“SUKU” MELAYU (Distorsi Realitas Sejarah oleh imprealisme ) A. Pendahuluan
Melayu atau lebih sering dikenal dengan istilah “suku” Melayu dalam pengertian
merujuk
kepada
penutur
bahasa
Melayu
dan
mengamalkan adat budaya orang Melayu, dan sudah mengalami akulturasi dengan
bangsa asing lainnya yang datang dari luar
Kepulauan Indo Melayu (Nusantara), terutama pengaruh kuat agama Islam (http://id.wikipedia.org/wiki/suku_Melayu). “Suku” Melayu merupakan bagian dari suku-suku ras Deutero Melayu (Melayu Muda). “suku” Melayu modern merupakan keturunan orang Melayu kuno dari Kerajaan Melayu. Menurut sensus tahun 2000, “suku” Melayu meliputi 3,4% dari populasi Indonesia dan mendiami beberapa propinsi di Sumatera dan Kalimantan Barat. “suku” Melayu juga terdapat di Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan Afrika Selatan. Melayu Cape Town di Afrika Selatan merupakan keturunan “suku” Melayu dan sejumlah “suku” lainnya yang berasal dari Nusantara seperti Makassar, Banten, Ternate dan lain-lain. Jadi Melayu Cape Town merupakan kumpulan beberapa etnis yang kebetulan semuanya muslim lebih tepat disebut ras Indo-Melayu atau disederhanakan dengan sebutan ras Melayu. Lebih lanjut dalam Wikipedia.org dijelaskan bahwa, istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu 1
mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama. Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (“suku” Melayu (Minangkabau)) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna. Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya
Semenanjung
perkembangan adalah
Medini.
Hanya
kerajaan-kerajaan
Kesultanan
Malaka,
Islam
istilah
belakangan
pada
yang
mandalanya
Melayu
pusat
bergeser
masa kepada
Semenanjung Malaka yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e". Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora ke kawasan timur Nusantara. Bahasa
Melayu
Purba
sendiri
diduga
berasal
dari
pulau
Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan “suku” Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku. Penduduk asli 2
Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah
nenek
moyang
suku
Nias
dan
suku
Mentawai.
perkembangannya menurut sumber Wikkipedia.org,
Dalam
istilah Melayu
kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara. Secara persfektif historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun
Indo-Melayu
terdiri
Proto
Melayu
(Melayu
Tua/Melayu
Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun
masa
yang
perkembangannya
panjang agama
sampai
Islam,
dengan
“suku”
kedatangan
Melayu
sebagai
dan etnik
mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh budaya Sambas Mul’am Husairi, ada pendapat berbeda dengan realitas teori tentang melayu yang lebih dikenal dengan “suku” dalam literatur yang ada. Menurut Mul’am dia tidak setuju dengan istilah “suku” buat Melayu. Ada beberapa alasan yang membuatnya tidak setuju dengan istilah “suku” buat Melayu tetapi dia setuju dengan istilah “Bangsa” buat Melayu, lebih lanjut menurutnya, ada beberapa alasan yang bisa dijadikan fakta bahwa Melayu merupakan bangsa diantaranya adalah: 1. Selama ini penelitian tentang Kesultanan awal di indonesia jelas
melalui pulau-pulau terujung sebagai awal masuknya agama islam dari tempat asalnya, jadi secara logika maupun geografis awal masuknya Islam adalah ujung pulau sumatera, pulau-pulau di sekitar selat malaka ,ujung pulau kalimantan dan ujung pulau sulawessi.
3
2. Dari sisi bahasa bahwa, bahasa-bahasa yang ada dalam bahasa
melayu adalah gabungan dari seluruh bahasa dunia, maupun beberapa “suku” bangsa di dunia. 3. Dari sisi peninggalan Senjata warisan nenek moyang Melayu, misalnya pada masyarakat Melayu Sambas, ketika disuruh mengeluarkan senjata warisan seringkali ditemukan perbedaan senjata, ada yang mengangkat sundang (bentuknya seperti keris tapi agak besar), ada yg mengeluarkan badek (senjata khas masyarakat Bugis), mandau (suku Dayak), kelewang (). Sedangkan keris penyebutan lama di daerah jawa yang di duga sebagai tempat asal keris malah disebut cundrek, jadi kalau senjata keris identik dengan melayu berarti dapat di tentang karena terjadinya distorsi istilah oleh penjajah. (rafless tahun + 1800, datang ke Malaka dengan 80 orang dengan juru tulisnya dicurigai mengubah sejarah nusantara (catatan sultan Ali haji)) kemana naskah asli ali haji??? (wawancara hari sabtu, 03 Desember 2009) 4. Aksara, menurut Mul’am sebuah “suku” yang maju adalah “suku”-”suku” yang mewarnai penduduk yang mendiami dunia ini, sebagai mana bangsa Arab, Cina dan Yunani, yang mempunyai bahasa dan aksara tersendiri, senjata khas, pakaian, corak dan motif khas, tari-tarian adat tersendiri, ritual, adat istiadat dari hidup sampai mati, sistem pengairan, sedangkan Melayu tidak punya aksara tersendiri kecuali bahasa Melayu yang ditu.is dengan huruf Arab yang lebih dikenal dengan “Arab Melayu”. Dari pemaparan hasil wawancara tersebut, penulis tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh pemikiran nara sumber utama dalam penulisan ini yaitu tokoh budayawan Sambas Mul’am Husairi mengenai pemikirannya tentang istilah “Bangsa” buat Melayu. Tujuan utama dari penulisan buku ini adalah untuk mendiskripsikan pemikiran alternatif terhadap kajian budaya, khususnya tentang kontroversi seputar istilah “Suku” pada Melayu dalam kajian-kajian ilmiah yang ada di Indonesia. Selama ini memang belum pernah ada studi kritis atau antitesis 4
terhadap pengistilahan suku pada Melayu, menurut hemat peneliti pemikiran Mul’am Husairi layak untuk diapresiasi dalam rangka melakukan studi kritis terhadap distorsi sejarah Melayu yang banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual Asing yang pernah menjajah bangsa ini. A. Metode Penulisan Dalam penulisan buku ini penulis berusaha lepas dari segala model penelitian yang pernah ada di Indonesia, misalnya metodologi yang sering dijadikan standar atau acuan dalam melakukan penulisan karya ilmiah di berbagai perguruan Tinggi yang ada di Indonesia maupun luar negeri, tujuan utamanya adalah untuk membuat format yang orisinil apa adanya tentang pemikiran seorang tokoh budayawan yang merasa perlu meluruskan distorsi Sejarah yang banyak menjadi rujukan peneliti-peneliti budaya. Metodologi yang diterapkan dalam penulisan ini lebih bersifat fleksibel, atau gaya penulisan bebas seperti layaknya sebuah novel roman atau cerita lisan yang ditulis kembali dalam bentuk tulisan. Singkatnya format penulisan lebih sederhana yaitu menulis ulang hasil wawancara dengan format sederhana, sehingga diharapkan lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas. B. Sejarah Singkat Biografi Nara Sumber ○ Latar belakang pendidikan ○ Pengalaman organisasi ○ Pengalaman kerja ○ Pengalaman yang paling berkesan dalam memperjuangkan budaya ○ Strategi menganalisis sejarah budaya ○ Kegiatan-kegiatan kebudayaan yang pernah diikuti
5
○ Strategi mengatasi kontroversi dalam memperjuangkan kebudayaan ○ Apa saja yang telah dilakukan dalam menyelamatkan budaya Sambas
6