BAB I FILSAFAT ILMU A. Pengertian Filsafat Ilmu Filsafat ilmu berasal dari dua kata, yaitu filsafat dan ilmu. Dua kata ini memiliki arti masing-masing. Apabila kedua kata ini digabungkan pun akan memiliki arti tersendiri. Filsafat dan ilmu yang kita kenal dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya sebagai dua hal yang berlainan. Nama yang dipakai pada saat itu adalah episteme. Episteme merupakan sinonim kata philosophia atau nantinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi filsafat.[1] Filsafat dari asal bahasanya sendiri diambil dri bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata philo yang artinya cinta, suka dan shopia yang berarti kebijaksanaan, hikmah (wisdow) atau pengetahuan yang mendalam. Menurut istilah, filsafat adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat sesuatu yang ada. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala sesuatu.[2] Sedangkan secara harfiah kata ilmu berasal dari bahasa arab ‘ilmi yang berarti pengetahuan. Kata ini sering disejajarkan dengan kata science yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui. The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional-empiris megenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. [3] Adapun ilmu adalah kumpulan dari beberapa pengetahuan yang saling berkaitan atau bervariasi tentang sesuatu. Imam al-Ghazali sepakat dengan rumusan seperti ini, meskipun tidak dengan eksplisit menyetujuinya ketika membahas kemampuan manusia untuk mencari kebenaran. Pengertian ilmu sebagai kumpulan sistematik. Sejumlah pengetahuan juga disepakati oleh pakar filsafat ilmu barat seperti Henry W. Johnstone, John G. Kemeny. [4] Definisi filsafat ilmu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: 1. Robert Akermann Filsafat ilmu adalah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat masa lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu dengan jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktik ilmiah yang sebenarnya. 2. Lewis White Back Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. 3. A. Cornelius Benjamin Filsafat ilmu sebagai cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual. 4. May Brodbeck Filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasanlandasan ilmu. 5. The Liang Gie Ilmu adalah pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan ilmu dimaksud meliputi: konsepkonsep pangkal, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis, ukuran-ukuran
kebenaran ilmiah.[5] Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience (adi-ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu). The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalanpersoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Problem-problem dalam filsafat ilmu antara lain sebagai berikut : 1. Apakah konsep dasar ilmu? Maksudnya, bagaimana filsafat ilmu mencoba untuk menjelaskan anggapan-anggapan dari setiap ilmu, dengan demikian filsafat ilmu dapat lebih menempatkan keadaan yang tepat bagi setiap cabang ilmu. Dalam masalah ini filsafat ilmu tidak dapat lepasa begitu saja dari cabang filsafat lainnya yang lebih utama adalah epistemologi atau filsefat pengetahuan dan metafisika. 2. Apakah hakikat dari ilmu? Artinya, langkah-langkah apakah yang dilakukan suatu pengetahuan sehingga mencapai yang bersifat keilmuan. 3. Apakah batas-batas dari ilmu? Maksudnya, apakah setiap ilmu mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ataukah ada norma-norma fundamental bagi kebenaran ilmu. [6] Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua yakni filsafat ilmu dalam arti luas dan filsafat ilmu dalam arti sempit. 1. Filsafat ilmu dalam arti luas, yaitu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan keluar dari kegiatan ilmiah, seperti: - Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah; - Tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu; - Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu dan sebagainya. 2. Filsafat ilmu dalam arti sempit, yaitu menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan kedalam yang terdapat didalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah. [7] Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu yakni : 1. Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat pengetahuan manusia dan bentuk pengetahuan manusia. 2. Menyangkut cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan logika dan metodologi. Ini berarti cara-cara mengusahakan dan memperoleh pengetahuan ilmiah berkaitan erat dengan susunan logis dan metodologis serta tata urutan berbagai langkah dan unsur yang terdapat dalam kegiatan ilmiah pada umunya. [8] B. Obyek Pembahasan Filsafat Ilmu Obyek filsafat ilmu setidaknya ada dua yang substantif dan ada dua yang instrumentatif. Dua yang substantif adalah kenyataan dan kebenaran sedangkan dua yang insstrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi. 1. Kenyataan atau Fakta Kenyataan atau fakta adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Positivisme hanya mengakui penghayatan yang empiris sensual. Sesuatu sebagai nyata bagi positivismebila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang lain. Data empiris sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti empiri pada realisme, bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu yang mungkin memiliki makna lebihdalam yang seragam. Empiri pada realisme memang mengenai hal yang real, dan memang secara substantif ada empiri yang substantif real baru dinyatakan ada bila ada kohehrensi yang obyektif universal. 2. Kebenaran
Benar mana yang hendak dijangkau oleh filsafat ilmu : benar epistimologik, ontologik, atau benar aksiologik ? Berbagai metode di atas akan beda tela’ahnya. 3. Konfirmasi Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaanpemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolute, dan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian. Probabilitik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif. 4. Logika Inferensi Logika paradigma dengan menggunakan ragam pola pola pikir terutama yang menyebar dan horisontal, serta mengembangkan pemaknaan menjangkau kebenaran etik dan diluar segala kesanggukan manusia biasa. Logika pragmatik dapat digunakan seni berfikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, anti tesis dan sintesis, yang berupaya memadukan ide value dalam tindakan fungsional operasional.[9] C. Fungsi Ilmu Ilmu memiliki kegunaan atau fungsi dan fungsi ilmu tidaklah satu melainkan banyak.Ilmu mempunyai sejumlah fungsi yang bertalian. Beberapa fungsi ilmu adalah; 1. Untuk mendapatkan penjelasan (explorasi) 2.Untuk peramalan (prediction) 3.Untuk pengendalian (control) 4.Untuk penerapan (application) Ilmu diperkembangkan oleh ilmuan untuk mencapai kebenaran dan untuk mendapatkan pengetahuan.Dari kedua hal itu ilmu diharapkan dapat pula mendatangkan pemahaman kepada manusia tentang alam semesta, dunia sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman itu ilmu akan dapat memberikan penjelasan tentang gejala alam, peristiwa masyarakat, atau perilaku manusia yang perlu dijelaskan. Penjelasan dapat menjadi landasan untuk peramalan yang selanjutnya bisa merupakan pangkal bagi pengendalian terhadap sesuatu hal. Akhirnya ilmu juga diarahkan pada tujuan penerapan, yaitu untuk membuat aneka sarana yang akan membantu manusia mengendalikan alam atau mencapai suatu tujuan praktis apapun. Dengan demikian, ilmu tidak mengarah pada tujuan tunggal yang terbatas melainkan pada macam-macam tujuan, yang tampaknya dapat berkembang terus sejalan dengan pemikiran ilmuan.[10] BAB II POSISI AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH DALAM STRUKTUR ILMU ISLAM A. Posisi Al-Qur’an Dalam Ilmu Islam Al- Qur’an juga bisa dijadikan sebagai rumusan teori, dalam hal ini Al-Qur’an dijadikan sebagai paradigma. Dalam pengertian ini paradigma Al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Al-Qur’an sebagai dasar dari ilmu islam yang bersifat universal tidak serta merta memberikan semua yang dibutuhkan dalam ilmu tersebut, tetapi juga disempurnakan dengan keberadaansunnah yang merupakan warisan dari Rasul. Hal ini juga tidak menutup kemungkinanterjadinya perbedaan penafsiran yang muncul karena benyaknya pemikir-pemikir yang mempunyai otak yang berbeda, namun hal tersebut tidak menjadikan esensi dari keilmuan kabur begitu saja bahkan akan memperkaya keilmuan didalam islam. Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai petunjuk kepada jalan yang lurus. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia. Orientasi syri’at Al-Qur’an adalah membangun kebajikan jalan hidup manusia, mewujudkan kemaslahatan syari’at tersebut, melalui asa yang lebih besar, lebih lurus jalannya, menuju suatu arah yang lebih selamat dan shahih, baik didunia maupun di akhirat.[11] B. Posisi As-Sunnah Dalam Ilmu
Para ulama’ menyatakan bahwa kedudukan Assunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penjelas. Karena kedudukan itu, As-sunnah selalu mempunyai dasar Al-Qur’an. As-sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. Para ulama’ memandang As-sunnah sebagai sumber kedua ajaran islam setelah Al-Qur’an. Ada tiga fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an: 1. As-sunnah sebagai penguat terhadap hukum syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an. 2. As-sunnah menjelaskan globalitas Al-Qur’an dan menafsirkan hukum-hukum syara’. 3. As-sunnah membangun sandaran hukum baru yang tidak disebut dalam Al-Qur’an. Kalau tidak ada as-sunnah, maka islam dan syari’atnya hanya merupakan rumus, kaidah-kaidah, dasar-dasar, seperangkat kisah dan kabar, kalimat yang memukau, akhlak dan hukum-hukum minim. Al-Qur’an dan As-sunnah adalah dua hal yang tidak dapat dipisakan, keduanya merupakan sumber hukum islam yang tidak dapat dipisahkan. [12] C. Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum islam Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam berbagai dimensi kehidupan. Dari dulu hingga sekarang umat islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu, dan tidak sedikitpun ada keraguan. Al-Qur’an juga diakui sebagai teman berdialog yang sempurna dan diturunkan sebagai gambaran cara yang benar bagi setiap orang dan memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan masalah yang muncul dihadapan manusia. Selain Al-Qur’an, Allah juga memberikan petunjuk dan kaidah-kaidah kepada manusia melalui sunnah-sunnah nabi. Yakni ucapan, perbuatan, ketetapan atau sifat maupun sirah Rasulullah SAW. Umat islam hampir seluruhnya sepakat , bahwa sunnah Rasul merupakan suatu sumber hukum islam yang kedua setelah islam. Penerimaan AlQur’an sebagai sumber hukum islam dan As-sunnah sebagai sumber hukum pula menuntut kejelasan hubungan dan fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an.[13] D. Al-Qur’an dan As-Sunnah Sebagai Sumber Segala Ilmu Al-Qur’an demikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitab-kitab suci yang lain. Di dalam Al-Qur’an terdapat berates-ratus ayat yang menyebut tentang ilmu dan pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu. Dalam surat alMujadilah ayat 11 dan surat al-Zumar ayat 9 disebutkan bahwa: “ Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan mempunyai ilum.” “ Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui ?” Di samping itu masih banyak ayat lain yang menyatakan tentang kemuliaan ilmu. Dalam hadits rasulullah SAW. dan para imam ahlul bait yang berkedudukan mengiringi Al-Qur’an terdapat dalil-dalil yang tidak terhitung banyaknya tentang anjuran mencari ilmu, arti penting dan kemuliaannya.[14] Dalam banyak ayat, Al-Qur’an mengajak untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan allah di langit, bintang-bintang yang bercahaya, susunannya yang menakjubkan dan peredarannya yang mapan. Ia juga mengajak untuk memikirkan penciptaan bumi, laut, gunung-gunung, lembah, keajaiban yang terdapat di dalam perut bumi, pergantian musim, siang dan malam.[15] Hal tersebut mengisyaratkan pada manusia bahwasanya Allah menciptakan semua yang ada dilangit dan di bumi agar dijadikan sebagai bahan renungan dan pemikiran. Karena di dalam segala penciptan-Nya tersebut terdapat berbagai macam pengetahuan ilmu yang dapat diperoleh dan dimanfaatkan oleh manusia.[16] Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan seringkali dipahami sebagai satu konflik. Kemajuan salah satu dianggap sebagai kemunduran bagi yang lainnya. Tetapi islam tidak mendekati permasalahan ini dari perspektif tersebut karena Al-Qur’an dan as-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sem,purna yang mencakup semua aspek kehidupan, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau pencapaian-pencapaian ilmiah. Sehingga kegiatan
ilmiah merupakan unsure dari totalitas sistem islam dimana masing-masing bagian memberikan sumbangan atau melengkapi yang lainnya.[17] BAB III STRUKTUR ILMU A. Pengertian Struktur Ilmu Struktur merupakan organ/ atau perangkat dari organisasi tersebut yang tentunya terkait dengan mekanisme kerjanya dan tujuan yang akan dicapai. Melalui sistem kerja yang masing-masing organisasi tentu memliki kekhsusan tersendiri, Dalam proses operasionalnya tentu diperlukan koordinasi yang baik agar tautan dari perangkat satu dan lainya tidak terputus. Seorang kepala sekolah dalam organisasi sekolah misalnya, sampai kepada para guru pemegang mata pelajaran bahkan sampai kepada tukang kebun, agar tujuan organisasi tersebut yaitu memintarkan, akan dapat tercapai jika mereka memiliki koordinasi yang baik.[18] B. Perangkat dalam Struktur Ilmu 1. Harus terdapat komponen-komponen di dalam struktur Dikatakan harus ada karena yang dikatakan struktur tentu bukan merupakan satu kesatuan yang utuh tanpa memiliki organ-organ di dalam dirinya.Dalam hal ini yang dimaksud dengan komponen-komponennya tentu juga bersifat abstrak sebagai mana struktur ilmu itu sendiri merupakan satu kesatuan yang sebenarnya abstrak pula. 2. Harus terdapat Fungsi-fungsi di dalam struktur Mengenai fungsi di dalam struktur ilmu tentu merupakan suatu hal yang tidak kalah pentingnya dengan komponen-komponen yang ada di dalam struktur ilmu.Dikatakan demikian karena Struktur ilmu sebagai salah satu kajian dalam kajian filsafat ilmu jelas memiliki fungsi-fungsi. Jika dilihat dari definisi yang dapat disimpulkan di atas, fungsi yang paling utama tentunya adalah untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi ada pula fungsi-fungsi struktur ilmu yang lain yang juga penting; yaitu ia menjadi sebuah alat ukur bagi sebuah kebenaran dalam ilmu pengetahuan.[19] C. Sistematika Kerja Struktur Ilmu 1. Perumusan masalah Perumusan masalah diletakkan pada barisan depan karena komponen ini berfungsi sebagai penentu apakah sebuah fenomena yang dijumpai merupakan sebuah masalah yang perlu dikaji secara keilmuan atau tidak. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya dapat dibedakan antara masalah yang dapat dijawab melalui metode ilmu atau mungkin tidak tepat untuk ilmu. 2. Pengamatan dan Deskripsi Yang paling utama dalam kegiatan pengamatan dan deskripsi adalah klasifikasi, kemampuan mengklasifikasikan masalah akan mengarahkan pada deskripsi yang benar pada sebuah masalah yang akan dikaji. Jika dalam kajian ilmu fisika, biologi atau yang lain (non-sosia),sorang ilmuan mungkin saja untuk membuat istilah-istilah,namun untuk ilmusosial yang subyeknya manusia dan masyarakat; biasanya telah memiliki nama dan klasifikasi. Beberapa langkah berikut akan membantu dalam pendeskripsian masalah: · Melakukan Tinjauan Pustaka · Membuat Sebuah Persepsi · Memanfaatkan Teknologi · Menggunakan Pengukuran 3. Penjelasan Dalam upaya penjelasan, mungkin dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Penjelasan Deduktif; yaitu sebuah penjelasan yang terdiri dari serangkaian pertanyaan di mana kesimpulan tertentu disimpulkan setelaah menetapkan aksioma atau postulat. b. Penjelasan Probabilistik (kemungkinan); yaitu penjelasan hanya menggunakan kata "mungkin", "hampir pasti", atau dalam batas 5%. Hal ini terjadi apabila kita berurusan dengan sejumlah besar manusia, atau individu dengan berbagai macam tingkah lakunya c. Penjelasan Genetis; Yaitu menjawab pertanyaan "mengapa" dengan apa yang terjadi sebelumnya. d. Penjelasan Fungsional; yaitu menjawab pertanyaan "mengapa" dengan jalan menyelidiki tempat obyek yang sedang diteliti dalam keseluruhan sistem di mana obyek tersebut berada. 4. Ramalan dan Kontrol Hipotesis yang diajukan dapat disyahkan kebenarannya dengan cara yang memungkinkan adanya ramalan dan kontrol. Macam-macam ramalan dan control: 1) Hukum; yaitu yang dalam ilmu sosial diartikan sebagai keteraturan yang fundamental yang dapat diterapkan kepada hakekat manusia. 2) Proyeksi; yaitu bentuk ramalan yang dapat didasarkan atas ekstrapolasi atau proyeksi. Ramalan ini mempelajari kejadian terdahulu dan mebuat pernyataan tentang hari depan. 3) Struktur; yaitu ramalan yang didasarkan atas struktur dari benda atau intuisi atau manusia yang bersangkutan. 4) Institusional; yaitu yaitu ramalan yang didasarkan oleh institusi beroperasi. 5) Masalah; yaitu ramalan yang didasarkan pada penentuan masalah apa yang dihadapi oleh manusia dan masyarakatnya 6) Tahap; yaitu perkembangan yang berurutan. Dalam biologi sangat sering digunakan. 7) Utopia; yaitu membayangkan apa yang mungkin terdapat atau terjadi berdasarkan pengetahuan yang kita ketahui sekarang. BAB IV METODOLOGI DAN METODE ILMU A. Pengertian Metodologi dan Metode Metodologi berasal dari bahasa yunani yang berasal dari suku kata metodus berarti cara atau jalan, dan logos yang berarti ilmu.[21] Metodologi yang berarti ilmu tentang jalan atau cara. Namun untuk memudahkan pemahaman tentang metodologi, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian metode.[22] Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa arab, metode disebut “thariqat”, dalam kamus besar bahasa Indonesia, metode adalah “cara yang teratur atau terfikir baik-baik untuk mencapai maksud”. Menurut Mahmud yunus, metode adalah “jalan yang ditempuh seseorang supaya sampai kepada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan, maupun dalam, kepuasan ilmu pengetahuan dan lainnya. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa metode mengandung arti adanya urutan kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai tujuan yang telah direncanakan. Berdasar kata asal metodologi yang telah dikemukakan diatas, metodologi adalah ilmu tentang cara atau sampai kepada tujuan. Oleh Asymuni Syukir menjelaskan metologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Demikian perbedaan yang sangat tipis antara metode dan metodologi, namun harus dapat dibedakan dengan jelas, yaitu kalau metode itu jalan atau cara untuk mencapai tujuan, sedangkan metodologi adalah ilmu tentaang jalan atau cara untuk mencapai tujuan.
B. Metodologi Dan Metode Ilmu Islam Karena metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan secara tepat dan cepat, maka urutan kerja dalam metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah. Metode apabila ditambah dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Hamper semua ilmu pengetahuan mempunyai metodologi tersendiri. Demikian pula ilmu islam merangkum metodologi yang tugas dan fungsinya adalah memberikan jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan dari ilmu islam tersebut. Pelaksanaanya berada dalam ruang lingkup proses yang berada di dalam suatu sistem dan struktur kelembagaan yang diciptakan untuk mencapai tujuan agama islam. Dalam memahami studi keislaman harus senantiasa diungkap melalui berbagai metode, diantaranya: a. Mempelajari Alqur’an dan Al hadits b. Mempelajari sejarah islam c. Metode doktriner d. Mempelajari kebudayaan islam. BAB V HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, FILSAFAT ILMU, DAN ILMU A. Sekilas tentang Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu Seperti yang telah dipahami secara umum bahwa filsafat adalah kajian rasional tentang segala sesuatu dengan caracara tertentu, yakni setidaknya memenuhi ketentuan mendalam atau radikal, menyeluruh atau komprehensif, kritis, spekulatif, dan reflektif. Sedangkan ilmu adalah hasil usaha pemahaman manusia terhadap kenyataan yang tersusun dalam sebuah sistem setelah melalui penyelidikan dan percobaan (eksperimentasi dan observasi). Dengan demikian filsafat ilmu merupakan kajian rasional tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu, meliputi hakekatnya, cara memperolehnya, dan lain-lain secara mendalam atau radikal, menyeluruh atau komprehensif, kritis, spekulatif, dan reflektif.[24] B. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Ilmu Seperti yang telah dijelaskan dalam bahasan bab sebelumnya bahwa posisi filsafat ilmu dalam sistematika filsafat merupakan bagian atau cabang dari filsafat. Dari sisi obyek materinya, jika filsafat membahas tentang segala sesuatu, maka filsafat ilmu hanya membahas tentang ilmu dan segala problematika yang berkaitan dengannya. Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat pengetahuan, yang didalamnya meliputi epistemologi, metodologi, logika dan filsafat ilmu itu sendiri. C. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Filsafat adalah induk atau ibu dari segala macam jenis, bentuk, dan sifat ilmu pengetahuan. Keangkuhan atau egoisme keilmuan tersebut bukanlah tanpa sebab. Dalam sejarah kemunculannya, semula karena filsafat dan ilmutak pernah dibedakan. Satu-satunya ilmu pengetahuan pada saat itu hanya filsafat. Meskipun secara historis antara filsafat dan ilmu pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia. Kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan keduanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasi satu dari lainnya melainkan agar lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks memahami khazanah intelektual manusia.[26] Ada kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara filsafat dan ilmu karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara keduanya. Persamaan antara filsafat dan ilmu adalah bahwa keduanya menggunaka kekuatan berfikir dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan. Terhadap hal-hal tersebut, baik filsafat maupun ilmu
bersikap dan berfikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan sistematis.[27] Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengna sterssing atau titik tekan. Filsat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang, pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan apa, kenapa, dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungna antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni. Sedangkan ilmu mengkaji bidang yang terbatas dan spesifik, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi dan eksperimen, serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut. Dari adanya persamaan dan perbedaan diatas maka dapat diambil hubungan keduanya. Secara eksplisit relasi antara filsafat dan ilmu oleh Will Durant diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inlah yang membelah gunung dan merambah hutan. Ini artinya bahwa pasukan marinir adalah filsafat sebagai pioneer yang menemukan sesuatu dan tempat berpijak bagi ilmu dan setelah sesuatu itu ditemukan, pengelolaannya diserahkan kepada ilmu. D. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Filsafat ilmu dengan ilmu mempunyai keterkaitan yang erat. Ilmu sangat membutuhkan filsafat ilmu dalam rangka untuk memecahkan persoalan-persoalan ilmu sendiri tak bisa memberikan solusinya karena ilmu tak pernah menyadarinya dan tak pernah memikirkannya. Ilmu memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga dia membutuhkan filsafat ilmu sebagaimana beberapa ahli mengungkapkan bahwa : a. Jean Paul Sartre Menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru itu akan disisihkan pula oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan baru selanjutnya. b. D.C Mulder Menyatakan bahwa tiap-tiap ahli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan memalai ilmu itu sendiri. Ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui kompetensi ilmu, misalnya : apakah hukum sebab akibat itu, dimanakaah batas-batas lapangan yang saya selidiki ini, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini, sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan , dan lain-lain. Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat ilmu. c. Harsoyo Menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang makin berisi makin menunduk. Selain itu dia juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya faktafakta baru yang sebelumnya tidak diketahui. d. J. Boeke Menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidki peristiwa-peristiwa yang dipertunjukkan oleh zat hidup itu, bagaimanapun juga kita mencoba memperoleh pandangan yang jitu tentang keadaan sifat zat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya adalah rahasia abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengna perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang menyangkalnya. Dengan demikian dapat ditari kesimpulan yang berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu : a. Ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal or know the real through and as phenomenal). b. Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam atau kehidupan manusia dan lingkungannya. c. Kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak. Karena keterbatasan yang inheren dengan eksistensi ilmu maka ilmu harus berkonsultusi dengan filsafat ilmu. Istilah lain filsafat ilmu harus membantu kesulitan-kesulitan yang dialami ilmu. Filsafat ilmu memberikan jawaban filsafat atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi eksistensi ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaah secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu atas permasalahan tertentu. BAB VI ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI ILMU A. Ontologi Ilmu Ontologi berasal dari dua kata on dan logi artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah teori tentang ada dan realitas. Ontologi merupakan bagian dari metafisika dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakekat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakekat ilmu itu. Apa yang dapat kita alami dan amati secara langsung adalah fakta, sehingga fakta ini disebut fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera.[32] Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat methaphisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. a. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme, naturalisme, atau hylomorphisme. b. Metode dalam ontologi, dimana lorens bagus memperkenalkantiga tingkat abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi methaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek, sedangkan abstraksi bentuk mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstarksi metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. c. Ontologi Naturalistik, yaitu ontologi yang lebih berkembang pesat setelah tahun 1960-an ,ontologi ini menolak yang ada yang supernatural, menolak yang mental, dan menolak universal platonik. d. Heidegger, dalam pandangannya heidegger ilmu tentang yang ada pilah dari ilmu positif. Ilmu tentang yang ada merupakan transendental temporal scince, ilmu transenden yeng temporal.[33] B. Epistimologi Ilmu Bidang kedua adalah epistemology atau teori pengetahuan. Epstemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme” dan “logos”. Episteme artinya pengetahuan, logos artinya teori. Dengan demikian epistemology secara etimologis berarti teori pengetahuan.[34] Epistemologi memang merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan berbagai pengertian, seperti mengetahui, pengetahuan ,kepastian, dan kebenaran pengetahuan. Jadi epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, vaaliditas dan hakekat pengetahuan. Epistimologi meliputi berbagai sarana dan tata cara mengguanakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran dan kenyataan. Perbedaan dalam pemilihan asumsi ontologi dengan sendirinya akan
mengakibatkan perbedaan sarana yang akan dipergunakan, yaitu akal, pengetahuan, intuisi, dan lain-lain.[35] Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut : a. Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengematan dan percobaan. b. Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur. c. Objektif. Ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi. d. Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya kedalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu. e. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.[36] C. Aksiologi Ilmu Secara etimologi aksiologi berasal dari kata axios yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.[37] Sedangkan secara terminologi aksiologi adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian. Terutama berhubungan dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai.[38] Jadi aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. [39] Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Meskipun sejak zaman yunani kuno, masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum bicara mengenai aksiologi pada prinsipnya. Masalah yang paling banyak dibicarakan antara lain mengenai kebaikan perilaku, keindahan karya seni, dan kekudusan atau kesucian religius. Adapun masalah yang akan dikemukakan disini adalah pendapat dari Langeveld, bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama yaitu etika dan estetika. Keduanya merupakan masalah yang paling banyak ditemukan dan dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari. Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, perilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik. Etika adalah wacana yang membicarakan landasan-landasan moralitas, disisi lain etika juga dapat dikatakan sebagai landasan filsafati norma dan nilai dalam kehidupan kemasyarakatan atau budaya, sedangkan kesusilaan atau moral, secara khusus berkaitan dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan perilaku yang bersangkutan dengan agama. Dengan demikian, kesusilaan sering pula berkaitan dengan norma agama yang berhubungan dengan masalah dosa dan pahala.
Pada dasrnya, etika
berhubunagn dengan nilai dan penilaian terhadap perilaku. Suatu perilaku dikatakan jahat karena perbuatan buruk manusia memberikan akibat kerusakan pada manusia lain atau umumnya. Saat ini etika modern sering mendapat kritik karena terlalu ikut campur dalam kepedulian sehari-hari banyak orang, atau terlalu mengambil alih dengan isu-isu linguistik mengenai makna konsep-konsep etis, dan terlalu sedikit mempedulikan masalah-masalah moral dan politik yang membutuhkan resolusi filsafati. Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (russel), pertanyaan (langer), atau issue (farber) mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika seni dalam kehidupan manusia. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan. Dalam estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalamn itu. Estetika juga dibedakan menjadi estetika filsafati dan estetika ilmiah. Estetika filsafati adalah estetika yang menelaah sasarannya secara
filsafati dan sering disebut estetis tradisional. Sedangkan estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah yang tidak lagi merupakan cabang filsafat.[41]