Materi Fix Kep . Gerontik Praktek Lab.docx

  • Uploaded by: Elvia Kawuwung
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Materi Fix Kep . Gerontik Praktek Lab.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,844
  • Pages: 26
PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENYAKIT HEMOFILIA ( SISTEM HEMATOLOGI ) & P0ST POWER SYNDROME

Di Susun Oleh : Kelompok 10 ( Kelas B ) Semester VI  Mayor Jimmy Renaldo Lafina

16061079

 Rivaldo Karamoy

16061

 Ayunisari Musaling

16061077

 Yana Mamondol

16061090

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO

2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatNya , sehingga kami kelompok 10 dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana dengan Judul “ Pendidikan Kesehatan pada Penyakit Hemofilia & Post Power Syndrome “. Pembuatan Makalah bertujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan untuk Mata Kuliah : Praktek Lab Keperawatan Gerontik. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan , petunjuk maupun pedoman bagi pembaca untuk lebih mengetahui tentang “ Pendidikan Kesehatan pada penaykit Hemofilia & Post power Syndrome” . Kami kelompok penyusun Makalah ini , mengetahui bahwa masih banyak kekurangan dari proses Penyusunan dan pembuatan makalah Ini, oleh karena itu kami meminta saran dan kritik dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Manado , 05 Maret 2019 Penyusun

Kelompok 10

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... 17 DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 18 BAB I ........................................................................................................................................ 19 PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 19 A. Latar Belakang ............................................................................................................... 19 B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 20 C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 20 BAB II ....................................................................................................................................... 21 PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 21 1.

Definisi ........................................................................................................................... 21

2.

Etiologi ........................................................................................................................... 21

3.

Manifestasi Klinis .......................................................................................................... 22

4.

Patofisiologi ................................................................................................................... 23

5.

Komplikasi ..................................................................................................................... 24

6.

Penanganan..................................................................................................................... 25

BAB III...................................................................................................................................... 27 PENUTUP ................................................................................................................................. 35 1.

Kesimpulan..................................................................................................................... 35

2.

Saran ............................................................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Dalam mencapai manusia yang sehat secara fisik, manusia harus tahu bahwa sistem imunlah yang bekerja dalam menangkal semua penyakit yang menyerang tubuh kita. Di dalam melindungi tubuh kita, sistem imun memiliki kelainan-kelainan yang ada baik akibat keturunan ataupun akibat penyakit. Salah satu kelainan tersebut adalah hemofilia. Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen. Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sexlinked recessive yaitu : 

Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defesiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc).



Hemofilia B (Christmas disease) akaibat defesiensi atau disfungsi F IX (faktor Christmas)

Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahn akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35. Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekita abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah baru hemofilia baru dimulai dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris mengenai penyakit ini oleh Otta (1803). Sejak itu hemofilia dikenal dengan kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mandel diperkenalkan. Selanjutnya legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan gejala klinis, yaitu berupa kelainan yang diturunkan dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20 hemofilia masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan gangguan pembekuan darah. Pada

tahun 1940-1950 para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII dan F IX pada hemofilia A dan Hemofilia B. pada tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di plasma, yitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat hemofilia A dan penyakit van Willebrand. Memasuki abad 21, pendekatan diagnostik dengan teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi yang diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan aktivitas seperti orang lainnya tanpa hambatan. Penyakit ini bermanifestasi klinis pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang. Belum ada angka mengenai kekerapan di Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai disbanding kasus hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 8085% dan 10-15% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga (Ilmu Penyakit Dalam, 2010). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh World Federation of Hemofilia (WFH) pada tahun 2010, terdapat 257.182 penderita kelainan perdarahan di seluruh dunia, di antaranya dijumpai 125.049 penderita hemofilia A dan 25.160 penderita hemofilia B. Penderita hemofilia mencakup 63% seluruh penderita dengan kelainan perdarahan. Penyakit von Willebrand merupakan jenis kelainan perdarahan yang kedua terbanyak dalam survei ini setelah hemofilia yaitu sebesar 39.9%. B. Rumusan Masalah 1. Definisi Hemofilia ? 2. Etiologi ? 3. Manifestasi Klinis ? 4. Patofisiologi ? 5. Komplikasi ? 6. Penanganan ? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk Mengetahui Definisi Hemofilia ? 2. Untuk Mengetahui Etiologi ? 3. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis ? 4. Untuk Mengetahui Patofisiologi ? 5. Untuk Mengetahui Komplikasi ? 6. Untuk Mengetahui Penanganan ?

BAB II PEMBAHASAN 1. Definisi Hemofilia adalah gangguan produksi faktor pembekuan yang diturunkan, berasal dari bahasa Yunani, yaitu haima yang artinya darah dan philein yang artinya mencintai atau suka. Walaupun sebenarnya maknanya tidak sesuai, namun kata hemofilia tetap dipakai. Kelainan perdarahan yang diturunkan pertama kali didokumentasikan di abad kedua oleh Kerajaan Babilonia. Namun baru pada abad ke 18 dilaporkan adanya kemungkinan basis genetik untuk kelainan perdarahan ini dan mulai tahun 1950an transfusi fresh frozen plasma (FFP) digunakan. Pada tahun 1980an teknik rekombinan DNA untuk menproduksi faktor VIII (F VIII) dan faktor IX (F IX) mulai diterapkan Hemofilia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara x-linked resesif berdasarkan hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit ini terjadi akibat kelainan sintesis salah satu faktor pembekuan, dimana pada hemofilia A terjadi kekurangan F VIII (Antihemophilic factor), sedangkan pada hemofilia B terjadi kekurangan F IX (Christmas factor). Hemofilia A mencakup 80-85% dari keseluruhan penderita hemofilia. Secara klinis hemofilia dapat dibagi menjadi hemofilia ringan, hemofilia sedang dan hemofilia berat berdasarkan derajat kekurangan faktor pembekuan yang bersangkutan.

2. Etiologi Hemofilia disebabkan oleh factor gen atau keturunan. hemofilia A dan B, kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif terkait –X. Oleh karna itu semua anak perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang kerier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia dapat terjadi pada wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier) tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi .kira-kira 30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi spontan (Hoffbrand, Pettit, 1993).

Hemofilia juga dapat disebabkan oleh mutasi gen. (Muscari, Mary E. 2005) Menurut Robbins (2007) 70-80% penderita Hemofilia mendapatkan mutasi gen resesif X-linked dari pihak Ibu. Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X dan bersifat resesif., maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (laki-laki, XhY); dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila kromosom X pada perempuan terdapat kelainan (XhXh). Penyebab hemofilia karena adanya defisiensi salah satu faktor yang diperlukan untuk koagulasi darah akibat kekurangna faktor VIII atau XI, terjadi hambatan pembentukan trombin yang sangat penting untuk pembentukan normal bekuan fibrin fungsional yang normal dan pemadatan sumbat trombosit yang telah terbentuk pada daerah jejas vaskular. Hemofilia A disebabkan oleh defisiensi F VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan karena defisiensi F IX. Terdapat faktor risiko pada penyakit hemofilia yaitu riwayat keluarga dari duapertiga anak-anak yang terkena menunjukkan bentuk bawaaan resesif terkait-x. Hemofilia A (defisiensi faktor VIII terjadi pada 1 dari 5000 laki-laki. Hemofilia B ( defisiensi faktor IX) terjadi pada seperlimanya.

3. Manifestasi Klinis Gejala yang paling sering terjadi pada hemofilia ialah perdarahan, baik yang terjadi di dalam tubuh (internal bleeding) maupun yang terjadi di luar tubuh (external bleeding). Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema, hematemesis, he- matoma, perdarahan intrakranial, hematuria, melena, dan hemartrosis.

Terdapatnya

external

bleeding

dapat

bermanifestasi

sebagai

perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal atau pada ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi luka kecil; dan perdarahan dari hidung tanpa sebab yang jelas. Gambaran klinis yang sering terjadi pada klien dengan hemofilia adalah adanya perdarahan berlebihan secara spontan setelah luka ringan, pembengkakan, nyeri, dan kelainan-kelainan degeneratife pada sendi, serta keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan perdarahan gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi (Handayani, Wiwik, 2008). Pada penderita hemofilia ringan

perdarahan spontan jarang terjadi dan perdarahan terjadi setelah trauma berat atau operasi,. Pada hemofilia sedang, perdarahan spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan. Sedangkan pada hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi dengan perdarahan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Perdarahan dapat mulai terjadi semasa janin atau pada proses persalinan. Umumnya penderita hemofilia berat perdarahan sudah mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Perdarahan dapat terjadi di mukosa mulut, gusi, hidung, saluran kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan, otot iliospoas, betis dan lengan bawah. Perdarahan di dalam otak, leher atau tenggorokan dan saluran cerna yang masif dapat mengancam jiwa. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam menyatakan bahwa Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut karena fungsinya. Hematoma intramaskuler terjadi pada otot – otot fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-otot region iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nayata. Pendarahan intracranial bisa terjadi secara spontan atau trauma yang menyebabkan kematian. Retriperitoneal

dan

retrofaringeal

yang

membhayakan

jalan

nafas

dan

mengancam kehidupan. Kulit mudah memar, Perdarahan memanjang akibat luka, Hematuria

spontan,

Epiktasis,

Hemartrosis

(perdarahan

pada

persendian

menyebabkannyeri, pembengkakan, dan keterbatasan gerak, Perdarahan jaringan lunak. Pembengkakan, keterbatasan gerak, nyeri dan kelainan degenerative pada persendian yang lama kelamaan dapat mengakibatkan kecacatan (Aru et al, 2010).

4. Patofisiologi o Periode neonatal Periode neonatal ialah rentang waktu sejak kelahiran sampai 28 hari post natal. Perdarahan intrakranial (intracranial hemorrhage, ICH) biasanya merupakan tanda pertama yang dapat ditemukan pada periode ini.

Riwayat hemofilia dalam keluarga merupakan hal penting dalam menentukan teknik persalinan untuk mengurangi risiko trauma persalinan. o Periode infant, toddler dan child Periode infant dimulai setelah neo- natal sampai usia 1 tahun, kemudian beralih ke periode toddler sampai usia 2 tahun, selanjutnya periode risiko

child

sampai usia 10 tahun. Pada periode infant dan toddler,

terjadinya

perdarahan menjadi lebih tinggi seiring dengan

perkembangan dan pertumbuhan bayi yaitu mulai belajar untuk duduk, merangkak, berdiri, berjalan, dan berlari. Hematom dan hemartrosis mulai ditemukan pada periode ini. Selain itu, pemberian imunisasi juga memerlukan perhatian khusus karena imunisasi biasanya diberikan secara intra- muskular. o Periode adolescent dan adult Periode adolescent ialah rentang waktu

usia 10-19 tahun, dan

selanjutnya adult sampai usia 64 tahun. Pada periode adolescent, amigdala yang bertanggung jawab terhadap perilaku instingtual berkembang pesat sedangkan lobus frontal yang berfungsi dalam reasoning, yaitu perilaku untuk berpikir dahulu sebelum bertindak belum berkembang sempurna. Olahraga dan permainan yang memacu adrenalin biasanya

menjadi bagian

dari kehidupan anak yang dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan baik internal maupun eksternal. Pada periode adult, fungsi lobus frontalis dalam hal reasoning sudah berkembang

baik.

Pasien

hemofilia

sudah

cukup

dewasa

untuk

menyesuaikan diri sehingga umumnya risiko terjadinya perdarahan atau komplikasi lainnya dapat dihindari.

5. Komplikasi Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus hemofilia ialah komplikasi muskuloskeletal dan reaksi auto-antibodi (inhibitor) terhadap faktor pembekuan darah itu sendiri, baik terhadap faktor VIII

atau faktor IX. Komplikasi

muskuloskeletal yang dapat terjadi ialah artritis hemofilik dan perdarahan otot . Berdasarkan patofisiologinya, artritis hemofilik dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu hemartrosis akut, sinovitis kronis, dan artritis degeneratif . Pada

perdarahan sendi, posisi nyaman bagi pasien

ialah

cenderung posisi

fleksi.

Kondisi ini akan memengaruhi otot-otot stabilisator di daerah tersebut. Kelemahan otot stabilisator akan memicu kerja otot- otot mobilisator di dekatnya untuk menggantikan fungsinya sebagai stabilisa- tor, sehingga otot-otot mobilisator akan cenderung overcontracted yang berakibat mudah

terjadi

fatique

( otot

mobilisator terdiri dari serat otot tipe II b). Kondisi ini rawan bagi otot untuk terjadinya perdarahan otot. 6. Penanganan  Terapi Suportif o Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan o Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50% o Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi perdarahan untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi. o Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis o Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, hindari analgetik yang mengganggu agregasi trombosit o Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medic atritis hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas, penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.  Terapi Pengganti Faktor Pembekuan Dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX baik rekombinan, kosentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak factor pembekuan tersebut. Hal ini berfungsi untuk profilaktif/untuk mengatasi episode perdarahan. Jumlah yang diberikan bergantung pada factor yang kurang.  Terapi lainnya

o Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan hemofili A ringan sampai sedang. DDAVP meningkatkan pelepasan factor VIII. o Pemberian prednisone 0.5-1 mg/kg/bb/hari selama 5-7 hari mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (atrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta menurunkan kualitas hidup pasien Hemofilia (Aru et al, 2010) o Transfusi periodik dari plasma beku segar (PBS) o Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM o Membersihkan mulut sebagai upaya pencegahan o Bidai dan alat orthopedic bagi pasien yang mengalami perdarahan otak dan sendi (Hadayani, Wiwik, 2008)  Penatalaksanaan Lainnya Protokol penanganan kasus kelainan pembekuan darah dianjurkan

yang

berda- sarkan kadar plasma spesifik, yakni kadar faktor

pembekuan VIII/IX dalam darah. Pada kasus hemartrosis, bila tidak didapatkan respons dengan pemberian terapi hematologi, perlu dipikirkan tindakan joint aspiration (arthrocentesis). Tindakan ini harus dilakukan 3-4 hari setelah onset hemartrosis untuk mengistirahatkan sendi yang terkena, sehingga pada saat joint aspiration dilakukan, inflamasi yang terjadi tidak terlalu hebat ( joint aspiration sendiri sudah bersifat infasif. Join aspiration ditujukan lingkup

untuk

membantu

mengurangi nyeri

dan

meningkatkan

gerak sendi. Kontraindikasi joint aspiration ialah adanya proses

infeksi baik sistemik maupun lokal yang sedang berlangsung. Pemilihan ukuran jarum sekitar 25-30G untuk mengurangi nyeri saat penusukan dan inflamasi setelah joint aspiration selesai dilakukan.  Rehabilitasi Medik Penanganan rehabilitasi medik ini dimulai dari pemeriksaan fisik. Pemerik- saan fisik harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memicu terjadinya perdarahan; dalam hal ini, komunikasi antara terapis dan pasien menjadi kunci utama. Kompo- nen pemeriksaan fisik terdiri dari observasi, lingkup gerak sendi dan fungsi otot, serta pemeriksaan status neurologic. Observasi meliputi respons pasien terhadap

terapi

faktor

pembekuan darah VIII atau IX; respons pasien terhadap aktivitas fungsional seperti duduk, berdiri, atau berjalan; dan gangguan postur atau pola

berjalan, dan ada tidaknya perbedaan panjang kedua tungkai. Mengenai lingkup gerak sendi dan fungsi otot, perlu dilakukan pencatatan keadaan sendi dan otot sebelum dan selama follow up (edema, nyeri, lingkup gerak

sendi,

deformitas,

dan lingkar sendi atau otot yang terkena).

Pemeriksaan status neurologik penting dilakukan

karena

komplikasi

muskulskeletal dapat menyebabkan gangguan neurologik misalnya neuropati perifer pada hemofilia berat. Pemeriksaan penunjang dilakukan un- tuk membantu menegakkan diagnosis dan penanganan komplikasi muskuloskeletal. Untuk hemartrosis, klasifikasi radiologik yang digunakan berdasarkan Arnold- Hilgartner. Pada komplikasi

perdarahan otot, penggunaan ultrasound dapat mem- berikan

informasi tentang distribusi per- darahan otot yang terjadi. Untuk kepentingan ini, frekuensi ultrasound yang digunakan 7- 12 Mhz dengan transduser jenis linear arayy transducer.

PEMBAHASAN POST POWER SYNDROME

1. Definisi Masa

transisi

yang

dialami

oleh

individu

dari

bekerja

dan

kemudian pensiun sangat mempengaruhi psikologis individu tersebut. Pada satu pihak kemampuan fisik pada usia tersebut menurun namun di sisi lain, individu tersebut kaya akan pengalaman. Kejayaan masa lalu yang pernah di peroleh sudah tidak lagi mendapat perhatian karena secara fisik , mereka dinilai lemah. Kesenjangan inilah yang membuat konflik batin dalam diri individu tersebut. Kesenjangan ini juga menimbulkan perasaan terasingkan. Inilah yang disebut dengan post power syndrome (Jalaluddin, 1996:111). Post power syndrome adalah gejala sindrom yang cukup populer di kalangan orang lanjut usia khususnya sering menjangkit individu yang telah usia lanjut dan telah pensiun atau tidak memiliki jabatan lagi di tempat kerjanya. Post power syndrome merupakan salah satu gangguan

keseimbangan mental ringan akibat dari reaksi somatisasi dalam bentuk dan

kerusakan

fungsi-fungsi

jasmaniah

dan

rohaniah

yang

bersifat

progresif karena individu telah pensiun dan tidak memiliki jabatan ataupun kekuasaan lagi ( Kartono, 2000:231). Turner & Helms (dalam Hidayati, 2009:32) menyatakan bahwa penyebab

terjadinya

post power

syndrome

dalam

kasus

kehilangan

pekerjaan yakni, kehilangan harga diri, hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan atas pengakuan diri, kehilangan fungsi eksekutif yaitu fungsi yang memberikan kebanggaan diri, kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu, kehilangan orientasi kerja, kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu. Kartono (2000:233) mendefinisikan post power syndrome sebagai reaksi somatisasi

dalam bentuk sekumpulan

kerusakan fungsi

simptom penyakit,

dan

jasmani dan mental yang progresif karena yang

bersangkutan sudah tidak bekerja, pensiun, tidak menjabat lagi. Tabrani (1995:36-37) menyatakan ada 3 hal utama penyebab terjadinya post power syndrome yaitu: 

Terputusnya profesi yang telah puluhan tahun dibina, padahal profesi tersebut bukan saja landasan jasmani akan tetapi juga landasan rutin bagi kejiwaan.



Kedua

adalah

kekurangan

kharisma.

Kharisma

yang

bersifat

jabatan banyak hubungannya dengan kharisma dalam kehidupann masyarakat.

Seorang

pemimpin

bukan

saja di segani

oleh

bawahannya, akan tetapi juga karena jabatannya ia disegani oleh rakyat banyak. 

Ketiga adalah karena penghasilan menurun. Penghasilan menurun bukan saja menimbulkan kesulitan yang dialaminya pada saat itu akan tetapi juga kekhawatiran tentang masa depan yang akhirnya Ray Ellis (dalam Hurlock, 1980:414), bagi orang usia lanjut yang berorientasi pada kerja adalah hal penting bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat memberikan status dan perasaan berguna.



Individu yang telah usia lanjut sulit hidup berdampingan dengan golongan usia muda karena golongan usia lanjut yang merasa telah banyak pengalaman dibanding generasi muda selalu memiliki banyak

pernyataan dan kritik terhadap prestasi atau hasil yang dicapai oleh generasi muda. Ada semacam kecenderungan dalam diri usia lanjut yang ingin selalu dipuji dan dibanggakan (Jalaluddin, 1996:112).

Jadi dari beberapa teori yang telah dipaparkan, secara global dapat disimpulkan bahwa orang lanjut usia mengalami penurunan fungsi psikis dan

mentalnya

yang

akibatnya

membuat

mereka

menarik diri dari lingkungan sosialnya. Ini juga berakibat buruk pada diri usia lanjut. Mereka menjadi mudah mengalami penyakit fisik seperti jantung dan stroke ataupun psikis misalnya seperti post power syndrome tersebut.

2. Penyebab Post Power Syndrome Menurut Prayitno (1984:51) bagi individu usia lanjut, pensiun merupakan penurunan peran, status sosial, prestise. Penurunan pendapatan, penurunan harga diri serta muncul perasaan tidak berguna akan mengganggu keseimbangan fungsi kejiwaan. Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless) artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai telah tiada. Dampak dari lost of love object ini adalah terganggunya mental-emosional

dengan

keseimbangan

manifestasi berbagai keluhan fisik, kecemasan

dan terlebih lagi depresi (Hawari, 1997:59). Uraian yang telah dijelaskan diatas membuktikan bahwa pensiun, tidak bekerja, berkurangnya aktifitas, tidak memiliki kekuasaan seperti dahulu pada umumnya diterima dengan perasaan negatif. Bahkan mereka yang belum siap secara mental akan mengalami ketegangan (shock). Ketegangan tersebut menghasilkan perasaan minder, inferior, tidah berharga, tidak dibutuhkan lagi. Simptom-simptom post power syndrome disebabkan karena rasa kecewa, takut, cemas yang mengganggu fungsi-fungsi organik dan psikis sehingga menimbulkan penyakit atau dalam istilah klinisnya ialah somatoform. Mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi hidup yang baru (Kartono, 2000:234). Gejala-gejala yang terlihat pada penderita post power syndrome akan lebih mudah diketahui ketika individu tersebut berinteraksi dengan orang lain (Agustina, 2008 e-article). Di antaranya , Yaitu

Pertama adalah gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat terlihat tua tampaknya dibandingkan waktu ia bekerja. Rambutnya didominasi warna putih (uban), berkeriput, dan menjadi pemurung, sakit- sakitan, tubuhnya menjadi lemah. Kedua adalah gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan sebagainya

Ketiga adalah gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah

melakukan

pola-pola

kekerasan

atau

menunjukkan

kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain. Kartono (2000:234) menunjukkan gejala psikis dan fisik orang yang mengalami post power syndrome yaitu layu, sayu, lemas, apatis, depresif, serba salah, tidak pernah merasa puas dan putus asa, mudah tersinggung, gelisah, cemas, agresif, suka menyerang dengan ucapan atau benda-benda. Gejala yang tampak saat orang mengalami post power syndrome adalah gejala fisik, emosi dan perilaku. Gejala fisik dapat dilihat dari seseorang yang tampak lebih tua dibanding pada saat orang tersebut menjabat. Gejala emosi

misalnya

cepat

tersinggung,

merasa

tidak berharga, ingin

menarik diri dari lingkungan pergaulan, dan sebagainya. Gejala perilaku misalnya

malu

bertemu

orang

lain,

lebih

mudah melakukan

kekerasan, sering menunjukan kemarahan dan sebagainya (Indati dalam Hidayati, 2003:4). Greist dan Jefferson

(dalam Maramis,

1990:766)

menyatakan

secara garis besar gejala-gejala post power syndrome adalah depresi, kompensasi yang berlebihan serta irritabilitas. Depresi dalam post power syndrome adalah gangguan yang berlangsung cukup lama disertai gejalagejala atau tanda-tanda spesifik yang secara substansial menganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang atau menyebabkan kesedihan yang amat dalam. Kehilangan jabatan berarti perubahan posisi dari yang kuat dan punya kuasa kini merasa lemah dan kehilangan kuasa. Perubahan ini mengakibatkan perubahan alam pikir (rasio) dan alam perasaan (afeksi) pada diri yang bersangkutan. Keluhan yang bersifat fisik dan kejiwaan (cemas atau depresi) itu sifatnya ke dalam, tertutup dan tidak terbuka, maka akan terlihat pula keluhan psikososial dalam bentuk ucapan atau perilaku antara lain suka mengkritik, merasa dirinya benar, prasangka buruk curiga, mencela, skeptis, merasa diperlakukan tidak adil, kecewa, tidak puas, suka menggerutu dan di ulang-ulang, membesar-besarkan masalah (Hawari, 1997:59).

Beberapa karakteristik gejala post power syndrome antara lain suasana hati yang buruk terlihat dari wajah selalu murung dan mudah merasa cemas, merasa harga dirinya rendah (self-esteem rendah), pesimis, menurunnya minat dalam segala hal, perilaku yang nampak seperti tubuh lunglai (Maramis, 1990:766). Gejala post power syndrome memang merupakan gejala umum yang dialami oleh individu usia lanjut. Tujuan utama dari aktifitas yang ditekuni oleh individu itu merupakan bagian dari perwujudan dari perilaku kompensasi.

Upaya untuk mengisi kekosongan

batin yang sudah

kehilangan dukungan nyata, hingga timbul kepuasan diri dan ditujukan oleh orang lain “bahwa aku masih seperti yang dulu”.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah dengan karakteristik sex-linked resesif dan autosomal resesif, disertai masalah perdarahan dan kelainan pembekuan yang memerlukan penanganan multidisipliner. Gejala yang paling sering terjadi ialah perdarahan, baik di dalam tubuh (internal bleeding) maupun di luar tubuh (external bleeding). Perjalanan penyakitnya sendiri sudah dimulai dari masa neonatal. Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan fungsi homeostasis. Komplikasi yang paling sering ditemukan ialah komplikasi muskuloskeletal dan reaksi auto-antibodi (inhibitor) terhadap faktor pembekuan darah sendiri baik terhadap faktor VIII atau faktor IX. Pendekatan farmakologik pada hemofilia tergantung dari gejala klinis yang muncul namun pendekatan rehabilitasi medik pada hemofilia tidak tergantung gejala klinis yang muncul karena pendekatan ini lebih difokuskan ke seluruh aspek kehidupan pasien hemofilia. Pendekatan ini sudah harus dilakukan sejak dini mengingat komplikasi yang mungkin ditimbulkan, yang dapat menyebabkan disabilitas dan handicap, tersering akibat komplikasi muskuloskeletal. Dengan penanganan rehabilitasi medik yang berbasis pendekatan tim, diharapkan komplikasi muskuloskeletal dapat diminimalisasikan dan prognosis pasien hemofilia dapat lebih baik. 2. Saran Kami Sadar bahwa proses pembuatan makalah ini belum sebaik dan selengkap dalam penyusunan Materi. Oleh karena itu Kami Kelompok meminta saran yang membangun sehingga proses pembuatan makalah untuk ke depan bisa tersusun dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber Website : http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/35611/Chapter%20II.pdf?sequ ence=4&isAllowed=y

http://scholar.unand.ac.id/13240/6/BAB%20I%20PENDAHULUAN%20YOGA.pdf

https://www.researchgate.net/publication/312408540_Hemartrosis_pada_Hemofilia/d ownload

http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=1054

2. Sumber Jurnal :

19-32-1-SM Hemofiia.pdf

2587-4748-2-PB Hemofilia.pdf

Chapter II Hemofilia .pdf

Hemartrosis_pada_Hemofilia.pdf

Fis.S.34.17 . Ayu.o - JURNAL Hemofilia.pdf

Related Documents


More Documents from "Yuli Amelia"