PROBLEMATIKA MEDIA BELAJAR DI SEKOLAH INKLUSI DAN PEMBELAJARAN OUTDOOR
MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Problematika Pendidikan Dasar yang dibina oleh Dr. I Made Suardana, S.Pd, M.Pd
Oleh : Disca Maharini
(182103850597)
Muh. Roziq Muzakiansyah
(182103850548)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN DASAR Maret 2019
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul " Problematika Media Belajar Di Sekolah Inklusi dan Pembelajaran Outdoor" ini dapat terselesaikan tepat waktu. Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyiapkan, memberikan masukan dan menyusun makalah ini. Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih kepada Dr. I Made Suardana, S.Pd, M.Pd, selaku dosen mata kuliah Problematika Pendidikan Dasar yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada kami. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam mengerjakan makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Malang, Maret 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah....................................................................................1 B Rumusan Masalah..............................................................................................2 C Tujuan Pembahasan Masalah.............................................................................2 BAB II PEMBAHASAN A. Implementasi media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor......3 B. Hambatan-hambatan media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor..............................................................................................................5 C. Cara mengatasi hambatan media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor..............................................................................................................8 BAB III PENUTUP A. Simpulan...........................................................................................................12 B. Saran.................................................................................................................13 DAFTAR RUJUKAN............................................................................................14
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam dunia pendidikan khusunya pada saat proses belajar mengajar tentunya tidak asing dengan istilah sumber belajar. Menurut Sudono (dalam Kustiawan, 2015:1) sumber belajar dapat memberikan informasi maupun berbagai keterampilan siswa sehingga dapat memudahkan dalam menangkap pembelajaran. Pada dasarnya sumber dan media merupakan dua istilah yang sama dan tidak dapat dipisahkan, keduanya menunjuk pada satu objek yang sama, jika obyek tersebut dapat difungsikan maka disebut media, sedangkan bendanya sendiri disebut sumber belajar. Jenis media pembelajaran yang digunakan guru dalam menyalurkan pesan atau sebuah informasi mengenai materi-materi pelajaran meliputi media tanpa proyeksi 2 dimensi (gambar, bagan); media tanpa proyeksi 3 dimensi (benda sebenarnya, boneka); media audio(radio,tape recorder), media proyeksi(film,slide) Ibrahim (dalam Kustiawan, 2015: 8). Jenis media-media tersebut jika tidak dipahami oleh guru dapat menimbulkan permasalahan pada saat pemilihan media yang sesaui dengan tujuan, materi, dan kemampuan, serta karakteristik siswa. Maka dari itu guru harus memahami berbagai klasifikasi media pembelajaran untuk menunjang keefektifan serta efisiensi proses pembelajaran di dalam kelas. Penggunaan media pembelajaran yang ada di sekolah belum bisa diterapkan guru dengan baik, seperti penerapan media pembelajaran di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor. Menurut Sadiman (2010: 13) faktor yang menjadi penghambat proses komunikasi media pembelajaran tersebut ialah sikap, minat, intelejensi, hambatan fisik seperti kelelahan, sakit, keterbatasan daya indera, dan cacat tubuh, sehingga dalam makalah ini akan membahas masalah-masalah pada media pembelajaran di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor serta membahas solusi yang tepat untuk mengatasi pemasalahan tersebut, agar guru dalam membuat dan menerapkan media pembelajaran tidak ditemukannya hambatan lagi serta mudah ditangkap oleh peserta didik.
1
2
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana implementasi media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor?
2.
Apa saja hambatan-hambatan yang terdapat dalam media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor?
3.
Bagaiamana cara mengatasi hambatan tersebut dalam media belajar yang ada di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor?
C. Tujuan Pembahasan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan sebagai berikut. 1.
Menjelaskan implementasi media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor
2.
Menjelaskan hambatan-hambatan yang terdapat dalam media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor
3.
Menjelaskan cara mengatasi hambatan tersebut dalam media belajar yang ada di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor
BAB II PEMBAHASAN A. Implementasi Media Belajar di Sekolah Inklusi dan Pembelajaran Outdoor Setiap anak manusia terlahir ke dunia dengan kondisi yang berbeda secara fisik dan mental. Ada beberapa anak yang terlahir dengan kelainan fisik dan mental yang disebut juga dengan Special Needs (Anak Berkubutuhan Khusus/ABK), dengan keterbatasan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus tidak mampu memperoleh pendidikan secara normal layaknya anak-anak pada umumnya Kustiawan (2015: 143). Untuk itu perlu penanganan secara khusus untuk anak-anak seperti itu dengan membuat program yang melibatkan sumber belajar. Pogram pendidikan bagi anak dalam pelaksanaannya tidak akan terlepas dari bagaimana mengelola dan memanfaatkan sumber belajar dan media pembelajaran. Guru atau calon guru dipersyaratkan memiliki kemahiran dalam mengelola dan memanfaatkan sumber belajar agar pelakasanaan program pendidikan bagi anak dapat berjalan tidak saja efektif tetapi juga menyenangkan. Perlunya penggunaan sumber belajar yang optimal dalam pendidikan adalah dikaitkan dengan tugas yang diemban guru yaitu menyajikan pesan membimbing dan membina anak untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu mengembangkan semua aspek perkembangan anak. Akan tetapi banyak sekali sumber belajar yang tak luput dari perhatian guru. Hal tersebut disebabkan guru tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan teknis untuk menggunakan sumber belajar tersebut. Pada umumnya terdapat beberapa sumber belajar yang digunakan oleh guru. Menurut Kustiawan ( 2015: 205) sumber belajar diuraikan sebagai berikut : 1.
Nara Sumber Guru dapat menggunakan nara sumber atau orang yang ahli dibidagnya untuk
memperkaya wawasan anak dengan cara mengundang mereka untuk menceritkan keahliannya misalnya polisi, dokter, petugas pos, dan lain-lain. Untuk menggunakan sumber belajar ini, guru juga harus memehami prosedur dan perkembangan anak sehingga poses kegiatan dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan menyenangkan bagi anak.
3
4
2.
Lingkungan Guru dapat menggunakan lingkungan yang terdekat dengan anak sebagai
sumber belajar. Sumber belajar yang alamiah dapat digunakan dengan efisien sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hal tersebut diperjelas oleh Suleman (dalam Uno, 2013: 137) bahwa lingkungan merupakan suatu keadaan disekitar kita. Dari semua lingkungan yang dapat digunakan dalam proses pendidikan dan pengajaran secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga macam lingkungan belajar yakni lingkungan sosial, lingkungan alam dan lingkungan buatan. a)
Lingkungan Sosial Lingkungan sosial sebagai sumber belajar berkenaan dengan interaksi
manusia dengan kehidupan bermasyarakat, seperti organisasi sosial, adat dan kebiasaan, mata pencaharian, kebudayaan, pendidikan, kependudukan, struktur pemerintahan, agama dan sistem nilai. Lingkungan sosial tepat digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. b) Lingkungan Alam Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan), tumbuhtumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan sebagainya. Lingkungan alam sifatnya relatif menetap, oleh karena itu jenis lingkungan ini akan lebih mudah dikenal dan dipelajari oleh anak. Sesuai dengan kemampuannya, anak dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga proses terjadinya. Dengan mempelajari lingkungan alam ini diharapkan anak akan lebih memahami gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, lebih dari itu diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran sejak awal untuk mencintai alam, dan mungkin juga anak bisa turut berpartisipasi untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam. c) Lingkungan Buatan Lingkungan buatan adalah lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Lingkungan buatan antara lain adalah irigasi atau pengairan, bendungan, pertamanan, kebun binatang, perkebunan, penghijauan, dan pembangkit tenaga listrik. 3.
Media Cetak
5
Buku digunakan oleh guru sebagai sumber belajar. Beberapa kriteria yang sebaiknya menjadi dasar pertimbangan dalam memilih buku yaitu kriteria isi mencakup apakah isi sumber belajar relevan dengan program pendidikan yang berlaku, sistematika, isi, dan topik yang disajikan pembehasannya mudah di pahami. 4.
Barang Bekas Barang bekas seringkali luput dari pehatian kita, padahal dapat dimanfaatkan
secara optimal dalam kegiatan pendidikan, kretaifitas guru dengan menggunakan barang bekas menjadi sumber belajar yang dapat membantu proses belajar dengan tidak terbatas. Contoh botol bekas minuman kaleng dapat dikemas menjadi kaleng suara dengan bantuan benang untuk pembelajaran ipa yaitu perambatan bunyi. Berdasarkan uraian penggunaan sumber belajar tersebut, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan penguasaan terhadap sumber belajar yang memerlukan keterampilan khusus dalam mengoperasikan sehingga tidak tergantung pada orang lain dengan menggunakan sumber belajar seperti nara sumber, lingkungan, media cetak,
dan
barang
bekas
anak
dapat
mengembangkan
seluruh
aspek
pekembangannya. B. Hambatan-hambatan Media Belajar di Sekolah Inklusi dan Pembelajaran Outdoor Anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat membutuhkan penanganan khusus untuk mengenyam pendidikan agar hak-haknya dapat terpenuhi. Selain guru dapat membuka hubungan yang lebih akrab terhadap anak didiknya agar mampu menciptakan atmosfer belajar yang hangat dan menyenangkan Haryono (2017: 143). Dalam proses pembelajaran untuk ABK tidaklah semudah pada anak normal pada umumnya, guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan mencari model pembelajaran yang sesuai. Apabila guru dapat mengajar dengan memodel pembelajaran yang tepat maka pembelajaran akan berubah menjadi pelajaran yang menyenangkan dan pada akhirnya prestasi ABK pun dapat meningkat. Model pembelajaran apapun yang digunakan guru tujuannya agar materi yang disampaikan dapat mudah dipahami atau dikuasai oleh ABK. Karena itu penggunaan media dalam pembelajaran mutlak diperlakukan. Pemanfaatan media sebagai alat bantu belajar ABK dalam melibatkan keaktifan siswa akan lebih mempermudah
6
proses belajar mengajar karena mampu membantu daya ingat siswa terhadap materi yang dipelajari. Mengingat begitu besarnya peran media dalam pembelajaran berikut penjelasan berbagai hambatan-hambatan yang ditemui pada saat di sekolah inklusi menurut Kustiawan (2015: 145-184). 1.
Anak penyandang Tunarungu Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang
dan rungu artinya pendengaran jadi, tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang baik sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan orang lain dan lingkungannya yang membawa dampak perubahan terhadap kesadaran dan pemahaman tentang suatu hal Kustiawan (2015: 156). Sejalan dengan pendapat Amin (dalam Kustiawan, 2015:156) bahwa anak yang mengalami kekurangan mendengar yang disebabkan oleh keusakan atau tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh ogan pendegaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. Pada umumnya anak tunarungu yang tidak disertai kelainan lain, mempunyai intelegensia yang normal, namun sering ditemui prestasi akedemik mereka lebih rendah disbanding dengan anak mendengar seusianya Kustiawan (2015: 162). Kesulitan berkomunikasi yang dialami anak tunarungu mengakibatkan mereka memiliki kosakata yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata-kata abstrak, serta kurang menguasai irama dan gaya bahasa. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa anak tunarungu cenderung memiliki prestasi akdemik yang rendah, tetapi tidak untuk semua mata pelajaran. Anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah pada mata pelajaran yang verbal, seperti Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKn, soal cerita Matematika tetapi pada mata pelajaran yang bersifat nonverbal seperti pelajaan Olahraga dan Keterampilan relative sama dengan temannya yang mendengar. 2.
Anak penyandang Tunagrahita Anak tunagrahita yaitu menggambarkan kondisi anak yang memiliki
keteralambatan dan terbatasnya kecerdasan anak sedemikian rupa jika dibandingkan
7
dengan rata-rata atau anak pada umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini berlangsung pada masa perkembangan, anak tunagrahita penting dilakukan untuk mempermudah guru dalam menyusun program dan melaksanakan layanan pendidikan. Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini sesuai dengan PP 72 Tahun 1991 (dalam Kustiawan, 2015: 167) adalah sebagai berikut. a)
Tunagrahita ringan IQ-nya 50-70
b) Tunagrahita sedang IQ-nya 30-50 c)
Tunagrahita berat dan sangat berat IQ-nya kurang dari 30. Dengan demikian, guru haruslah menggunakan srtategi dan program khusus
yang disesuaikan dengan perbedaan anak tersebut. 3.
Anak penyandang Tunadaksa Anak tunakdasa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh atau cacat
fisik. Anak tunadaksa dari segi mental dan otaknya normal hanya saja memeraka memiliki keterbatasan fisik sehingga memerlukan layanan khusus dan alat bantu gerak, agar mereka bisa melakukan aktifitas sehari-hari. 4.
Anak penyandang Tunalaras Anak tunalaras meruapakan anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan
lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat tempat ia berada. Pada umumnya anak tunalaras mengalami gangguan penyimpangan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Terganggunya perilaku tunalaras, menuntut adanya pengelolaan yang cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kedaannya. Sedangkan hambatan pada pembelajaran outdoor menurut Suyadi (dalam Widiasworo,2016: 217) bahwa peserta didik kurang berkonsentrasi, pengelolaan peserta didik akan lebih sulit terkondisi, waktu akan banyak yang tersita (kurang tepat waktu), penguatan konsep kadang terkontaminasi oleh peserta didik lain atau kelompok lain, guru kurang intensif dalam membimbing, dan akan muncul minat yang semu.
8
C. Cara Mengatasi Hambatan-hambatan Media Belajar di Sekolah Inklusi dan Pembelajaran Outdoor Dengan berbagai hambatan yang telah dijelaskan di atas, berikut beberapa cara mengatasi hambatan-hambatan dalam media belajar di sekolah inklusi menurut Kustiawan (2015: 161-186) 1.
Media pembelajaran untuk tunarungu Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar,
media pembelajaran yang cocok untuk anak tunarungu adalah media visual dan cara menerangkannya dengan bahasa bibir atau gerak bibir. Contohnya media stimulasi video-auditoris, antara lain video melalui video guru dapat menampilkan berbagai gambar sekaligus meperdengarkan suara misalkan pembelajaran siklus air, bisa juga dengan menggunakan benda asli atau tiruan. Sehingga dengan menggunakan media tersebut dapat dipergunakan dalam latihan optimalisasi fungsi pendengaran. 2.
Media pembelajaran untuk tunagrahita Anak tunagrahita memiliki keterbatasan mental, media pembelajaran yang
cocok untuk anak tunagrahita adalah media kartu melalui media kartu anak dapat terlibat di dalamnya dengan menggunakan aturan-aturan yang telah ditentuntakan yang dapat membangkitkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berhitung, menumbuhkan pengertian konsep dari yang abstrak menjadi konkret, dan meningkatkan perhatian anak. Selain itu media pembelajaran yang dapat diguanakan yaitu animasi dan permainan edukasi. 3.
Media pembelajaran untuk tunadaksa Anak tunadaksa memiliki keterbatasan fisik, media pembelajaran yang cocok
untuk anak tunadaksa sama dengan anak-anak normal lainnya hanya saja disesuaikan dengan materi dan kecacatan bagian yang dialami anak. Contohnya permainan puzzle melalui media tersebut anak akan tertantang daya kreatifitas dan ingatan anak juga akan lebih mendalam dikarenakan munculnya motivasi untuk mencoba memecahkan masalah namun tetap menyenangkan. 4.
Media pembelajaran untuk tunalaras Anak tunalaras memiliki gangguan penyimpangan peilaku yang merugikan
diri sendiri maupun orang lain, media pembelajaran yang cocok untuk anak tunalaras adalah jig-saw puzzle media belajar untuk bergotong-royong mempunyai banyak
9
kesemapatan infomasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi, selain itu juga bisa menggunakan media permbelajaran bermain peran untuk mengeksplorasi perasaan dan memperoleh wawasan tentang sikap serta nilai anak. Pada umumnya terdapat banyak cara untuk mengatasi mengatasi hambatan dalam pembelajaran outdoor. Menurut Widiasworo (2016: 218-221) guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut. 1.
Guru harus benar-benar mempersiapkan kegiatan pembelajaran dengan matang. Mulai dari menentukan tujuan pembelajaran yang harus dicapai secara jelas,
menentukan apa yang harus dipelajari oleh peserta didik dengan durasi waktu tertentu, petunjuk yang jelas bagaimana peserta didik harus memperoleh informasi dan juga mencatat hasil yang diperoleh. Semua hal perlu disiapkan secara tertulis dan tertuang dalam Lembar Kerja, yang harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum peserta didik benar-benar melakukan kegiatan belajar di luar kelas. 2. Guru harus mampu memberikan perhatian penuh kepada peserta didik, untuk mengelola dan mengusahakan agar mereka tetap fokus pada kegiatan pembelajaran. Lingkungan terbuka memberikan suasana yang sangat berbeda. Hal ini akan membuat peserta didik lebih agresif, aktif, dan merasa bebas melakukan kegiatan apa pun. Agar semua peserta didik dapat tetap melakukan kegiatan pembelajaran sesuai dengan yang diinginkan maka diperlukan pengawasan, bimbingan, arahan, dan perhatian khusus dari guru. 3. Guru tidak boleh terlena dengan keaktifan yang dilakukan peserta didik. Melihat peserta didik yang berlari ke sana kemari dan berdiskusi dengan peserta didik lain, bisa saja yang dilakukan ini adalah di luar skenario yang guru rencanakan. Mereka justru asyik bermain dan bercerita hal-hal lain yang bisa mengalihkan dan membuyarkan konsentrasi mereka sendiri dalam belajar. Oleh karena itu, guru harus memiliki komitmen yang kuat dari awal untuk membimbing mereka secara keseluruhan dengan kemampuan pengelolaan peserta didik yang baik. Agar pembelajaran tidak terkesan banyak membuang waktu maka guru perlu mengkoordinasi peserta didik untuk melakukan tugas sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan (disiplin waktu). Baik untuk outdoor learning yang dilakukan secara insidental maupun include dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, jelas memerlukan manajemen waktu yang ketat. Misalnya untuk kegiatan karya wisata, guru harus benar-benar
10
menekankan disiplin waktu pada peserta didik. Pada objek yang dikunjungi mereka harus melakukan pengamatan dan mempelajari sesuatu sesuai dengan waktu yang ditentukan untuk kemudian berlanjut ke objek yang lain sehingga tidak banyak waktu yang terbuang sia-sia yang menyebabkan perjalanan menjadi tertunda. Lain halnya jika yang dilakukan adalah meneliti dengan membuktikan sutu konsep tertentu, biasanya kegiatan seperti ini memerlukan durasi waktu khusus sehingga perlu pengaturan waktu yang baik agar pembelajaran tetap efektif. 4. Guru perlu memiliki strategi penguatan konsep yang baik. Belajar di lingkungan terbuka, tidak menutup kemungkinan adanya benturan dengan kelompok lain yang juga sedang melakukan kegiatan pembelajaran atau bahkan masyarakat umum yang hanya sekadar memerhatikan kegiatan peserta didik. Sebagai contoh, kegiatan ekspedisi yang dilakukan di lokasi tertentu ternyata bersamaan dengan kegiatan ekspedisi yang juga dilaksanakan oleh sekolah lain. Hal ini perlu diantisipasi agar penguatan konsep pada peserta didik kita tetap bisa dilakukan secara efektif dan tidak terganggu dengan aktivitas yang dilakukan dari peserta didik sekolah lain. Contoh lainnya, misal kegiatan supercamp yang dilakukan di lokasi yang tidak jauh dari pemukiman penduduk, biasanya hal ini akan menyita perhatian warga. Mereka sering menyaksikan kegiatan peserta didik khususnya yang menarik, misalnya pentas seni, permainan tertentu, atau kegiatan-kegiatan lain yang membuat masyarakat tertarik untuk melihat. Hal ini perlu diantisipasi guru sebelumnya sehingga peserta didik tetap terkonsentrasi pada kegiatan yang kita rencanakan dan penguatan konsep tetap dapat dilakukan secara optimal. 5.
Guru harus membimbing peserta didik secara intensif. Terkadang
lingkungan terbuka memberikan hal-hal lain yang menyita
perhatian peserta didik di luar skenario Yang dircncanakan. Hal ini akan sangat mengganggu kegiatan pembelajaran jika guru tidak mampu membimbing peserta didik dengan baik. Memiliki kemampuan membimbing secara intensif, benar-benar harus dikuasai oleh guru. 6.
Guru harus berhati-hati dengan antusiasme yang dimiliki peserta didik dalam mengikuti outdoor learning. Sikap hati-hati yang diperlukan ini bukan tanpa alasan, mengingat seringnya
muncul minat semu yang ada pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran di alam terbuka akan sangat menyenangkan karena peserta didik dapat melihat-lihat suasana
11
lingkungan yang mungkin membuat mereka tertarik karena mengasyikkan sehingga membuat mereka mempunyai minat dan semangat yang tinggi. Namun yang perlu dicermati. minat dan semangat mereka yang tinggi itu semata-mata untuk belajar atau hanya sekadar bisa jalan-jalan dan menghilangkan kebosanan. Untuk itu, guru perlu memberikan arahan dan bimbingan serta kreativitas untuk mengemas kegiatan pembelajaran yang lebih menarik perhatian peserta didik dibanding hanya sekadar refreshing. 7.
Guru harus memiliki kemampuan berorganisasi yang baik. Untuk kegiatan outdoor learning yang dilakukan secara insidental, biasanya
guru melibatkan orang lain yang tergabung dalam sebuah kepanitiaan.
BAB III PENUTUP A. Simpulan Pogram pendidikan bagi anak dalam pelaksanaannya tidak akan terlepas dari bagaimana mengelola dan memanfaatkan sumber belajar dan media pembelajaran. Seorang
guru
dipersyaratkan
memiliki
kemahiran
dalam
mengelola
dan
memanfaatkan sumber belajar agar pelakasanaan program pendidikan bagi anak dapat berjalan tidak saja efektif tetapi juga menyenangkan. Proses pembelajaran untuk ABK tidaklah semudah pada anak normal pada umumnya, guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan mencari model pembelajaran yang sesuai. Mengingat begitu besarnya peran media dalam pembelajaran berikut penjelasan berbagai hambatan-hambatan yang ditemui pada saat di sekolah inklusi antara lain anak penyandand tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras. Selain itu pembelajaran dengan memanfaatkan pembelajaran luar kelas (outdoor learning) juga mengalami hambatan-hambatan antara lain peserta didik kurang berkonsentrasi, pengelolaan peserta didik akan lebih sulit terkondisi, waktu akan banyak yang tersita (kurang tepat waktu), penguatan konsep kadang terkontaminasi oleh peserta didik lain atau kelompok lain, guru kurang intensif dalam membimbing, dan akan muncul minat yang semu. Berdasarkan paparan hambatan yang ditemui di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor. Berikut cara untuk penyelesaian hambatan tersebut. 1) Media pembelajaran untuk tunarungu menggunakan video-auditoris 2) Media pembelajaran untuk tunagrahita menggunakan permainan kartu, animasi, dan permainan edukasi 3) Media pembelajaran untuk tunadaksa menggunakan permainan puzzle 4) Media pembelajaran untuk tunalaras menggunakan jig-saw puzzle. Sedangkan cara untuk penyelsaian hambatan yang berkenaan dengan pembelajaran outdoor antara lain. 1) Guru harus benar-benar mempersiapkan kegiatan pembelajaran dengan matang. 2) Guru harus mampu memberikan perhatian penuh kepada peserta didik, untuk mengelola dan mengusahakan agar mereka tetap fokus pada kegiatan pembelajaran 3) Guru tidak boleh terlena dengan keaktifan yang dilakukan peserta didik 12
13
4) Guru perlu memiliki strategi penguatan konsep yang baik 5) Guru harus membimbing peserta didik secara intensif. 6) Guru harus berhati-hati dengan antusiasme yang dimiliki peserta didik dalam mengikuti outdoor learning. 7) Guru harus memiliki kemampuan berorganisasi yang baik. B. Saran Permasalahan pada implementasi media belajar di sekolah inklusi dan pembelajaran outdoor memang belum bisa diterapkan guru dengan baik, seharusnya guru lebih memiliki kemahiran dalam mengelola dan memanfaatkan sumber belajar agar pelakasanaan program pendidikan bagi anak dapat berjalan efektif dan menyenagkan, selain itu guru juga dapat menggunakan solusi seperti yang telah dipaparkan pada makalah ini, sehingga dalam melaksanakan media belajar tidak ditemukannya hambatan-hambatan lagi.
Daftar Rujukan Haryono. 2017. Jurus Jitu Menjadi Guru Hebat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Kustiawan, Usep. 2015. Media Pembelajaran Sekolah Inklusi. Malang: Universitas Negeri Malang. Sadiman, Arief S. 2010. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Uno, Hamzah B. 2013. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta: PT Bumi Aksara. Widiasworo, Erwin. 2016. Strategi & Metode Mengajar Siswa di Luar Kelas (Outdoor Learning). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
14