berbentuk limasan. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk meletakkan Kyai Kebo Ganggang, yang diperdengarkan untuk tanda berangkat perang. 4). Bangsal Abdi Dalem Gandhek dan Jaksa Ban gsa l Abd i Dalem Gandh ek dan Jaksa merupakan sepasang bangunan terbuka dengan arah hadap ke selatan. Letak di sebelah utara Tratag Siti-Inggil atau di kiri kanan Tarub Agung. Luas masing-masing bangunan + 6 m2. Atap bangunan berbentuk limasan yang ditopang oleh empat tiang kayu berukir tumbuhan pada tubuh tiangnya. Fungsi bangunan ini sebagai tempat duduk bagi abdi dalem Gandhek dan Jaksa pada saat dilangsungkan upacara di Siti-Inggil. A b d i d a l e m G a n d h e k a d a l a h a b d i d a l e m y a n g b e r tu g a s menyampaikan perintah Sultan kepada pepatih dalem dan bawahannya yang berada di Pagelaran. Abdi dalem Ja ksa yaitu ab di dalem yang bertu gas men ghukum o rang yang bersalah setelah mendapat persetujuan dari raja. Pada bagian selatan kompleks Siti-Inggil terdapat batu rana, yaitu tembok yang berfungsi sebagai penyekat. Di belakang batu rana terdapat anak tangga menuju ke sebuah jalan yang disebut supit urang. b. Kompleks Siti-Inggil Selatan/Siti-Inggil Kidul Kompleks Siti-Inggil Kidul terletak di sebelah utara a lu n -a lun k id u l k ra ton Yog ya ka rta . P a da sis i u ta ra berbatasan dengan pintu gerbang Kemandhungan. Di sebelah barat berbatasan dengan rumah bangsawan kraton. Di sisi timur berbatasan dengan Kantor Urusan Pembinaan Pemuda Departemen P dan K.

Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Grebeg dan pada zaman dulu juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad) juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya: 1). Tratag Rambat Tratag Rambat merupakan bangunan terbuka dengan arah hadap ke selatan. Letak bangunan pada tangga menurun yang menuju ke arah alun-alun selatan. Luas bangunan + 35 m2. Dada ma sing-masing sisi ban gunan terdapat tiga tia ng membentuk segitiga yang menyangga atap berbentuk kampung. Tratag Rambat pada mulanya merupakan bangunan bambu dengan tiang-tiang besi. Sebelu m adanya perbaikan, di dala m Tratag Rambat dileta kkan sela gilang yang b erfungsi sebagai tempat duduk raja. Bangunan yang tampak sekarang merupakan semacam teras yang diberi atap. 2). Bangsal Siti-Inggil Ban gsal Siti-Inggil merupakan ban gunan tertu tu p dengan arah hadap ke selatan. Letak bangunan di utara T r a t a g S i t i - I n g g i l .9 5 L u a s b a n g u n a n + 1 5 0 m 2 . K a k i bangunannya ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah sek ita rnya . Ba ngu nan berben tu k jog lo lambang teplok , berben tuk sebua h rua ngan yang lantainya berupa ub in berwarna abu-abu. Bangunan yang tampak sekarang merupakan p e r b a i k a n y a n g d i la k u k a n o l e h H B I X d a l a m r a n g k a Peringatan 200 tahun Kota Yogyakarta tahun 1956. Fungsi bangunan ini pada masa awal pemerintahan HB I, yaitu sebagai tempat bagi putra-putri raja untuk menyaksikan rampogan harimau yang diadakan di alun-alun selatan. C. Siti-Inggil dan Legitimasi Raja Pendirian Siti-Inggil secara fisik turut menunjang legitimasi dirinya. Sebagai penguasa tertinggi dan tak tertandingi, raja harus dapat menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan suasana yang aman dan tenteram bagi rakyatnya. Kekuasaan raja untuk mengesahkan kedudukannya ditandai oleh dua hal, yaitu kemampuan untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka rela dan kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan

kepatuhan. Kepatuhan suka rela kepada raja merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penguasa. karena rakyat yang dikenai kekuasaan itu akan melaksanakan semua perintahnya d engan kesada ran mereka sendiri, misalnya, setiap perayaan dan upacara yang diselenggarakan oleh raja selalu dipadati oleh kehadiran rakyatnya. Rakyat akan patuh kepada raja yang dapat menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara wewenangnya yang besar pula. Sebagai

k h a l i f a t u l la h ,

ra j a

m e m il i k i

k e u n gg u la n

h a k ik i

y ang

menjadikan rakyatnya memberikan kesetiaan serta meyakini bahwa yang diucapkannya adalah perintah Tuhan. Kekuasaan raja untuk legitimasi dirinya didukung oleh kraton termasuk Siti-Inggil secara keseluruhan. Letak Siti-Inggil yang paling tinggi diantara bangunan lainnya menunjukkan fungsi yang sangat khusus bagi raja untuk menampilkan dirinya dihadapan rakyat. Hubu ngan an ta ra p engua sa (ra ja ) da n ba waha nn ya (rakyat) disebut pula dengan nama hubungan kawula-gusti. Konsep kawula-gusti sebagai fungsi legitimasi raja, terwujud pada tatanan Siti-Inggil dan alun-alun. Konsep ini nenunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Jawa terhadap takdir atau pinesti yang menetapkan seseorang itu menjadi penggede (pembesar) atau menjadi wong cilik, sehingga kepatuhan rakyat kepada penguasa yang adil dan bijaksana selalu menjadi panutan, perhatian, dan sumber kekuatan bagi rakyat dan dirinya

sendiri sehingga

kedudukannya tidak diguncang oleh prahara, misalnya,

pemberontakan yang lakukan oleh rakyat. Pada dasarnya pemberontakan merupakan salah satu protes dari rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa. K o m p l e k s S i t i- In g g i l d ib a n g u n u n t u k m e m e n u h i kelengkapan kerajaan sebagai kerajaan panggung, yaitu fu n gs i S it i- In gg i l seb a ga i t em p a t b a g i ra ja u n tu k mementaskan ritus atau upacara keagamaan di depan umun. Memuliakan raja sangat diperlukan oleh kosmologi Jawa, yang menyamakan kebesaran raja dengan kebesaran seluruh kerajaan, sehingga tidak boleh ada yang menentang dan menyamainya. Hubungan ketergantungan antara raja dan kerajaannya mengandung arti bahwa kebaikan dan kewibawaan raja meresap ke seluruh kerajaan. Salah satu cara untuk meningkatkan kewibawaan raja adalah menciptakan kultus kemegahan. Terdapat dua macam kultus kemegahan, yaitu abstrak dan konkret.

Kultus kemegahan yang bersifat konkret yang menunjukkan bahwa raja memiliki keunggulan material yang besar. Wujud dari keunggulan material tersebut adalah pendirian Siti-Inggil yang menunjukkan keindahan dan kemegahan suatu b e n tu k b a n g u n a n . Pe n d i r i a n S i t i - In g g i l y a n g d i l a n d a s i oleh konsep kosmologi mewujudkan sebuah bangunan yang megah, besar, dan penuh nilai-nilai magis religius. Keunggulan spiritual menunjukkan bahwa kultus kemegahan bersifat abstrak. Hal ini, ditunjukkan oleh silsilah yang dibuat oleh raja untuk membuktikan bahwa ia merupakan keturunan orang yang sangat berpengaruh dan terkenal pada masa sebelumnya Di Siti-Inggil selalu dilakukan aktivitas yang menunjang fungsi legitimasi raja, misalnya, pertemuan antara raja dengan para bawahannya untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan dan situasi kerajaa nn ya ya n g d ila k u ka n p ada up a ca r a pisowanan ageng. Pada saat itu rakyat dapat menyaksikan kebesaran raja dan keagungannya yang duduk di atas singgasana kerajaan. Kebesaran raja juga dapat dikaitkan dengan kemakmuran kerajaan, misalnya, upacara panjang jimat dan grebeg. Simbol kemakmuran ini tampak pada iring-iringan gunungan yang dikeluarkan oleh kerajaan dari dalam kraton sebagai puncak acara perayaan tersebut. Gunungan tersebut bernama gunungan Jaler dan gunungan Wadon yang dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Kekayaan kerajaan juga tampak pada pakaian yang dikenakan oleh raja, tempat duduk raja yang indah, berbagai jenis pusaka yang dikeluarkan oleh kerajaan untuk mengiringi keluarnya sang raja dari dalam keraton, serta bangunan Siti-Inggil itu sendiri, sehingga terlihat megah dan mewah. Adapun pengaturan po la tempa t du duk o rang-ora ng yan g mengelilingi raja pada upacara yang diselenggarakan di Siti-Inggil berada di sisi kanan, kiri atau di belakang raja sesuai dengan tugas dan kepangkatan mereka. Pola semacam itu terus digunakan sampai sekarang, seperti yang disebutkan oleh Van Ossenbruggen, sebagai berikut : ”Kalau raja bersemayam di singgasananya, maka menurut keinginannya atau pikirannnyaa hendaknya pegawai-pegawainya membentuk lingkaran-lingkaran konsentris ataupun setengah lingkaran di sekelilingnya ... kalau sang raja keluar dengan upacara, baik bila jalan kaki atau berkendaraan, maka pengiringnya mendahului dan mengikutinya dalam dua barisan yaitu di sebelah kanan dan disebelah kirinya.” Pola tempat duduk ini menggambarkan alam raya. Raja di tengah sebagai pusat jagad raya dan dikelilingi oleh para bawahannya yang membentuk suatu lingkaran konsentris. Penilaian

terhadap Siti-Inggil dan legitimasi raja selain dilihat dari bentuk fisik juga harus dilihat dari arti yang terkandung di dalamnya. Siti-Inggil sebenarnya adalah bangunan yang secara simbolis menyajikan sebuah arti bagi rakyat dan menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi maknanya dari bentuk fisiknya. Hal ini dapat dipahami sebab yang melakukan aktivitas resmi di Siti-Inggil adalah raja, sebagai junjungan dan penguasa mereka yang harus diakui dan dihormati kebesarannya. Pendirian Siti-Inggil oleh seorang raja merupakan pembuktian bahwa ia mampu di bidang ekonomi, militer, dan politik. Namun kemampuan ini memerlukan pengakuan dan pengesahan dari dunia di luar kerajaan tersebut untuk men dapa t keku atan loyalitas in tern . Legalia seorang raja selain ditentukan oleh bentuk fisik bangunan yang dimilikinya, juga pengakuan dari orang lain yang dianggap mempunyai kekuatan supra natural atau keturunan dari orang Sakti. D. Konsep Pemanfaatan Berwawasan Pelestarian Komplek Siti Inggil Di dalam UU no.5 tahun 1992 tentang benda Cagar Budaya pada bab I ayat a. Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak maupun tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok. Atau bagian bagiannya atau sisanya, yang berumur sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengethuan dan Kebudayaan. Di dalam penjelasannya benda cagar budaya dianggap memupyai nilai penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. (UU no.5 tahun 1992). Komplek Siti-Inggil sebagai warisan budaya, seperti telah disebutkan di atas termasuk juga sumber daya arkeologis yang mempunyai nilai - nilai penting selaras dengan makna kultural yang melekat pada peninggalan tersebut. Makna kultural dapat ditunjukan pada nilainilai yang ada seperti nilai estetis, ekonomis, asosiatif, simbolik dan informasi. Mengingat sifat sifatnya tersebut dan nilai nilai sumberdaya arkeologis tersebut maka seharusnya sumber daya arkeologi dilindungi dan dilestarikan. Pelestarian tinggalan arkeologi merupakan upaya untuk mempertahankan keberadaannya, tidak hanya untuk saat sekarang tetapi jauh ke masa yang akan datang (Ph. Soebroto, tt, 5).

Peninggalan arkeologis yang memiliki nilai penting tersebut di atas dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Kesejahteraan yang diperoleh dari manfaat ini yaitu manfaat ideologis, akademis maupun kepentingan ekonomi (Henry F Cleere, 1989:5-10, lihat pula Haryono, 1995;140 ). Selain itu sumberdaya arkeologi dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dalam rangka pemupukan nasionalisme dan berorientasi pada penetapan identitas budaya bangsa (Haryono,1999:3). Dalam The Burra Charter tahun 1981, istilah konservasi dalam arkeologi diterjemahkan sebagai suatu proses pemeliharaan suatu situs untuk mempertahankan makna kulturalnya. Kegiatan konservasi kemudian dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan, yaitu kegiatan pemeliharaan, kegiatan preservasi, kegiatan pemugaran, kegiatan rekonstruksi, dan adaptasi. Dengan pengertian tersebut maka konservasi bagi arkeologi dilakukan dengan tujuan untuk mengelola dan memeilihara peninggalan arkeologi beserta situsnya dengan berbagai cara agar dapat dimanfaatkan lebih lama dengan tetap mempertahankan makna kulturalnya (Subroto, 1997). Dalam rangka mempertahankan keberadaan dan kelestarian sumberdaya arkeologi dilakukan pengelolaan dengan cara perlindungan dan pelestarian, yang meliputi perlindungan secara fisik maupun dari aspek perlindungan hukumnya, sehingga di dalam pengelolaan sumber daya arkeologis harus mempertimbangkan berbagai hal agar pelestarian dan pemanfaatan sumber daya arkeologis tidak akan merusak obyek tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengelolaan sumber daya arkeologis secara terencana dan didasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Pengelolaan sumber daya arkeologis seharusnya dilakukan dengan

mengikutsertakan masyarakat dalam penentuan kebijakan dan pelaksanaan

pelestarian dan pengembangannya. Masyarakat yang dimaksud dalam konteks ini adalah masayarakat sekitar atau para abdi dalem maupun masyarakat di luar wilayah tetapi merasa memiliki. Dalam konsep pelestarian dan pengembangan pada masa global, peran serta masyarakat dianggap sebagai penentu keberhasilan pengelolaan sumber daya arkeologis. Dengan mengetahui konsepsi masyarakat tentang makna Sumber daya arkeologi dan usaha pelestarian dan pemanfaatannya diharapkan dapat mendukung dan menyukseskan keberhasilan pelaksanaan pelestarian dan pengelolaannya. Sesuai dengan beragamnya

sumber daya arkeologi yang ada di komplek Siti-Inggil

maka secara mikro setiap objek perlu ditentukan pemintakannya sebagai upaya perlindungan

fisiknya. Selain itu sebagai usaha perlindungan dan pelestarianya secara makro dapat dilakukan pelestarian kawasan secara makro dengan antara lain memberikan pengertian kepada masyarakat tentang nilai penting setiap situs agar seluruh anggota masayarakat merasa memiliki kawasan tersebut, sehingga akan mendukung pelestariannya. Konsep dasar pelestarian harus ditentukan dengan mengacu pada pemahaman masyarakat tentang komplek Siti Inggil sebagai warisan budaya Kraton Yogyakarta.

S

ebuah epilog: Kraton Yogyakarta tapal batas pelestarian warisan budaya

“Membaca” Kraton Yogyakarta dari jejaknya yang terekam pada bangunan-bangunan kraton maupun lansekapnya, mulai dari gapura Gladhag di utara sampai Plengkung Nirboyo di selatan adalah pengingat sejarah. Keberadaannya membantu kita agar sepenuhnya tetap sadar bahwa Kraton Yogyakarta telah menempuh perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dan situasi kekinian Kraton Yogyakarta sebaiknya memang tidak boleh terlepas dari kisah panjang yang telah dilaluinya. Dengan demikian Kraton Yogyakarta tetap menjadi penanda dan identitas yang khas bagi kota Yogyakarta yang membedakan dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Hal itu berarti semakin mempertegas pentingnya upaya-upaya pelestarian kawasan cagar budaya Kraton Yogyakarta. Bahkan di era keterbukaan sekarang ini, informasi dan kebenaran dalam ilmu adalah sesuatu yang tidak rigid, arkeologi jika dipandang sebagai sebuah metode disarankan hanya melakukan interpretasi, dan bukan eksplanasi, dengan mencoba ‘memahami dan memaknai’ tinggalan budaya masa lampau. Masa lampau tidak perlu lagi ‘dipatok’ sekali dan untuk selamanya menurut metodologi atau kerangka pikir tertentu, sehingga tidak terjadi lagi justifikasi tentang masa lalu, termasuk dalam persoalan pengelolaan Kraton Yogyakarta sebagai warisan budaya. Sebaliknya, dibutuhkan pendekatan yang beragam dengan nilai-nilai beragam pula (multivalent, multivocal, multidiscipline), termasuk nilai-nilai pengetahuan nenek moyang kita maupun kearifan-kearifan yang terefleksikan dalam Kraton Yogyakarta. Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, maka pengelolaan Kraton Yogyakarta harus dilakukan dalam persperktif kawasan, dimana pengelolaan yang dilakukan merupakan model terpadu yang mengintegrasikan seluruh komponen terkait. Keterkaitan sejarah antara setiap bangunan

yang terdapat di komplek Kraton Yogyakarta, dalam pengelolaan dan

pemanfaatannya harus tetap terjalin dan muncul sebagai sebuah cerita utuh tentang Kraton Yogyakarta. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah, pengelolaan Kraton Yogyakarta terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan untuk pariwisata telah dilakukan cukup lama dan melibatkan cukup banyak pihak. Dengan asumsi bahwa Kratoin Yogyakarta di era kekinian telah mengalami banyak perubahan dan untuk itu diperlukan kembali studi yang sifatnya lebih

evaluatif. Sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi model pengelolaan Kraton Yogyakarta dalam kerangka pemanfaatan yang berwawasan pelestarian. Untuk itu dalam penerapannya diperlukan kemampuan manajerial yang cukup, pemahaman mengenai obyek dan tujuan pengelolaan yang akan dilaksanakan. Lester Borley pun mempertegas pentingnya manajeman bagi warisan dan lingkungan, pikiran sehat dan inisiatif melakukan sesuatu merupakan hal yang utama dimasa yang akan datang. Ini penting untuk mengembangkan pariwisata secara terus menerus (Lester Borley, 1996; 183). Diibaratkan sebuah organisasi maka dalam pengelolaan sumberdaya budaya dieprlukan orang-orang yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (multidisipliner) dan dari berbagai sektor (multisektoral). Dalam rangka menggerakkan roda organisasi diperlukan perencanaan strategis untuk membantu manajer berpikir dan bertindak strategis. Perencanaan strategis sendiri adalah upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi, apa yang dikerjakan organisasi dan mengapa organisasi mengerjakan hal seperti itu. Perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksplorasi alternatif dan menekankan implikasi masa depan keputusan sekarang (Olsend dan Eddie, 1982 dalam John M. Bryson, 1999; 4-5). Beberapa ahli seperti Steiner, 1979; Barry, 1986; Bryson, Freeman dan Roering, 1986; Bryson, Van de Ven dan Roering, 1987 menganggap rencana strategis memberi beberapa manfaat antara lain : •

Dapat diarahkan untuk memperjelas arah ke masa depan. Dalam pengertian tujuan yang akan dicapai



Menciptakan prioritas obyek mana terlebih dahulu yang akan dikerjakan



Membuat keputusan sekarang dengan mengingat atau mempertimbangkan konsekuensinya dimasa depan (dalam John M. Bryson, 1999; 12-13).

Pada proses rencana strategi terdapat model kebijakan yang dapat digunakan diantaranya adalah analisis KE3AN atau lebih dikenal dengan istiliah SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats). Dalam analisis ini akan dijelaskan mengenai tiga “ke” yaitu kekuatan, kelemahan, kesempatan dan satu “an” yaitu ancaman. Ke empat faktor tersebut menjadi parameter utama dalam rangka pelaksanaan perencaanaan pada sebuah obyek, termasuk dalam pelaksanaannya di Kraton Yogyakarta .

Adapun

pemanfaatan

yang

dimaksud

adalah

pemanfaatan

dalam

rangka

kepariwisataan yang tetap berwawasan pelestarian. Sehingga dalam pemanfaatannya nanti diupayakan agar tidak bertentangan dengan upaya perlindungan terhadap Benda Cagar Budaya yang bersangkutan. Dari aspek legalitas, telah sejalan dengan Pasal 19 Undang-undang Benda Cagar Budaya Nomor 5 tahun 1992 Pasal 19 : 1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimafaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sebelum masuk pada tahapan pemanfaatan sebagai obyek wisata, terlebih dahulu dilakukan analisis KE3AN Kraton Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar secara keseluruhan baik kekuatan, kelemahan, kesempatan maupun ancaman yang ada pada obyek dapat diketahui. Sehingga memudahkan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki dengan menekannya, dan kelebihannya lebih dioptimalkan. Terpulang dari itu semua, usaha pelestarian sumberdaya budaya, kembali pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi dan mempreservasi sumberdaya budaya, yang tidak lepas dari tiga komponen utama yakni; kebijakan harus merupakan pernyataan nasional yang kuat untuk melindungi, mempreservasi situs budaya, struktur dan jenis sumberdaya yang lain; memiliki dukungan politik dalam penerapannya dan; diimplementasikan secara kooperatif antara departemen atau kementerian pada level nasional, dengan level pemerintahan lain dan dengan publik (Francis P. McManamon dan Alf Hatton, 2000; 6).

Daftar Pustaka Abdullah, Irwan. 1981. Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa. Dalam Jurnal Humaniora. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya. Adam, L. 2003. The courtyards, gates and buildings of Kraton of Yogyakarta, dalam Stuart Robson (ed.), The Kraton Selected Essays on Javanese Court. KITLV Press. pp. 13 – 40 Adam, L. 2003. Some historical and legendary place names in Yogyakarta, dalam Stuart Robson (ed.), The Kraton Selected Essays on Javanese Court. KITLV Press. pp. 13 – 40 Adrisijanti, Inajati, 2002, “Kota Yogyakarta dan Pepohonannya”, dalam Jogja di Mataku, Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, hlm.11- 16 --------------------- (ed.), 2003, Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Pelestarian Purbakala Yogyakarta ______________, 2007. “Kota Yogyakarta sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan Permasalahannya”. Makalah dalam Diskusi Sejarah “Kota dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif Sejarah”, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 11 -12 April 2007 Ahmad Adaby Darban, 2000, Sejarah Kauman; Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Tarawang, Yogyakarta. Arwan Tuti Artha dan Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2004, Jejak Masa Lalu, Sejuta Warisan Budaya, Yogyakarta, Penerbit Kunci Ilmu. Darmosugito, 1956 Sejarah Kota Yogyakarta, dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun; 7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956, Panitia Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta. Eagles, Paul F. J., Stephen F. McCool, and Christopher D. Haynes. 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas: Guidelines for Planning and Management. WCPA, Best Practice Protected Area Guidelines Series No. 8, Adrian Phillips (Edt), IUCN – The World Conservation Union. Fagan, Brian. 1984. Archaeology and the wider audience, dalam Erneste Green (ed.), Ethics and values in archaeology. The Free Press. pp. 175-183

Greenmapperjogja, tanpa tahun, Jeron Beteng, Press, Culture & Education Royal Netherlands Embassy bekerjasama dengan Jogja Heritage Society dan Karang Taruna Kecamatan Keraton. Jogja City Tourism Promotion Board, 2007. Khairudin, H. 1995. Filsafat Kota Yogyakarta. Liberty, Yogyakarta. Mc.Manamon, Francis P. and Alf Hatton (ed.), 1999, Cultural Resource Management In Contemporary Society, Perspectives on Managing and Presenting tha Past, London and New York, Routledge. Mundardjito (2002). Research Method for Historocal Urban Heritage Area. Makalah dipresentasikan pada Three Days Practical Course on Planning and Design Methods for Urban Heritage, Usakti – T.U. Darmstadt, Jakarta 10 – 12 April 2002. Noto Suroto, 1985,

Kasultanan Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,

Yogyakarta. Nuryanti, Wiendu. 2007a. Community Development Through Tourism: Early Stages In Candirejo Village, Borobudur, Central Java. Dalam hand out mata kuliah Arkeologi dan Pariwisata. Yogyakarta. ______________. 2007b. Pemanfaatan Sumberdaya Arkeologi Melalui Pariwisata. Dalam hand out mata kuliah Arkeologi dan Pariwisata. Yogyakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pratiwi, D. 2006. Makna Simbolik Umpak di Keraton Yogyakarta. Skripsi Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Saiful Munjahid.

2007.

Pengamanan dan Penertiban Benda Cagar Budaya.

Makalah

disampaikan dalam Penataran Tenaga Teknis Kepurbakalaan Tingkat Dasar, Parung, Bogor 4-18 September 2001.

Sasmita, U.T. 1977.

Perlindungan dan Perundang-Undangan Peninggalan Sejarah dan

Purbaka. Direktorat Sejarah dan Purbakala. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soeroso. 2007. Pengelolaan Warisan Budaya Dunia di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Bimbingan Teknis Pengelolaan Situs Warisan Dunia Borobudur, 3-7 September 2007. Soenarto, Th.Aq, 1987, Konservasi Arkeologi Mesjid Besar Kauman Yogyakarta, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta. Subadra, I Nengah. 2007. Warisan Budaya dan Alam dan Pariwisata di Era Postmodernisme. Dalam www.subadra.wordpress.com. Sunjata, P., Tashadi, dan Astuti, S.R. 1995. Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Banguan Kraton : Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Sunaryo Imam dkk, 2000, Laporan Pendataan Mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta. Suratmin , 1991,

Upacara Tradisional Sekaten Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan , Jakarta. Tashadi, 1979, Risalah Sejarah dan Budaya; Seri Peninggalan Sejarah, Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, Yogyakarta. Trijoto, 2001, Multi Simbolisme Kraton Yogyakarta, hidayat, Yogyakarta. Widayana, Lendy. 2004. Knowledge Management dan Objek Wisata. Dalam Harian Radar Malang, tanggal 27 April yang dimuat pula dalam I Power Blogger. www.blog.sendaljepit.wordpress.html

Related Documents