Membawa-bawa Agama Dalam Kampanye Bagikan 15 Juni 2009 jam 10:10 Diunggah melalui Facebook Seluler Pengalaman kampanye sudah cukup banyak dimiliki oleh bangsa ini. Selama ini setiap lima tahun sekali diselenggarakan pemilihan umum, dan setiap itu pula diselenggarakan kampanye. Bahkan akhir-akhir ini, kampanye menjadi lebih sering lagi dilakukan, karena selain pemilihan presiden dan wakilnya serta pemilihan anggota legislative dalam waktu yang berbeda, pada setiap daerah juga diselenggarakan pilkada, baik daerah tingkat satu, maupun tingkat dua. Semua jenis pemilihan itu diselenggarakan kampanye. Dengan demikian pengalaman tentang itu semakin banyak. Akhir-akhir ini setiap kampanye sudah semakin berbeda dari dulu. Dahulu juru kampanye selalu membawa-bawa agama untuk mempengaruhi pemilih. Ayat suci al Qur’an maupun hadits nabi selalu digunakan untuk mempengaruhi massa. Sehingga seolah-olah, ayat al Qur’an dijadikan alat bersaing oleh masing-masing kelompok yang berebut pengaruh itu. Dalam perkembangan lebih lanjut, disadari bahwa cara itu harus dihindari . Kampanye tidak perlu membawa-bawa ayat al Qur’an. Seruan itu semakin relevan, karena peserta pemilu sebagian besar beragama Islam, ----sebagaimana penduduk Indonesia mayoritas muslim, sehingga tidak ada lagi yang merasa lebih dibela melalui ayatayat itu. Namun demikian simbol-simbol agama masih saja sedikit banyak muncul. Misalnya, akhir-akhir ini isu tentang jilbab bagi para isteri capres dan cawapres. Isu itu kemudian juga mendapatkan kritik, agar tidak digunakan untuk mempropokasi calon pemilih. Diserukan agar kampanye menjelaskan visi, misi dan program-program ke depan yang akan dilakukan jika mereka terpilih. Namun begitu, memang symbol agama ternyata masih dianggap mujarab untuk mempengaruhi calon pemilih.Sekalipun mereka dilarang menyebut ayat al Qur’an maupun mengedepankan simbol-simbol agama, tetapi masih saja
menggunakannya. Dalam bentuknya yang lain, misalnya mereka mendekati para elite agama. Kyai dan pesantren dijadikan sasaran bersilaturrahmi oleh para capres dan cawapres. Langkah ini, sekalipun sesungguhnya masih bernuansa agama, belum dilarang, karena memang tidak mungkin dilakukan.Sebatas meninggalkan nuansa agama, ternyata tidak mudah ditaati bagi semua capres atau cawapres. Jika tidak bisa dilakukan secara terang-terangan, maka juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Misalnya melalui sms, bahwa seorang capres tertentu memiliki hubungan yang lebih dekat dengan organisasi social keagamaan tertentu. Bahkan juga disebut-sebut hingga orang tua dan kakek capresyang bersangkutan pernah menghadiri pengajian dan juga mewakafkan tanahnya untuk organisasi keagamaan dimaksud. Simbol-simbol agama, ----lagi-lagi, kemudian dijadikan rebutan oleh para kandidat.Terlepas dari itu semua, agar di kemudian hari tidak terjadi anggapan bahwa agama harus dijauhkan dari kegiatan politik seperti itu, maka kiranya perlu dipertanyakan sejauh mana sebenarnya larangan itu memang tepat dilakukan. Sebab, dalam hal ini Islam dilihat dari doktrinnya memang bukan sebatas berupa tuntunan berkomunikasi dengan Tuhan, melainkan lebih luas dari itu. Al Qur’an dan hadits nabi juga berisi bagaimana berperilaku dan berkomunikasi antar sesame. Al Qur’an adalah akhlak, sebagaimana nabi pun berakhlak al Qur’an. Karena itu harus dibawa pada setiap saat, termasuk dalam berpolitik. Kitab suci itu yang sesungguhnya adalah pedoman berperilaku dan bahkan akhlak, semestinya tidak boleh lepas dari kepribadian muslim dalam keadaan dan saat apapun, tidak terkecuali dalam berkampanye. Akhlak kaum muslimin tidak boleh terbelah, antara tatkalaberkampanye dan ketika tidak sedang melakukan peran itu. Akhlak mulia kaum muslimin harus ditunjukkan pada setiap waktu dan keadaan. Oleh sebab itu sesungguhnya, agama dalam hal ini al Qur’an dan hadits memang tidak boleh dijadikan alat menjatuhkan, mencaci, dan menghujat lawan hanya agar menang dalam kompetisi politik, tetapi harus tetap mewarnai akhlak bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan itu. Jika demikian halnya, sesungguhnya agama tidak perlu dijauhkan dari kegiatan politik, malah sebaliknya justru harus dijadikan dasar atau
pegangan dalam melakukan aktivitas tersebut. Politik dengan berpegang pada kitab suci, agar kemudian menjadi santun, damai dan selalu menghormati sesama. Sebaliknya, jika agama dijauhkan dari sebagian kegiatan seseorang, --- misalnya dalam berpolitik, maka yang terjadi justru akan muncul perilaku yang tidak sedap dipandang oleh siapapun. Yakni saling menyerang, menjatuhkan, menghina dan seterusnya. Agama semestinya harus hadir dalam semua kegiatan manusia. Demikian pula al Qur’an dan hadits Nabi harus selalu dijadikan sebagai pegangan yang kokoh oleh pemeluknya. Secara konkrit yang harus dipegangi, misalnya ajaran agama Islam memberi tuntunan bahwa jabatan adalah amanah. Semua amanah harus ditunaikan dan bukan selayaknya diperebutkan. Jika dalam alam demokrasi seperti saat ini, orang harus berkampanye, maka seharusnya tidak diniatkan untuk berebut amanah. Kegiatan itu hendaknya dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kehidupan bangsa. Selain itu, sebagai pribadi seseorang------dengan agama, termotivasi meraih prestasi terbaik, yakni memberi manfaat bagi orang lain. Motivasi itu kemudian melahirkan kersedia memikul amanah mulia itu. Motivasi menjadi pemimpin harusnya atas dorongan beribadah sebaik-baiknya.Akhirnya, jika penjelasannya seperti itu, maka semestinya al Qur’an dan hadits nabi tidak perlu dijauhkan dari kegiatan politik,termasuk kampanye pemilu. Bahkan agama harus dijadikan sebagai pedoman, pemandu dan atau petunjuknya. Sedangkan yang tidak dibolehkan adalah jika ayat-ayat al Qur’an digunakan sebagai alat untuk menyerang dan menjatuhkan pihak lain. Kita harus bersyukur, bahwa diselenggarakan kampanye pilpres akhir-akhir ini, masyarakat tetap tenang, dan tidak terjadi gejolak apa-apa. Saya yakin, kegiatan apapun jika tetap berpedoman pada wahyu Allah dan tauladan kehidupan Rasulullah, maka akan berjalan aman dan selamat. Wallahu a’lam