MAKALAH
TEORI-TEORI ETIKA Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah EtikaBisnis
Dosen Pengajar : Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA.
Disusun Oleh: Almas Fitri Nadhirah Amin
C1C115117
Fikri Muhammad
1610313210017
Puteri Parwikha
1610313220049
Riki Setiawati
1610313320051
Rusdah
1610313120047
Yuwanda Yusnita
1610313320065
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Teori-Teori Etika”. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA selaku dosen mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi yang telah mempercayakan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang Teori-Teori Etika. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya materi yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Banjarmasin, 11 Juli 2018
Penulis
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………..………………………..….i DAFTAR ISI……………………………………………………………….……..ii BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang……………………………………………..…….………iii
1.2.
Rumusan Masalah………………….……………………………..….…..v
1.3.
Tujuan Penulisan…………………….………………………….……..…v
BAB II PEMBAHASAN A.
SubBab1: Etika Absolut dan Relatif.…..…………………….………..….1
B.
Perkembangan Etika menurut Kohlberg…….……….....…...……………2
C.
Teori-teori Etika……………………………………………..……...…….5
D.
Etika Abad ke-20…………………………………………….……….…...8
E.
Teori Etika dan Paradigma Hakikat Manusia ………………………..….10
F.
Tantangan ke Depan Etika sebagai Ilmu…………………………………11
BAB III PENUTUP Kesimpulan…………………………………………..…………………………...12 Daftar pustaka………………………………………...………..………………....13
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
Etika merupakan suatu penilaian terhadap perilaku atau perbuatan seseorang. Ketika seseorang mempunyai perilaku atau perbuatan yang baik maka dapat dikatakan seseorang itu mempunyai etika yang baik begitu pun sebaliknya jika perilaku atau perbuatan seseorang itu kurang baik maka dapat dikatakan seseorang itu mempunyai etika yang kurang baik. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan
berbagai
ajaran
moral.
(Suseno,
1987)
Etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan tingkah laku manusia. (Kattsoff, 1986) Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa etika merupakan nilai dan moral sebagai pegangan hidup individu dalam melakukan sesuatu. Etika merupakan nilai untuk menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Setiap individu akan memiliki etikanya masingmasing. Bagaimana cara ia beretika akan menentukan bagaimana jalan kehidupannya dimasa depan. Seorang yang beretika baik tentunya akan mendapatkan kehidupan yang baik dari timbal balik perilaku yang ia dapatkan. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan perbuatan dengan memperhatikan etika, begitu pun dalam dunia bisnis. Bisnis merupakan suatu kegiatan yang memerlukan pengetahuan dan kemampuan yang berhubungan kuat dengan masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut tentunya ada bermacam-macam adat istiadat dan budaya dari beragam daerah di seluruh dunia. Dalam kasus seperti ini maka setiap individu yang melakukan bisnis harus memahami betul apa itu etika bisnis. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Etika bisnis diperlukan dalam sebuah perusahaan untuk menjadi pedoman bagi manajer dan karyawan
iii
agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan kerugian dari pihak mana pun, seperti kecurangan dan melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Etika tersebut tidak hanya berlaku dalam sebuah ruang lingkup internal perusahaan, tetapi juga ruang lingkup luar. Jika para karyawan perusahaan memiliki etika yang baik tentunya akan memberikan imbas positif tersendiri kepada perusahaan tersebut. Pada dasarnya etika dimulai dari hal kecil yang tak nampak tapi sanggatlah bermakna.
iv
B. Rumusan masalah
1) Apa yang dimaksud etika absolut dan relative? 2) Bagaimana perkembangan etika menurut Kohlberg? 3) Apa saja teori-teori etika? 4) Bagaimana dengan etika abad ke-20? 5) Bagaimana teori etika dan paradigma hakikat manusia? 6) Bagaimana tantangan ke depan etika sebagai ilmu?
C. Tujuan 1) Mahasiswa mengetahui dan memahami penggunaan etika absolut dan relative. 2) Mahasiswa mengetahui dan memahami perkembangkan etika dan moral menurut para ahli. 3) Mahasiswa mengetahui dan memahami teori-teori etika. 4) Mahasiswa mengetahui dan memahami etika pada abad ke-20. 5) Mahasiswa mengetahui dan memahamietika dan paradigma hakikat manusia. 6) Mahasiswa mengetahuidan memahamitantangan ke depan etika sebagai ilmu.
v
BAB II PEMBAHASAN A. Etika Absolut dan Relatif Pengertian Etika Absolut Absolut artinya mutlak, merupakan paham yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada itu bersifat mutlak dan universal. Dengan ini, etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham etika yang menekankan bahwa prinsip moral itu universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana saja, Tidak ada tawar menawar dalam prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah sewaktu-waktu. Etika absolut erat hubungannya dengan moralitas seorang individu atau manusia, etika ini juga memberikan atau menekankan setiap norma dan aturan yang ada dengan tegas dan terkadang bersifat memaksa tidak pandang bulu, etika yang berarti adat atau kebiasaan dari seorang individu sesuai dengan lingkungan dan tempat dimana ia lahir dan tinggal sehingga mampu menata hidup dengan baik melalui etika dan moral yang baik pula. Terkadang seorang individu membutuhkan paham yang bersifat mutlak untuk menjadi pedoman hidup dan tata cara bagaimana ia hidup dan bersosialisasi dengan sesama manusia dengan alam, hewan, tumbuhan. Di dalam etika absolut dapat dicontohkan melalui kepercayaan seorang individu yaitu agama yang dianutnya sesuai dengan apa yang ia yakini. Agama juga bersifat universal namun mutlak karena apa yang di yakini harus ditaati dan dilaksanakan perintahnya dan tidak dapat di tawar atau ditinggalkan setiap aturannya, karena segalanya berhungan dengan Tuhan. Pengertian Etika Relatif Relatif menurut bahasa adalah bergantung kepada sesuatu. Etika relatif itu sendiri berarti paham yang percaya bahwa segala sesuatu itu bersifat tidak mutlak, mulai dari pengetahuan maupun prinsip. Terkait dengan istilah relativisme etika, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu “relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya atau pilihan individu”. Relativisme juga tidak memungkinkan untuk adanya serangkaian mutlak etika. 1
Dalam relativisme etika, benar dan salah tidak mutlak dan harus ditentukan dalam masyarakat dengan kombinasi observasi, logika , sosial dan pola preferensi, pengalaman, emosi, dan "aturan" yang tampaknya membawa manfaat. Tentu saja, tak usah dikatakan bahwa masyarakat yang terlibat dalam konflik moral yang konstan tidak akan mampu bertahan untuk waktu yang lama. Moralitas adalah lem yang memegang masyarakat bersama-sama. Harus ada konsensus benar dan salah bagi masyarakat untuk berfungsi dengan baik. Tampaknya menjadi universal di antara budaya yang salah untuk membunuh, mencuri, dan berbohong. Kita melihat bahwa ketika individu mempraktekkan etika kontra produktif, mereka segera di penjara atau dihukum. Karena etika konseptual di alam, dan ada beberapa etika yang tampaknya melampaui semua budaya (berlaku untuk semua masyarakat). Contoh etika absolut : Bagaimana pun dan apa pun alasannya membunuh adalah perbuatan tidak bermoral Memperkosa adalah perbuatan yang keji dan tidak bermoral
Mengambil hak orang lain adalah perbuatan yang tidak bermoral.
Contoh etika relatif : Membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan pembunuhan. B. Perkembangan Etika menurut Kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg). Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. 2
Tahapan Perkembangan Etika 1. Pra-konvensional Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Kemudian menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. 2. Konvensional Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
3
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terima kasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial, karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. 3. Pasca-konvensional Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pascakonvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional. Individu-individu dipandang memiliki pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, 4
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Tingkat (Level)
Sublevel
Tingkat I
1.
Orientasi pada hukuman
(Pra Konvensional) Usia < 10 Tahun
2.
Orientasi pada hadiah
3.
Orientasi anak baik
4.
Orientasi otoritas
5.
Orientasi kontrak sosial
6.
Orinetasi prinsip etika
Tingkat II
(Konvensional) Usia 10-13 Tahun
Tingkat III
(Pasca Konvensional) Usia > 13 Tahun
Ciri Menonjol Mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman Menyesuaikan diri untuk memperoleh hadiah/pujian Menyesuaikan diri untuk menghindari celaan orang lain Mematuhi hukum dan peraturan sosial untuk menghindari kecaman dari otoritas dan perasaan bersalah karena tidak melakukan kewajiban Tindakan yang dilaksanakan atas dasar prinsip yang disepakati bersama masyarakat demi kehormatan diri Tindakan yang didasarkan atas prinsip etika yang diyakini diri sendiri untuk menghindari penghukuman diri
C. Teori-teori Etika Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Berikut teori-teori Etika : 1.
Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan 5
luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Sedangkan egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Jadi, perbedaan antara egoisme psikologis dengan egoisme etis adalah pada akibat terhadap orang lain. Tindakan egoisme psikologis ditandai dengan cirri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan egoisme etis tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. 2.
Utilitarianisme Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang
berarti bermanfaat. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi banyak orang (the greatest happiness of the greatest number). Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak. 3.
Deontologi Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Paham ini
dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804). Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu diperintahkan oleh Tuhan. Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional. 4.
Teori Hak 6
Menurut teori hak, suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama. 5.
Teori Keutamaan (Virtue Theory) Teori keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens,2000). Teori keutamaan tidak
menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifatsifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat/watak yang telah melekat/dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secara moral disebut manusia hina. 6.
Teori Etika Teonom Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang
ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaimana dituangkan dalam kitab suci. Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant teletak pada pengabaian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus dicapai umat manusia, walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak 7
dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.
D. Etika Abad ke-20
Arti Kata “Baik” Menurut George Edward Moore Kata baik adalah kunci dari moralitas, namun Moore merasa heran tidak satupun etikawan
yang berbicara tentang kata baik tersebut, seakan-akan hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Menurut Moore, disinilah letak permasalahan sehingga terdapat kekacauan dalam menafsirkan kata baik tersebut. Anggapan inti Moore sangat sederhana bahwa kata baik tidak dapat didefinisikan, suatu kata dapat didefinisikan jika kata tersebut tidak lagi terdiri atas bagian-bagian sehingga tidak dapat dianalisis. Baik adalah baik, titik. Setiap usaha untuk mendefinisikan akan selalu menimbulkan kerancuan.
Tatanan Nilai Max Scheller Max Scheller sebenarnya membantah anggapan teori imperative category Immanuel Kant.
Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Material disini bukan dalam arti ada kaitan dengan materi, tetapi sebagai lawan dari kata formal. Bersifat apriori artinya kebernilaian suatu nilai tersebut mendahului segala pengalaman. Menurut Max Scheller, ada 4 gugus nilai yang masing-masing mandiri dan berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu: 1) nilai-nilai sekitar enak dan tidak enak, 2) nilai-nilai vital, 3) nilai-nilai rohani murni, 4) nilai-nilai sekitar roh kudus.
Etika Situasi Joseph Fletcher Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip etika yang bersifat mutlak.
Ia berpendapat bahwa setiap kewajiban moral selalu bergantung pada situasi konkret. Sesuatu ketika berada dalam situasi tertentu bisa jadi baik dan tepat, tetapi ketika berada dalam situasi yang lain bisa jadi jelek dan salah. Itulah sebabnya, moralitas hanya dapat dipahami dalam situasi
8
konkret, padahal, situasi konkret tidak selalu sama, sehingga etika Fletcher sering disebut etika situasi.
Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch Menurut Murdoch, khas dari teori-teori etika pasca-Kant adalah bahwa nilai-nilai moral
dibuang dari dunia nyata. Bukan kemampuan otonom yang menciptakan nilai, melainkan kemampuan untuk melihat dengan penuh kasih dan adil.
Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederic Skinner Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak
memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika, tetapi sebuah teknologi kelakuan. Ide dasar Skinner adalah menemukan teknologi/ cara untuk mengubah perilaku.
Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas Walaupun kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah membawa kemajuan,
menimbulkan masalah baru berupa ancaman kelanjutan kehidupan manusia. Intinya adalah kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan manusia di masa depan.
Kegagalan Etika Pencerahan Alasdair Maclntyre Bahwa etika pencerahan telah gagal karena pencerahan atas nama rasionalitas justru telah
membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan teleologis tentang manusia. Maclntyre menganjurkan agar etika kembali pada paham teleologis tentang manusia. E. Teori Etika dan Paradigma Hakikat Manusia Pokok-pokok pikirannya meliputi: 1. Muncul berbagai paham teori etika, masing-masing teori memiliki pendukung dan penentang yang cukup berpengaruh,
9
2. Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan paradigma, pola pikir, atau pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia. 3. Setiap teori hanya ditinjau dari proses penalaran. 4. Semua teori yang ada menjelaskan tahapan-tahapan sejalan dengan pertumbuhan tingkat kesadaran diri. 5. Teori yang tampak bagaikan potongan-potongan dapat dipadukan menjadi satu teori tunggal. 6. Inti dari etika manusia adalah a. adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi, kepentingan masyarakat, kepentingan Tuhan. b. keseimbangan modal materi (PQ dan IQ), modal sosial (EQ), dan modal spiritual (SQ). c. d.
kebahagiaan lahir batin. keseimbangan hak dan kewajiban.
F. Tantangan ke Depan Etika sebagai Ilmu Ilmu etika ke depan hendaknya didasarkan atas paradigm manusia utuh, yaitu suatu pola pikir yang mengutamakan integrasi dan keseimbangan pada : 1. Pertumbuhan PQ, IQ, EQ, dan SQ. 2. Kepentingan individu, kepentingan masyarakat, kepentingan Tuhan. 3. Keseimbangan tujuan lahiriah dengan tujuan rohaniah Bagi manusia yang masih aktif dalam kegiatan sehari-hari, masih memerlukan pemenuhan tujuan hidup yang bersifat duniawi. Namun demikian, dalam upaya mengejar tujuan hidup yang bersifat duniawi jangan sampai melupakan pengembangan kesadaran spiritual. Perlu adanya keseimbangan dalam pengembangan aspek fisik, mental, dan spiritual. 10
Inti dari hakikat manusia utuh adalah : a. Keseimbangan antara hak (teori hak) dan kewajiban (teori deontologi). b. Keseimbangan antara duniawi (teori teleologi) dan rohani (teori teonom). c. Keseimbangan antara kepentingan individu (teori egoism) dan kepentingan masyarakat (teori utilitarianisme). d. Gabungan ketiga butir di atas akan menentukan karakter seseorang (teori keutamaan). e. Hidup adalah suatu proses evolusi kesadaran.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN Etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham etika yang menekankan bahwa prinsip moral itu universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana saja, Tidak ada tawar menawar dalam prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah sewaktu-waktu. Etika relatif berarti paham yang percaya bahwa segala sesuatu itu bersifat tidak mutlak, mulai dari pengetahuan maupun prinsip. Terkait dengan istilah relativisme etika, Shomali telah 11
memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu “relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya atau pilihan individu”. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg). Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan.
KRITIK DAN SARAN Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber inspirasi bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar ke depannya dapat membuat yang lebih baik.
Daftar Pustaka -
Referensi : http://oktaviantinovi.blogspot.co.id/2013/08/etika-bisnis.html
-
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2017. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat
12