Masyarakat Hukum Adat Bab 4

  • Uploaded by: savira hasibuan
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Masyarakat Hukum Adat Bab 4 as PDF for free.

More details

  • Words: 3,191
  • Pages: 16
Masyarakat hukum adat

Savira fatma adriani hasibuan 3016210280 Hukum adat kelas H Dosen: Bu. Dr. Kunthi tridewiyanti, S.H.,M.A.

PENDAHULUAN Ter Haar mengartikan masyarakat hukum adat sebagai sekumpulan orang yang teratur, bersifat tetap serta memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengurus kekayaan tersendiri berupa benda-benda, baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan. Van vollenhoven dan Soepomo masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri khas hukum adat itu adalah persekutuan hukum adat (adat rechtgemeneschap). Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut UU Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum. Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan sebagai berikut.

1.

Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).

2.

Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.

3.

Ada wilayah hukum adat yang jelas.

4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.

Membaca pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan siapa yang dimaksud sebagai masyarakat hukum adat. Sementara unsur-unsur yang akumulatif, masih diragukan kebenaran unsurnya. Sebagai contoh, terdapat kesalahan fatal dalam membuat persamaan antara paguyuban dengan

rechtsgemeenschap. Paguyuban tidak bisa disamakan dengan rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah berarti persekutuan hukum, karena sifat dari unsur tersebut akumulatif, maka jika salah satu unsur diragukan kebenarannya, ia akan menggugurkan pengakuan meski telah memenuhi ke empat unsur lainnya. Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita menjadi sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat hukum adat menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. Akibat ketidakjelasan pengaturan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat kekaburan dalam penentuan kriteria dan unsur pengakuan, maka keberadaan masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan hukum apapun dari negara.

Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Msasyarakat Hukum Adat Jumlah Undang-Undang yang diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun 1950 sampai dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah 1137 UndangUndang. Ribuan lainnya berupa peraturan pelaksana dari mulai PP sampai Peraturan Presiden. Sementara pada tingkat Perda, hanya dalam waktu 7 tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD. Dari belasan ribu peraturan yang diterbitkan, cukup sulit untuk menelusuri seluruh pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Dari sumbersumber data yang tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur mengenai lembaga adat dari2 639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa (CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk masyarakat hukum adat tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang otoritas atas wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan perundangundangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah. Sementara pada tingkat Undang-Undang, sebagaimana telah disinggung di atas, justru menempatkan masyarakat hukum adat berada dalam ketidakjelasan status hukumnya.

Dampak Penerapan Peraturan Perundangan Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Meskipun tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah anggota/jiwa masyarakat hukum adat dari 40-60 juta masyarakat, berdasarkan pendampingan di sejumlah tempat, menunjukkan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat hukum adat hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat. Data luas kawasan hutan menurut pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah luasan tersebut didapatkan melalui proses penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian, UU Kehutanan menjadikan kawasan hutan dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek pengaturan. Selanjutnya menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa provinsi dan kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada di atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Tumpang tindih ini sesungguhnya tidak terjadi begitu saja, tetapi disadari dan di dasari oleh klaim negara sebagai pemegang kuasa atas seluruh kekayaan alam di Indonesia, termasuk hutan (HMN). HMN yang juga dianut oleh UU Kehutanan dijadikan justifikasi untuk menguasai seluruh kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, termasuk di dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat hukum adat. Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan menurut aspek teoritis dan aspek yuridis. 1. Aspek teoritis Ter Haar (1981), mendiskripsikan persekutuan-persekutuan hukum atau untuk mudahnya disebut saja masyarakat hukum adat yaitu: “……gerombolangerombolan yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud.. Hazairin (dalam Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuankesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasar hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal,

dan bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahanya. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Ada 4 (empat) faktor untuk memastikan adanya masyarakat hukum adat yaitu: 1.) Adanya satu kesatuan manusia yang teratur. 2.) Menetap di suatu daerah tertentu. 3.) Mempunyai penguasa. 4.) Mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para angota itu mempunyai pikiran atau kecederungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Ciri-ciri dan model sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin di atas sudah sejak lama dikenal di Propinsi Maluku dengan ukuran dan nama yang beragam.. Kesatuan masyarakat hukum adat ini dari dahulu eksistensinya sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi, pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam. R.Z Titahelu (2003), menyatakan diperlukan konsep yang jelas mengenai masyarakat hukum adat, menurutnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang masih menggunakan hukum adat di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak saja di dalam lapangan keagamaan, akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan, sosial, ekonomi maupun budaya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Titahelu,ada tiga kriteria untuk dapat membantu menetapkan ada tidaknya masyarakat hukum adat yaitu sebagai berikut. 1. Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai masyarakat adat.

2. Adanya susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun pemerintahan masyarakat itu. 3. Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya sangat berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang social, politik, budaya maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah tertentu yang cukup luas bukan sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya.

Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah petuanan (ulayat) dimana mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya secara teratur dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya, merupakan tanda adanya masyarakat hukum adat.

2. Aspek Yuridis Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat serta hakhaknya di Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu sangat beragam dari sektor satu dengan sektor lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh daerah-daerah juga berbeda-beda. Untuk pertama kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat ketentuan yang menyatakan bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat (Pasal 5) , dan mengakui salah satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni apa yang disebut sebagai hak ulayat. Pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataanya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi”. Dengan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hak ulayat memang diakui, tetapi dengan pembatasan tertentu mengenai eksistensinya yakni bila sepanjang kenyataannya masih ada, dan pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat limitatif.

UUPA sendiri tidak menjelaskan tentang hak ulayat itu, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht sebagaimana dipahami dalam kepustakaan hukum adat. suatu beschikkingsrecht meliputi berbagai kewenangan seperti mengambil hasil-hasil alam dari hutan atau air, berburu hewan-hewan liar, mengambil dan memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan membuka tanah dalam hutan dengan seizin kepala masyarakat hukum adat (lihat Ter Haar).

PEMBAHASAN A. Istilah lain masyarakat hukum adat Istilah masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat” dengan “masyarakat hukum-adat”. Yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum dan yang lain menekankan kepada hukum adat. Pada pihak lain, kalangan yang keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa “masyarakat hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi saja, yaitu hukum, padahal masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi hukum, melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dan ekologi. Istilah masyarakat hukum adat semakin sering digunakan karena mendekati istilah yang dipergunakan di dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat. Sehingga memberikan kesan bahwa istilah inilah yang paling sahih dan sesuai dengan konstitusi. Istilah masyarakat hukum adat dipergunakan dalam UU Hak Asasi Manusia, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Istilah masyarakat adat dipergunakan dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Definisi masyarakat adat di dalam undang-undang ini seiring dengan definisi tentang masyarakat adat yang didefinisikan oleh AMAN pada tahun 1999, yang mengidentifikasi masyarakat adat sebagai kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Istilah ini banyak dipakai oleh kelompok gerakan-gerakan kelompok sosial yang memperjuangkan haknya atas tanah dan juga perlawanan terhadap diskriminasi yang dialami sejak Orde Baru. Istilah masyarakat tradisional dipergunakan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dan juga dipergunakan dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWPPK). Di dalam UU PWPPK

masyarakat tradisional didefinisikan sebagai masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. Sementara itu istilah komunitas adat terpencil dipergunakan oleh Kementerian Sosial untuk pengembangan program kesejahteraan terhadap komunitas adat terpencil. Dalam Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, komunitas adat terpencil atau yang sebelumnya disebut sebagai “masyarakat terasing” didefinisikan sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Sedangkan istilah kesatuan masyarakat hukum adat dipergunakan dalam UU Pemerintahan Daerah dan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai entitas hukum yang diakui dan dihormati keberadaannya berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian diatur dalam undang-undang. Kata awal “kesatuan” pada istilah ini menunjukan bahwa masyarakat adat itu merupakan suatu bentuk komunitas (community) yang memiliki ikatanikatan berdasarkan adat, bukan society yang lebih longgar dan bersifat umum. Istilah masyarakat adat yang terpencil dipergunakan dalma UU tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk membuat satu kategori masyarakat yang jauh dari akses terhadap pendidikan. Sementara itu, istilah desa atau nama lainnya adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan ‘desa’ sebagai unit pemerintahan asli di dalam masyarakat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Di Sumatra Barat, desa itu disebut dengan nagari, di Aceh disebut gampong, negeri di Maluku, marga di Palembang, rio di Jambi, lembang di Toraja, dan sebutan-sebutan lainnya. Unit ‘desa’ itu merupakan unit masyarakat adat yang sudah diidentifikasi sebagai masyarakat hukum adat (adat

rechtsgemenchaapen) oleh Ter Haar untuk menyebut kelompok masyarakat pribumi yang terikat secara genealogis maupun teritorial. Ragam istilah dan definisi itu didukung oleh berbagai instansi yang berbeda-beda dan pendekatannya yang berbeda-beda pula dalam memandang masyarakat adat. Hal itulah yang menjadikan ketika berbicara tentang masyarakat adat sesungguhnya sedang membicarakan kontestasi konsep, legislasi dan juga instansi sektoral yang mengurusi masyarakat adat. B. Deskripsi masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan populer disebut dengan istilah “masyarakat adat”. 1 Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat. Pengertian masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaannya hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.

(1 Djamanat Samosir. 2013. Hukum Adat Indonesia. Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.69 2 Ibid, hal. 72)

Masyarakat merupakan sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok

sosial. Maka suatu masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama, yang wargawarganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan didalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud. Masyarakat hukum adat juga merupakan suatu kesatuan manusia yang saling berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu suatu masyarakat dengan polapola perilaku yang sama, dimana perilaku tersebut tumbuh dan diwujudkan oleh masyarakat, dari pola tersebut diwujudkan aturanaturan untuk mengatur pergaulan hidup itu. Suatu pergaulan hidup dengan pola pergaulan yang sama, hanya akan terjadi apabila adanya suatu komunitas hubungan dengan pola berulang tetap. Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapatkan sanksi dari para penguasa adat.

C. Bentuk dan susunan masyarakat hukum adat 1. Masyarakat hukum territorial adalah masyarakat hukum yang anggotaanggotanya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi maupun rohani.

Ada 3 jenis masyarakat hukum territorial yaitu :

Persekutuan desa yaitu apabila ada segolongan orang terikat pada satu tempat kediama, juga apabila di dalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri.

Persekutuan daerah yaitu apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata susunan dn pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah. Perserikatan (beberapa kampung) yaitu apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama.

2. Masyarakat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur.

Masyarakat genealogis ini juga dibagi dalam tiga macam yaitu: Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada Batak, Nias, dan Sumba Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) seperti di Minangkabau Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental) seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak.

3. Masyarakat territorial genealogis adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau suatu kekerabatan.

4. Masyarakat adat keagamaan adalah kesatuan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan yang biasanya ada dibeberapa daerah tertentu.

5. Masyarakat adat di perantauan

6. Masyarakat adat lainnya yaitu masyarakat yang terbentuk karrena didasarkan pada ikatan kekaryaan di antara anggota-anggotanya. Berikut adalah skemanya:

Masyarakat Hukum Adat dari Segi Bentuknya Masyarakat Hukum Adat Tunggal Masyarakat Hukum Adat dengan bentuk tunggal, adalah suatu masyarakat hukum adat atasan dan tidak ada masyarakat hukum adat bawahan. Dengan demikian masyarakat hukum adat ini merupakan suatu kesatuan yang tunggal. Masyarakat Hukum Adat Bertingkat Masyrakat Hukum Adat dengan bentuk bertingkat adalah suatu masyarakat hukum adat, dimana didalamnya terdapat masyarakat hukum adat atasan dan beberapa masyarakat hukum adat bawahan, yang tunduk pada hukum adat atasan tersebut.

Masyarakat Hukum Adat Berangkai Masyarakat Hukum Adat berangkai, terdiri dari gabungan atas federasi dari masyarakat-masyarakat hukum adat yang setara. Gabungan atau

federasi tersebut dibentuk untuk melakukan pekerjaan tertentu, seperti misalnya menanggulangi kejahatan, pengaturan penggunaan air untuk kepentingan pertanian seperti di Subak Bali. D. HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT DALAM HUKUM ADAT Djojodigoeno membedakan hubungan individu dan masyarakat kepada dua jenis, yaitu paguyuban dan patembayan. Paguyuban adalah masyarakat yang bersifat komunal (kebersamman). Patembayan adalah masyararkat bersifat individual. Hukum adat sebagai hukum yang mengatur masyarakat berciri komunal yang pokok diberi perlindungan oleh hukum adalah kepentingan masyarakat.sedangkan kepentingan perorangan (individu) tidak mendapatkan tekanan.individu dalam pandangan hukum adat tidak terlepas dari masyarakat. Menurut hukum adat masyarakatlah yang kuat kuasa menentukan segalah sesuatu dan menentukan arah kepada semua tindak tanduk individu.hukum itu adalah hak-hak yang bersifat kemasyarakatan dalam arti pemberian hak individu tidak akan meniadakan kepentingan umum dari hak tersebut. E. Kedudukan dan peran kepala adat Kedudukan kepala adat adalah sebagai ketua dari sebuah wilayah di adat itu tersendiri jadi dia yang mengepalai wilayah adat tersebut sehingga perannya sangatlah berarti karna biasanya dia yang mempunyai banyak jasa terhadap suatu wilayah adat tersebut sehingga semua nya mengikuti saran dari kepala adat dan menurutinya dan peran ketua adat tidaklah luput dari bagaimana melestarikan adat tersebut serta mengembangkan adat tersebut sehingga tidak mati ditelan jaman dan juga cara agar suatu adat tersebut tetaplah asri seperti dahulu kala jadi peranan dan kedudukan kepala adat sangatlah berarti dan berjasa bagi suatu wilayah adat ibaratnya seperti iman yang memimpin. Namun sistim pemerintahan di indonesia sudahlah teratur sehingga kepala adat tersebut biasa nya dipakai hanya di suatu wilayah adat yang masih sangat kendal dengan kebudayaannya walaupun sudah ada kepala daerah mereka menggap kepala adat juga dibutuhkan. F. Kedudukan masyarakat hukum adat

A. Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Nasional Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberikan definisi Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari empat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dari pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia G. Unsur-unsur masyarakat daerah menurut soerjono soekamto Unsur-Unsur Suatu Masyarakat Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa unsur-unsur masyarakat sebagai berikut ini : 1.

Berangotakan minimal dua orang.

Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturanaturan hubungan antar anggota masyarakat. 2. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

Related Documents


More Documents from "Azkia Syafina"

Trematoda Usus.docx
October 2019 27
Komposting.docx
May 2020 9
23410_kuis.docx
April 2020 10
Tugas Ehb.docx
November 2019 18