Sejarah Kelas 11 Dampak Imperialisme dan Kolonialisme terhadap Bangsa Indonesia dan Reaksi Bangsa Indonesia dalam Berbagai Bidang Siapa yang suka baca berita? Bentuk karya sastra seperti cerpen, esai, dan yang lain, sejatinya, merupakan peninggalan “tidak langsung” dari zaman pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1659, Belanda membuat surat kabar pertama yang diberi nama Bataviasch Courant.Surat kabar ini lah yang akhirnya menjadi wadah kita untuk berekspresi secara tulisan. Baik untuk membagi berita, hingga penyebaran agama kristen. Secara tidak langsung juga, kehidupan sosial budaya kita terpengaruh olehnya. Nah, kamu
mau tahu nggak apa saja dampak imperialisme dan kolonialisme terhadap Indonesia di bidang lain? Yuk kita bahas satu per satu.
Disadari atau tidak, bentuk pemerintahan kita sekarang juga merupakan “warisan” dari pemerintahan kolonial Belanda. Zaman dahulu, sistem kepemimpinan kita bersifat pamong praja. Jabatan yang sifatnya turuntemurun dan upetinya didapat dari rakyat. Artinya, kalau kamu baru bisa menjadi "penguasa" kalau kamu keturunan raja. Kalau tidak, ya tidak. Daendels dan Raffles kemudian mengubahnya menjadi pemerintahan modern. Bupati dijadikan pegawai negeri dan digaji. Bagi mereka, bupati adalah alat kekuasaan. Ya, baik Belanda maupun Inggris melakukan intervensi terhadap kerajaan. Alhasil, elit kerajaan kurang leluasa dalam pergerakan politik. Imperialisme dan kolonialisme yang pernah mendera Indonesia juga mengakibatkan hal lain: aktivitas pemerintahan berpusat di jawa. Hal ini akhirnya terbawa sampai sekarang. Meskipun saat ini kita sudah melakukan
desentralisasi, tapi tetap terasa bahwa wilayah Jawa seakan adalah pusat pemerintahan. Tentu, saat pemerintah kolonial Belanda menguasai Indonesia, tidak sedikit perlawanan yang menghadang. Salah satunya adalah perlawanan ciamik lewat dunia politik. Kebanyakan rakyat bergerak melalui organisasi dalam maupun luar negeri.
Masa awal pergerakan nasional (1908 - 1920) berdiri organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Masa radikal/nonkooperasi (1920 - 1930), berdiri organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Masa moderat/kooperasi (1930 - 1942), berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan Gapi. Di samping itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.
Organisasi pergerakan Nasonal
Sayangnya, kedatangan kolonial memperburuk sosial budaya kita. Adanya Belanda membuat kita terbiasa hidup dalam kotak-kotak masyarakat. Mereka, dengan sengaja membuat kasta antargolongan. Buat mereka, bangsa eropa adalah yang tertinggi. Disusul Asia, Timur Jauh, dan, kasta terendah adalah kaum pribumi. Tidak hanya itu, penindasan dan pemerasan secara kejam juga terjadi. Upacara adat di istana-istana kerajaan dihilangkan. Merka menggantinya dengan tradisi pemerintahan Belanda.
Kebiasaan pemerintah Kolonial menggunakan bahasa Belanda, di sisi lain, membawa pengaruh tersendiri. Sedikit banyak kita punya bahasa serapan yang berasal dari bahasa Belanda. Kantor yang berasal dari kata “Kantoor”. Dan koran yang berasal dari kata “krant”. Pengaruh lain dari Belanda ada pada karya sastra kita. Belanda yang memperkenalkan surat kabar pada tahun 1659 tentu membantu dalam penyebaran informasi. Bahkan, penyebaran Katolik dan Protestan juga dapat ditemui dari koran.
Karena tujuan Belanda di Indonesia untuk mencari rempah-rempah, mereka harus membuat infrastruktur untuk mengangkut pasokan bahan makanan. Makanya, mereka punya andil dalam pembuatan pembangunan rel kereta dan jalan raya. Bahkan mereka juga membangun waduk dan saluran irigasi. Selain itu. Mereka juga membangun industri pertambahan dengan membuka kilang minyak bumi di Tarakan, Kalimantan Timur. Oke, mungkin paragraf di atas membuat kamu merasa kalau “Belanda itu baik” karena membangun infrastruktur dan perekonomian kita. Tapi, satu hal yang perlu diingat adalah, cara mereka memperlakukan rakyat kita. Kebijakan tanam paksa dan ekonomi liberal yang mereka bentuk membuat rakyat Indonesia dipaksa menjadi penghasil bahan mentah aja. Alhasil, kita tidak punya jiwa “Entrepreneur”. Lha, wong disuruh menanam pala terus. Yah, monopoli dagang yang dibuat VOC juga membuat perdagangan Nusantara di kancah internasional jadi mundur. Karena kita cuman tahu bikin bahan mentah, tapi tidak tahu cara mengolah lebih lanjut. Bentuk perlawanan Rakya Indonesia terhadap Penjajah
Di bidang pendidikan, Pemerintah Kolonial berhasil memanfaatkan rakyat kita untuk dijadikan pegawai administrasi yang terdidik, terampil, tapi dihargai murah. Secara pendidikan formal, Belanda menyusun kurikulum pengajarannya sendiri sampai abad ke-19. Makanya, ada kecenderungan politik dan kebudayaan yang dimasukkan melalui pendidikan. Masalahnya, akses untuk pendidikan ini dibatasi oleh mereka. Belanda lagi-lagi membuat sekat dan kasta. Karena mereka takut kalau rakyat kita terlalu pintar, kita bisa bersatu untuk menggulingkan kekuasaan mereka. Makanya, hanya orang-orang "berada" yang bisa masuk. Seperti keturunan raja, bangsawan, dan pengusaha kaya.
Lama-kelamaan, hal ini membuat sebagian kalangan menjadi geram. Alhasil, mulai bermunculan akademisi yang mementingkan pendidikan di Indonesia. Mulai dari bedirinya Budi Utomo. Masuknya pendiidikan berbasis agama seperti Muhammadiyah. Dan, tentu saja, lewat bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Perguruan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Perguruan ini menjadi aktualisasi dari perjuangan Ki Hajar yang bercita-cita membangun
manusia Indonesia melalui bidang pendidikan. Ki Hajar percaya, pendidikan dapat menjadi landasan bagi perjuangan untuk mencapai manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batin. Alasan Pendirian Taman siswa: 1. Terbatasnya akses pendidikan bagi bangsa Indonesia pada masa kolonialisme Belanda 2. Sekolah-sekolah yang ada yang didirikan oleh pemerintah penjajah pun kurang menguntungkan bagi bangsa ini. 3. Pendidikan pemerintah kolonial tidak cocok untuk bangsa Indonesia karena bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Pendidikan seperti ini tidak akan menghasilkan manusia yang bermartabat dan berkepribadian. Perguruan Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Perguruan ini kemudian berkembang luas baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa, seperti Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon. Berdirinya lembaga pendidikan yang mengajarkan rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air ini segera menjadi tandingan bagi pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Bahkan sekolah ini dianggap menjadi ancaman karena dianggap menanamkan benih-benih perlawanan dan pembangkangan. Oleh karena itu, tidak sedikit rintangan yang dihadapi Ki Hajar dalam mengembangkan perguruannya. Salah satunya dengan keluarnya Ordonansi Sekolah Liar pada 1932 oleh pemerintah kolonial Belanda. Berkat kegigihan Ki Hajar memprotes kebijakan tersebut, ordonansi yang isinya mengekang sekolah-sekolah non-pemerintah tersebut dicabut. Setelah kemerdekaan, Taman Siswa berusaha untuk lebih meningkatkan peranannya di Indonesia. Kongres Taman Siswa di tahun 1946 merumuskan Panca Dharma Taman Siswa yang merupakan lima asas dasar Perguruan Taman Siswa, yaitu asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebangsaan, asas kebudayaan, dan asas kemanusiaan. Perguruan Taman Siswa memiliki pedoman bagi seorang guru yang disebut Patrap Triloka. Konsep yang sangat populer ini dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori dan Rabindranath Tagore. Unsur-unsur dari Patrap Triloka yang menjadi dasar kerja seorang guru sebagai berikut:
1. Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan) 2. Ing madya mangun karsa (di tengah karsa/kemauan/semangat) 3. Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
membangun
Ketiga prinsip tersebut hingga saat ini masih tetap menjadi panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.