Tauhid (Keesaan Tuhan) Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya serta manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis ‘Adl (Keadilan) Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adail dan baik. Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu. Di bidang usaha untuk meningkatkan ekonomi, keadilan merupakan “nafas” dalam menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, karena itu harta jangan hanya saja beredar pada orang kaya, tetapi juga pada mereka yang membutuhkan Nubuwwah (Kenabian) Karena sifat rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu Allah. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah ( tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan, kebijaksanaan, ntelektualitas) dan tabligh (komunikasi keterbukaan dan pemasaran) Khalifah (Pemerintah) Dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Dalam Islam pemerintah memainkan peranan yang kecil tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam kerangka mencapai tujuan-tujuan syari’ah untuk memajukan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia. Ma’ad (Hasil) secara harfiah ma’ad berarti kembli. Dan kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Pandangan yang khas dari seorang Muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: Dunia adalah ladang akhirat”. Artinya dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal shaleh), namun demikian akhirat lebih baik daripada dunia. Karena itu Allah melarang manusia hanya untuk terikat pada dunia, sebaba jika dibandingkan dengan kesenangan akhira, kesenangan dunia tidaklah seberapa. Tidak Menimbulkan Kesenjangan Sosial Prinsip dasar islam dalam hal ekonomi senantiasa berpijak dengan masalah keadilan. Islam tidak menghendaki ekonomi yang dapat berdampak pada timbulnya kesenjangan. Misalnya saja seperti ekonomi kapitalis yang hanya mengedepankan aspek para pemodal saja tanpa mempertimbangkan aspek buruh, kemanusiaan, dan masayrakat marginal lainnya. Untuk itu, islam memberikan aturan kepada umat islam untuk saling membantu dan tolong menolong. Dalam islam memang terdapat istilah kompetisi atau berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti mengesampingkan aspek keadilan dan peduli pada sosial. Hal ini sebagaimana perintah Allah, “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS An-Nur : 56) Zakat, infaq, dan shodaqoh adalah jalan islam dalam menyeimbangkan ekonomi. Yang kaya atau berlebih harus membantu yang lemah dan yang lemah harus berjuang dan membuktikan dirinya keluar dari garis ketidakberdayaan agar mampu dan dapat produktif menghasilkan rezeki dari modal yang diberikan padanya. Tidak Bergantung Kepada Nasib yang Tidak Jelas “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”…” (QS Al-Baqarah : 219) Islam melarang umatnya untuk menggantung nasib kepada hal yang sangat tidak jelas, tidak jelas ikhtiarnya, dan hanya mengandalkan peruntungan dan peluang semata. Untuk itu islam melarang perjudian dan mengundi nasib dengan anak panah sebagai salah satu bentuk aktivitas ekonomi. Pengundian nasib adalah proses rezeki yang dilarang oleh Allah karena di dalamnya manusia tidak benar-benar mencari nafkah dan memakmurkan kehidupan di bumi. Uang yang ada hanya diputar itu-itu saja, membuat kemalasan, tidak produktifnya hasil manusia, dan dapat menggeret manusia pada jurang kesesatan atau lingkaran setan. Untuk itu, prinsip ekonomi islam berpegang kepada kejelasan transaksi dan tidak bergantung kepada nasib yang tidak jelas, apalagi melalaikan ikhtiar dan kerja keras. Mencari dan Mengelola Apa yang Ada di Muka Bumi “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS Al Jumuah : 10) Allah memberikan perintah kepada manusia untuk dapat mengoptimalkan dan mencari karunia Allah di muka bumi. Hal ini seperti mengoptimalkan hasil bumi, mengoptimalkan hubungan dan transaksi dengan sesama manusia. Untuk itu, jika manusia hanya mengandalkan hasil ekonominya dari sesuatu yang tidak jelas atau seperti halnya judi, maka apa yang ada di bumi ini tidak akan teroptimalkan. Padahal, ada sangat banyak sekali karunia dan rezeki Allah yang ada di muka bumi ini. Tentu akan menghasilkan keberkahan dan juga keberlimpahan nikmat jika benar-benar dioptimalkan. Untuk itu, dalam hal ekonomi prinsip islam adalah jangan sampai manusia tidak mengoptimalkan atau membiarkan apa yang telah Allah berikan di muka bumi dibiarkan begitu saja. Nikmat dan rezeki Allah dalam hal ekonomi akan melimpah jika manusia dapat mencari dan mengelolanya dengan baik. Larangan Ekonomi Riba “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah :278)
ANSOR
Prinsip Islam terhadap ekonomi yang lainnya adalah larangan riba. Riba adalah tambahan yang diberikan atas hutang atau transaksi ekonomi lainnya. Orientasinya dapat mencekik para peminam dana, khususnya orang yang tidak mampu atau tidak berkecukupan. Dalam Al-Quran Allah melaknat dan menyampaikan bahwa akan dimasukkan ke dalam neraka bagi mereka yang menggunakan riba dalam ekonominya. Transaksi Keuangan yang Jelas dan Tercatat Transaksi keuangan yang diperintahkan islam adalah transaksi keuangan yang tercatat dengan baik. Transaksi apapun di dalam islam diperintahkan untuk dicatat dan ditulis diatas hitam dan putih bahkan ada saksi. Dalam zaman moderen ini maka ilmu akuntansi tentu harus digunakan dalam aspek ekonomi. Hal ini tentu saja menghindari pula adanya konflik dan permasalahan di kemudian hari. Manusia bisa saja lupa dan lalai, untuk itu masalah ekonomi pun harus benar-benar tercatat dengan baik. Hal ini sebagaimana Allah sampaikan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (QS Al Baqarah : 282) Keadilan dan Keseimbangan dalam Berniaga “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS Al Isra : 35) Allah memerintahkan manusia ketika melaksanakan perniagaan maka harus dengan keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga menjadi dasar untuk ekonomi dalam islam. Perniagaan haruslah sesuai dengan neraca yang digunakan, transaksi keuangan yang digunakan, dan juga standar ekonomi yang diberlakukan. Jangan sampai ketika bertransaksi kita membohongi, melakukan penipuan, atau menutupi kekurangan atau kelemahan dari apa yang kita transaksikan. Tentu saja, segalanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Beberapa Persoalan Ekonomi dalam Pandangan Islam Bank Asuransi Bank Syariah Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, kegiatan lainya yang sesuai dengan syariah. Fungsi Bank Syariah Menajemen Inverstasi Investasi Jasa-Jasa Keuangan Jasa Sosial Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional Bank Syariah Bank Konvensional Berdasarkan margin keuntungan Memakai perangkat bunga dan atau bagi hasil Profit dan falah oriented Profit oriented Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur Users of real funds Creator of money supply Melakukan investasi-investasi yang halal saja Investasi yang halal dan haram Pergerakan dan penyaluran dana harus sesuai dengan syariah islam Tidak terdapat dewan pengawas atau sejenisnya. yang diawasi oleh dewan pengawas syariah Asuransi Landasan Hukum Asuransi dalam Islam 1. Al-qur’an Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr (59) yang Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah danhendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untukhari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dalam Surat An-Nisa (4):58 yang Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanatkepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabilamenetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan denganadil ” 2. Al-Hadits Hadits Riwayat Muslim yang artinya :“Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia,niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya”. 3. Kaidah Fiqih Dalam kajian fiqih terdapat sebuah kaidah yang menyatakan bahwa dalam setiap kegiatan dan transaski mu’amalah seperti ; jual beli, sewa, jasa dan lain sebagainya diperbolehkan, kecuali yang secara tegas dinyatakan haram dalam hukum Islam Artinya: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Konsep Asuransi Syariah Tauhid (Unity) Keadilan (Justice) Tolong Menolong (Ta’awun) Kerjasama (Cooperation) Amanah (Trustworthy) Kerelaan (Al-Ridha) Kebenaran (A-Haq) Larangan Riba Larangan Maisir (Judi) Larangan Gharar (Ketidakpastian)
I QBAL
Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional Keterangan Akad/Prinsip Investasi Dana Kepemilikan Dana Pembayaran Klaim Keuntungan Sumber Hukum
Asuransi Syariah Tolong-Menolong (Takafuli) Sesuai dengan prinsip syariah dan bagi hasil Dana premi merupakan milik peserta asuransi. Perusahaan hanya pengelola amanah Diambil dari rekening Tabarru’ Keuntugan bersama dengan hasil bagi Al-Qur’an, Sunnah, Ijtima’, Qiyas
Asuransi Konvensional Jual Beli (Tadabuli) atau Mufawadhah Bebas dan berbasis bunga Dana premi merupakan sepenuhnya milik perusahan, dan bebas diinvestasikan oleh perusahaan Dari dana perusahaan Keuntungan perusahaan Hukum Posistif
Bekerja sebagai kewajiban Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhanmanusia baik baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun social. Kerja juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan oleh seseorang sebagai profesi untuk mendapatkan penghasilan. Atau sebagai suatu proses untuk menghasilkan pendapatan atau penghasilan yang mana pendapatan atau penghasilan yang didapatnya dari bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari agar sesorang dapat hidup sejahtera. Allah telah memerintahkan atau mewajibkan manusia dimuka bumi ini untuk bekerja semenjak Nabi Adam hingga Rasulullah SAW, perintah ini tetap berlaku semua orang tanpa membeda- bedakan pangkat status, dan jabatan seseorang. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran sebagai berikut: “ Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyakbanyaknya supaya kamu beruntung.”(QS. Al-Jum’ah : 10) Allah memang telah berjanjiakan memberikan rizki kepada semua makhluq-Nya. Akan tetapi janji ini tidakdengan “cek kosong”, seseorang akan mendapatkan rizki kalau ia mau berusaha, berjalandan bertebaran di penjuru-penjuru bumi. Karena Allah menciptakan bumi danseisinya untuk kemakmuran manusia. Siapa yang mau berusaha dan bekerja ialah yangakan mendapat rizki dan rahmat dari Allah. Seseorang yang bekerja keras akan dapat mengubah nasib dirinya menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagimana firman Allah SWT: “ Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS: Ar ra’d:11) Seseorang yang bekerja keras akan mendapat penghasilan atau pendapatan yang didapat darinya bekerja yang mana hal itersebut dinamakan upah kerja. upah kerja harus diberikan kepada pekerja setelah mereka melakukan pekerjaannya atau sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan majikannya. sebagimana yang ditelah disabdakan Rasulullah SAW: “ Telah menceritakan kepada kami al-Abbas bin al-Walid al-Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Wahab bin Athiah alSalami berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah) Pada HR. Ibnu Majah diatas dijelaskan bahwa diperintahkan memberi upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya. Maksudnya disini adalah, bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesai pekerjaanya, dan upah tersebut harus diberikan tepat waktu sesuai perjanjian kerja yang dilakukan diawal. jika seoarng majikan tidak memberikan upah kepada pekerja mereka telah melakukan dosa besar dan akan dimusuhi oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “ Telah menceritakan kepada Yusuf bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada Yahya bin Sulaim dari Isma’il bin Umayyah dari Sa’id dari Abu Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “Allah berfirman : Ada tiga golongan (orang ) yang aku (Allah) musuhi (perangi) pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah (memberi gaji) atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya) dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak membayar upah.” (HR. Bukhari) Hadist tersebut menjelaskan bahwa ada tiga golongan orang yang Allah musuhi pada hari kiamat yaitu orang yang berjanji memberi upah tapi mengingkarinya, orang yang menjual orang yang merdeka kemudian memakan uangnya, dan orang yang tidak membaya upah para pekerja. Perbuatan seperti ini merupakan perbuatan dzalim yang termasuk dosa besar. Selain itu, konteks upah dalam hal ini adalah penentuan upah yang akan diterima oleh pekerja. Seorang majikan tidak boleh bertindak kejam kepada pekerja dengan menghilangkan hak yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karenanya kita sebagai manusia yang hidup dimuka bumi ini jangan bermalas- malas, bekerjalah keraslah agar menjadi orang yang berhasil dan sukses dan hidup kita bahagia dan sejahtera. jangan gantungkan hidup kita kepada orang lain, hiduplah kita sebagai seorang yang mandiri. Dan ingatlah jika kalian bekerja, bekerjalah yang tetap berada diajan Allah.
1.
2.
Menjaga Kedisiplinan Jam Kerja Kedisiplinan jam kerja disini tidak hanya tepat waktu pada saat kehadiran di tempat kerja dan selesai kerja, namun benarbenar mengalokasikan jam kerja sesuai dengan job (pekerjaan) yang menjadi bidang tugasnya, dan waktunya pun tidak digunakan untuk kegiatan lain yang bukan bidang tugasnya. Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad (mantan rektor Universitas Islam Madinah) berkata, “Wajib bagi setiap pegawai atau pekerja untuk menyibukkan diri di saat jam kerja dengan pekerjaan yang memang merupakan tugasnya. Tidak boleh menyibukkan diri dengan tugas lain yang bukan pekerjaan yang wajib dia tunaikan. Kemudian beliau melanjutkan, “Janganlah dia menyibukkan jam kerjanya atau sebagian jam kerjanya untuk suatu kepentingan tertentu dan tidak pula kepentingan yang lainnya apabila kepentingan tersebut tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau tugasnya. Karena sesungguhnya jam kerja hakikatnya bukan milik pegawai atau pekerja akan tetapi jam kerja adalah semata-mata untuk pekerjaan yang memang menjadi bidang tugasnya yang dia diberi gaji sebagai bentuk imbalan atas pekerjaan tersebut.” (Kaifa Yuaddi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hlm. 11) Lalu bagaimana dengan sebagian mereka yang sampai keluyuran (keluar dari tempat kerja) menuju hotel, tempat-tempat hiburan, dan pusat perbelanjaan pada saat jam kerja?! Sebagaimana seorang pegawai atau pekerja ingin mendapatkan gaji yang penuh dan tidak mau dipotong atau dikurangi sedikitpun dari gaji tersebut maka hendaknya diapun tidak memotong atau mengurangi jam kerjanya dengan melakukan pekerjaan lain selain bidang tugasnya. Tidak Menerima Suap Wajib atas setiap pegawai atau pekerja untuk memiliki sifat ta’affuf (menjaga harga diri), kemuliaan jiwa, sifat qana’ah (merasa cukup) dan menjauhkan diri dari perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah seperti menerima suap sekalipun diistilahkan dengan hadiah atau yang populer dengan sebutan gratifikasi. Sebab dengan menerima suap atau hadiah atau gratifikasi akan mendorongnya melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung tidak amanah. Di dalam sunnah Rasulullah, ada beberapa hadits yang menunjukkan larangan bagi pegawai atau pekerja untuk menerima suap atau hadiah atau gratifikasi. Disebutkan oleh Abu Humaid as-Saidi bahwa dahulu Rasulullah mengangkat seorang dari bani Asad yang bernama Ibnu Lutbiyah sebagai pegawai pengumpul zakat. Tatkala sampai dihadapan Rasulullah untuk melaporkan hasil kerja, dia berkata, “Ini adalah harta zakat, aku serahkan kepada engkau adapun ini adalah hadiah dari seseorang untukku.”
GUNTUR
Maka Rasulullah pun naik ke atas mimbar, memuji dan menyanjung Allah kemudian bersabda, “Bagaimana keadaan orang yang aku utus untuk (mengumpulkan zakat) dengan mengatakan, ‘Ini adalah harta zakat, aku serahkan kepada engkau adapun ini adalah hadiah dari seseorang untukku’, Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya sambil menunggu apakah ada orang yang memberikan hadiah kepadanya ataukah tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian menggelapkan sesuatu dari harta zakat melainkan kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memikul unta yang digelapkannya itu melenguh-lenguh di atas lehernya atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik.” (HR. Muslim no. 3413 dari shahabat Abu Humaid as-Saidi) 3.
Menyelesaikan Pekerjaan Dengan Tertib Termasuk sikap adil dalam bekerja adalah menyelesaikan setiap pekerjaannya dengan tertib dimulai dari pekerjaan yang awal kemudian berikutnya sampai yang terakhir. Yang demikian ini akan memberikan kepuasan hati baik bagi si pegawai atau pekerja maupun bagi orang yang memberikan pekerjaan tersebut. Jangan mendahulukan pekerjaan yang terakhir atau mengakhirkan pekerjaan yang pertama. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ketika Nabi sedang menceritakan suatu kaum di sebuah majelis, datanglah seorang arab badui dan langsung berkata, “Kapan datangnya hari kiamat?” Nabi tidak menjawab pertanyaan tersebut dan tetap melanjutkan ceritanya. Sampai ada yang mengira bahwa beliau mendengar ucapannya namun tidak menyukai ucapan tersebut atau beliau memang tidak mendengar ucapannya. Tatkala beliau telah selesai bercerita barulah beliau menjawab pertanyaan orang tadi. (HR. al-Bukhari no. 57 dari shahabat Abu Hurairah) Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Nabi tidak menjawab pertanyaan orang tersebut melainkan setelah menyelesaikan cerita tentang suatu kaum, karena orang tersebut datang belakangan.
Bekerja Yang Bernilai Ibadah Bekerja yang mempunyai nilai ibadah, tentunya dapat dilihat dari dampak kebaikan yang diperoleh. Kebaikan ini bisa berupa kepercayaan yang diberikan oleh perusahaan untuk memegang jabatan tinggi di perusahaan, penghasilan yang fantastis, berbagai fasilitas yang terkait dengan jabatan dan prestasi dan lain sebagainya. Pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman, Setiap muslim diperintahkan untuk makan yang halal-halal saja serta hanya memberi dari hasil usahanya yang halal, agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru menimbulkan kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis barang yang memamukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengan-dung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri, merampok, menipu dan memanipulasi dan begitu pula seluruh pekerjaan yang termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual anggur kepada produsen arak, menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bekerja di tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia dan lain sebagainya. Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan. Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim) Niat sangat penting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu. Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari kewajibankewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya. Akhlak Bekerja dalam Islam Diniatkan Ikhlas Karena Allah SWT (Lillahi Ta’ala Tidak hanya ibadah yang harus diniatkan semata-mata karena mengharap ridha dari Allah SWT, akan tetapi dalam bekerja juga harus meluruskan niat yang hanya boleh ditujukan semata-mata untuk ridha Allah SWT. Artinya kita memahami bahwa bekerja tidak melulu soal mencari kegiatan, uang dan keuntungan tapi lebih daripada itu, adalah kewajiban seorang manusia kepada Allah SWT untuk bekerja, untuk mencari nafkah, serta untuk menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah Bekerja Dengan Tekun Dan Sungguh-Sungguh (Itqon) Totalitas dalam bekerja sangatlah penting dan menjadi hal yang mendasar, karena dari sini terlihat seberapa profesional kita dalam melakukan pekerjaan. Esensi dari bekerja adalah bagaimana kita memenuhi kewajiban-kewajiban kita dalam pekerjaan yang kita lakukan seperti kehadiran yang tepat pada waktunya, menyelesaikan dan menuntaskan pekerjaan yang kita tanggung, tidak menunda-nunda terlebih mengabaikan pekerjaan yang kita tanggung. Mengutamakan Kejujuran Dan Amanah Dalam Bekerja Setiap pekerjaan yang kita lakukan pastinya butuh pertanggungjawaban baik dihadapan Allah SWT maupun di hadapan manusia. Oleh karena itu menjaga keridhan Allah dan kepercayaan konsumen atau klien sangatlah penting karena kesuksesan kita juga bergantung dari kepuasan dan kepercayaan mereka dengan cara menjadi pekerja yang jujur dan amanah.
AROO’
Memahami Dan Menerapkan Etika Sebagai Seorang Muslim Islam adalah agama yang memiliki etika dan adab yang sangat menjunjung tinggi kesopanan maupun kehormatan seseorang. Dalam bekerja, etika sangat penting dilakukan agar dalam bekerja kita mencerminkan seorang muslim yang santun dalam berbagai hal mulai dari tutur kata dalam memilih bahasa saat berbicara, bertegur sapa, berpakaian, berinteraksi bergaul dengan rekan maupun klien, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan kegiatan lainnya. Tetap Memegang Teguh Prinsip-Prinsip Syariah seroang muslim juga wajib untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang digelutinya. Semakin pesatnya kemajuan jaman, prinsip-prinsip syarah dalam bekerja memang akan semakin sulit karena berkaitan dengan kemajuan, keuntungan dan penghasilan lebih dari pekerjaan yang kita lakukan namun hal ini menjadi tantangan bagi iman seorang pekerja supaya senantiasa meningkatkan keimanan dan mempertahankan kehalalan suatu pekerjaan serta meninggalkan hal-hal yang haram. Dengan memegng teguh prinsip-prinsip syariah, kita akan terhindar dari dosa dan harta yang kita dapatkan akan lebih berkah tentunya.