Matematika Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah.docx

  • Uploaded by: ehda
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Matematika Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,371
  • Pages: 4
MATEMATIKA SEBAGAI SARANA BERFIKIR ILMIAH A. Matematika sebagai Bahasa Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisal” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Pada bahasa verbal terdapat beberapa kekurangan yang dapat mengsalah artikan sebuah makna. Untuk mengatasi kekurangan tersebut kita berpaling kepada matematika. Dapat dikatakan matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin secara individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Misalnya, ketika kita mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak, dapat dilambangkan dengan x, jarak tempuhnya dilambangkan dengan y, dan waktu yang dibutuhkan dilambangkan dengan z. Sehingga pernyataannya z = y/x. Jelas terlihat bahwa pernyataan tersebut tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. Dengan demikian pernyataan matematik mempunyai sifat yang jelas, spesifik, informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional yang mengakibatkan kesalah pahaman. B. Sifat Kuantitatif dari Matematika Matematika mempunyai kelebihan lain dibanding dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua objek yang berlainan umpanya gajah dan semuat maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut. Kalo kita ingin menelusur lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Jika sekiranya ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan apa-apa. Bahasa verbal hanya mampu mengumakakan pertanyaan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang. Namun, pengertian kita hanya sampai disitu. Kita tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa besar pertambanhan panjang. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa veerbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kuarang cermat dan tepat.Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu dipanaskan.dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “sebatang logam kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak, umpamanya : P₁ = P₀ (1+ 1 t)

Dimana P₁ merupakan panjang logam pada temperatur t, P₀ merupakan panjang logam tersebut pada temperatur nol dan μ merupakan koefisien pemuai logam tersebut. Sifat kuantitatif dari matematika ini mengingatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu tersebut. C. Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif Kita semua telah mengenal bahwa jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin saja kita dapat dengan jalan mengukur sudut-sudut dalam sebuah segitiga dan kemudian menjumlahkannya. Dipihak lain, pengetahuan ini bisa didapatkan secara deduktif dengan mempergunakan matematika. Seperti diketahui berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premispremis kebenarannya yang telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segita tersebut kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa dengan jumlah sudut yang dibentuk dengan sebuah garis lurus adalah 180 derajat. Jadi dengan contoh seperti diatas secara deduktif matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan pengetahuanpengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita. Matematika sarana berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan. Ilmu dapat dibagi menjadi 3 tahapan: 1) Tahapan Sistematika 2) Tahapan Komparatif 3) Tahapan Kuantitatif Tahapan Sistematika, pada tahap ini ilmu sudah mulai menggolong-golongkan objek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum inilah yang merupakan pengetahuan manusia dalam mengenali dunia fisik. Tahapan Komparatif, pada tahap ini kita mulai membandingkan antara objek yang satu dengan yang lainya, kategori yang satu ini dengan kategori lainya dan seterusnya. Kita 2

mulai mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara berbagai objek yang akan kita kaji. Tahapan Kuantitatif, pada tahap ini kita mencari hubunganj sebab-akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan, malainkan melaui proses pengukuran eksak dari satu objek yang sedang diamati.Bahasa verbal berfungsi sangat baik pada kedua tahapan diatas (tahap I & II), sedangkan pada tahap III pengetahuan membutuhkan matematika. Lambanglambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam dimesi pengukuran.

D. Matematika dan peradaban Matematika dapat dikatakan sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama yang melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir seperti apa yang sekarang kita lakukan di abad ke-20 di kota Metropolitan Jakarta. Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Penduduk kota yang pertama adalah makhluk yang berbicara kata lancelot hogben dan penduduk kota kurun teknologi ini adalah makhluk yang berhitung yang hidup dalam jaringan angka-angka. E. Aliran dalam Filsafat Matematika Ada dua pendapat tentang matematika yakni dari Immanuel Kant (1724-1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori dimana eksistensi matematika tergantung dari panca indera serta pendapat dari aliran yang disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris. Akhir-akhir ini filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam aliran yang disebut intuisionis dengan eksponen utamnya adalah seorang ahli matematika kebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966). Disamping dua lairan ini terdapat pula aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) dan terkenal dengan sebutan kaum formalis. Thesis utama kaum logistik adalah bahwa matematika murni merupakan cabang dari logika. Thesis ini mula-mula dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848-1925) yang menyatakan bahwa hukum bilangan (the law of number) dapat direduksikan kedalam proposisi logika. Russell dan Whitehead berhasil menyelesaikan pembuktian ini, meskipun diluar sistem bilangan mereka di tuduh mengembangkan berbagai asumsi yang kurang dapat diterima. Kaum formalis menolak anggapan kaum logistik ini yang menyaatakan bahwa konsep matematika dapat direduksikan menjadi konsep logika. Mereka berpendapat bahwa banyak masalah-masalah dalam bidang logika yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan matematika. Bagi mereka matematika merupakan pengetahuan 3

tentang struktur formal dari lambang. Kaum formalis menekankan kepada aspek formal dari matematika sebagai bahasa perlambang (sign-languag) dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika sebagai bahasa lambang. Kaum ini belum banyak membawa hasil. Pengetahuan kita tentang bilangan, kata Frege, merupakan pengertian nasional yang bersifat apriori, yang kita pahami lewat “mata penalaran” (the eye of reason) yang memeandang jauh kedalam struktur hakikat bilangan. Hal ini ditentang oleh kaum intuisionis yang menyatakan lewat Brouwer bahwa intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika bilangan. Hakikat sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuistif dalam berhitung (counting) dan menghitung (calculating). Dengan demikian maka pernyataan Gorge Cantor (1845-1918) yang menyatakan bahwa lebih bnyak bilangan nyata (real number) dibandingkan bilangan asli (natural number) ditolak oleh kaum intuisionis. Hal ini menyebabkan bnyak sekali bagian dari matematika yang secara komulatif telah diterima harus ditolak. Dan matematika itu sendiri harus ditulis kembali secara rumit. Dari pembahasan diatas jelas bahwa tidak satupun dari ketiga aliran dalam filsafat matematika ini sepenuhnya berhasil dalam usahanya. Walaupun demikian perbedaan pandangan ini tidak melemahkan perkembangan matematika malh justru sebaliknya dimana satu aliran memberi inspirasi kepada aliran-aliran lainya. Kaum logistik mempergunakan sistem simbol yang dikembangkan oleh kaum formalis dalam kegiatan analisisny. Kaum intuisionis memberikan titik tolak dalam mempelajari matematika dalam prospektif suatu kebudayaan masyarakat tertentu yang memungkinkan dikembangkannya filsafat pendidikn matematika yang sesuai. Ketiga pendekatan dalam matematika ini, lewat pengembangannya masing-masing, memperkukuh matematika sebagai sarana kegiatan berfikir deduktif. DAFTAR PUSTAKA  Suriasumantri S. Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, 2007, Jakarta.  http://gerydoc.blogspot.com/2016/10/peran-matematika-sebagai-sarana.html#Akses 7 November 2018 jam 04.50 Wib.

4

Related Documents


More Documents from "dedek zulzaimi"