Materi Kualitas Air 3.10.docx

  • Uploaded by: anggel
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Materi Kualitas Air 3.10.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,212
  • Pages: 19
PARAMETER KUALITAS AIR 1. Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air dibagi menjadi tiga, yaitu parameter fisika, kimia dan biologi. a. Parameter fisika Parameter fisika adalah parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas air yang terkait dengan sifat fisika air seperti suhu, kecepatan arus, kecerahan, tinggi air (kedalaman), warna air, salinitas, total padatan terlarut atau total dissolved solids (TDS), total padatan tersuspensi atau total suspended solids (TSS), intensitas cahaya, debit air, dan pasang surut. Parameter fisika meliputi: 1) Suhu. Suhu menyatakan ukuran derajat panas atau dinginnya suatu benda (air). Satuan suhu adalah derajat Celcius (°C), Fachrenheit (°F), Kelvin (°K), atau Reamur (°R). 2) Kecepatan arus. Kecepatan arus adalah gerakan massa air dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara horisontal (gerakan ke samping) dengan satuan m/s. 3) Kecerahan. Kecerahan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. 4) Kedalaman. Kedalaman adalah suatu parameter yang menunjukkan tinggi rendahnya air dengan satuan meter (m). 5) Warna air. Warna air adalah parameter yang menunjukkan warna perairan yang umumnya dipengaruhi oleh jenis substrat atau biota yang berada dalam perairan tersebut seperti plankton dan lain-lain. 6) Salinitas. Salinitas adalah konsentrasi total ion di perairan biasanya dinyatakan dengan satuan g/L atau ppt (part per thousand) 7) Total padatan terlarut atau total dissolved solids (TDS), Total padatan terlarut merupakan parameter yang menyatakan semua bahan organik dan anorganik dalam bentuk molekular, ion atau mikrogranular (koloid) yang terkandung dalam air. Material padatan terlarut ini dapat berupa karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium, magnesium, natrium, ion-ion organik, dan lain-lain. Parameter TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena mewakili jumlah ion di dalam air. 8) Total padatan tersuspensi atau total suspended solids (TSS). Total padatan tersuspensi atau total suspended solids (TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, besi sulfida, ganggang, bakteri dan jamur. 9) Intensitas radiasi cahaya matahari. Cahaya matahari adalah sumber energi utama bagi kehidupan seluruh makhluk hidup didunia.Intensitas radiasi adalah suatu nilai yang menunjukkan jumlah pancaran radiasi per detik pada suatu posisi. Hasil pengukuran intensitas radiasi biasanya menggunakan satuan cps(counts per second) yaitu jumlah radiasi per detik, atau cpm (counts per minute) yaitu jumlah radiasi per menit. 10) Debit Air. Debit air dalam hidrologi adalah sejumlah besar volume air yang mengalir dengan sejumlah sedimen padatan (misal pasir), mineral terlarut (misal magnesium klorida), dan bahan biologis (misal alga) yang ikut bersamanya melalui luas penampang melintang tertentu. Istilah debit dalam hidrologi memiliki sinonim dengan debit aliran (stream flow) yang digunakan pakar hidrologi untuk sungai dan debit keluaran (ouflow) yang digunakan dalam sistem penampungan air. 11) Pasang Surut. Pasang surut laut adalah naik atau turunnya tinggi permukaan perairan atau samudera yang disebabkan oleh pengaruhgaya gravitasi bulan dan matahari. Ada tiga sumber gaya yang saling berinteraksi: laut, matahari dan bulan. Pasang laut menyebabkan perubahan kedalaman perairan dan mengakibatkan arus pusaran yang dikenal sebagai arus pasang, sehingga perkiraan kejadian pasang sangat diperlukan dalam navigasi pantai. Kondisi pasang air laut sangat diperlukan terutama untuk pengisian tambak budidaya organisme air laut atau untuk mencampur air tawar saat pengisian tambah budidaya organisme air payau. Kondisi surut air laut sangat diperlukan terutama untuk memudahkan saat panen di tambak. b. Parameter kimia

Parameter kimia meliputi kandungan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), pH, Ammonia, Nitrat, Nitrit, Total Ammonia Nitrogen (Tan), Total Organic Matter (TOM), Fosfor, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Alkalinitas, Kesadahan, Co2 dan lain-lain. Parameter kimia meliputi: 1) Dissolved Oxygent. Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari aktivitas fotosintesis dan difusi dari atmosfer/udara dengan satuan mg/L atau ppm (part per million). 2) pH (Power of Hydrogen atau Poisson Hard). pH adalah suatu ekpresi dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air. Besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. 3) Chemical OxygentDemand. Chemical OxygentDemand adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh biota perairan dalam reaksi kimia dengan satuan mg/L atau ppm. 4) Biochemical OxygentDemand. Biochemical oxygen demandadalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh mikroorganisme perairan dengan satuan mg/L atau ppm. 5) CO2 (Karbondioksida). Karbondioksida adalah senyawa yang dihasilkan oleh aktivitas respirasi biota air biasanya dinyatakan dengan satuan mg/L atau ppm. 6) Amonia (NH4). Ammonia adalah senyawa nitrogen yang berasal dari sisa metabolisme kebanyakan organisme akuatik dan hasil dekomposisi bahan organik yang mengandung bahan nitrogen dalam air oleh bakteri. 7) Nitrit (NO2-). Nitrit adalah hasil dari proses oksidasi ammonia oleh bakteri Nitrosomonas dalam proses nitrifikasi. 8) Nitrat (NO3-), Nitrat adalah hasil oksidasi nitrit oleh bakteri Nitrobacter dalam proses nitrifikasi 9) Total ammonia nitrogen (TAN). Di dalam air ammonia bisa terdapat dalam dua bentuk tergantung pada pH air yaitu NH4+ (ammonia terionisasi, karena memiliki ion positif) dan NH3 (tak terionisasi, karena tidak memiliki ion). Total ammonia nitrogen adalah gabungan dari dua bentuk senyawa ammonia tersebut. 10) Total Organic Matter (TOM). Total organik matter atau sering disebut bahan organik total merupakan kandungan bahan organik total di perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid. 11) Alkalinitas. Alkalinitas adalah suatu parameter kimia perairan yang menunjukan jumlah ion karbonat dan bikarbonat biasanya dinyatakan dalam mg/l CaCO3. 12) Kesadahan. Kesadahan adalah kandungan mineral tertentu di dalam air, umumnya yaitu ionkalsium (Ca) dan magnesium(Mg) dalam bentuk garam karbonat. Air sadah atau sering disebut dengan air keras adalah air yang memiliki kadar mineral yang tinggi. 13) Hidrogen Sulfida (H2S). H2S adalah gas beracun yang dihasilkan dari hasil penguraian atau perombakan bahan organik oleh bakteri. c. Parameter biologi Parameter biologi adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kepadatan biota di dalam air. Biota tersebut dapat berupa plankton, bentos, perifiton, bakteri maupun biota jenis lainnya. Tetapi dalam dunia perikanan biota air yang sering diukur adalah jenis plankton dan bakteri baik biota yang menguntungkan maupun yang merugikan. Parameter biologi meliputi: 1) Plankton. Plankton adalah mikroorganisme yang hidup melayang di perairan, mempunyai gerak sedikit sehingga mudah terbawa oleh arus. Plankton merupakan salah satu komponen utama dalam sistem rantai makanan atau food chain dan jaring makanan atau food web (Ferianti, 2007). Plankton dibagi menjadi dua jenis yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) dan zooplankton (plankton hewan). 2) Bakteri. Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak mempunyai selubung inti), uniselluler dan berukuran renik (mikroskopis). Bakteri merupakan organisme yang paling banyak jumlahnya dan lebih tersebar luas dibandingkan mahluk hidup yang lain. Bakteri ada yang menguntungkan tetapi ada pula yang merugikan. Bakteri yang menguntungkan diantaranya adalah yang berasal dari golongan Bacillus sp, Nitrosomonas, Nitrobacter, dan lain-lain. Sedangkan beberapa jenis bakteri yang dikenal merugikan karena dapat menyebabkan penyakit pada organisme budidaya antara lain adalah Vibrio harveyi atau Aeromonas hydrophyla.

3) Bentos. Bentos merupakan kelompok organisme yang tinggal di dalam atau di permukaan dasar laut atau dasar perairan yang dikenal sebagai zona bentik. 4) Nekton. Nekton adalah organisme yang hidup di kolom air yang bergerak secara aktif sehingga gerakannya kurang dipengaruhi oleh gerakan arus bahkan dapat menantang gerakan arah arus secara bebas serta migrasi tergantung kehendaknya. 5) Neuston. Neuston adalah organisme yang tidak melekat pada subtrat namun biasanya ditemukan di atas atau di bawah film air (batas antara air dan udara), termasuk di dalamnya adalah tumbuhan terapung. Hewan yang hidup di atas lapisan film air disebut epineuston sedangkan yang hidup di bawah film air disebut hyponeuston. 6) Perifiton. Perifiton adalah organisme yang tersangkut atau melekat pada substrat yang dapat berupa batang dan tumbuhan yang berakar atau ada juga yang bergerak lurus ke dasar (Odum, 1971). Menurut Webbel (1979) berdasarkan tipe subtrat yang di hinggapinya periphyton di klasifikasi sebagai berikut: a) Epilithic adalah periphyton yang menempel pada batu b) Epipelic adalah periphyton yang menempel pada permukaan sedimen c) Epiphitic adalah periphyton yang menempel pada permukaan daun atau batang tumbuhan d) Epizolic adalah periphyton yang menempel pada permukaan hewan e) Episamic adalah periphyton yang menempel pada permukaan pasir 2. Hubungan timbal balik antar berbagai parameter kualitas air a. Hubungan oksigen terlarut dengan suhu Oksigen terlarut (DO) dibutuhkan oleh hampir semua organisme akuatik untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan reproduksi. Di samping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi senyawa-senyawa anorganik dalam proses aerobik (Salmin, 2005). Konsentrasi DO berkaitan erat dengan suhu di perairan, karena titik jenuh kelarutan oksigen terlarut sangat ditentukan oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air maka semakin rendah kelarutan oksigen. (Effendi, 2003). Pada saat musim kemarau, kelarutan oksigen semakin rendah, selain karena suhu juga karena volume aliran air yang berkurang. Selain itu jika volume limbah tidak berkurang maka aktivitas penguraian bahan limbah oleh mikroorganisme juga meningkat sehingga meningkatkan konsumsi oksigen. Keadaan ini menyebabkan konsentrasi oksigen menjadi sangat rendah. Sehingga menimbulkan kondisi yang kritis bagi organisme air (Barus,2001) Tabel 1. Hubungan antara suhu, oksigen, dan nitrogen Suhu Air dalam Nitrogen dalam Oksigen dalam ppm Celcius ppm 23 8,6 14,1 24 8,4 13,9 25 8,2 13,6 26 8,1 13,4 27 7,9 13,2 28 7,8 13,0 29 7,7 12,8 30 7,5 12,6 b. Hubungan ammonia dengan suhu dan pH air Ammonia dalam suatu perairan dapat berasal dari ammonia yang bersumber dari limbah rumah tangga ataupun industri. Di lain pihak bisa berasal dari sisa metabolisme protein oleh organisme akuatik dan mineralisasi bahan organic yang mengandung nitrogen baik dari sisa pakan ataupun feses. Ammonia di

dalam air ada dalam bentuk molekul tidak terionisasi (non disosiasi/unionisasi) yaitu dalam bentuk NH3 dan dalam bentuk ion ammonia (terdisosiasi) yaitu dalam bentuk NH4+. Kedua bentuk ammonia tersebut sangat bergantung pada kondisi pH dan suhu air. Dinding sel tidak dapat ditembus oleh ion ammonia (NH4+), akan tetapi ammonia (NH3) akan mudah didifusi melewati jaringan jika konsentrasinya tinggi dan berpotensi menjadi racun bagi tubuh ikan. Tingkat racun dari ammonia selain karena faktor pH dan ammonia juga dipengaruhi oleh kandungan oksigen di dalam air. Air dengan nilai pH rendah maka yang dominan adalah ammonium (NH4+), sebaliknya bila nilai pH tinggi yang dominan adalah ammonia (NH3) yang merupakan bentuk yang paling beracun dari ammonia. Tabel 2. Proporsi ammonia dari total ammonia berdasarkan kondisi suhu dan pH air SUHU AIR ( 0C) PH 24 26 28 30 32 7,0 0,005 0,006 0,007 0,008 0,009 7,2 0,008 0,010 0,011 0,013 0,015 7,4 0,013 0,015 0,018 0,020 0,023 7,6 0,021 0,024 0,028 0,031 0,036 7,8 0,033 0,038 0,043 0,049 0,056 8,0 0,051 0,058 0,066 0,075 0,085 8,2 0,078 0,089 0,101 0,114 0,129 8,4 0,119 0,134 0,151 0,170 0,190 8,6 0,176 0,197 0,220 0,245 0,271 8,8 0,253 0,281 0,309 0,340 0,371 9,0 0,349 0,382 0,415 0,449 0,483 9,2 0,460 0,495 0,530 0,564 0,597 9,4 0,574 0,608 0,641 0,672 0,701 9,6 0,661 0,711 0,739 0,762 0,788 Sumber : Tetrapoik (2011) c. Hubungan antara ammonia dengan CO2 dan pH Tingkat racun dari ammonia juga dapat dipengaruhi oleh keberadaan CO2 bebas di dalam air. Difusi CO2 di dalam insang akan menurunkan nilai pH, yang pada akhirnya akan mengurangi rasio ammonia yang tidak terionisasi. Ammonia dapat berakibat keracunan akut pada konsentrasi 1.0-1.5 mg/l khususnya pada jenis ikan tilapia dan 0.5-0.8 mg/L pada ikan Salmon. Namun masih bisa ditoleransi pada konsentrasi 0.05 mg/L untuk ikan tilapia dan 0.0125 mg/L untuk ikan Salmon (Svobodova, et al, 1993). Pada udang ammonia harus kurang dari 0.003 mg/L dan akan menimbulkan kematian pada konsentrasi lebih dari 0.1 mg/L (Van Wyk & Scarpa, 1999) 3. Kondisi optimal parameter kualitas air dalam proses budidaya perairan Biota air ada yang bisa bertahan hidup dengan konsentrasi oksigen kurang dari 4mg/L tetapi nafsu makannya mulai menurun. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting di dalam kegiatan budidaya perikanan. Aktivitas metabolisme ikan berbanding lurus terhadap suhu air. Semakin tinggi suhu air semakin aktif pula metabolisme ikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Pada suhu rendah, ikan akan kehilangan nafsu makan dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Sebaliknya jika suhu terlalu tinggi maka ikan akan mengalami stress pernapasan dan bahkan dapat menyebabkan kerusakan insang yang permanen. Contoh : suhu air yang optimal untuk pertumbuhan ikan nila berkisar antara 28°C sampai 32°C. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan ikan nila yang dibudidayakan mampu beradaptasi dengan suhu air diantara keduanya, mulai dari 18°C sampai 32°C.

Pada perairan alam dan dalam sistem pemeliharaan ikan, konsentrasi karbondioksida diperlukan untuk proses fotosintesis oleh tanaman air ataupun fitoplankton dalam perairan. Nilai CO2 ditentukan antara lain oleh pH dan suhu. Jumlah CO2 di dalam perairan yang bertambah akan menekan aktivitas pernapasan biota air dan menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin sehingga dapat membuat biota air menjadi stress. Sebagai contoh kandungan CO2 dalam air untuk kegiatan pendederan nila sebaiknya kurang dari 15 mg/L. Seperti yang sudah disuraikan diatas bahwa pada proses fotosintesis dihasilkan oksigen tetapi juga memerlukan karbondioksida, yaitu gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air renik maupuntumbuhan tingkat tinggi untuk melakukan fotosintesis. Bagi tumbuhan hijau jumlahkarbondioksida harus tersedia dalam jumlah yang cukup banyak tetapi jika jumlah tersebutmelampaui batas akibatnya kehidupan hewan-hewan air akan mengalami saat kritis, karenaselain mempengaruhi pH, kadar karbondioksida yang terlampau tinggi dapat menjadi racun bagihewan air secara langsung. Kandungan karbondioksida tinggi juga sangat membahayakan bagiorganisme yang dibudidayakan, karena keberadaannyadalam darah dapat menghambat pengikatan Oksigen terlarut oleh hemoglobin. Ikan nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan dengan alkalinitas rendah atau netral. keberadaan alkalinitas berkolerasi dengan pH. Apabila alkalinitas rendah pH juga akan rendah atau asam, sebaliknya apabila alkalinitas tinggi maka pH cenderung tinggi juga. Pada lingkungan dengan pH rendah pertumbuhannya mengalami penurunan namun demikian ikan nila masih dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5 –10. Derajat keasaman (pH) sebagai salah satu faktor kualitas air memegang peranan sangat penting, karena dapat mengontrol tipe dan laju reaksi beberapa bahan dalam air, tidak semua mahluk hidup bisa bertahan dengan perubahan nilai pH, untuk itu alam telah menyediakan mekanisme yang unik agar perubahan tidak terjadi atau terjadi tetapi dengan cara perlahan. Dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air itu sesuai atau tidak sebagai media hidup ikan. Aktivitas ikan yang memproduksi karbondioksida dari hasil proses metabolisme dapat mengakibatkan penurunan pH air, kolam yang lama tidak pernah mengalami penggantian air akan menunjukkan penurunan pH, yang disebabkan karena peningkatan karbondioksida oleh biota air yang terakumulasi terus-menerus di dalam kolam dan ini dapat menyebabkan daya racun dari ammonia meningkat jika pH air meningkat. Sehingga dapat menyebabkan biota air mengalami kehilangan keseimbangan. Pada sistem budidaya biota air, sisa pakan yang berlebih merupakan salah satu sumber penyebab naiknya kadar ammonia. Namun ammonia yang berlebih tergantung pada retensi nitrogen oleh organisme budidaya, jika kualitas pakan kurang baik makan nitrogen yang diretensi akan rendah dan nitrogen yang terbuang dalam bentuk ammonia akan tinggi. Ammonia dalam bentuk tidak terionisasi merupakan racun bagi kebanyakan biota air, walaupun biasanya biota air dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ammonia akan tetapi perubahan mendadak akan menyebabkan kerusakan jaringan insang. Keberadaan ammonia dalam air dapat menyebabkan berkurangnya daya ikat oksigen oleh sel-sel darah, hal ini akan menyebabkan nafsu makan ikan menurun. Kadar oksigen dan ammonia bisa saling mempengaruhi walaupun tidak berkaitan langsung. Sebagai contoh kadar ammonia yang tinggi pada air dengan kadar oksigen tinggi juga mungkin terjadi dan sebaliknya. Pada kondisi kadar oksigen tinggi akan mendukung proses nitrifikasi sehingga ammonia bisa dikonversi menjadi nitrat dengan catatan bakteri nitrifikasi ada dalam jumlah yang memadai di sistem tersebut. Kadar ammonia harus diupayakan untuk selalu kurang dari 1 ppm, karena konsentrasi ammonia yang lebih dari 1 ppm dapat membahayakan bagi ikan dan organisme budidaya lainya. Sebagai contoh, lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal bagi ikan nila adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14°C–32oC, atau suhu optimal 25oC–30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 14°C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 30°C akan menghambat pertumbuhan ikan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7-8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan payau atau bahkan di air laut dengan kisaran salinitas 0 – 35 g/L. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pendederan.

Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme akuatik antara lain yaitu mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya kelangsungan hidup. Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas dapat menyatakan konsentrasi ion-ion pada air laut seperti sulfat, chlorida, carbonat, natrium, calsium dan magnesium. Salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas semakin besar pula tekanan osmotiknya. Ikan nila merupakan ikan yang biasa hidup di air tawar, sehingga untuk membudidayakan ikan ini di perairan payau atau tambak perlu dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu secara bertahap sekitar 1– 2 minggu dengan perubahan salinitas tiap harinya sekitar 2- 3 ppt agar ikan nila dapat beradaptasi dan tidak stress. Kekeruhan air terlalu tinggi tidak baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang tinggi yang sebabkan oleh plankton sampai dengan tingkat tertentu memang diharapkan, namun bila kekeruhan diakibatkan oleh endapan lumpur yang terlalu tebal dan pekat dapat berakibat negatif pada organisme budidaya. Kandungan lumpur yang terlalu pekat di dalam air akan mengganggu penglihatan ikan dalam air sehingga menjadi salah satu sebab kurangnya nafsu makan ikan. Selain itu benih yang masih berukuran sangat kecil akan terganggu pernafasannya karena lumpur akan ikut terpisah air dan tersangkut dalam insang. Beberapa parameter kuaitas air yang optimal bagi beberapa komoditas perikanan dapat dlihat pada tabel berikut ini. Tabel 3. Data Beberapa Parameter Kualitas Air Yang Optimal Untuk Beberapa Komoditas Penting. Parameter Kualitas Air Debit Jenis DO Ammoni Kedalama NO Suhu Air Salinitas Kecerah Komoditas (mg/L pH ak n Air (°C) (L/deti (g/L) an (M) ) (mg/L) (Cm) k) 1 Lele 24– 6,5 26 9 2 Mas 25– >3 6,7 <0,1 30 8 3 Gurame 245 6,5–7,5 5 - 12 70 28 100 4 Nila 28>5 5 - 10 0 – 35 32 5 Tiram 25- 5,2- 7,8- 0,4-3,1 32-35 4,5Mutiara 30 6,6 8,6 6,5 6 Rumput 8,260 - 80 laut 8,7 7 Patin 266,5-7 28 Parameter kualitas air untuk budidaya dan peralatan pengukuran yang dapat digunakan. No Parameter Parameter Fisika 1 Intensitas cahaya

Peralatan Pengukuran Lux meter

Gambar

No 2

Parameter Suhu

Peralatan Pengukuran termometer

3

Kecerahan

Secchi disk

4

Kekeruhan

turbiditymeter

5

TDS

TDS meter

6

TSS

TSS meter

7

Salinitas

Salinometer/ refraktometer

8

Debit air

current meter

9

Pasang surut

Tiang pancang berskala

10

Kecepatan arus

Current meter

Parameter Kimia 11

Oksigen terlarut

12

Karbondioksida bebas

DO meter/ titrasi

CO2 meter/ titrasi

Gambar

No 13 14 15 16

Parameter Amonia Nitrat Nitrit Fosfat

Peralatan Pengukuran Spektrofotometer

17

pH (derajat keasaman)

pH meter dan kertas pH (pH indikator)

18

Alkalinitas

titrasi

19

Kesadahan

dH meter

Gambar

Parameter Biologi 20

Kelimpahan dan keanekaragaman plankton

Plankton net dan haemocytometer/sadwic k rafter cell

21

Kelimpahan dan keanekaragaman bentos

Eikmen grab dan Peterson grab untuk perairan tergenang Surber untuk air mengalir dengan substrat pasir berbatu Ayakan untuk memisahkan sedimen dengan benthos Metode kerik

22

Kelimpahan dan keanekaragaan perifiton 1. Pengukuran Kualitas Air

Pengamatan dan pengukuran kualitas air langsung di lapangan mampu mendapatkan data yang lebih akurat tentang nilai kualitas air yang diperoleh sehingga analisa yang nantinya akan dilakukan berhubungan dengan kehidupan ikan yang dibudidayakan akan lebih tepat. Namun ada juga beberapa kualitas air yang tidak dapat diukur langsung di lapangan, hal ini berhubungan dengan perlakuan, metode pengukuran kualitas air yang akan diamati, waktu pengamatan, hal ini biasanya terjadi pada pengukuran parameter kimia air atau biologi.

a. Pengukuran parameter fisika 1) Warna air Warna perairan dapat dipakai (tidak selamanya) sebagai parameter apakah suatu perairan sudah tercemar atau tidak. Warna perairan dapat pula dipengaruhi oleh biota yang ada didalamnya, misalnya alga, plankton dan tumbuhan air. Air sungai pada umumnya berwarna bening sampai kecoklatan, hal ini karena dipengaruhi oleh adanya pencucian badan sungai itu sendiri dan kandungan suspensi didalamnya. Warna perairan diukur dengan metode organoleptik, pengamatan dengan kasat mata atau dengan Visual Comparation Method yaitu dengan cara membandingkan air sampel dengan warna standart yang dibuat dari unsur platinum (Pt) dan cobalt (Co). Satuan dari warna adalah unit PtCo. Air sampel yang berasal dari danau dengan warna kuning kecoklatan memiliki nilai warna 200 – 300 PtCo. Semakin dalam kolom air maka akan menunjukkan nilai warna yang semakin tinggi, hal ini disebabkan karena adanya bahan organik yang terlarut di dasar perairan. 2) Intensitas Cahaya Alat yang digunakan adalah Lux meter. Dimana alat tersebut disimpan di atas permukaan air laut kemudian dicatat nilai yang ada pada Lux meter. 3) Suhu Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer yaitu dengan cara mencelupkan sampai 3/4 panjang thermometer ke dalam air. Diusahakan agar tubuh tidak menyentuh thermometer karena suhu tubuh dapat mempengaruhi suhu pada thermometer. Setelah itu didiamkan beberapa menit sampai dapat dipastikan tanda penunjuk skala berada dalam kondisi tidak bergerak. Kemudian menentukan nilai suhu yang ditunjukkan pada termometer tersebut dan mencatat hasilnya. Bila suhu perairan semakin tinggi maka kadar O2 yang terlarut akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya. 4) Kekeruhan Pengukuran parameter kekeruhan dengan menggunaan turbidimeter satuannya NTU. Dasar dari analisis turbidimetri adalah pengukuran intensitas cahaya yang ditranmisikan sebagai fungsi dari konsentrasi fase terdispersi, bilamana cahaya dilewatkan melalui suspensi maka sebagian dari energi radiasi yang jatuh dihamburkan dengan penyerapan, pemantulan, dan sisanya akan ditranmisikan Cara pengukuran parameter kekeruhan alat turbidimetri yakni :  Larutan standar pada botol kecil/botol sampel diletakkan ke dalam alat.  Alat disetting terlebih dahulu, dimana angka yang tertera harus 0 atau dalam keadaan netral, dengan cara memutar tombol pengatur hingga nilai yang tertera pada layar pada turbidimeter sesuai dengan nilai standart.  Botol yang berisi air sampel diaduk dengan cara dibolak-balik agar tidak terjadi endapan  Air sampel dipindahkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 20-30 mL selanjutnya sampel dimasukkan pada tempat pengukuran sampel yang ada pada turbidimeter,  Hasilnya dapat langsung dibaca dan di catat di skala pengukuran kekeruhan yang tertera pada layar dengan jelas.  Pengukuran sampel harus dilakukan sebanyak 3 kali dengan menekan tombol pengulangan pengukuran untuk setiap pengulangan agar pengukuran tepat atau valid, dan hasilnya langsung dirata-ratakan 5) Salinitas Prinsip kerja dari refraktometer sesuai dengan namanya adalah dengan memanfaatkan refraksi cahaya. Salinitas diukur dengan alat refraktometer dengan cara : o Refraktometer yang akan digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan cara meneteskan aquades ke kaca depan refraktometer. o Amati kadar salinitas dari lensa belakang hingga menunjukkan angka 0 dengan sambil memutar bagian kalibrasinya dengan menggunakan obeng kecil di bagian atas refraktometer. o Bersihkan kaca depan refraktometer dengan mengguakan tisu hingga benar-benar bersih sebelum digunakan untuk mengamati kadar salinitas sampel. o Air sampel diambil secukupnya, lalu diteteskan pada kaca depan refraktometer,

o Kemudian diamati melalui lensa belakang, o Penunjukan nilai salinitas pada alat tersebut, dicatat.

Gambar Penggunaan hand refractometer 6) Kecerahan Salah satu cara untuk mengukur kecerahan air dilakukan dengan menggunakan keping Secchi (Secchi-disk), yaitu sebuah keping bulat dengan garis tengah 20 cm yang terbuat dari seng atau lempengan besi dan dicat putih atau hitam-putih yang diberi pemberat. Alat tersebut diturunkan ke dalam air sampai tidak tampak, kedalamannya diukur, kemudian diturunkan lebih dalam lagi. Selanjutnya keping tersebut diangkat kembali dan apabila keping hampir tampak lagi, maka kedalamannya diukur lagi. Harga rata-rata kedua pengukuran tersebut diambil sebagai kecerahan keping secchi. (Secchi disc visibility) dengan satuan sentimeter. Pengukuran kecerahan dilakukan pada pukul 11.00 – 13.00 waktu setempat ketika cuaca sedang cerah, tempat pengukuran tidak terlindung dari sinar matahari. Apabila pada waktu mau dilakukan pengukuran kecerahan, kondisi cuaca mendung maka sebaiknya pengukuran diurungkan.

(b) (a) Gambar 4. Pengukuran kecerahan (a) secchi disk dengan skala pengukuran dan (b) penggunaan secchi disk 7) Kedalaman Pengukuran kedalaman perairan dapat menggunakan tongkat berskala atau meteran tali berskala tergantung dari lokasi sampling. bila kedalaman lebih dari 2 m maka disarankan menggunakan tali berskala. tongkat berskala dapat dibuat sendiri dengan menempelkan meteran pada tongkat kayu. tali berskala juga dapat dibuat sendiri dengan bantuan meteran yang diikat pada pemberat. tujuan digunakan pemberat pada tali adalah supaya tali tidak terbawa arus dan kedalaman yang terukur dalam keadaan tegak dengan dasar perairan. 8) Kecepatan Arus Adanya adukan air yang disebabkan oleh adanya pergerakan air akan menghasilkan oksigen di dalam perairan tersebut. Pada umumnya bila suatu perairan mempunyai arus yang cukup deras maka kadar oksigen yang terlarut juga akan semakin tinggi. Alat : a) Current meter atau benda yang terapung (bola pingpong) b) Roll meter

c) Stop watch d) Tali rafia e) Ranting kayu Cara Kerja : Setiap 100 m perairan tersebut diberi tanda dengan ranting kayu searah aliran air. a) Bola pingpong yang telah diikat dengan tali rafia diletakkan di atas permukaan air berbarengan dengan dijalankannya stop watch. b) Kecepatan gerakan bola tiap 100 m dicatat. c) Percobaan diulangi hingga beberapa kali dan dirata-rata. Perhitungan : 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑟𝑢𝑠 =

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ = ⋯ 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟/𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢𝑘𝑎𝑛

9) Debit air Debit air adalah volume aliran air per satuan waktu. Debit air dipengaruhi oleh luas penampang perairan dan kecepatan arus. Alat : a) Roll meter b) Bandul logam c) Bola pingpong Cara Kerja : a) Diukur lebar dan panjang perairan, lebar dan panjang perairan tersebut dibagi rata untuk beberapa titik. b) Kemudian pada tiap titik diukur kedalamannya dengan bandul logam untuk kemudian dibuat gambar penampang perairan dan diukur luas perairan tersebut (A m2). c) Dihitung juga kecepatan arus air dengan mengunakan bola pingpong. Perhitungan : Q = A x V A = luas penampang (luas x dalam) V = kecepatan arus 10) Padatan Tersuspensi Total dan Padatan Terlarut Total (TSS dan TDS) Padatan tersuspensi total atau total suspended solids (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi dan tidak terlarut dalam air, bahan-bahan ini tersaring pada kertas saring Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm. Sedangkan padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut yang tidak tersaring dengan kertas saring Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm. Cara pengukuran TSS dilakukan dengan gravimetrik yang terdiri dari kegiatan penyaringan, penguapan dan penimbangan biasanya pengukurannya digabung dengan pengukuran Padatan terlarut total atau total dissolved solids (TDS). Alat dan Bahan : a) Kertas saring/Filter Millipore dengan porositas 0,45 µm b) Vacum pump c) Timbangan d) Cawan porselin e) Oven f) Desikator g) 500 mL sampel air h) Gelas piala, gelas ukur dan corong Cara Kerja Pengukuran TSS:

a) Siapkan filter dan vacuum pump. saring 2 x 20 mL akuades, biarkan penyaringan berlanjut sampai 2 – 3 menit untuk mengisap kelebihan air b) keringkan kertas saring dalam oven selama 1 jam pada temperature 103 – 105 °C, diinginkan dalam desikator, lalu timbang (B g) c) ambil 100 mL air sampel dengan kertas ukur, aduk, kemudian saring dengan menggunakan kertas saring (filter) yang telah ditimbang pada prosedur no 2 d) keringkan filter dan residu dalam oven 103 – 105 °C selama paling sedikit 1 jam, dinginkan dalam desikator, timbang (A g) Perhitungan : 𝑇𝑆𝑆 = A B

1000 (𝐴 − 𝐵) = ⋯ 𝑚𝑔/𝐿 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

: berat (mg) filter dan residu : berat (mg) filter

Cara Kerja Pengukuran TDS : a) siapkan filter (Millipore dengan porousity 0,45 µm atau yang setara) rendam dalam aquades selama 24 jam dan biarkan kering b) panaskan mangkuk porselen bersih pada tanur suhu 550 °C atau oven 103 – 105 °C selama 30 menit c) dinginkan dalam desikator dan timbang (D mg) d) saring air sampel 100 mL dengan menggunakan vacuum pump, tuang air tersaring ke dalam mangkuk porselen e) uapkan mangkuk tersebut di atas hot plate hingga kadar air berkurag, lalu keringkan pada oven 105 °C selama 1 jam f) dinginkan mangkuk porselen dan residu dalam desikator kemudian timbang (R mg) Perhitungan : 𝑇𝐷𝑆 = R D

1000 (𝑅 − 𝐷) = ⋯ 𝑚𝑔/𝐿 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

: berat (mg) mangkuk dan residu : berat (mg) mangkuk

11) Pasang surut Pada prinsipnya parameter ini untuk mengukur tinggi rendahnya air laut per satuan waktu dengan menggunakan papan. Pengamatan pasang surut air laut dilakukan setiap 1 jam sekali selama minimal 24 jam. Alat : a) Papan diberi tanda/ukuran seperti meteran b) Tali c) Teropong / Binokuler d) Senter Cara Kerja : a) Papan dipasang kuat pada sebuah batu karang. b) Amati kenaikan dan penurunan ketinggian air laut dengan menggunakan teropong atau bantuan senter c) Pendataan dilakukan setiap satu jam sekali dan dicatat angka tinggi air pada papan palem. d) Pengamatan dilakukan sehari semalam untuk kemudian dibuat grafik pasang surutnya.

b. Pengukuran parameter kimia 1) pH air pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman (atau kebasaan yang suatu larutan. Yang dimaksudkan "keasaman" di sini adalah konsentrasi ion hidrogen(H+) dalam pelarut air. Nilai pH berkisar dari 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7. Nilai pH>7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH<7 menunjukan keasaman. Nilai pH 7 dikatakan netral karena pada air murni ion H+ terlarut dan ion OH- terlarut (sebagai tanda kebasaan) berada pada jumlah yang sama, yaitu 10-7 pada kesetimbangan. Penambahan senyawa ion H+ terlarut dari suatu asam akan mendesak kesetimbangan ke kiri (ion OH- akan diikat oleh H+ membentuk air). Akibatnya terjadi kelebihan ion hidrogen dan meningkatkan konsentrasinya. Pengukuran senyawa asam dan basa dapat dilakukan menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa (pH paper) dan pH meter. a) Kertas lakmus Indikator asam basa adalah suatu zat yang memberikan warna berbeda pada larutan asam dan larutan basa. Dengan adanya perbedaan warna tersebut, indikator dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu zat bersifat asam atau basa. Cara penggunaan indikator universal dalam menentukan pH suatu larutan.

Gambar 5. Pengukuran sampel dengan pH paper (a) gambar indikator universal, (b) Indikator universal digunakan dengan cara mencelupkan indikator universal sampai batas warna ke dalam larutan yang akan ditentukan pH nya, akan terlihat perubahan warna pada kertas indikator, (c) kemudian cocokkan perubahan warna dengan warna indikator pada kotak. Dan dapat ditentukan pH larutan. Tabel 9.Beberapa zat indikator Asam Basa Indikator Fenolftalein Bromtimol Metil merah Metal jingga

Warna setelah ditambah indikator Larutan asam Larutan basa Larutan netral Tidak berwarna Merah Tidak berwarna Kuning Biru Biru Merah Kuning Kuning Merah Kuning Kuning

b) pH Meter Prinsipnya pengukuran suatu pH adalah didasarkan pada potensial elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat di dalam elektroda gelas yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat di luar elektroda gelas yang tidak diketahui. Potensial antara sampel yang tidak diketahui dengan elektroda gelas dapat berubah tergantung sampelnya. Oleh karena itu, perlu

dilakukan kalibrasi dengan menggunakan larutan yang equivalent yang lainnya untuk menetapkan nilai pH. 2) Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air atau dari difusi udara. kadar oksigen terlarut dapat ditentukan dengan titrasi maupun alat ukur elektronik DO meter. (1) Metode Titrasi dengan cara Winkler Prosedur pengukuran oksigen terlarut dengan metode Titrasi (Winkler) sebagai berikut : Alat : (1) Botol Winkler (2) Pipet tetes (3) Perangkat titrasi (4) Pipet volume Bahan : (1) Air sampel (2) Iodida alkali (pereaksi Winkler) (3) H2SO4 pekat (4) Larutan Mangan sulfat/ MnSO4 48 % (5) Natrium tiosulfat 0,025 N (6) Indikator amylum 1 % Cara Kerja : (1) Ditambahkan kedalamnya 1 mL MnSO4 dan 1 mL reagen Winkler, lalu dikocok dan ditunggu hingga terbentuk endapan. (2) Ditambahkan 2 mL H2SO4 pekat, dikocok hingga endapan larut. (3) Diambil 50,0 mL sampel tersebut, dititrasi dengan larutan Natrium tiosulfat 0,025 N sampai berwarna kuning muda pucat. (4) Ditambahkan indikator amilum (biru). (5) Dititrasi kembali dengan larutan Natrium tiosulfat, dari biru sampai menjadi bening. (6) Dicatat berapa ml Natrium tiosulfat yang dipakai. Perhitungan : Kadar O2 (mg/l) = 8000 x mL Na2S2O3 x N Na2S2O3 mL sampel (2) Pengukuran oksigen terlarut menggunakan DO meter Prinsip kerja dari alat DO meter ini adalah menggunakan elektroda atau probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalam larutan elektrolit. Pada alat DO meter, biasanya menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semi permeable terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi pada elektroda tersebut adalah: Katoda : O2 + 2 H2O + 4eà 4 HOAnoda : Pb + 2 HO- à PbO + H20 + 2e Untuk menjaga ketepatan pengukuran, setiap jangka waktu tertentu alat perlu dikalibrasi dengan membandingkan hasil pengukuran alat terhadap hasil pengukuran dengan metode titrasi winkler terhadap air sampel yang sama. Alat juga harus dikalibrasi terhadap temperatur dan tekanan udara (lokasi ketinggian) setempat, alat juga perlu diset pada temperatur dan salinitas air yang bersangkutan pada saat pengukuran.

3)

Ammonia (1) Pengukuran ammonia dengan metode Nessler Semua pereaksi yang dibuat dengan menggunakan ammonia bebas air. Pereaksi Nessler Larutkan 10 g HgI2 dan 7 g KI dalam sejumlah kecil air. Tambahkan campuran ini dengan pengadukan yang teratur kedalam larutan dingin 16 g NaOH dalam 50 mL ammonia bebas air. Encerkan sampai 100 ml. Simpan dalam botol gelap.

Cara Kerja : (1) Ambillah 1 mL NH4Cldalam tabung Nessler. Tabung Nessler dibuat khusus untuk pengukuran warna optic. Bilamana tidak ada tabung Nessler, gunakan tabung penguji apapun yang terbuat dari gelas yang jernih. Semua tabung yang digunakan untuk perbadingan warna harus sama ukuran dan kualitasnya. (2) Encerkan larutan standar menjadi 100 mL. Tambahkan 2 mL pereaksi Nessler. (3) Apabila 100 mL sampel tak berwarna dalam tabung lain yang sama, dan tambahkan 2 mL pereaksi Nessler kedalamnya. (4) Bilamana sampel air menjadi berkabut pada penambahan pereaksi Nessler, hentikan. (5) Pada sampel segar tambahkan 2 mL campuran larutan KNaC4H4O6.4H2O 50 % dan pereaksi Nessler dengan volume yang sama. (6) Biarkan kedua standar dan sampel selama 10 menit. Warna kuning yang terjadi bandingkan langsung dengan jumlah ammonia yang ada. Perkiraan banyaknya ammonia dapat dibuat berdasarkan intensitas warna. Warna coklat kemerahan mencirikan adanya lebih dari 5 mg/L ammonia. Warna kuning mencolok mencirikan konsentrasi ammonia antara 1 sampai dengan 5 mg/L. Warna kuning yang hampir tak teramati mencirikan ammonia kurang dari 0,1 mg/L. c. Pengukuran parameter biologi 1) Plankton Secara umum keberadaan plankton di perairan akan dipengaruhi oleh tipe perairannya (mengalir atau tergenang), kualitas kimia dan fisika perairan (misalnya suhu, kecerahan, arus, pH, kandungan CO2 bebas dsb) dan adanya kompetitor pemangsa plankton. Pengambilan sampel air untuk pengamatan parameter plankton terdiri dari beberapa metode, yaitu : a. Penyaringan (filtration method) dengan menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring disesuaikan dengan klasifikasi plankton yang diinginkan. Jumlah air yang tertampung bervariasi 5 – 50 L tergantung dari kepadatan plankton yang dapat dilihat dari warna air. Sampel diambil dengan menggunakan alat sampling dengan volume tertentu, kemudian di saring dengan menggunakan plankton net. Sampel plankton yang tertampung dalam saringan dipindahkan ke dalam botol koleksi lalu diawetkan dengan menggunakan formalin atau alcohol sebelum dilakukan identifikasi plankton di bawah mikroskop. b. Pengendapan air sampel (sedimentation method) dengan menggunakan tabung penampung 2) Bentos Bentos merupakan organisme perairan yang hidup di dasar perairan. Pengamatan parameter biologi untuk bentos umumnya hanya terbatas pada makrobentos. Pengambilan sampel organisme bentik dapat dilakukan dengan cara sederhana terutama untuk daerah litoral yang dangkal (tepian). Beberapa larva arthropoda dapat diambil dengan menggunakan jala surber, sedangkan untuk beberapa jenis moluska karena memiliki ukuran yang besar dapat dilakukan tanpa bantuan alat khusus. Pengambilan makrobentos di daerah tepi danau atau waduk dilakukan dengan metode transek garis, yaitu dengan menarik garis sejajar dengan garis tepian perairan. Pengamatan dilakukan pada daerah 1 m di kanan dan kiri garis sepanjang transek. Larva arthropoda diambil dengan cara menyaring substrat dasar dengan menggunakan jala surber (saringan tepung) dan diidentifikasi.

Pengambilan sampel bentos dapat menggunakan Ekman grab jika sampel diambil pada perairan yang berlumpur atau tergenang, penggunaan Ekman grab dilakukan untuk mengetahui sampel sesaat. atau dapat pula menggunakan jala surber pada sampel yang diambil pada perairan yang mengalir. Pengamatan bentos pada perairan yang tergenang Alat : (1) Ekman grab (2) Botol sampel (3) Ayakan (4) Baskom (5) Buku identifikasi Bahan : Alkohol 70 % atau formalin 4 % Cara Kerja : Pengambilan Sampel Menggunakan Ekman Grab (1) Kedua belahan pengeruk Ekman grab dibuka hingga terbuka lebar dan kaitkan kawat penahannya pada tempat kaitan yang terdapat pada bagian atas alat tersebut. (2) Pengeruk dimasukkan secara vertikal dan perlahan-lahan ke dalam air hingga menyentuh dasar perairan. (3) Kemudian jatuhkan logam pembeban sepanjang tali pemegangnya sehingga kedua belahan Ekman grab tertutup, dan lumpur serta hewan yang terdapat di dasar perairan akan terhimpun dalam kerukan. (4) Ekman ditarik perlahan-lahan ke atas dan isinya ditumpahkan ke dalam baskom yang sudah disediakan. (5) Sampah-sampah dari kerukan tersebut dibuang kemudian hewan bentos diseleksi dengan cermat dan memasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70% (6) Pengambilan sampel dilakukan sekali lagi pada tempat yang berbeda Pengambilan Sampel Menggunakan Ayakan (1) Pengambilan bentos dilakukan dengan ayakan. (2) Ayakan dimasukkan sampai ke dalam dasar perairan. (3) Angkat ayakan dan lumpur dipisahkan dengan bentos kemudian masukkan bentos ke dalam botol. (4) Pengambilan sampel dilakukan sekali lagi pada tempat yang berbeda (5) Beri label pada masing-masing botol sampel dan diberikan alkohol 70%. Cara kerja di Laboratorium (1) Ambillah sampel yang sudah diawetkan. Tumpahkan ke dalam wadah yang telah disediakan dan secara acak diambil satu per satu dengan pinset dan diletakkan pada wadah yang lain sambil diurutkan. (2) Sampel yang diurutkan dibandingkan mulai dari angka A, B, C, D dan seterusnya, kemudian dilihat apakah sejenis atau tidak. (3) Pengamatan dilakukan diatas meja. Jenis yang dianggap sama diberi kode yang sama dan ini berarti tergolong se”Run”. Hal ini dilakukan tidak peduli jenis apapun, asal serangkaian sampel tadi dianggap sama. (4) Lakukan pengamatan sampai semua sampel habis, catat semua data dalam buku kerja, kemudian dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman bentos.

Gambar 6. Peralatan penyaringan substrat pasir dan pemisahan benthos Pengambilan Sampel Menggunakan Jala surber Alat : (1) Jala surber (2) Baskom/ wadah sampel (3) Mikroskop (4) Lup (5) Buku identifikasi Bahan : Alkohol 96% Cara kerja : (1) Memegang tiang jala dengan arah melawan arus (2) Mengaduk dasar perairan dengan dua kaki secara bersama-sama untuk melepas organisme dari dasar perairan sehingga organisme akan masuk ke dalam jala. (3) Memeriksa di dalam jala, kalau ada batu dan ranting maka mencuci batu dan ranting di dalam jala. (4) Mencuci organisme dengan air dan mengumpulkannya pada salah satu sudut jala dengan terus menyiram air untuk memudahkan pengambilan sampel dari dalam jalah (5) Membalik jala kearah luar untuk memindahkan sampel ke dalam wadah sampel. Lakukan pengawetan dengan alkohol 96% Pengamatan Bentos di Laboratorium Pengatan bentos di laboratorium, untuk benthos yang berukuran kecil dapat diamati secara langsung dengan bantuan mikroskop okuler, dan bentuk serta jenis bentos yang diamati dapat dicocokkan dengan buku Identifikasi bentos untuk menjari jenis filum atau spesies benthos yang diamati. Lakukan pengamatan sampai semua sampel habis, catat semua data dalam buku kerja, kemudian dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman bentos. 3) Perifiton Perifiton adalah organisme perairan yang menempel pada substrat air, media tempat menempelnya adalah batu, kayu atau benda lain yang terdapat di badan air minimal dengan kedalaman 10 cm. Pengambilan sampel perifiton dilakukan dengan pengerikan pada tempat penempelannya secara perlahan tanpa merusak perifiton tersebut. Perhitungan kelimpahan dan keanekaragaman perifiton juga sama dengan perhitungan plankton. Alat : (1) Botol sampel (2) Disecting set (3) Mikroskop (4) Buku identifikasi perifiton Bahan : Lugol 1 % atau alkohol 70 %

Cara kerja : (1) Pengambilan sampel periphyton dilakukan dengan cara mengambil benda yang terdapat pada badan air (batu, kayu, tanaman, dsb) kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik. (2) Lakukan pengerikan dan pengumpulan sampel pada masing-masing benda yang diambil dengan ukuran 5 x 1 cm2 (3) Hasil kerikan dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diberi akuades 30 ml lalu tetesi lugol 1% sebagai pengawet (4) Pengamatan perifiton dilakukan di laboratorium dengan mengocok botol sampel terlebih dahulu (5) Identfikasi perifiton dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan buku identifikasi

Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengelolaan Kualitas Air di Kolam Budidaya Ikan Lele 1.

2.

Warna air dan Kecerahannya Dengan mengetahui perubahan warna air dan tingkat kecerahan maka kita bisa mengantisipasi terjadinya stres dan penyakit pada lele. Apabila warna dan kecerahan sudah di ambang batas optimal maka kita bisa mengurangi 30% air pada kolam dan menggantinya dengan air yang baru dengan kualitas yang lebih baik. pH air (Potential Hydrogen/Derajat Keasaman).

Dalam budiaya lele, kita menginginkan agar nilai pH air kolam adalah sama atau mendekati sama dengan nilai pH tubuh lele. Lele mempunyai toleransi bisa hidup di kisaran PH 6-9 yang berarti bahwa lele lebih toleran basa dari pada asam, namun kondisi ideal untuk kehidupan lele ada pada PH 7-8. Jika nilai pH air berada di bawah kisaran yang distandarkan, maka kita harus menaikkan nilai pH tersebut dengan cara pemberian kapur. Kapur yang digunakan biasanya adalah kapur dolomit, pH air di luar standar yang ditentukan akan berdampak pada metabolisme lele, nafsu makan turun dan lain-lain. Salah satu cara menetralisir kandungan pH dalam air kolam lele adalah dengan memanfaatkan pohon pepaya. Baik dari daun, batang hingga buahnya dapat kita gunakan untuk menstabilkan pH air kolam ikan lele budidaya dengan cara memasukkannya ke dalam kolam. Air hujan sangat berpengaruh terhadap perubahan pH , secara alami air hujan bersifat asam dengan PH sekitar 5,6 sehingga akan menyebabkan PH air kolam turun dan akan membuat ikan lele gelisah, nafsu makan berkurang dan tak jarang menyebabkan lele (terutama benih lele) mengapung dan mati. Segera ketahui perubahan pH tersebut dan segera ambil tindakan sebelum terlambat. 3.

DO (Disolved Oxygen / Oksigen Terlarut).

Mengelola DO menjadi sangat penting karena DO merupakan salah satu faktor kunci dalam budidaya lele. Konsentrasi oksigen terlarut dibawah 5 ppm, akan membuat lele menjadi sulit dalam mendapatkan oksigen, sehingga lele akan naik ke permukaan air untuk mendapatkan oksigen. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka lele akan mati lemas. Perlakuan yang harus kita lakukan dalam kejadian ini adalah diantaranya dengan mengganti 50% air kolam dengan air yang baru, memaksimalkan operasional aerator dan memberikan kapur agar proses respirasi selain lele menjadi terhambat. Oksigen terlarut dalam kolam pada siang hari akan meningkat karena proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari dan turun di malam hari karena respirasi oleh tumbuhan dan hewan termasuk ikan, tingkat DO akan mencapai titik terendah menjelang fajar. Tingkat DO dinyatakan dalam ukuran ppm (part per million). Tingkat konsentrasi DO : 5 ppm : baik untuk kesehatan ikan yang optimal 2-4ppm : Ikan stress Dibawah 2 ppm : Ikan mati Tinggkat DO yang terlalu tinggi dapat menyebabkan emboli atau tekanan gas yang berlebihan yang dapat menyebabkan ikan kembung. 4.

Salinitas (Kadar Garam).

Salinitas lingkungan yang optimal dibutuhkan lele untuk menjaga kandungan air dalam tubuhnya agar dapat melangsungkan proses metabolisme dengan baik. Jika kadar garam dalam tubuh lele lebih tinggi dari lingkungannya, maka air dari lingkungan akan masuk ke dalam tubuh lele, sehingga sel tubuh akan membesar.

Demikian sebaliknya jika kadar garam lingkungannya lebih besar dari sel tubuh, maka cairan dalam sel tubuh akan tertarik keluar sehingga lele akan “kurus”. Untuk menjaga kadar garam air pada kolam budidaya, terutama jika terlalu tinggi. Hal yang dapat kita lakukan jika kadar garam terlalu tinggi adalah dengan lebih sering mengganti air. 5.

Suhu (Temperatur).

Suhu perairan sangat mempengaruhi kondisi lele terutama nafsu makannya. Hal ini berkaitan dengan proses metabolisme tubuh lele. Semakin tinggi suhu perairan, semakin tinggi pula proses metabolisme dalam tubuh lele. Sebaliknya jika suhu perairan sangat rendah, maka proses metabolisme tersebut akan terhambat sehingga lele berkurang nafsu makannya. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan lele adalah berkisar antara 25 – 30 0C. Cara untuk menjaga stabilitas suhu :    

Kolam diberi naungan bisa berupa paranet/plastic fiber Ketinggian air kolam yang cukup antara 70-100 cm sehingga perubahan suhu air kolam tidak terlalu cepat Memberikan sekam pada dasar kolam terpal Lakukan penambahan atau pengurangan air disesuaikan dengan suhu air kolam

Jika suhu air rendah (< 25 0C), maka nafsu makan lele akan berkurang karena proses metabolismenya terhambat, namun jika suhu perairan terlalu tinggi (> 300C), maka proses metabolisme lele akan meningkat dan beban insang untuk membuang hasil ekskresi cair tubuh yang berupa NH3 , akan meningkat. 6.

Sumber air untuk budidaya.

Sumber air yang digunakan untuk budidaya baik untuk persiapan atau pendederan telah terbebas dari bibit penyakit/virus yang masuk dari luar melalui air. Sebaiknya menggunakan air sumur yang sudah di kondisikan dalam kolam tertentu.

Related Documents


More Documents from "Endah Ayu Lestari"