BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan di masyarakat yang terjadi pada umumnya berkaitan dengan faktor lingkungan, perilaku dan akses pelayanan kesehatan serta kependudukan. Masalah di masyarakat menjadi kompleks karena masyarakat memiliki ciri-ciri yang khusus antara lain individualistik, materialistik, heterogen, kritis, pendidikan yang tinggi dan mempunyai tuntutan yang tinggi. Perkembangan di masyarakat biasanya diikuti oleh industrialisasi, munculnya kawasan industri menimbulkan derajat pencemaran dan berakibat buruk terhadap lingkungan kehidupan bermasyarakat ( Depkes RI, 2004 ). Mobilitas yang tinggi menuntut masyarakat pandai mengatur waktu untuk dapat memenuhi kebutuhan, hal ini yang membuat masyarakat
banyak
mempergunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi untuk kegiatan sehari-harinya sehingga waktunya lebih efektif dan dengan kondisi lalu lintas yang padat sebagai ciri khas dari perkotaan, ini sangat membantu kegiatan masyarakat, sehingga dampaknya dapat memicu terjadinya stres saat mengemudi kendaraan, dan rentan terjadi kecelakaan lalu lintas ( Waluya, 2007 ). Berdasarkan data dari penelitian Fatimah, 2012, korban paling banyak mengalami kecelakaan sepeda motor adalah yang usianya berkisar 16-30 tahun yaitu sebanyak 38.9%. Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 61.1% adalah laki-laki
pengemudi yang mengalami kecelakaan sepeda motor.
Kelompok usia 16-30 tahun merupakan kelompok usia produktif dimana tingkat mobilitasnya cenderung tinggi serta emosinya belum stabil sehingga saat berlalu lintas masih tergesa-gesa untuk mendahului kendaraan yang lain. Kecelakaan juga terjadi paling banyak pada tipe jalan lurus, dengan persentasi sebanyak 38.9%. Dengan keadaan jalan yang baik dan lurus membuat pengendara menggunakan kecepatan lebih tinggi. Kecelakaan di jalan raya masih menjadi masalah serius di negara berkembang dan negara maju. Angka kematian menurut World Health Organization ( WHO 2014 ) telah mencapai
1
1.170.649 orang di seluruh dunia. Jumlah ini setara dengan 2,2% dari seluruh jumlah kematian di dunia dan menempati urutan ke sembilan dari sepuluh penyebab kematian. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI ( 2007 ) didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda, dari hasil survei tim depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45 mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas dan bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenisnya dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Faktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gerakan memuntir mendadak, gaya meremuk, dan bahkan kontraksi otot yang ekstrem. Oleh karena adanya tulang yang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah (Brunner & Suddarth, 2002). Kejadian kecelakaan yang menyebabkan patah tulang atau fraktur dampaknya sangat merugikan individu itu sendiri maupun keluarganya, karena populasi pengguna kendaraan bermotor adalah para usia muda, dengan sendirinya mereka akan menjalani masa perawatan yang panjang di Rumah sakit. Hal ini menyebabkan remaja tersebut tidak produktif lagi, dan tidak mampu mencari nafkah untuk keluarganya. Rumah sakit hampir setiap hari menerima pasien yang mengalami kecelakaan dengan kondisi patah tulang atau fraktur. Trauma secara fisik ini perlu ditangani dengan cepat agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih parah ( Brunner & Suddarth, 2002). RSUP Prof. Dr R. D Kandou Manado merupakan Rumah Sakit pusat rujukan kasus bedah terbanyak. Data didapatkan dari bulan februari sampai bulan maret 2019 jumlah pasien yang dirawat dengan kasus fraktur cruris sebanyak 30 kasus. Selama Praktik klinik Keperawatan Gawat Darurat II peminatan selama lima minggu, penulis mengobservasi banyak pasien yang masuk dengan berbagai macam kasus fraktur, dengan agregat/ kelompok usia
2
16- 30 tahun. Sesuai dengan tingkat produktifitas yang tinggi pada usia tersebut dan terbanyak adalah jenis kelamin laki laki dengan penyebab utamanya adalah kecelakaan bermotor. Kasus yang paling banyak selama mahasiswa praktik adalah patah tulang pada bagian ekstremitas bawah, yaitu fraktur tibia fibula/ cruris, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat kasus fraktur Tibia Fibula/ Cruris pada seminar ke dua.
B. Tujuan Penulisan 1.
Tujuan Umum Tujuan dari penulisan Asuhan keperawatan ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur keperawatan gawat darurat II dan untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa/i tentang Fraktur dan tindakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Fraktur.
2.
Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui definisi dari Fraktur. b. Untuk mengetahui Anatomi fisiologi dari Fraktur c. Untuk mengetahui klasifikasi Fraktur. d. Untuk mengetahui etiologi Fraktur. e. Untuk mengetahui manifestasi klinis Fraktur. f. Untuk mengetahui patofisiologi Fraktur. g. Untuk mengetahui komplikasi Fraktur. h. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Fraktur. i. Untuk mengetahui penatalaksanaan Fraktur. j. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Fraktur.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Fraktur Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kantinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2005 dalam Wijaya dan putri, 2013). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. (Price & Wilson, 2006). Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau primpilan korteks, biasanya patahan lengkap dan fragmen tulang bergeser (Wijaya dan putri, 2013). Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008) Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, yang di sebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia dan fibula.
B. Anatomi Fisiologi Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk pada tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsiumdan fosfat (Price dan Wilson, 2006).
4
Berikut adalah gambar anatomi tulang manusia :
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fhosfat. Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama garam- garam kalsium ) yang membuat tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis (Price dan Wilson, 2006). Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta tarsalia, dan falang (Price dan Wilson, 2006). 1.
Tulang Koksa (tulang pangkal paha) OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
2.
Tulang Femur ( tulang paha) Merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris, disebelah atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat taju yang
5
disebut trokanter mayor dan trokanter minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis. Diantara dua kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang di sebut dengan fosa kondilus. c. Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis) 3.
Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis. Agar lebih jelas berikut gambar anatomi os tibia dan fibula.
4.
Tulang tarsalia (tulang pangkal kaki) Dihubungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki, terdiri dari tulang-tulang kecil yang banyaknya 5 yaitu sendi talus, kalkaneus, navikular, osteum kuboideum, kunaiformi.
5.
Meta tarsalia (tulang telapak kaki) Terdiri dari tulang- tulang pendek yang banyaknya 5 buah, yang masing-masing berhubungan dengan tarsus dan falangus dengan perantara sendi.
6.
Falangus (ruas jari kaki) Merupakan tulang-tulang pipa yang pendek yang masing-masingterdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari banyaknya 2 ruas, pada metatarsalia bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil bentuknya bundar yang disebut tulang bijian (osteum sesarnoid).
C. Klasifikasi fraktur Menurut (Brunner & Suddarth, 2005) jenis-jenis fraktur adalah:
6
1.
Complete fracture (fraktur komplet) patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2.
Closed fracture (simple fraktur) tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.
3.
Open fracture (compound fraktur / komplikata / kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membrane mukosa sampai kepatahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi: a.
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 cm panjangnya
b.
Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
c.
Grade III
: luka sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan lunak ekstensif. 4.
Greenstick fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang lainnya membengkok.
5.
Tranversal fraktur sepanjang garis tengah tulang
6.
Oblik fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
7.
Spiral fraktur memuntir seputar batang tulang
8.
Komunitif fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
9.
Depresi fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (seiring terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
10. Kompresi fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang). 11. Patologik fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor). 12. Epifisial fraktur melalui epifisis 13. Impaksi fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainya. Menurut Sjamsuhidajat, 2005) patah tulang dapat dibagi menurut:
7
a.
Ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar yaitu: 1) Patah tulang tertutup 2) Patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka sampai ketulang yang patah. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya patah tulang.
b.
Patah tulang menurut garis fraktur 1) Fisura tulang disebabkan oleh cedera tulang hebat atau oleh cedera terus menerus yang cukup lama seperti juga ditemukan pada retak stres pada struktur logam 2) Patah tulang serong 3) Patah tulang lintang 4) Patah tulang kuminutif oleh cedera hebat 5) Patah tulang segmental karena cedera hebat 6) Patah tulang dahan hijau : periost tetap utuh 7) Patah tulang kompresi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau epifisis tulang pipa 8) Patah tulang impaksi, kadang juga disebut inklavsi 9) Patah tulang impresi 10) Patah tulang patologis akibat tumor tulang atau proses destruktif lain.
8
Gambar 1. Klasifikasi Fraktur D. Etiologi Menurut Wijaya dan Putri (2013) penyebab fraktur adalah : a.
Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b.
Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor.
c.
Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemutiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. Menurut Brunner & Suddarth (2005) fraktur dapat disebabkan oleh
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahakan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.
9
E. Manifestasi klinis Manifestasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah nyeri, hilangnya
fungsi,
deformitas,
pemendekan
ekstremitas,
krepitus,
pembengkakan local dan perubahan warna. a.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fregmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.
Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal
otot
bergantung
pada
integritas
tulang
tempat
melengketnya otot. c.
Pada fraktur panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas atau dibawah tempat fraktur. Fraktur sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1-2 inci).
d.
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e.
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
F. Patofisiologi Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
10
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 :1183). Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detah jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung, pelepasan
katekolamin-katekolamin
endogen
meningkatkan
tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik. Cara yng paling efektif untuk memulihkan krdiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada
11
keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laknat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel . juga terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam jaringan
lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut
saraf meupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Brunner & Suddarth, 2005) Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
12
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).
13
G. Pathway Trauma langsung
Trauma tidak langsung
Kondisi patologis
Fraktur
Diskontinuitas tulang
Pergeseran frakmen tulang
Perubahan jaringan sekitar
Nyeri Akut
Kerusakan frakmen tulang Tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler
Pergeseran fragmen tulang
Spasme otot
Deformitas
Peningkatan tekanan kapiler
Gangguan fungsi ekstremitas
Pelepasan histamin
Metabolisme asam lemak
Protein plasma hilang
Bergabung dengan trombosit
Hambatan mobilitas Fisik
Melepaskan katekolamin
Edema Emboli Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh darah
Putus vena / arteri
Kerusakan integritas kulit
Perdarahan
Resiko infeksi
Kehilangan volume cairan Resiko syok (hipovolemik)
14
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
H. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan diagnostik fraktur yaitu: 1.
Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi dan luasnya fraktur
2.
Scan tulang, tonogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4.
Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada taruma multiple).
5.
Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk kliren ginjal
6.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple atau cedera hari.
I. Penatalaksanaan Prinsip
penanganan
fraktur
meliputi
reduksi,
imobilisasi
dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Pada
kebanyakan
mengembalikan
fragmen
kasus
reduksi
tulang
tertutup
keposisinya
dilakukan
dengan
(ujung-ujungnya
saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya samapai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahapan selanjutnya
setelah
fraktur
direduksi
adalah
mengimobilisasi
dan
mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna
15
dan fiksasi eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang dapat dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskuler, latihan isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemnadirian dan harga diri (Brunner & Suddarth, 2005). Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu: 1.
Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan kemudian dirumah sakit.
2.
Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
3.
Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah fraktur.
4.
Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price, 2006).
5.
Penatakansanaan perawat menurut Masjoer (2003), adalah sebagai berikut:
6.
Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan kesadaran, baru periksa patah tulang.
7.
Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah kompikasi
8.
Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini, dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera adalah: a.
Merabah lokasi apakah masih hangat
b.
Observasi warna
c.
Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali kapiler
d.
Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada lokasi cedera
e.
Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa sensasi nyeri.
f.
Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
16
1) Pertahankan kekuatan dan pergerakan 2) Mempertahankan kekuatan kulit 3) Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan intake protein 150-300 gr/hari. 4) Memperhatikan immobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh. Tahap-tahap penyembuhan fraktur menurut Brunner & Suddart (2005): 1.
Inflamasi tubuh berespon pada tempat cedera terjadi hematom
2.
Poliferasi sel terbentuknya barang-barang fibrin sehingga terjadi revaskularisasi
3.
Pembentukan kalus jaringan fibrus yang menghubungkan efek tulang
4.
Opsifikasi merupakan proses penyembuhan pengambilan jaringan tulang yang baru
5.
Remodeling perbaikan patah yang meliputi pengambilan jaringan yang mati dan reorganisai.
J.
Komplikasi Komplikasi fraktur menurut (Price, A dan L. Wilson, 2006) : 1.
Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.
2.
Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3.
Nonunion patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4.
Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan tekanan yang berlebihan didalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5.
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
17
6.
Fat embolisme syndroma tetesan lemak masuk kedalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada lakilaki usia 20-40 tahun, usia 70-80 tahun.
7.
Tromboembolik komplication trombo vena dalam sering terjadi pada individu uang imobilisasi dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidakmampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi palinh fatal bila terjadi pada bedah ortopedi.
8.
Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
9.
Avascular nekrosis pada umumnya berkaitan dengan aseptik atau nekrosis iskemia.
10. Reflek simphathethik dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum bayak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomontor instability.
18
BAB III TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS A. Pengkajian Pada trauma abdomen pengkajian terdiri dari identitas klien dan penanggung jawab, pengkajian darurat serta pengkajian lanjut. Pengkajian darurat terdiri dari pengkajian primer dan skunder dimana perlu dilakukan evaluasi cepat disertai resusitasi secara simultan. Pengkajian primer dilakukan tanpa melakukan penilaian riwayat secara menyeluruh sampai kondisi kegawatan teratasi. Namun untuk memprediksi pola cedera yang lebih baik dan mengidentifikasi risiko yang lebih fatal maka perlu dipastikan mekanisme cedera yang didapatkan dari berbagai elemen yang dapat menjelaskan kronologi terjadinya trauma secara jelas dan ringkas baik dari keluarga, saksi, pengantar atau pihak kepolisian. Faktor penting yang berhubungan dengan pengkajian darurat, khususnya dengan etiologi kecelakaan kendaraan bermotor meliputi hal-hal berikut: 1.
Tingkat kerusakan kendaraan
2.
Apakah ada penumpang lain yang terluka atau meninggal
3.
Penggunaan perangkat keselamatan seperti sabuk pengaman dan helm.
4.
Penggunaan alkohol atau penggunaan obat adiktif
5.
Adanya cedera kepala/otak dan cedera spina
6.
Apakah ada masalah kejiwaan yang jelas. Untuk menentukan prioritas resusitasi dan diagnosis ditetapkan
berdasarkan
stabilitas
hemodinamik
dan
tingkat
keparahan
cedera.
Berdasarkan arahan protokol Advanced Trauma Life Support adalah untuk mengidentifikasi dan melakukan pencegahan terhadap kondisi yang mengancam jiwa. Protokol ini terdiri dari: 1.
Airway, dengan tindakan pencegahan pada spina servikal
2.
Breathing
3.
Circulation
4.
Disability 19
5.
Expouse. Selain prioritas resusitasi dilaksanakan, untuk melakukan pengkajian
riwayat cepat menurut Salomon (200) merekomendasikan pendekatan AMPLE: 1.
Allergies
2.
Medications
3.
Past medical history
4.
Last meal or other intake
5.
Event leading presentation Resusitasi dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fisik sampai kondisi
kegawatan teratasi. Sementara pengkajian skunder dilanjutkan untuk mengidentifikasi cedera melalui pemeriksaan head-to-toe. Selama proses pengkajian pasien sampai saat memberikan intervensi kepada pasien tenaga kesehatan
yang
bertugas
perlu
meningkatkan
kewaspadaan
dengan
menggunakan alat pelindung seperti cap, pelindung mata, masker, gown, sarung tangan, dan sepatu penutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi cairan tubuh pasien. Pada kondisi klinik, penilaian klinis awal pasien dengan trauma abdomen seringkali silit dan tidak akurat. Pengkajian utama tetap dilakukan terhadap status yang bisa menyebabkan kondisi disfungsi neurologis, yang dapat disebabkan karena cedera kepala atau penyalahgunaan zat. Pemeriksaan umum yang dapat diandalkan dan gejala pada pasien yang masihh dalam kondisi sadar adalah nyeri, nyeri tekan abdomen, adanya tanda perdarahan gastrointestinal, hipovolemia, dan bukti adanya iritasi peritoneum. Sejumlah besar darah dapat terakumulasi di rongga peritoneal dan pelvis tanpa adanya perubahan yang signifikan atau didapat pada fase awal dalam temuan pemeriksaan fisik.
B. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi dengan hasil temuan sebagai berikut:
20
1.
Inspeksi: Pada saat pemeriksaan dapat ditemukan adanya kondisi lecet (abrasi) atau ekimosis. Tanda memar akibat sabuk pengaman, yakni luka memar atau abrasi di perut bagian bawah sangat berhubungan dengan kondisi patologis intraperitoneal. Inspeksi visual sangat penting dilakukan untuk mendapatkan adanya distensi abdomen yang mungkin dapat terjadi karena pneumoperitonium, dilatasi lambung, atau ileus yang diproduksi oleh iritasi peritoneal. Fraktur iga bagian bawah dapat berhubungan dengan cedera pada limpa atau cedera hati..
2.
Auskultasi: Ditemukannya bunyi usus pada bagian toraks menunjukkan adanya cedera pada otot diafragma.
3.
Palpasi: Palpasi dapat menemukan adanya keluhan tenderness (nyeri tekan) baik secara lokal atau seluruh abdomen, kekakuan abdominal, atau rebound tenderness yang menunjukkan cedera peritoneal.
4.
Perkusi: untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang mengalami cedera.
5.
Pemeriksaan rektal: Dilakukan untuk mencari bukti cedera penetrasi akibat patah tulang panggul dan pada feses dievaluasi adanya darah kotor.
6.
Pemeriksaan fungsi perkemihan: Dilakukan terutama adanya tanda dan riwayat trauma panggul yang dapat menyebabkan cedera pada uretra dan kandung kemih. Palpasi kekencangan kandung kemih dan kemampuan dalam melakukan miksi dilakukan untuk mengkaji adanya ruptur uretra.
C. Pengkajian Psikososial Pada pengkajian psikososial, pasien dan keluarga biasanya mengalami kecemasan dan pasien memerlukan pemenuhan informasi tentang sesuatu yang berhubungan dengan kondisi klinis dan rencana pembedahan darurat. Apabila pasien trauma abdomen memiliki indikasi untuk dilakukan prosedur pembedahan maka pada kondisi pascabedah pasien akan mendapatkan perawatan di ruang intensif. Pada kondisi ini perlakuan pengkajian disesuaikan dengan konteks keperawatan kritis. Pengkajian lanjutan pada konteks keperawatan medikal-bedah di ruang rawat inap bedah
21
dilakukan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, pengkajian diagnostik, dan pengkajian penatalaksanaan medik. Pada pasien pascabedah setelah dari ruang intensif di ruang bedah hasil pengkajian yang dapat ditemukan: 1.
Keluhan utama: Nyeri, keluhan yang berhubungan denga penurunan motilitas usus.
2.
Pengkajian riwayat penyakit: Merupakan pengkajian lanjutan riwayat intervensi yang sudah didapat pasien selama di unit gawat darurat, kamar bedah, dan ruang intensif, seperti jenis pembedahan, penggunaan cairan dan transfusi darah, fungsi gastrointestinal, serta pengetahuan dalam mobilisasi pasca bedah.
3.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan disik yang didapatkan dapat sesuai dengan manifestasi klinik. Pada survei umum, pasien terlihat lemah, TTV bisa didapatkan adanya perubahan. Pada pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan hal-hal berikut: a.
Inspeksi: Kondisi yang paling sering adalah terdapat luka pascabedah pada bagian abdomen dan terpasang Foley kateter. Pada kondisi ini penting dikaji kondisi luka pascabedah dan berbagai risiko yang meningkatkan masalah pada pasien, seperti adanya infeksi luka operasi (ILO), risiko dehisens dan eviserasi terutama pada pasien obesitas.
b.
Auskultasi: Pada kondisi klinik sering didapatkan bising usus tidak ada, terutama dengan pasien yang memiliki keterbatasan mobilitas.
c.
Palpasi: pemeriksaan ini sering tidak dilakukan karena akan menjadi stimulus nyeri pada pasien.
d.
Perkusi: Sering didapatkan adanya bunyi timpani akibat abdomen mengalami kembung.
4.
Pengkajian diagnostik lanjutan: Dilakukan di ruang rawat inap bedah, meliputi: pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, dan LED), pemeriksaan serum elektrolit, serta pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal.
22
5.
Penatalaksanaan medis yang perlu dikaji: Adanya pemberian antimikroba yang akan diberikan selama 5-7 hari pascabedah terutama pada pasien trauma abdomen dengan kontaminasi rongga peritoneal.
D. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas. 2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi ditandai dengan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik. 3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan. 4) Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
E. Intervensi Keperawatan No
1
Diangosa
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Keperawatan
Hasil (NOC)
(NIC)
Nyeri
akut
terputusnya jaringan gerakan
b/d Setelah
dilakukan Pain Management
tindakan tulang, selama
keperawatan - Lakukan ...x...
jam
fragmen diharapkan nyeri klien
tulang, edema dan dapat cedera jaringan,
teratasi
dengan
pada kriteria hasil: alat Pain control
nyeri
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
traksi/immobilisasi, -
Mampu
stress, ansietas
nyeri (tahu penyebab - Observasi nyeri,
23
mampu
secara
komprehensif termasuk
kualitas, mengontrol
pengkajian
dan
faktor
presipitasi.
nonverbal
reaksi dari
menggunakan teknik
ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk - Ajarkan mengurangi
-
nyeri,
distraksi
Melaporkan
mengetasi nyeri.
bahwa
dll)
berkurang - Evaluasi
untuk
tindakan
dengan menggunakan
pengurang nyeri/kontrol
manajemen nyeri.
nyeri.
Mampu
mengenali - Kolaborasi
nyeri
(skala,
intensitas,
frekuensi
dan tanda nyeri) -
non
farmakologis (relaksasi,
mencari bantuan)
nyeri
-
teknik
Menyatakan
dokter
dengan bila
komplain
tentang
pemberian rasa
ada
analgetik
tidak berhasil.
nyaman setelah nyeri berkurang. 2
Kerusakan
Setelah
integritas
dilakukan Pressure Management
kulit tindakan
berhubungan dengan
selama
keperawatan - Monitor ...x...
tekanan, diharapkan
perubahan
status integritas
metabolik,
dapat
jam
kulit
akan
adanya kemerahan
kerusakan - Hindari kerutan pada kulit
teratasi
klien
tempat tidur
dengan - Jaga kebersihan kulit
kerusakan sirkulasi kriteria hasil:
agar tetap bersih dan
dan
kering.
penurunan Tissue Integrity : Skin
sensasi
ditandai and Mucous
dengan terdapat
oleh luka
/
- Mobilisasi pasien (ubah
Integritas kulit yang
posisi
baik
dua jam sekali
bisa
ulserasi,
dipertahankan
kelemahan,
(sensasi,
penurunan
berat
- Oleskan
elastisitas,
temperatur,
pasien)
hidrasi,
lition
setiap
atau
minyak/baby oil pada daerah yang tertekan
badan, turgor kulit
pigmentasi).
buruk,
Tidak ada luka/lesi
dengan sabun dan air
pada kulit
hangat.
terdapat -
jaringan nekrotik
24
- Mandikan
pasien
-
Perfusi jaringan baik
-
Menunjukkan pemahaman
dalam
proses perbaikan kulit dan
mencegah
terjadinya
cedera
berulang. -
Mampu
melindungi
kulit
dan
mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami. 3
Hambatan mobilitas
Setelah fisik tindakan
berhubungan dengan
dilakukan Exercise
selama
therapy
:
keperawatan ambulantion ...x...
jam -
nyeri/ diharapkan klien dapat
Monitor
vital
sebelum
/
sign
sesudah
ketidaknyamanan,
beraktivitas
secara
latihan
dan
lihat
kerusakan
mandiri dengan kriteria
respon
pasien
saat
muskuloskletal,
hasil:
latihan
terapi pembatasan Mobility Level aktivitas,
dan -
penurunan kekuatan/tahanan
-
-
Klien
-
meningkat
terapi
fisik
dalam aktivitas fisik
rencana
Mengerti tujuan dari
sesuai
peningkatan mobilitas
kebutuhan
Memverbalisasikan perasaan
-
dalam
kekuatan
ambulasi dengan
Bantu
saat dan
kemampuan
tentang
klien
untuk
menggunakan tongkat
meningkatan
-
Konsultasikan dengan
berjalan
dan
cegah terhadap cedera -
Ajarkan pasien atau
berpindah.
tenaga kesehatan lain
Memperagakan
tentang
penggunaan
25
alat
ambulasi
teknik
bantu
untuk -
mobilisasi (walker).
Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
-
Latih
pasien
dalam
pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan -
Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
bantu
penuhi
kebutuhan
ADLs
pasien. -
Berikan alat bantu jika klien memerlukan
-
Ajarkan
pasien
bagaimana posisi
merubah
dan
bantuan
berikan jika
diperlukan. 4
Risiko
infeksi Setelah
berhubungan dengan
tindakan stasis selama
cairan respons
dilakukan Infection Control keperawatan ...x...
jam
setelah dipakai pasien
tubuh, diharapkan resiko infeksi inflamasi tidak
terjadi
lain
dengan -
tertekan, prosedur kriteria hasil:
-
-
Klien bebas dari tanda
luka/kerusakan
dan gejala infeksi
kulit, pembedahan
insisi -
Pertahankan
teknik
isolasi
invasif dan jalur Risk Control penusukkan,
Bersihkan lingkungan
Batasi
pengunjung
bila perlu -
Instruksikan
pada
Mendeskripsikan
pengunjung
untuk
proses
mencuci tangan saat
penularan
penyakit, faktor yang
berkunjung
mempengaruhi
setelah
penularan
26
serta
dan berkunjung
meninggalkan pasien.
-
penatalaksanaannnya. -
Gunakan
sabun
Menunjukkan
antimikroba
untuk
kemampuan
-
untuk
mencegah timbulnya -
Cuci tangan setiap dan
infeksi
sesudah
Jumlah
leukosit
dalam batas normal -
mencuci tangan
melakukan
tindakan keperawatan -
Pertahankan
Menunjukkan
lingkungan
perilaku hidup sehat
selama
aseptik
pemasangan
alat. -
Monitor
tanda
dan
gejala infeksi sistemik dan lokal -
Monitor
kerentanan
terhadap infeksi -
Berikan
terapi
antibiotik bila perlu
27
BAB IV RESUME GAWAT DARURAT A. Identitas Klien Inisial Nama
: Tn. D. K
Umur
: 24 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Tuminting
Tgl/Jam Masuk
: 20-02-2019/Jam 14.00
Tgl/Jam Pengkajian
: 20-02-2019/Jam 14.30
Diagnosa Medis
: Fraktur Cruris Dextra Tertutup
B. Pengkajian Kondisi Mental A : Klien dalam keadaan sadar sepenuhnya GCS 15 = E4, V5, M6 V : P : U : -
C. Primary Survey Airway Jalan nafas paten, tidak ada sumbatan pada jalan nafas
Breathing Klien bernafas secara spontan dengan frekuensi 20x/menit, suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan
Circulation Akral hangat, tidak ada sianosis Capillary refill time <2 detik
28
Disability Kesadaran compos mentis GCS 15 = E4, V5, M6
D. Secondary Survey EKG/Exposure : -
Fluid dan Farenheit Terpasang IVFD cairan NaCl 0,9% 20 tpm
Vital Sign TD 110/70 mmHg, N 80x/menit, SB 37˚C, R 20x/menit
Keluhan Utama Nyeri
Riwayat Keluhan Utama Tn. D. K datang di RSUP Prof DR. R. D. Kandou Manado dengan keluhan utama nyeri tungkai bawah. Awalnya klien sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba ada mobil dari belakang hendak melalui motor klien dan langsung menyenggol motor klien, klien langsung terjatuh dari motor. Muntah (-), pingsan (-). Selang beberapa waktu klien dibawa ke RS terdekat setelah itu dirujuk ke RSUP Prof Kandou untuk penanganan selanjutnya.
Riwayat Penyakit Sekarang Saat dikaji, klien mengatakan nyeri di tungkai kanan bawah akibat KLL sejak ±2 jam lalu SMRS. Nyeri dirasakan bersifat hilang timbul, nyeri bertambah jika pada bagian fraktur digerakan, skala nyeri 6 (sedang), durasi <30 menit. Tampak bengkak, tampak luka lecet di punggung tangan kanan, siku tangan kanan dan kiri. Klien mengatakan aktivitasnya dibantu, karena nyeri bertambah jika klien bergerak. Ekspresi tampak meringis kesakitan saat bergerak, aktivitas berada pada skala 2 (dibantu orang lain). Klien
29
mengatakan, makan dan minum bisa dilakukan sendiri sedangkan untuk berpakaian, eliminasi, mobilisasi di tempat tidur dan berpindah dibantu keluarga. Tabel Aktivitas Pola dan Latihan Aktivitas
0
1
2
3
4
√
Makan/minum
Keterangan : 0 : Mandiri
Berpakaian
√
1 : Di bantu alat
Eliminasi
√
2 : Dibantu orang lain
Mobilisasi di tempat tidur
√
3 : Dibantu alat dan orang lain
Berpindah
√
4 : Bantuan penuh
Kekuatan Otot 5
5
5
1 Skala Kekuatan Otot
Skala
Ciri - Ciri
0
Lumpuh total
1
Tidak ada gerakan, teraba/terlihat adanya kontraksi otot
2
Ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi (hanya bergeser)
3
Bisa melawan gravitasi tetapi tidak dapat menahan atau melawan tahanan pemeriksa
4
Bisa bergerak melawan tahanan pemeriksa tetapi kekuatannya berkurang
5
Dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan maksimal
Riwayat Penyakit Dahulu/Riwayat Penyakit Keluarga Klien mengatakan sebelumnya belum pernah dirawat di RS dan dalam keluarga ada yang menderita penyakit keturunan hipertensi yaitu ayah klien.
30
E. Head to Toe Kepala Inspeksi
: Simetris, rambut hitam merata
Palpasi
: Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Mata Inspeksi
: Simetris, tidak ada katarak, konjungtiva tidak anemis,
sclera tidak ikterik
Hidung Inspeksi
: Simetris, tidak ada cairan/darah, tidak ada pernafasan
cuping hidung
Mulut Inpeksi
: Simetris, mukosa bibir lembab, tidak ada sianosis
Leher Inpeksi
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi
: Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan
Dada Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi
: Tidak ada nyeri tekan
Auskultasi
: Bunyi nafas vesikuler
Perut Inspeksi
: Simetris, tidak ada bekas operasi
Palpasi
: Tidak ada nyeri tekan
Auskultasi
: Bising usus 10x/menit
Perkusi
: Bunyi timpani
31
Kelamin Inspeksi
: Terpasang kateter, kebersihan cukup
Ekstremitas Atas Inspeksi
: Pergerakan baik, terdapat luka di punggung tangan kanan
dan siku kiri kanan
Ekstremitas Bawah Inspeksi
: Pada bagian kaki kanan (tibia-fibula) tidak bisa di
gerakan, kondisi sekitar fraktur bengkak dan memar dan ada luka lecet di lutut.
Anus Inspeksi : Tidak ada hemoroid
Kulit Palpasi : Teraba hangat, turgor kulit baik
Psikososial Klien tampak tenang, sudah diedukasi oleh dokter mengenai kondisi penyakit dan tindakan yang akan dilakukan
32
F. Pemeriksaan Penunjang -
Pemeriksaan Radiologi Fraktur Cruris Dextra Tertutup
-
Pemeriksaan Laboratorium Parameter Hematologi Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit MCH MCHC MCV Kimia Klinik SGOT SGPT Ureum Darah Creatinin Darah Gula Darah Sewaktu Chlorida darah Kalium darah Natrium darah
Nilai Rujukan
Satuan
Hasil /03/2019
4000 – 10000 4.70 - 6.10 13.5 - 19.5 37.0 - 47.0 150 – 450 27.0 – 35.0 30.0 – 40.0 80.0 – 100.0
/uL 10˄6/uL g/ dL % ˄ 10 3/uL Pg g/ dL fL
16 4,90 12,5 45,5 300 30,0 32,7 80.0
<33 <43 10-40 0,5-1,5 70-140 98.0 – 109.0 3.50 – 5.30 135- 153
U/L U/L Mg/dl Mg/dl Mg/dl mEq/L mEq/L mEq/L
20 40 30 0,5 97 100,2 4,11 130
33
G. Therapy -
Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam (iv)
-
Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam (iv)
-
Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam (iv)
KLASIFIKASI DATA DATA SUBJEKTIF 1. Klien
mengatakan
DATA OBJEKTIF
nyeri
di
tungkai bawah kanan akibat KLL sejak ±2 jam lalu SMRS,
1. Tampak
bengkak
dibagian
fraktur 2. Tampak
luka
lecet
dibagian
nyeri seperti tertimpa benda
punggung tangan kanan dan
berat dengan skala nyeri 6
bagian siku kiri/kanan
(sedang), bersifat hilang timbul
3. Tampak memar dibagian fraktur
dengan durasi <30 menit
4. Ekpresi
2. Klien
mengatakan
nyeri
dirasakan bersifat hilang timbul, nyeri bertambah jika pada bagian fraktur digerakan, skala nyeri 6 (sedang), durasi <30 menit
tampak
kesakitan saat bergerak, 5. Klien tampak selalu dibantu oleh keluarga dan perawat 6. Aktivitas berada pada skala 2 (dibantu orang lain)
3. Klien mengatakan aktivitasnya
7. Kekuatan Otot
dibantu, karena nyeri bertambah
5
5
jika klien bergerak
5
1
4. Klien mengatakan, makan dan minum bisa dilakukan sendiri sedangkan
untuk
berpakaian,
eliminasi, mobilisasi di tempat tidur
dan
berpindah
meringis
dibantu
keluarga.
8. Hasil foto rontgen: fraktur cruris dextra tertutup 9. Klien tampak tidak melakukan apa-apa 10. Terpasang IVFD NaCl 0,9% 20tpm 11. Terpasang kateter urine
34
ANALISA DATA No.
DATA
ETIOLOGI
MASALAH KEPERAWATAN
1.
Data Subjektif: -
Klien
Fraktur ↓
mengatakan
nyeri
di
tungkai
Diskontinuitas
bawah kanan akibat
tulang
KLL sejak ±2 jam
↓
lalu
SMRS,
nyeri
Pergeseran fragmen
seperti tertimpa benda berat
dengan
nyeri
6
tulang ↓
skala
(sedang),
Kerusakan jaringan
bersifat hilang timbul dengan
durasi
sekitar ↓
<30
menit
Pengeluaran zat
Data Objektif:
bradikinin
-
Keadaan umum klien
prostaglandin
tampak lemah -
Tampak
kemudian
bengkak
dibagian fraktur -
merangang ujung reseptor saraf yang
Tampak luka lecet di punggung
tangan
kemudian membantu transisi
kanan dan dibagian
nyeri ↓
siku kiri/kanan -
Tampak
memar
dibagian fraktur -
Ekpresi meringis
tampak kesakitan
Impuls sampai ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis pada spina cord ↓
saat bergerak
Pesan diterim oleh thalamus sebagai pusat sensori pada
35
Nyeri Akut
otak ↓ Impuls dikirim ke korteks dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan ↓ Nyeri 2.
Data Subjektif: -
Klien
mengatakan
aktivitasnya dibantu, karena
↓
mobilitas fisik
tulang ↓
bertambah jika klien
-
Hambatan
Diskontinuitas
nyeri
bergerak
Fraktur
Perubahan jaringan
Klien
mengatakan,
makan
dan
↓
minum
bisa dilakukan sendiri sedangkan
sekitar
Pergeseran fragmen
untuk
tulang
berpakaian, eliminasi,
↓
mobilisasi di tempat
Deformitas
tidur dan berpindah
↓
dibantu keluarga.
Gangguan fugsi bagian tubuh ↓
Data Objektif: -
Klien tampak lemah
-
Klien tampak selalu
Gangguan mobilitas fisik
dibantu oleh keluarga dan perawat dalam melkukan aktivitas -
Fraktur pada 1/3 tibia, fibula dextra
-
Terdapat bengkak dan
36
memar pada bagian fraktur -
Terpasang
IVFD
NaCl
500cc
0,9%
20tpm -
Klien
terpasang
kateter urine -
Ekpresi
tampak
meringis
kesakitan
saat bergerak -
Klien tampak selalu dibantu oleh keluarga dan perawat
-
Aktivitas berada pada skala 2 (dibantu orang lain)
-
Kekuatan Otot 5
5
5
1
37
PERENCANAAN KEPERAWATAN NO.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
PERENCANAAN KEPERAWATAN TUJUAN
1
Nyeri akut berhubungan dengan Setelah terputusnya pada
kontinuits
tulang/fraktur,
tindakan
jaringan keperawatan selama 1 x 8 jam ditandai nyeri dapat berkurang dengan
dengan:
kriteria hasil:
Data Subjektif: -
dilakukan
INTERVENSI
nyeri
tungkai bawah kanan akibat
rasakan
KLL sejak ±2 jam lalu SMRS,
secara
komperensif 2. Monitor
ketika
nyeri
di
3. Observasi
tanda-tanda
2. Mengetahui keadaan umum klien
respon
verbal
non
3. Membantu
dari
derajat
mengevaluasi nyeri
dan
perubahannya
4. Ajarkan teknik relaksasi
4. Mengalihkan perhatian dan
hilang
berkurang
nafas dalam dan distraksi
berat dengan skala nyeri 6
dengan skala nyeri ringan
5. Pertahankan imobilisasi
5. Menghilangkan nyeri dan
(sedang),
(1-3)
bagian yang sakit dengan
mencegah kesalahan posisi
tirah
tulang atau jarigan yang
bersifat
hilang
atau
mengevaluasi
derajat ketidaknyamanan
ketidaknyamanan
2. Klien mengatakan nyeri
1. Membantu
nyeri seperti tertimpa benda
timbul dengan durasi <30
3. Klien tampak rileks
menit
baring
gibs/pembidaian
Data Objektif: -
nyeri
vital
1. Klien dapat mengontrol
Klien mengatakan nyeri di
1. Kaji
RASIONAL
6. Kolaborasi
Keadaan umum klien tampak
analgetik
38
pemberian
mengurangi nyeri
cedera 6. Membantu nyeri
menurunkan
lemah -
Tampak
bengkak
dibagian
fraktur -
Tampak
luka
lecet
di
punggung tangan kanan dan dibagian siku kiri/kanan -
Tampak
memar
dibagian
tampak
meringis
fraktur -
Ekpresi
kesakitan saat bergerak 2.
Hambatan berhubungan
mobilitas dengan
ketidaknyamanan,
fisik Setelah
dilakukan
tindakan
1. Kaji
nyeri/ keperawatan selama 1 x 8 jam
klien
fisik dapas diatasi, dengan
Data Subjektif:
kriteria hasil:
Klien
1. Klien dapat melakukan
aktivitasnya dibantu, karena
aktivitas mandiri dengan
nyeri bertambah jika klien
skala 0 2. Klien
39
kemampuan klien
untuk
tindakan selanjutnya 2. Berikan
papan
kaki
2. Untuk
mempertahankan
posisi fungsional ekstremitas tangan/kaki dan mencegah kontraktur
3. Berikan posisi nyaman dapat
1. Mengetahui aktivitas
bebat pergelangan
mengatakan
bergerak
aktivitas
kerusakan dihrapkan gangguan moilitas
muskuloskletal, ditandai dengan:
-
tingkat
pada klien
3. Memberikan rasa nyaman
-
Klien mengatakan, makan dan
memperlihatkan
minum bisa dilakukan sendiri
peningkatan
sedangkan untuk berpakaian,
beraktivitas
eliminasi,
mobilisasi
4. Berikan dalam
tempat
di
mungkin
tempat tidur dan berpindah dibantu keluarga. Data Objektif: -
Klien tampak lemah
-
Klien tampak selalu dibantu oleh keluarga dan perawat dalam melakukan aktivitas
-
Fraktur pada 1/3 tibia, fibula dextra
-
Terdapat bengkak dan memar pada bagian fraktur
-
Terpasang IVFD NaCl 0,9% 500cc 20tpm
-
Klien terpasang kateter urine
-
Ekpresi
tampak
mobilitas
meringis
40
bantuan klien tidur
diatas sesegera
4. Mobilisasi dini menurunkan komplikasi
tirah
baring,
meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ
kesakitan saat bergerak -
Klien tampak selalu dibantu oleh keluarga dan perawat
-
Aktivitas berada pada skala 2 (dibantu orang lain)
-
Kekuatan Otot 5
5
5
1
41
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN Hari/Tanggal: 20 Februari 2019 NO. JAM 1.
14.35
Ruangan: IRDB
IMPLEMENTASI 1. Mengkaji
nyeri
EVALUASI secara 20.30
komperensif
S: Klien mengatakan nyeri
Hasil : Klien mengatakan sedikit berkurang dengan nyeri di tungkai bawah kanan skala nyeri 4 (sedang) akibat KLL sejak ±2 jam lalu SMRS, nyeri seperti tertimpa O: - Klien tampak lemah benda berat dengan skala
- Klien tampak bed rest
nyeri 6 (sedang), bersifat
- Klien tampak meringis
hilang timbul dengan durasi
saat bergerak
<30 menit 14.50
2. Memonitor tanda-tanda vital
A: Masalah belum teratasi
Hasil: TD: 110/70mmHg
P: Lanjutkan intervensi
N: 84x/menit R: 20x/menit S: 37˚C 15.00
3. Mengobservasi respon non verbal dari ketidaknyamanan Hasil: klien tampak meringis saat bergerak
14.45
4. Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan distraksi Hasil: klien mengerti, tampak keluarga selalu mendampingi klien
15.20
5. Mempertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gibs/pembidaian
42
Hasil:
bagian
kaki
yang
fraktur dilakukan pembidaian dan klien tirah baring 15.30
6. Melayani pemberian terapi farmakologi Hasil: ketorolac 30mg IV, ceftriaxone 1gr IV, ranitidine 50mg IV
2.
15.45
1. Mengkaji tingkat aktivitas 20.30 klien
S: Klien mengatakan belum
Hasil: tingkat aktivitas klien bisa
melakukan
aktivitas
berada pada skala 2 (dibantu secara mandiri orang lain) 15.20
2. Memberikan papan pada kaki O: - Aktivitas klien masih atau dilakukan pembidaian
dibantu keluarga
pada
- Tingkat aktivitas klien
bagian
kaki
yang
fraktur 15.30
masih
3. Memberikan posisi nyaman pada klien
berada
pada
skala 2 (dibantu orang lain)
Hasil: klien nyaman dengan A: Masalah belum teratasi
posisi semi fowler 30˚ 16.00
4. Memberikan
bantuan
mobilitas klien diatas tempat tidur sesegera mungkin Hasil:
keluarga
selalu
membantu aktivitas klien
43
P: Lanjutkan intervensi
BAB V PEMBAHASAN Mahasiswa Program Profesi Ners Universitas Sam Ratulangi Manado telah melaksanakan proses asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi pada tanggal 20 Februari 2019 di ruangan Instalasi Gawat Drurat Trauma RSUP Prof. Dr. R.D Kandou, Kelompok membandingkan antara konsep teoritis dengan studi dilapangan. Pada pengkajian pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan format pengkajian keperawatan gawat darurat yang telah ditetapkan. Tn. D.K umur 24 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 20 Februari 2019 pukul 12.15 WITA dirujuk dari Rumah Sakit Siti Maryam Manado dengan keluhan utama nyeri pada tungkai bawah akibat kecelakaan lalu lintas. Saat dilakukan pengkajian primer didapatkan: 1. Airway Jalan nafas paten, tidak ada sumbatan, tidak ada sekret 2. Breathing Klien bernafas secara spontan dengan frekuensi 20x/menit, suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan 3. Circulation Akral hangat, tidak ada sianosis Capillary refill time <2 detik 4. Disability Kesadaran compos mentis (sadar penuh) GCS 15 = E4, V5, M6 Saat dikaji klien mengatakan nyeri pada tungkai bawah akibat KLL. KU lemah, kesadaran compos mentis (sadar penuh), GCS 15 = E4, V5, M6. Keluhan utama yang sering ditemukan pada pasien fraktur adalah nyeri (Helmi, 2013). Menurut Mediarti (2015), fraktur merupakan ancaman potensial maupun aktual terhadap integritas seseorang, sehingga akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Rasa nyeri merupahkan
44
mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri (Judha dkk, 2012). Menurut Kneale (2011), ujung saraf bebas yang bertindak sebagai reseptor khusus nyeri sebagian besar berada dalam lapisan dermal kulit, periosteum tulang, permukaan artukular sendi, dinding arteri dan durameter. Untungnya, reseptor kutaneus memiliki ambang nyeri sehingga tidak semua sensasi kutaneus dapat dipersepsikan untuk membangkitkan sinyal listrik yang memicu jalur nyeri. Data obyektif yang ditemukan pada pasien yaitu tampak bengkak dibagian fraktur, luka lecet di punggung tangan kanan dan dibagian siku kiri/kanan dan memar dibagian fraktur. Vital Sign : TD 110/70 mmHg, N 80x/m, SB 37˚C, R 20x/m. Menurut teori yang dikemukakan oleh Muttaqin (2008), bahwa pemeriksaan fisik pada klien dengan fraktur harus memperhatikan pemeriksaan system muskuloskeletal yaitu pertama adalah look (inspeksi), yang dapat
dilihat
antara
lain
Cictriks,
warna
kemerahan
atau
kebiruan,
pembengkakan, deformitas, gait. Kedua, adalah Feel (palpasi), yang perlu dilihat adalah perubaha suhu, apakah terdapat oedeme atau tidak, nyeri tekan, krepitasi. Ketiga adalah Move (pergerakan terutama lingkup gerak) dengan cara menggerakan ektremitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Menurut Helmi (2012), jaringan yang rusak disekitar tulang yang patah pada fraktur menimbulkan rasa nyeri, diantaranya nyeri sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan (Lukman & Ningsih, 2012). Fraktur membutuhkan penanganan segera karena jika tidak ditangani bisa menimbulkan respons cedera yang dapat berupa kedaruratan jaringan yang mengakibatkan kecacatan secara permanen, sehingga harus diwaspadai dan di perhitungkan (Helmi, 2012). Pada pemeriksaan penunjang menunjukan leukosit 16 10^3/ uL, karena mengalami reaksi inflamasi. Inflamasi merupahkan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan. Terapi farmakologi yang diberikan untuk mengatasi nyeri yaitu pemberian injeksi ketorolac 30 mg/8 jam (iv) dan terapi non-farmakologi relaksasi nafas dalam. Menurut Pratintya (2014), untuk mengurangi nyeri, diperluhkan tindakan
45
manajemen nyeri farmakologi dan non-farmakologi. Manajemen nyeri adalah salah satu bagian dari disiplin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain relief (Pratintya, 2014). Beberapa manajemen nyeri keperawatan adalah mengatur posisi fisiologis dan imobilisasi ektremitas yang mengalami nyeri, mengistirahatkan pasien, kompres, manajemen lingkungan, tehnik relaksasi nafas dalam, tehnik distraksi, manajemen sentuhan (Mutaqin, 2011). Menurut Brunner (2013), beberapa penelitian telah menunjukan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri. Menurut Brunner dan Suddarth (2002), dalam Lukman (2013) tehnik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Pada masalah keperawatan yang kedua saat dikaji, didapatkan klien mengatakan aktivitas saat ini dibantu oleh keluarga dank lien juga mengatakan
nyeri
jika
bagian
fraktur
digerakkan
sehingga
dalam
beraktivitas klien menjadi lambat atau tidak dapat digerakkan. Imobilisasi atau gangguan aktivitas definisi dari NANDA, merupakan suatu keadaan ketika seseorang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Riyadi & Widuri, 2015). Menurut Saputra (2013) imobilitas dapat terjadi karena beberapa hal, misalnya trauma tulang belakang, cedera kepala berat, fraktur pada ekstremitas dan kelainan saraf. Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degenerative dan untuk aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam (Mubarak, 2008). Data objektif ditemukan klien tampak lemah, tampak aktivitas klien selalu dibantu oleh keluarga dan perawat, fraktur pada bagian 1/3 tibia fibula dextra, terdapat bengkak dan memar pada bagian fraktur, klien tampak tidak dapat melakukan apa-apa, klien terpasang IVD NaCl 0,9%
46
500cc 20tpm, klien terpasang kateter urine. Imobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan (Craven, 2000).
47
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, yang di sebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia dan fibula. Pada kasus Tn. D. K didapatkan data yang mendukung penegakkan diagnosa keperawatan 1.
Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan pada tulang/fraktur
2.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskeletal Evaluasi terakhir dilakukan pada tanggal 20 maret 2019 pukul 20.30,
untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan pada tulang/fraktur, klien mengatakan nyeri sedikit berkurang dengan skala nyeri 4 (sedang), klien tampak lemah, klien tampak bed rest, dan klien tampak meringis saat bergerak. Untuk evaluasi diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskeletal, klien mengatakan belum bisa melakukan aktivitas secara mandiri, aktivitas klien masih dibantu keluarga dengan tingkat aktivitas klien masih berada pada skala 2 (dibantu orang lain). Untuk diagnosa kedua masalah keperawatan tersebut, belum teratasi dan tindakan selanjutnya dilakukan di ruangan rawat inap.
B. Saran 1.
Bagi Pelayanan Kesehatan Perawatan penderita fraktur memerlukan waktu yang cukup panjang dan sangat beresiko terjadi komplikasi. Dengan demikian perawatan pada penderita haruslah dilakukan dengan cermat dan tepat, untuk mencapai hal tersebut Rumah Sakit hendaklah mempunyai petugas kesehatan yang telah berpengalaman dalam perawatan pasien fraktur.
48
2.
Bagi Pasien dan Keluarga Pada penderita fraktur sangat dibuthkan istirahat total dan minimalkan pengeluaran energi, jadi hal yang paling utama yang dapat dilakukan pasien dan keluarganya jika terjadi komplikasi adalah berupaya untuk beristirahat total.
49