Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok Oleh: Daud Azhari, SH. a.
Geografis dan Keadaan Tanah Pulau Lombok adalah salah satu dari gugusan kepulauan Nusantara yang terletak di sebelah timur Pulau Bali dan sebelah barat Pulau Sumbawa. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Samudara Hindia di sebelah selatan. Di pulau ini terdapat tiga kabupaten yakni, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Timur, dan satu Kotamadya yaitu ; Kotamadya Mataram. Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penduduk Pulau Lombok mayoritas Suku Sasak, di samping itu ada Suku Bali, Jawa, Sumbawa, Arab, dan Cina. Lapangan pekerjaan utama masyarakat Lombok adalah petani, nelayan, kerajinan tangan, pertukangan, dan jual-beli. Sejarah pembentukan daerah ini tidak lepas dari politik dan system pemerintahan yang pernah ada. Pada tanggal 19 Agustus 1945 dua hari setelah proklamasi kemeerdekaan Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Timor Rote, Pulau Sumba, dan Pulau Sawu digabung ke dalam Provinsi Sunda Kecil dengan ibukota di Singaraja Bali dan dipimpin oleh seorang Gubernur I Gusti Ketut Pudja. Pada tanggal 14 Agustus 1958 provinsi ini kemudian dipecah menjadi tiga provinsi yaitu, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di pulau ini terdapat dua geologi utama yaitu, lingkungan gunung berapi di sebelah utara dan lingkungan rendah tua di bagian selatan. Daerah yang paling berpengaruh dengan adanya gunung berapi di lapisan atasnya dan bergunung tua di lapisan bawah adalah Gunung Rinjani, Gunung Pinikan, dan Gunung Nangi. Dan pegunungan bagian selatan merupakan daerah geologi yang terutama tersusun dari batuan tertier yang gunung terdiri dari Gunung Mareje dan Gunung Sasak. Ditilik dari iklimnya Pulau Lombok merupakan daerah yang beriklim tropis. Ada dua nusim yang mempengaruhi daerah ini sepanjang tahun yaitu musim hujan pada bulan November sampai dengan bulan April dan musim kemarau antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Musim basah berkisar antara bulan April dan bulan November.
Sungai-sungai di pulau ini ada yang bermuara ke utara seperti sungai (kokok disingkat K) K. Puleh, K. Sosong, K. Sengak, K. Amor-amor, K. Ree, k. Muntur, K. Rasing, K. Salut, K. Mayung, dan K. Rajak. Yang bermuara ke sebelah selatan barat : K. Meninting, K. Jangkuk, K. Sesaot, K. Babak, K. Dodokan, K. Jelanteng, dan K. Air Sayang. Yang bermuara ke selatan : K. Menanga dan K. Gianti. Dan yang bermuara ke sebelah timur dan tenggara : K. Leper, K. Deso, K. Meringgik, K. Tebusilung, K. Jurangkaol, K. Aik Amapak, K. Palung, dan K. Tonggak. b.
Adat Istiadat Masyarakat Pulau Lombok terutama etnis Sasak yang tinggal di desa-desa sangat mempertahankan adat-istiadat dan system norma dalam kehidupan kesehariannya. Masing-masing dusun atau desa mempunyai awiq-awiq dusun (aturan dusun atau desa) yang ditetapkan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat dan bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai kesepakatan. System pelapisan social (Social Startification) tradisional masyarakat Suku Sasak berasaskan triwangsa. Asas Triwangsa (tiga keturunan) pada masyarakat Suku Sasak umumnya terdiri dari : Pertama, tingkat tertinggi yang termasuk didalamnya Raden atau Datu. Strata tertinggi ini biasanya dipanggil Raden atau Danune bagi kaum laki-laki dan dende untuk kaum perempuan. Kedua, tingkat perdana yang termasuk di dalamnya permenak dan perbapa. Sedangkan kaum perempuan dari strata kedua ini sering disebut lale atau baiq dan jika telah kawin dipanggil mamiq bini. Ketiga, tingkat kaula bala yang terdiri dari jajar karang dan panjak pinak (hamba sahaya). Masyarakat dari tingkat ini sering dipanggil Lok untuk laki-laki yang belum kawin, dan le bagi perempuan yang belum kawin. Dan jika telah kawin maka akan dipanggil amaq untuk dan inaq untuk perempuan. Penetapan pelapisan social berdasarkan keturunan ini kemudian diaplikasikan pada tatanan yang normative yang sering disebut aji krame1. Dalam catatannya
Aji krame terdiri dari dua suku kata : aji dan karma. Aji berarti harga atau nilai sedangkan karma berarti suci atau terkadang berarti aerah atau kesatuan penduduk dalam suatu wilayah dalam wilayah adat. Dengan demikian Aji Krama berarti lambing adat atau nilai suci dari suatu strata social adat sasak berdasarkan wilayah adatnya. 1
tentang aj kramenya masing-masing strata. Masyarakat yang berasal ari strata terendah (sepangan atau panajak) atau yang disebut strata perwangsa perbapa dengan aji karma 66 samapi 99, dan yang tertinggi strata perwangsa permenak atau datu raden dengan aji karma 100 sampai 200.16 2. Namun demikian, menurut Gde Parman terjadi Aji Krama sebagai lambang adat antara daerah dengan daerah lain. Di Desa Pujut atau Bon Jeruk Raden aji kramanya 200 (ini sudah tidak ada) , Menak aji kramenya 100, Perbape sebesar 66, Perdanan sebesar 50, Jajar Karang sebesar 33-7/400, dan Sepangan sebsar 3/400 (sudah tidak ada). Di Gerung dan Kuripan ; Raden : 200 (sudah tidak ada). Di Praya ; Raden (sudah tidak ada), Permenak : 100, Perwangsa : 66, Jajar Karang : 33, dan Sepangan : 17. Dan di Tanjung Lombok Utara : Datu : 10.000, Raden : 8.000, Luput : 6.850, dan Perjaka : 4.850. dan yang merupakan consensus, pokok-pokok aji karma tersebut adalah : Raden : 200, Permenak : 100, Perbape : 66, dan Jajar Karang : 33, serta Sepangan : 17 3. Asas Triwangsa sebagai pelapisan social tradisional menentukan keturunan dari garis laki-laki. Artinya anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan akan mengikuti nasab (pertalian darah) pihak laki-laki (bapaknya), sehingga jika seorang laki-laki yang berstrata Lalu atau Gede mengawini wanita berstrata Jajar Karang maka anak yang lahir tersebut akan mengikuti
strata bapaknya. Anak yang
dilahirkan dapat dipanggil Lalu, Gede, Baiq, atau Lale. Sebaliknya jika laki-laki berstrata Jajar Karang mengawini wanita berstrata raden atau permenak, maka anak yang dilahirkan tidak mengikuti strata ibunya, melainkan akan mengikuti strata ayahnya. System perkawinan seperti ini memang sering kali menimbulkan konflik serta prcekcokan antara kedua belah pihak yang bahkan sering kali menimbulkan peemutusan tali kekeluargaan. Dan perwaliannya pun tidak jarang diserahkan kepada wali hakim (wali ‘adilal). Dan system ini selalu menjadi tumbal kritikan dari berbagai kalangan karena dianggap sebagai warisan dari ajaran Hindu-Bali yang mengabsahkan adanaya kasta (pelapisan dari aspek keturunan). Dan dalam nada 2
Fat Zakaria, Mozaik, hal 184 Gde Parman, Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan. Aji Kraka Pembayun, Cendrasengkala, Mataram, Lembaga Pembakuan Dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1995, hal 23-24. 3
kualitas kedirian manusia sebagai hamba dan sekaligus khalifah yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Sejalan dengan perkembanagn pemikiran dan orientasi hidup, selain pelapisan social yang tradisional yang berdasarkan keturunan (triwangsa) diatas, pada umumnya di masyarakat Suku Sasak terdapat pelapisan sosialnya ; seperti pelapisan social berdasarkan kedudukan dan kemampuan ekonomi. Namun demikian factor usia tetap menjadi ukuran. Menghormati orang tua atau yang seuisa sangat diperhatikan dan ditaati oleh masyarakat Sasak. Hal ini tampak dalam hubungan dnegan kekerabatan di lingkungan pergaulan dan rumah tangga. c.
Pranata Sosial 1.
Kehidupan Keluarga Keluarga terkecil (ayah, Ibu, dan anak-anak) bagi orang Sasak meruoakan sebagian yang snagat diperhatikan. Mereka tinggal dalam satu ruamh tangga yang disebut bale (rumah). Anak yang membangun rumah tangga (suami-istri) untuk sementara waktu akan bersama keluarga besarnya sampai pada akhirnya dianggap mampu untuk berdiri sendiri. Dan jika telah berdiri sendiri, maka dia akan menjadi keluarga baru yang bertanggungjawab terhadap kelangsungannya. Hubungan-hubungan garis keturunan terbentuk atas dasar pertalian darah (semeton kuni) dan perkawinan. Hubungan keluarga dari semeton kuni merupakan hubungan kekerabatan dalam arti biologis yang dijalin atau dasar satu sumber darah, yaitu dari orang tua yang sama. Sedangkan hubungan hubungan kekerabatan dengan perkawinan merupakan hubungan dalam arti sosiologis yang terjadi karena adanya perkawinan. Rumpun kerabat (keluarga) dibangun atas pandangan kosmogini segi empat yang dikenal dengan empat generasi orang tua (nenek), empat garis anak cucu, dan empat lapis sepupu ari satu talian darah. Pungutan garis kekerabatan ini sering dirangkai dengan mengadakan acara-acara seperti : pertama , acara keluarga yang diselenggarakan pada acara adat perkawinan, kematian (kepaten) anggota, dan khitanan anak, serta daur hidup keluarga baru ; kedua, pada acara keagamaan seperti : Maulid Nabi dan Isra Mi’raj.
Istilah-istilah kekerabatan orang Sasak seperti di bawah ini ; amaq untuk sebutan ayah, inaq untuk ibu, semeton kuni untuk saudara kandung, naken untuk anak-anak saudara kandung dan tiri, anak sepupu sekali, atau anak sepupu dua kali, tuak dan amaq kake (amaq rari) untuk sebutan-sebutan sarudara ayah, dan kadang-kadang varian panggilan tersebut terjadi perbedaan antraa satu tempat dnegan lainnya. 2.
Perkawinan. Dalam Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan yang ditulis oelh Gde Perman disebutkan ada beberapa macam cara orang Sasak yang akan melakukan perkawinan. Cara-cara tersebut ada yang baik (solah) dan masih berlaku dan ada yang tidak baik. Cara-cara tersebut anatara lain : 1.
Cara Teperondong atau disebutkan juga tabulungan atau tasegar yaitu suatu cara dimana seseorang yang menikah (merari’) laki-laki atau perempuan tersebut telah dijanjiakn sejak kecilnya. Biasanya yang melakukan perkawinan cara ini adalah mereka yang ada pertalian carah dan secara suka sama suka ;
2.
Cara Kepanjing yaitu seorang anak perempuan yang dianggap cantik diambil begitu saja oleh para datu (penguasa) dengan cara pemaksaan. Cara ini sudah ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak cocok dan bertentangan dengan ajaran agama Islam ;
3.
Cara Kahambil yaitu seorang anak gadis orang dari lapisan Jajar Karang diambil oleh lapis yang lebih tinggi (datu raden atau menakperbape) hanya dengan proses musyarawarah, namun tetap atas persetujuan si perempuan tanpa paksa ;
4.
Cara Merari’ atau Memaling yaitu seorang anak gadis (dedare) atau seorang janda (bebalu) diambil secara diam-diam ; tidak diketahui oleh bapak dan ibunya serta sanak saudaranya. Cara ini masih berlangsung dan banyak dilakukan oleh orang-orang Sasak4.
4
. Kata merari’ diambil dari kata “lari” , berlari. Merari’ berate mela’iang artinya melarikan. Seseorang yang akan merari’ dalam adat Sasak seyogyanya menaati aturan dan tata karma. (awiq-awiq). Awiq-awiq itu antara lain : a. Perempuan di rumahnya (ruamh ibu-bapaknya) tidak boleh diambil di sekolah, tempat orang pesta atau persantaian. b. Kedua pihak yang akan merari’ memang saling suka dan cinta. c. harus diambil di malam hari dan tidak boleh lewat dari jam 23.00 (11.00 malam). d. Perempuan
5.
Cara Bekako’ atau disebut juga Memadik dan Ngelamar yaitu perkawinan dengan cara si gadis diminta (lako’) pada orang tuanya. Adapun ketentuan urutan belako’ sebagai berikut : a. penawer : Si perjaka datang berkunjung ke si gadis yang sama-sama saling suka ; b. Si perjaka memberikan tanda pengikat janji ; c. Melatos : yaitu keluarga dari pihak laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menetukan wkatu pengambilan.5
3.
Pendidikan Tradisi masyarakat sasak pada usia di (pra sekolah) anak-anak mereka terlebih dahulu diberitahukan pendidikan agama Islam. Pendidiakn agama ini dimulai dnegan belajar mengaji (membaca al-Qur’an) dan tauladan praktekpraktek ibadah. Pelajaran al-Qur’an biasanya dimulai dengan belajar alif, ba, ta (system belajar mengeja ala al-bagdadi dna atau sekarang Iqra’). Kemudian pindah ke al-Qur’an kecil ( Juz ‘Amma) lalu pindah ke al-Qur’an besar. Setelah menyelesaikan pendidikan al-Qur’an dan sejalan dengan pendidikan formalnya di sekolah dasar, anak yang mampu (secara material) dan berminat memeperdalam pelajaran agamanya mencari ulama (Tuan Guru) yang mempunyai pesantren. Kurikulum pendidiakn pesantren terdiri ilmu alat (nahwu dan sharqf), fiqih, dan tauhid dan ilmu-ilmu agama yang lainnya. Dan bagi mereka yang tidak masuk pesantren secara aktif mengikuti pengajianpengajian umum yang diadakan di masjid-masjid, mushalla (santen), atau langgar-langgar. Pendidikan non formal (terutama pendidikan agama) pada masayrakat Sasak telah erjalan lama sejak pertengahan abad ke-19, ketika para guru mengaji (Tuan Guru) mengadakan pengajian dengan system halaqah ala masjidil Haram
yang diambil harus didampingi oleh wanita lain (tidak boleh sendriran) dan tidak boleh dibawa langsung ke rumah pengantin laki-laki (pesebok). e. Kedua pengantin yang merari’ tidak boleh saling berdekatan sebelum dilaksanakan akad nokah. f. Segera mungkin (maksimal 3 hari untuk yang dekat dan 7 bhari bagi yang jauh)nharus sudah diberitahukan (selabarkan) ke pihak perempuan (Gde. Parman, Kitab Adat, hal 16-17) 5 Ibid Hal 10-11
Makkah di tempat tinggal mereka. Para Tuan Guru ini biasanya mengajarkan alQur’an dan al-Hadits, Fiqih, dan Tauhid dan juga Tassawuf. Dalam perkembangan lebih lanjut, gerakan pendidikan agama Islam mengalami kemajuan yang pesat pasca kemerdekaan. Pada tahun 1950-an Tuan Guru Saleh Hambali di Lombok Barat mendirikan Pesantren dan Madrasah Darul al-Qur’an di Desa Bengkel, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Majid di Lombok Timur mendirikan Pesantren Nadhatul Wathan. Dan sejak itulah pesnatren-pesantren dan madrasah-madrasah semakin menjamur, dengan memadukan system pendidikan tredisional (salafiah) dengan system pendidikan modern. Pranata pendidikan agama di Lombok saat ini telah mampu sejajar dengan pendidikan umum mulai dari tingkat para-sekolah (TK-RA), tingkat dasar (SDMI), tingkat menengah (SMP-MTS) atau (SMU-MA), dan bahkan di tingkat Perguruan Tinggi dnegan keluarnya surat keputusan tiga Menteri serta rakyat diberikan kesempatan untuk mengelola lembaga pendidikan. 4.
Ekonomi Sebagian besar masyarakat Sasak bermata pencaharian hidup dari bertani kemudian nelayan, kerajinan tangan, dan usaha dagang. Dan bahkan karena alasan ekonomi ini masyarakat Sasak mernatau ke Negeri Jiran sebagai tenaga kerja dan buruh, Lahan pertanian pada umumnya adalah tanah basah (subur) di Lombok Barat dan sebagian besar Lombok Timur, sementara di Lombok Tengah sebagian besarnya adalah tanah kering. System irigasi dna pengairannya masih snagat dipengaruhi oleh system pembagian wilayah perairan (subag) Bali. Masing-masing wilayah pengairan (subag) diatru system pembagiannya oleh seorang petugas yaitu pekasih. Dalam melaksanakan tugasnya seorang pekasih
diberikan menggarap sebidang tanah yang disebut tanah pecatu
6
dengan luas
antara 3.500 M ² (50 are). System penggarapan tanah oleh masyarakat masih lebih banyak menggunakan pestisida. Pada umumnya keluarga petani masih merupakan petani subsistem. Penggunaan tenaga luar pada proses pembukaan dna penggarapan serta pada saat memanen. Petani yang tidak mempunyai sawha atau mempunyai lahan sempit biasanya bertindak sebagai penyakap (pengaro) artinya mereka mengerjakan tanah orang lain dengan cara bagi hasil atau ada yang sekedar mengambil upah menjaga (pengairan dan pemeliharaan). Dan sebagian lai dari masyarakat petani ada yang bertani dnegan system sewa dan ataupun beli tanah sementara (jangka waktu yang ditentukan oleh pihak penjual dan pembeli). Dalam pembukaan sawah (turun bangket) pada pergantian musim kemarau ke musim hujan pada sebagian masyarakat (secara khusus sebagian Lombok Barat) masih sangat kental pengaruh budaya Hindu. Mereka menandai datangnya musim hujan dengan membawa sesajian (pejawali) dan
dirangakai dengan
perang tupat (sasak topat) di Lingsar Narmada Lombok Barat. Secara umum ciri-ciri perekonomian masyarakat Suku Sasak yang tinggal di pedesaan seperti : 1.
Pembagian kerja dlam bidang pertanian dan bidang-bidang produksi lainnya didasarkan pada jenis kelamin dan usia ;
2.
Kalkulasi dan penentuan harga tidak diimbangi dengan penggunaan tenaga, waktu, peralatan, dan personil. Perlindungan mereka lebih manusiawi daripada merenggut keuntungan ;
3.
Kegiatan perekonomian mereka terutama yang tinggal di pedesaan bertumpu ekonomi yang bersifat normatif, yaitu kegaiatan yang sejalan dengan nilai-nilai umum masyarakat. Dan mereka memperlihatkan
6
Tanah pecatu adalah tanah adapt yang diberikan kepada seseorang karena mereka baik dalam bidang agama (penghulu), kebudayaan dan peran sosisal seperti keliang (kepala dusun) atau pekasih. Kepemilikan terhadap tanah pecatu ini bersifat sementara sebab bila bila tokoh tersebut mengundurkan diri dari tugas-tugasnya, maka menggarap tanah pecatu tersebut berpindah ke tangan petugas baru yang menggantikannya.
hubungan erat dan saling ketergantungan fungsional dengan kegiatan social ekonomi ; 4.
Pola konsumsi pada umumnya terdiri dari nasi, ikan, dan sayur-mayur. Makan buah dianggap sebagai pelengkap. Bagi masyarakat petani mereka mendapatkan ikan terkadang dengan barter dengan pedagang, sementara sayur-mayur dapat mereka penuhi dari hasil yang ditanam di tanah persawahan ;
5. 5.
Makanan pokok mereka adalah. Agama dan Kepercayaan. Tradisi keagamaan yang berkembangan pada masyarakat Sasak
pada
umumnya dapat diklasifikasinya kepada daua azas, yaitu : Pertama, tradisi kepercayaan yang bersumber dari tradisi kepercayaan nenenek moyang ; Kedua, tradisi kepercayaan yang bersumber dari idela Islam (Rukun Islam dan Rukun Iman). Kedua azas ini bercampurbaur dalam praktek upacara-upacara serta keagamaan. Percampuran ini kemudian melahirkan varian praktek Islam yang terikat kuat dengan pola-pola piker ulama fiqih (hukum Islam) Empat Mazhab dan secara khusus Mazhab Imam Syafi’i. Varian pertama kemudian disebut Islam Waktu (Wetu) Telu, sedangkan varian kedua disebut Islam Waktu Lima. Fenomena keagamaan dari masyarakat Islam Waktu Telu adalah masih tersisanya pengaruh ajaran agama tradisional pribumi, sedangkan pada masyarakat Islam Waktu Lima lebih ditekankan pada termanifestasikannya ideal Islam dalam pengertian normatifnya. Dalam praktek peribadatan sehariharinya, Islam Waktu Telu ini mempercayai dan menjalankan syari’at Islam seperti sembahyang atau puasa, hanya saja pelaksanaannya tersebuit dapat diwakili oleh para kyai dan penghulu, sementara masayrakat lain terbebaskan. Dalam pelaksanaannya sangat variatif ; ada yang melaksanakan sembahyang Zuhur hanya pada hari Jum’at yang atau ada yang melaksanakan sembahyang subuh pada dua hari raya kamis sore dan juga ada yang hanya smebahyang subuh dua hari raya saja. Mereka berkumpul di masjid hanya pada
dua hari raya : Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara itu puasa pada bulan Ramadhan dilaksnakan tiga yaitu pada awal, tengah, dan akhir. Dan dalam penentuan tanggal 1 bulan Ramadhan ada di antara mereka berpegang pada tanggal aboge (Rebo Wage), dan Kamis Pahing untuk menentukan tanggal 2 Ramadhan, serta ada yang berpegang pada Jum’at Pahing untuk tanggal 3 Ramadhan. Di samping ritual keagamaan di atas, terdapat beberapa ritus kepercayaan atau upacara-upacara yang selalu dilakukan oleh masyarakat Islam Waktu Telu tersebut seperti ritus yang terkait dengan pemahaman terhadap roh. Dalam pemahaman masyarakat Waktu Telu leluhur nenek moyang masih hidup ro yang disebut alam halus yang suci dna keramat. Untuk mencapai harus dilakukan mencapai roh nenek moyang yang telah meninggal harus dilakukan ritual-ritual setelah kematian (gawe pati) yang dilaksanakan pada hari kematiannya (nyelamat gumi) pada hari ke tiga, hari ke tujuh, ke sembilan, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu setelah kematiannya. Berbeda dengan varian Islam Waktu (Wetu) Telu di atas, varian Islam Waktu Lima merupakan varian keagamaan yang didominasi oelh ajaran Kitab Suci (al-Qur’an al-Karim) dan Sunnah Rasulullah. Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci yang diwahyukan oelh Alllah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai primer hukum Islam. Sedangkan Hadits Nabi (Sunnah Nabi) yang merupakan ucapan dan tindakan serta ketetapan Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai penjelas kitab suci dan menjadi sumber sekunder hukum Islam. Kelompok penganut penganut Islam Waktu Lima ini merupakan kelompok mayoritas yang membangun system kepercayaan pada pemahaman secara ketat Rukun Iman dan Rukun Islam. Mereka menjalankan ritus-ritus keagamaan seperti syahadat, shalat, puasa, berzakat, dan berhaji sesuai dengan apa yang disyari’atkan. Dan mereka pada umumnya adalah penganut Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun demikian dalam prakteknya, selain ritus-ritus keagamaan (ibadah mahdaha) yang menjadi indikator pembeda kedua varian keagamaan di atas terdapat sejumlah praktek ritual lainnya merupakan pengaruh dari system
kepercayaan dan budaya local. Berbagai ritus yang dilakukan oleh masyarakat Islam Waktu Lima ada yang terkait dengan peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam seperti peringatan Nuzul al-Qur’an (peringatan turunnya al-Qur’an), Isra’ Mi’raj (perjalanan nabi di waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa di Palestina dan naiknya Nabi ke Bait al-Izzah menghadap Allah), Maulid Nabi (Kelahiran Nabi SAW), ada juga yang terkait dengan peralihan hidup manusia dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Upacara-upacara tersebut seperti peringatan kehamilan tujuh bulan kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Upacara-upacara tersebut dilaksanakan sangat variatif sesuai denagn kemampuan. Orang kaya (mampu), misalnya menyambut dan merayakan kelahiran anaknya dengan acara besar segala keramaiannya terutama anak pertama. Hal ini biasanya dilaksanakan pada saat anak berumur tujuh hari, dan dalam acara ini dibacakan kitab Barzanji oleh agama (Tuan Guru atau Kiai) dan diadakan acara potong rambut (ngurisan) dan ini biasanya disebut Aqiqah dalam konsep Islam. Sementara bagi masyarakat lemah acara ngurisan biasanya dilakukan pad asaat hari-hari besar di masjid-masjid mereka. Dalam tradisi masyarakat Islam Sasak membaca kitab Barzanji juga dilakukan pada saat akan menempati rumah baru, akan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, atau momentum-momentum lainya. Prosesi lain yang terkait dengan peralihan kehidupan adalah diadakannya upacara perkawinan dengan berbagai tahapannya, dan juga diadakan diadakan upcara kematian. Dalam upacara ini muatan-muatan Islam (shadaqah, ta’ziah, zikir, dan do’a) dan atau cara-cara pelaksanaannya lebih banyak ditampilkan cara-cara adat. Pada harihari kematian lebih banyak diadakan Tadarus al-Qur’an, yaitu membaca dnegan tartil dna melagu menurut tajwid dilakukan secara bergilir. Tujuan utama dari upacar ini adalah memberikan barkah kepada arawah orang yang telah meningal dan penyebaran syariah Islam. Dan dapat pula rangkaian acara tersebut sebagai bentuk Ta’ziah terhadap ahli waris yang ditinggalkan. d.
Pranata Kultural Penyelesaian Sengketa.
Bagi masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok pranata penyelesaian sengketa (konflik) di bidang pengairan, maka lembaga penyelesaian sengketa disebut “Rembuq Subag”. Pranata rembuq subag dipergunakan oleh masyarakat Suku Sasak dalam rangka menyelesaikan sengketa air (pesiak aik) penggunaan “rembuq subag” tersebut yang bertindak sebagai hakim adalah “pekasih”. Pekasih sebagai hakim pengadil di tingkat subak diangkat oleh masyarakat desa (khususnya pengguna air) dengan masa waktu jabatan yang terbatas lamanya, sehingga tidak musathil seorang “pekasih” baru diganti manakala telah meningal dunia. Seorang pekasih bagi masyarakat Suku Sasak adalah figur seorang yang faham tentang pengairan, tokoh yang jujur, dan adil, serta dapat mengemong (mengayomi) semua pihak putusan “rembuq subag” disebut “ngemong” Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di bidang arisan dan perkawinan bagi mayarakat Suku Sasak adalah “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa atau Kerama Gubuk”. Anggota Majelis Adat Dese atau Kerama Dese atau Kerame Gubuk diangkat oleh masyarakat dari unsur tua-tua adat, tokoh masyarakat, tokohtokoh agama, dan formal pemerintahan. Pranata “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa” atau “Kerama Gubug” juga dipergunakan sebagai lembaga yang menyelesaikan atau mengadili sengketa di bidang kepidanaan, misalnya perkelahian missal (mesiat), terjadinya pelanggaran adat yang meresahkan masyarakat (Ngeletuhing Jagar) atau Ngaweng pati (memanggil maut). e.
Prosedur dan Prinsip-Prinsip Penyelesaian Konflik Pranata
local
penyelesaian
sengketa
(konflik)
Suku
Sasak
dalam
melaksanakan tugasnya tidak bergantung pada ada tidaknya kasus yang diaukan kepadanya pada ada tidaknya kasus yang diadukan kepadanya, artinya “Rembug Subak atau Kerama Desa atau Kerama Gubug” dalam melaksanakan tugasnya harus pro aktif dalam mengantisipasi terjadinya sengketa, oleh karena itu sebelum adanya sengketa pun lembaga ini melaksanakan fungsinya secara aktif. Jika terjadi sengketa atau konflik yang diketahui terjadi (dan diadukan kepadanya), maka Pekasih atau Ketua Kerama Dese atau Kerama Gubug melakukan pemeriksaan perkasra (kasus) tersebut dengan mengundang seluruh
anggota Kerama Desa dan pihak yang berkepentingan (yang bersengketa) dalam suatu pertemuan yang disebut dengan istilah “Sangkep atau Begundem” atau musyawarah. Sangkep atau Begundem tersebut diadakan pada malam hari di satu tempat yang netral yang biasanya di tempat “sekenem (rumah panggung berkaki enam) atau masjid”. Dalam proses sangkep dan begundem dilalui melalui sedikitnya 3 fase, yaitu : 1.
Pihak yang dihadiri bersengketa mengemukakan masalahnya masing-masing dengan dihadiri pula dengan saksi-saksi yang meringankan atau yang memberatkan.
2.
Kemudian masing-masing anggota “kerama” memberikan fatwa berdasarkan hukum adat dan fatwa agama keapada yang bersengketa agar bersedia berdamai atau menaati hukum adat ynag berlaku. Proses pemberian fatwa ini dinamakan ”petinang wadi temah”.
3.
Setelah proses pemeriksaan (musyawarah) selesai, maka akan diakhiri dengan pemberian keputusan, yaitu keputusan berupa perdamaian (soloh) atau penjatuhan hukuman. Kesepakatan damai (soloh) tersebut sangat mengikat baik individu yang
bersengketa mauoun terhadap masyarakat dan oleh karena itu acapkali keputusan “soloh” mempunyai kekuatan hokum yang sangat kuat karena acapkali dijadikan landasan hukum oleh pengadilan. Keputusan lain yang mungkin dijatuhkan oleh “Kerama”
adalah
dengan
pemberian
hukuman
berupa
denda
dnegan
mempergunakan standar uang bolong (kepeng) dan hewan atau dedosan. Sedangkan bagi masyarakat yang melakukan kesalahan besar seperti Ngeletuhing Jagadmeresahkan
dunia,
misalnya
perzinaan,
penduruan,
dan
lain-lain,
maka
hukumannya berupa diasingkan dari masyarakat (eteh selon). Pemeriksaan atau persidangan kasus-kasus oleh “Krama Desa” dilakukan secara terbuka dimana seluruh anggota kerama dan masyarakat boleh menyaksikan baik yua maupun muda, pria maupun wanita, dan benar-benar dilaksanakan secara kekeluargaan, suasana silaturrahmi, tidak memihak, dan cepat serta sederhana.
f.
Faktor-Faktor
Yang
Memperngaruhi
Masyarakat
Suku
Sasak
Mempergunakan Pranata Lokal Dalam Penyelesaian Sengketa. Menurut data penelitian di Pulau Lombok yang dilakukan penelitian pada etnis Sasak, ada beberapa factor yang mempengaruhi masyarakat menyelesaikan konfliknya kepada pranata cultural, yaitu : 1. Penghormatan kepada system nilai hokum adat dan nilai-nilai agama yang meresap di sanubari masyarakat Sasak yang dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan taat beribadah dab pulaunya dijuluki “Pulau Seribu Masjid”. 2. Adanya penghormatan yang tulus dna tinggi kepad apemuka agama (Tuan Guru). Pemuka adat dan masyarakat (Penghulu Desa) yang akan mampu menyelesaikan konfliknya secara damai dan jujur. 3. Untuk menjaga hubungan “silaturrahmi” dan menjaga hubungan agar tidak terputus (sifat anak empat tao pesopok dirik). 4. Menghindari adanay istilah “kalah dan menang dalam perkara” yang dapat merugikan kedua belah pihak. g.
Kasus Sengketa Yang Diselesaikan Melalui Pranata Lokal Beberapa kasus sengketa yang menjadi kompetensi Kerama Gubug atau Kerama Desa atau Rembug Subak, yaitu di bidang pengairan bagi masyarakat Sasak sepenuhnya menjadi kompetensi mengadili dari “Rembig Subag” yang termasuk dalam bidang hokum keperdataan. Sedangkan bagi Kerama Dea atau Kerama Desa kompetensinya meliputi sengketa di luar masalah pengairan, baik perkara yang berdimensi perdata adapt aupun delik adat (pidana adat). Perkara berdimensi perdata adat, antara lain : sengketa perkawinan (merari’), sengketa waris (bagi ahli waris), dan lain-lain. Sedangkan dalam konflik yang berdimensi pidana meliputi tawuran dan pembunuhan secara missal (mesiat),
perbuatan perzinahan atau kesusilaan dan moral (bekekaruh), dan meresahkan dunia (ngeletuhing jagat).