BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Post partum merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin. (Saifuddin, 2006). Infeksi post partum ialah infeksi yang terjadi pada traktus genitalia setelah persalinan (Rayburn dan Carey, 2001). Secara umum suhu 38oC atau lebih yang terjadi antara hari ke 2-10 post partum dan diukur per-oral sedikitnya 4 kali sehari disebut sebagai morbiditas puerperalis. Kenaikan suhu tubuh yang terjadi didalam masa post partum, dianggap sebagai infeksi post partum jika tidak ditemukan sebab sebab ekstragenital. Infeksi post partum dapat disebabkan oleh beberapa faktor predisposisi seperti hygiene, kelelahan, proses persalinan bermasalah (partus lama/macet), persalinan traumatik, kurang baiknya proses pencegahan infeksi, manipulasi yang berlebihan dan dapat berlanjut ke infeksi dalam masa post partum (Saifuddin dkk.,2002). Menurut WHO (World Health Organization), di seluruh dunia setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilannya, persalinannya, dan nifas. Dengan kata lain, 1.400 perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan AKI di negara ASEAN lainnya. Survey Demografi dan
Kependudukan
Indonesia
(SDKI)
2002/2003,
AKI
sebesar
307/100.000 kelahiran hidup, sementara itu di negara tetangga seperti Malaysia sebesar 36/100.000 kelahiran hidup, di Singapura sebesar 6/100.000 kelahiran hidup, bahkan di Vietnam 160/100.000 kelahiran hidup (Depkes, 1998). Beberapa jenis infeksi post partum yang dapat membahayakan ibu setelah melahirkan yaitu : Endometritis, infeksi saluran kemih, mastitis dan luka terinfeksi.
Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim). (Manuaba, I.B. G.). Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium, merupakan komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan. Selain endometritis isk juga merupakah salah satu infeksi post partum yang dapat membahayakan ibu. Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang di sebabkan oleh bakteri terutama escherichia coli: resiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluksvesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen baru,septikemia. (Susan Martin Tucker, dkk,1998). Selain endometritis dan isk, mastitis pun menjadi salah satu infeksi yang dapat berbahaya bagi ibu dan anak. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokistik terus meningkat, dimana 12% kasus diantaranya merupakan infeksi payudara yang disebabkan oleh mastitis pada wanita post partum. Indonesia sebagai negara berkembang di dunia dengan presentasi kasus mastitis mencapai 10% pada ibu post partum (WHO, 2005; 2008). Berdasarkan laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa 55% ibu menyusui mengalami mastitis dan puting susu lecet, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perawatan payudara yang tidak benar. Pengetahuan tentang perawatan payudara sangat penting untuk diketahui pada masa nifas, ini berguna untuk menghindari masalah dalam proses menyusui. Masalah dan gangguan pada payudara pada waktu menyusui akan mengganggu produksi ASI (Depkes RI, 2007). Selain
ketiga
masalah
diatas
luka
terinfeksi
pun
dapat
mempengaruhi ibu bahkan menyebabkan kematian bagi ibu. Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tertinggi di negara ASEAN. Penyebab langsung kematian di Indonesia dan negara lainnya di dunia hampir sama yaitu akibat perdarahan (28%), eklamsia (24%) dan infeksi
(11%). AKI di Indonesia tergolong masih tinggi dibandingkan dengan egara ASEAN yaitu sebesar 390 per 1.000.000 kelahiran hidup. Angka tersebut 3-6 kali dari AKI negara ASEAN dan 50 kali negara maju dan salah satunya disebabkan karena infeksi ini (25-55%) disebabkan karena infeksi jalan lahir atau episiotomi (WHO, 2007)
1.2. Rumusan masalah 1. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan endometritis ? 2. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan infeksi saluran kemih ? 3. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan mastitis ? 4. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan luka terinfeksi ? 1.3. Tujuan 1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien dengan endometritis. 2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien dengan infeksi saluran kemih. 3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien dengan mastitis. 4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien dengan luka terinfeksi.
BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1. Endometritis 2.1.1. Definisi Endometritis adalah infeksi endometrium/desidua dan miometrium pasca
persalinan ( Morgan,Geri.obstetri dan ginekologi panduan
praktis). Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim). (Manuaba, I.B. G.). Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium, merupakan komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan. Endometritis adalah infeksi atau desidua endometrium, dengan ekstensi ke miometrium dan jaringan parametrial. Endometritis dibagi menjadi kebidanan dan nonobstetric endometritis. Penyakit radang panggul (PID) adalah sebuah Common nonobstetric pendahulunya dalam populasi.
2.1.2. Etiologi Mikroorganisme yang menyebabkan endometritis diantaranya Campylobacter foetus, Brucella sp., Vibrio sp. dan Trichomonas foetus. Endometritis juga dapat diakibatkan oleh bakteri oportunistik spesifik seperti Corynebacterium pyogenes, Eschericia coli dan Fusobacterium
necrophorum.
Organisme
penyebab
biasanya
mencapai vagina pada saat perkawinan, kelahiran, sesudah melahirkan atau melalui sirkulasi darah. Terdapat banyak faktor yang berkaitan dengan endometritis, yaitu retensio sekundinarum, distokia, faktor penanganan. Selain itu, endometritis biasa terjadi setelah kejadian aborsi, kelahiran kembar, serta kerusakan jalan kelahiran sesudah melahirkan. Endometritis dapat terjadi sebagai kelanjutan kasus distokia atau retensi plasenta
yang mengakibatkan involusi uterus pada periode sesudah melahirkan menurun. Endometritis juga sering berkaitan dengan adanya Korpus Luteum Persisten. SC merupakan faktor predisposisi utama timbulnya endometritis dan erat kaitannya dengan status sosial ekonomi penderita. Faktor resiko penting untuk timbulnya infeksi adalah lamanya proses persalinan dan ketuban pecah, pemeriksaan dalam berulang dan pemakaian alat monitoring janin internal. Karena adanya faktor resiko tersebut america
college
of
obsetricians
andgynekologists menganjurkan pemberian antibiotika profilaksis pada tindakan secsio caesarea.
2.1.3. Klasifikasi a. Endometritis akut Pada endometritis post partum regenerasi endometrium selesai pada hari ke-9, sehingga endometritis post partum pada umumnya terjadi sebelum hari ke-9. Endometritis post abortum terutama terjadi pada abortus provokatus. Pada endometritis akut, endometrium mengalami edema dan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hiperemi, edema dan infiltrasi leukosit berinti polimorf yang banyak, serta perdarahanperdarahan interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksi gonorea dan infeksi pada abortus dan partus.Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang menjalar ke atas dan menyebabkan endometritis akut. Infeksi gonorea. Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke miometrium dan melalui pembuluh-pembuluh darah limfe dapat menjalar ke parametrium, ketuban dan ovarium, dan ke peritoneum sekitarnya.
Gejala-gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala penyakit dalam keseluruhannya: 1. Penderita panas tinggi 2. Kelihatan sakit keras 3. Keluar leukorea yang bernanah 4. Uterus serta daerah sekitarnya nyeri pada perabaan Sebab lain endometritis akut ialah tindakan yang dilakukan dalam uterus di luar partus atau abortus, seperti kerokan, memasukan radium ke dalam uterus, memasukan IUD (intra uterine device) ke dalam uterus, dan sebagainya. Tergantung dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus, apakah endometritis akut tetap berbatas pada endometrium, atau menjalar ke jaringan di sekitarnya. Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa patogen pada umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri, dibantu dengan pelepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu haid. Dalam pengobatan endometritis akuta yang paling penting adalah berusaha mencegah, agar infeksi tidak menjalar. Manifestasi klinis 1. Demam 2. Lochea berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar flour yang purulent. 3. Lochea lama berdarah malahan terjadi metrorrhagi. 4. Kalau radang tidak menjalar ke parametrium atau parametrium tidak nyeri.
Terapi : a.
Uterotonika.
b.
Istirahat, letak fowler.
c.
Antibiotika.
d.
Endometritis senilis perlu dikuret untuk menyampingkan
corpus carsinoma. Dapat
diberi estrogen.
b. Endometritis kronik Endometritis kronik tidak seberapa sering terdapat, oleh karena itu infeksi yang tidak dalam masuknya pada miometrium, tidak dapat mempertahankan diri, karena pelepasan lapisan fungsional darn endometrium pada waktu haid. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan
banyak sel-sel plasma dan limfosit.
Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena sel itu juga ditemukan dalam keadaan normal dalam endometrium. Manifestasi klinis Endometritis kronika adalah leukorea dan menorargia. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Endometritis kronis ditemukan: 1. Pada tuberkulosis. 2. Jika tertinggal sisa-sisa abortus atau partus. 3. Jika terdapat korpus alineum di kavum uteri. 4. Pada polip uterus dengan infeksi. 5. Pada tumor ganas uterus. 6. Pada salpingo oofaritis dan selulitis pelvik. Endometritis tuberkulosa terdapat pada hampir setengah kasus-kasus
TB
genital.
Pada
pemeriksaan
mikroskopik
ditemukan tuberkel pada tengah-tengah endometrium yang meradang menahun.
Pada abortus inkomplitus dengan sisa-sisa tertinggal dalam uterus terdapat desidua dan vili korealis di tengah-tengah radang menahun endometrium. Pada partus dengan sisa plasenta masih tertinggal dalam uterus, terdapat peradangan dan organisasi dari jaringan tersebut disertai gumpalan darah, dan terbentuklah apa yang dinamakan polip plasenta.
Endometritis kronika yang lain
umumnya akibat ineksi terus-menerus karena adanya benda asing atau polip/tumor dengan infeksi di dalam kavum uteri. Gejalanya : 1. Flour albus yang keluar dari ostium. 2. Kelainan haid seperti metrorrhagi dan menorrhagi. Terapi: : Perlu dilakukan kuretase.
2.1.4. Komplikasi Komplikasi yang potensial dari endometritis adalah sebagai berikut: 1. Luka infeksi Infeksi luka biasanya terjadi pada hari kelima pasca operasi sebagai demam menetap meskipun pasien mendapat terapi antimikroba yang adekuat. Biasanya dijumpai eritema, indurasi, dan drainase insisi 2. Karena peritonitis Peritonitis pasca sesar mirip dengan peritonitis bedah, kecuali rigiditas
abdomen biasanya tidak terlalu mencolok
karena peregangan abdomen yang berkaitan dengan kehamilan. Nyeri mungkin hebat. Jika infeksi berawal di uterus dan meluas hanya ke peritonium di dekatnya (peritonitis panggul),terapi biasanya medis. Sebaliknya peritonitis abdomen generalisata akibat cedera usus atau nekrosis insisi uterus, sebaiknya diterapi secara bedah.
3. Parametrial phlegmon Pada sebagian wanita yang mengalami metritis setelah sesar, terjadi selulitis parametrium yang intensif. Hal ini menyebabkan terbentuknya daerah indursi yang disebut flegmon, di dalam lembar-lembar ligamentum latum (parametria)atau dibawah lipatan kandung kemih yang berada di atas insisi uterus. Selulitis ini umumnya unilateral dan dapat meluas ke lateral ke dinding samping panggul. Infeksi ini harus dipertimbangkan jika demam menetap setelah 72 jam meskipun pasien sudah mendapat terapi untuk endomiometritis pasca sesar. 4. Panggul abses Flegmon
parametrium
dapat
mengalami
supurasi,
membentuk abses ligamentum latum yang fluktuatif. Jika abses ini pecah, dapat timbul peritonitis yang mengancam nyawa. Dapat dilakukan drainase abses dengan menggunakan tuntunan computed tomography, kolpotami, atau melalui abdomen, bergantung pada lokasi abses. 5. Abses subfasia dan Terbukanya jaringan parut uterus Kompilkasi
serius
endometritis
pada
wanita
yang
melahirkan sesar adalah terbukanya insisi akibat infeksi nekrosis disertai perluasan ke dalam ruang subfasia di sekitar dan akhirnya pemisahan insisi fasia . Hal ini bermanifestasi sebagai drainase subfasia pada wanita dengan demam lama. Di perlukan eksplorasi bedah dan pengangkatan uterus yang terinfeksi. 6. Septik panggul thrombophlebitis Di dahului oleh infeksi bakteri di tempat implantasi plasenta atau insisi uterus. Infeksi dapat meluas di sepanjang rute vena dan mungkin mengenai vena-vena di ovarium.
2.1.5. Penatalaksanaan 1. Antibiotika ditambah drainase yang memadai merupakan pojok sasaran terapi. Evaluasi klinis dari organisme yang terlihat pada pewarnaan gram, seperti juga pengetahuan bakteri yang diisolasi dari infeksi serupa sebelumnya, memberikan petunjuk untuk terapi antibiotik. 2. Cairan intravena dan elektrolit merupakan terapi pengganti untuk dehidrasi ditambah terapi pemeliharaan untuk pasien-pasien yang tidak mampu mentoleransi makanan lewat mulut. Secepat mungkin pasien diberikan diit per oral untuk memberikan nutrisi yang memadai. 3. Transfusi darah dapat diindikasikan untuk anemia berat dengan post abortus atau post patum. 4. Tirah baring dan analgesia merupakan terapi pendukung yang banyak manfaatnya. 5. Tirndakan bedah: endometritis post partum sering disertai dengan jaringan plasenta yang tertahan atau obstruksi serviks. Drainase lokia yang memadai sangat penting. Jaringan plasenta yang tertinggal dikeluarkan dengan kuretase perlahan-lahan dan hatihati. Histerektomi dan salpingo-oofaringektomi bilateral mungkin ditemukan bila klostridia telah meluas melampaui endometrium dan ditemukan bukti adanya sepsis sistemik klostridia (syok, hemolisis, gagal ginjal)
2.1.6. Pathway
Seksio sesarea
Mk : nyeri
Pecahnya ketuban lama
Luka bekas insersio placenta
Kuman masuk pada endometrium
Mk: resiko infeksi
Terjadi peradangan pada endometrium
Infeksi pada decidua
Endometritis kronis
Di tandai Terjadinya neutrofil dalam kelenjar endometrium
Endometritis akut
Di tandaiTerjadinya plasma sel dan limposit dalam stroma
Sumber : WOC ENDOMETRITIS
2.1.7. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akurt berhubungan dengan luka akibat pemutusan tali pusat 2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan masuknya kuman/mikroorganisme ke dalam endometrium
2.1.8. Intervensi Keperawatan 1. Dx : nyeri berhubuungan dengan luka akibat pemutusan tali pusat intervensi : a. kaji luka akibat pemutusan tali pusat b. intruksikan klien dalam melakukan teknik relaksasi c. cegah adanya pendarahan d. bersihkan luka dengan steril e. pantau ttv f. kaji lokasi nyeri dan sifat ketidakmampuan nyeri
2. Dx: resiko tinggi terhadap infeksi berhubugan dengan masuknya kuman
/
mikroorganisme
kedalam
endometrium
a. Observasi kondisi ibu b. cegah endomrtrium terkena infeksi lebih lanjut c. lakukan pemeriksaan endometrium d. pantau ttv e. tinjau ulang catatan prenatal intrapartum dan pascapartum f. pantau suhu pernapasan g. observasi/ catat tanda infeksi lain
2.2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) 2.2.1. Definisi Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, Ardaya, Suwanto, 2001). Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, Ardaya, Suwanto, 2001). Infeksi Saluran Kemih adalah merupakan infeksi traktus urinarius yang disebabkan karena adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius dengan atau disertai tanda dan gejala, infeksi ini sering mengenai kandung kemih, prostate, uretra, dan ginjal.(Brunner & Suddarth,2002: 1438) Infeksi Saluran Kemih adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998). Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang di sebabkan oleh bakteri terutama escherichia coli: resiko
dan
beratnya
meningkat
dengan
kondisi
seperti
refluksvesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen baru,septikemia. (Susan Martin Tucker, dkk,1998). Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang sering dijumpai pada perempuan setelah infeksi saluran nafas. Dalam setiap tahun, 15% perempuan mengalami ISK. Kejadian ISK makin sering terjadi pada masa kehamilan. Perubahan mekanis dan hormonal yang terjadi pada kehamilan meningkatkan risiko keadaan yang membuat urin tertahan di saluran kencing. Juga adanya peningkatan hormon progesterone pada kehamilan akan menambah besar dan berat rahim serta mengakibatkan pengenduran pada otot polos saluran kencing. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncak pada akhir trimester dua dan awal trimester tiga yang merupakan factor yang memudahkan
terjangkitnya ISK pada kehamilan. Saluran kencing yang pendek pada perempuan dan kebersihan daerah sekitar kelamin luar yang menjadi bagian yang sulit dipantau pada perempuan hamil akan mempermudah ISK. ISK postpartum adalah infeksi bakteri pada traktus urinarius, terjadi sesudah melahirkan, ditandai kenaikan suhu sampai 38 derajat celcius atau lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca persalinan, dengan mengecualikan 24 jam pertama. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih. Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi dan hal ini dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktupersalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau katerisasi yang sering (Krisnadi, 2005).
2.2.2. Tanda dan Gejala Tanda-tanda ISK tidak khas, sebagian diantaranya bahkan tanpa gejala. Biasanya, keluhan yang sering dijumpai antara lain: a.
Nyeri saat kencing (disuria)
b.
Kencing sedikit-sedikit dan sering (polakisuria) dalam bahass jawa: anyang-anyangen
c.
Nyeri di atas tulang kemaluan atau perut bagian bawah suprapubik. Tanda-tanda tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan bagian
saluran kencing yang terinfeksi. 1.
ISK bagian bawah: biasanya ditandai dengan keluhan nyeri atau rasa panas saat kencing, kencing sedikit-sedikit dan sering, rasa tidak nyaman di atas tulang kemaluan (suprapubik).
2.
ISK bagian atas: ditandai dengan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman di pinggang, mual, muntah, lemah, demam, menggigil, sakit kepala.
2.2.3. Etiologi Etiologi ISK sebagian besar didominasi bakteri gram negatif, seperti E. coli (pada hampir 80% kasus), sedangkan bakteri gram positif lebih jarang menyebabkan ISK. Berdasarkan Toronto Notes 2008, kelompok bakteri yang dapat menyebabkan ISK adalah bakteribakteri KEEPS, yaitu : K = Klebsiella, E = E. Coli, E = Enterobacter, P = Pseudomonas, S = S. aureus. Namun secara garis besar Organisme yang menyerang traktus urinarius akibat persalinan adalah penghuni normal dari area perineum, mungkin juga dari luar. Faktor predisposisi infeksi saluran kemih postpartum yaitu: 1. Semua keadaan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, seperti perdarahan, dan kurang gizi atau malnutrisi. 2. Adanya hambatan pada aliran urin. 3. Tindakan bedah vaginal yang menyebabkan perlukaan jalan lahir. 4. Anemia, higiene, kelelahan/ 5. Proses
persalinan
bermasalah
:
Partus
lama/macet,
korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya proses pencegahan infeksi, manipulasi yang berlebihan, dapat berlanjut ke infeksi dalam masa nifas.
2.2.4. Pencegahan Infeksi Saluran Kencing saat Nifas 1. Masa kehamilan a.
Mengurangi atau mencegah faktor-faktor predisposisi seperti anemia, malnutrisi dan kelemahan serta mengobati penyakitpenyakit yang diderita ibu.
b.
Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau tidak ada indikasi yang perlu.
c.
Koitus pada hamil tua hendaknya dihindari atau dikurangi dan dilakukan hati-hati karena dapat menyebabkan pecahnya ketuban. Kalau ini terjadi infeksi akan mudah masuk dalam jalan lahir.
2. Selama persalinan Usaha-usaha pencegahan terdiri atas membatasi sebanyak mungkin masuknya kuman-kuman dalam jalan lahir : a.
Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin.
b.
Perlukaan-perlukaan
jalan
lahir
karena
tindakan
baik
pervaginam maupun perabdominam dibersihkan, dijahit sebaikbaiknya dan menjaga sterilitas. c.
Mencegah terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah yang hilang harus segera diganti dengan tranfusi darah.
d.
Alat-alat dan kain-kain yang dipakai dalam persalinan harus steril
e.
Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada indikasi dengan sterilisasi yang baik, apalagi bila ketuban telah pecah.
3. Selama nifas a.
Luka-luka dirawat dengan baik jangan sampai kena infeksi, begitu pula alat-alat dan pakaian serta kain yang berhubungan dengan alat kandungan harus steril.
b.
Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam ruangan khusus, tidak bercampur dengan ibu sehat.
c.
Pengunjung-pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari pertama dibatasi sedapat mungkin.
2.2.5. Penatalaksanaan 1. Penanganan umum a.
Antisipasi setiap kondisi (faktor predisposisi dan masalah dalam proses persalinan) yang dapat berlanjut menjadi penyulit/komplikasi dalam masa nifas.
b.
Berikan pengobatan yang rasional dan efektif bagi ibu yang mengalami infeksi nifas.
c.
Lanjutkan pengamatan dan pengobatan terhadap masalah atau infeksi yang dikenali pada saat kehamilan ataupun persalinan.
d.
Jangan pulangkan penderita apabila masa kritis belum terlampaui.
e.
Beri catatan atau instruksi tertulis untuk asuhan mandiri di rumah dan gejala-gejala yang harus diwaspadai dan harus mendapat pertolongan dengan segera.
f.
Lakukan tindakan dan perawatan yang sesuai bagi bayi baru lahir, dari ibu yang mengalami infeksi pada saat persalinan. Dan Berikan hidrasi oral/IV secukupnya.
2. Pengobatan secara umum a.
Sebaiknya segera dilakukan pembiakan (kultur) dan sekret vagina, luka operasi dan darah serta uji kepekaan untuk mendapatkan antibiotika yang tepat dalam pengobatan.
b.
Berikan dalam dosis yang cukup dan adekuat.
c.
Karena hasil pemeriksaan memerlukan waktu, maka berikan antibiotika spektrum luas (broad spektrum) menunggu hasil laboratorium.
d.
Pengobatan mempertinggi daya tahan tubuh penderita, infus atau transfusi darah diberikan, perawatan lainnya sesuai dengan komplikasi yang dijumpai.
3. Penanganan infeksi postpartum : a.
Suhu harus diukur dari mulut sedikitnya 4 kali sehari.
b.
Berikan terapi antibiotic (kolaborasi dengan dokter), Perhatikan diet. Lakukan transfusi darah bila perlu, Hati-hati bila ada abses, jaga supaya nanah tidak masuk ke dalam srongga perineum.
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih. Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis. 2. Bakteriologis –
Mikroskopis
–
Biakan bakteri
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik 4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi. 5. Metode tes –
Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
–
Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
–
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
–
Tes- tes tambahan: Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.
2.2.7. Pathway mikroorganisme
Masuk ke dalam saluran kemih
VU/Kandung Kemih ginjal
Ureter Sistitis
Pielonefritis
Uretritis
Reaksi antigen antibodi Inflamasi Peningkatan suhu tubuh / Hipertermi
Gangguan Termogulasi
Ansietas Pembekakan jaringan
Obstruksi saluran kemih
Kekhawatiran klien akan penyakitnya
Nyeri saat berkemih Perubahan eliminasi urin Gangguan rasa nyaman / nyeri
2.2.8. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri Berhubungan dengan ISK 2. Perubahan Eliminasi Urine 3. Defisit Pengetahuan yang Berhubungan dengan Terapi dan Pencegahan ISK 4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3.1.9. Intervensi Keperawatan No
Diagnosa Keperawatan
1.
Nyeri Berhubungan dengan agen cedra biologis
Tujuan
intervensi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam klien diharapkan dapat mencapai pain control dengan kriteria hasil : – Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) dari skala ... ke …
Pain manajemen : 1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitas
–
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri dari skala ... ke …
–
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) dari skala ... ke …
–
Mengatakan
rasa
2.
observasi reaksi ketidaknyamanan
nonverbal
dari
3.
gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
4.
kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5.
evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
nyaman setelah nyeri berkurang dari skala ... ke …
–
2.
3.
Perubahan Eliminasi Urine berhubungan dengan ISK
TTV dalam rentang normal dari skala ... ke ...
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam klien diharapkan dapat mencapai urinary elimination dengan kriteria hasil: – Pola eliminasi dari skala ... ke … –
Bau urine dari skala ... ke …
–
Jumlah urine skala ... ke …
dari
–
Warna urine skala ... ke …
dari
–
Kejernihan urine dari skala ... ke …
–
Asupan cairan dari skala ... ke …
–
Disuria dari skala ... ke …
–
Urgensi perkemihan dari skala ... ke ...
Defisit Pengetahuan Keluarga yang
Berhubungan mengerti
dengan Terapi dan mengetahui
Urinary elimination management: 1. Memonitor eliminasi urine termasuk frekuensi, bau, volume, dan warna 2.
Memonitor tanda dan gejala retensi urine
3.
Beri tahu pasien tanda dan gejala ISK pasien
4.
Anjurkan pasien keluaran urin
5.
Rujuk ke dokter jika tanda dan gejala ISK terjadi.
dapat 1. dan
Berikan
penilaian
untuk
tentang
memantau
tingkat
pengetahuan pasen tentang proses
tentang
penyakit yang spesipik
Pencegahan ISK
2.
Berikan demonstasi tentang melakukan
penyakit yang diderita pasxien Kriteria hasil : –
kompres hangat 3.
Identifikasi kemungkinan penyebab
4.
Dukung
Pasien dan keluarga
keluarga
untuk
mengeskplorasi
menyatakan pengetahuan tentang penyakit –
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosxedur yang di jelaskan
secara
benar –
Pasien dan keluarga mampu menjelasxkan
apa
yang di jelaskan 4.
Hipertermi
Suhu tubuh dalam batas 1.
berhubungan
normal
dengan penyakit
proses
Kriteria hasil : –
Sxuhu
dalam
rentang normal –
Nadi dan RR dalam rentang (nadi (RR16-24)
normal
Monitor suhu sesering mungkin
2.
Monitor warna dan suhu kulit
3.
Berikan anti piretik
4.
Kolaborasikan
pemberian
intravena 5.
60-100) 6.
Berikan kompre hangat Tingkatkan sirkuasi udara
cairan
–
Tidak
ada
perubahan wxarna kulit dan tidak ada pusing
2.3. Mastitis 2.3.1. Definisi Mastitis Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara. Biasanya terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka. Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis adalah reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai komplikasi sumbatan saluran air susu (Masjoer, 2001). Mastitis terjadi pada sekitar 1% hingga 10% ibu segera setelah melahirkan, sebagian besar dari mereka merupakan ibu yang baru pertama kali menyusui (Newton,2007). Mastitis hampir selalu unilateral dan terjadi setelah aliran ASI telah keluar (Firgun 23-4). Organisme yang menginfeksi umumnya S.aureus hemolitik. Fisura puting susu yang terinfeksi biasanya merupakan lesi awal, namun sistem duktus ikut terinfeksi setelahnya. Edema oleh inflamasi dan pembengkakan payudara segera mengobstruksi aliran ASI dalam lobus; regional, kemudian menyeluruh, dan terjadilah mastitis. Jika pengobatan tidak dilakukan, mastitis dapat berlanjut menjadi abses payudara (Lowdermilk,2013). Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus hingga puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga pasca kelahiran.Penyebab penting dari mastitis ini adalah pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat teknik menyusui yang buruk.Untuk menghambat terjadinya mastitis ini dianjurkan untuk menggunakan bra atau pakaian dalam yang memiliki penyangga yang baik pada payudaranya (Sally I, 2003 dalam Anonim, 2013).
2.3.2. Klasifikasi Mastitis Menurut (Bertha, 2002 dalam Djamudin, 2009) klasifikasi mastitis dibagi menjadi empat, diantaranya sebagai berikut : 1. Mastitis Puerparalis Epidemik Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan ibunya terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau verulen. Masalah ini paling sering terjadi di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain resisten. 2. Mastitis Noninfesiosa Mastitis moninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau seluruh payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti.Namun proses ini membutuhkan waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2–3 minggu. Untuk sementara waktu, akumulasi ASI dapat menyebabkan respons peradangan. 3. Mastitis Subklinis Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai dengan pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu kira-kira hanya sampai di bawah 400 ml/hari (<400 ml/hari). 4. Mastitis Infeksiosa Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh faktor imun dalam ASI dan oleh respon– respon inflamasi. Secara normal, ASI segar bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
2.3.3. Faktor Resiko Menurut (Prasetyo, 2010) faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis, yaitu : 1. Umur Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita di bawah usia 21 tahun atau di atas 35 tahun. 2. Serangan sebelumnya Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini merupakan akibat teknik menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki. 3. Melahirkan Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis, walupun penggunaan oksitosin tidak meningkatkan resiko. 4. Gizi Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi terjadinya mastitis. Wanita yang mengalami anemia akan beresiko mengalami mastitis karena kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh mengalami infeksi (mastitis).
Antioksidan dari vitamin E,
vitamin A dan selenium dapat mengurangi resiko mastitis. 5. Pekerjaan diluar rumah Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan waktu dalam pengeluaran ASI yang adekuat sehingga akan memicu terjadinya statis ASI. 6. Trauma Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat merusak jaringan kelenjar dan saluran susu dan haltersebut dapat menyebabkan mastitis.
2.3.4. Etiologi Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan pada kulit yang normal yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal dari mulut bayi yang masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit pada puting susu.Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering terjadi dalam waktu 1-3 bulan setelah melahirkan.Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami mastitis pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan. Soetjiningsih (1997) menyebutkan bahwa peradangan pada payudara (Mastitis) di sebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi mastitis. b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi payudara bengkak. c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement sehingga jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi mastitis. d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan mempermudah terkena infeksi. Pada
wanita
pasca
menopause,
infeksi
payudara
berhubungan dengan peradangan menahun dari saluran air susu yang
terletak
di
bawah
puting
susu.
Perubahan hormonal di dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran air susu oleh sel-sel kulit yang mati. Saluran yang tersumbat ini menyebabkan payudara lebih mudah mengalami infeksi.Dua penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan infeksi.Stasis ASI biasanya merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau berkembang menuju infeksi.Guther pada tahun 1958 menyimpulkan dari pengamatan klinis bahwa mastitis
diakibatkan oleh stagnasi ASI di dalam payudara, dan bahwa pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah keadaan tersebut.Ia menyatakan bahwa bila terjadi infeksi, bukan primer, tetapi diakibatkan oleh stagnasi sebagai media pertumbuhan bakteri. Thomsen,dkk pada tahun 1984 menghasilkan bukti tambahan tentang pentingnya stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan bakteri dalam ASI dari payudara dengan tanda klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut, yaitu: a. Stasis ASI Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui, sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan dan menyusui untuk kembar dua/lebih. Statis ASI dapat membaik hanya dengan terus menyusui, tentunya dengan teknik yang benar. b. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis noninfeksiosa) Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut:Adanya bercak panas/nyeri tekan yang akut, bercak kecil keras yang nyeri tekan, dan tidak terjadi demam dan ibu masih merasa baik-baik saja.Mastitis
non infeksiosa
membutuhkan tindakan pemerasan ASI setelah menyusui. c. Mastitis infeksiosa Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: lemah, nyeri kepala seperti gejala flu, demam suhu > 38,5 derajat celcius, ada luka pada puting payudara, kulit payudara tampak menjadi kemerahan atau mengkilat, terasa keras dan tegang, payudara membengkak, mengeras, dan teraba hangat, dan terjadi peningkatan kadar natrium sehingga
bayi tidak mau menyusu karena ASI yang terasa asin. Mastitis infeksiosa hanya dapat diobati dengan pemerasan ASI dan antibiotik sistemik. Tanpa pengeluaran ASI yang efektif, mastitis non infeksiosa sering berkembang menjadi mastitis infeksiosa, dan mastitis infeksiosa menjadi pembentukan abses.
2.3.5. Tanda dan Gejala Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa: a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan kadang terasa nyeri. b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang menjadi rata. c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap ASI sampai pembengkakan berkurang. d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam, rasa dingin dan tubuh terasa pegal dan sakit. e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara yang terkena. Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara yang membengkak karena sumbatan saluran ASI antara lain : a. Demam b. Mengigil c. Payudara terasa nyeri d. Teraba keras e. Tampak kemerahan f. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti pecah–pecah, dan badan terasa demam seperti hendak flu, bila terkena sumbatan tanpa infeksi, biasanya di badan tidak terasa nyeri dan tidak demam. Pada
payudara juga tidak teraba bagian keras dan nyeri serta merah. Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan, gampangnya bila didapat sumbatan pada saluran ASI, namun tidak terasa nyeri pada payudara, dan permukaan kulit tidak pecah – pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit pada payudara namun tidak disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka hal tersebut bukan mastitis (Pitaloka, 2001 dalam Anonim, 2013).
2.3.6. Komplikasi Mastitis Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis. a. Abses payudara Abses payudara merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus memikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut menjadi abses.Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan
mungkin
diperlukan
aspirasi
jarum
secara
serial/berlanjut. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan, ibu harus mendapatkan terapi medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya. b.
Mastitis berulang/kronis Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang,
serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui. c. Infeksi jamur Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti candida albicans.Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi antibiotik.Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Pada kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan pengobatan. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krim yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.
2.3.7. Penatalaksanaa Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera dilakukan adalah pemberian susu kepada bayi dari mamae yang sakit dihentikan dan diberi antibiotik. Dengan tindakan ini terjadinya abses seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat diberikan sebagai terapi antibiotik.Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan pembiakan/kultur air susu, supaya penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabilaada abses maka nanah dikeluarkan,kemudian dipasang pipa ke tengah abses agar nanah dapat keluar terus. Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus-duktus tersebut.
Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah: 1. Konseling suportif Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyak wanita merasa sakit dan membuat frustasi.Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri, wanita membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali tentang nilai menyusui, yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena tidak akan membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk maupun fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua tindakan yang dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana meneruskan menyusui/memeras ASI dari payudara yang sakit. Klien akan membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan terus menerus dan bimbingan sampai kondisinya benar-benar pulih. 2. Pengeluaran ASI dengan efektif Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain: a. Bantu
ibu
memperbaiki
kenyutan
bayi
pada
payudaranya. b. Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa pembatasan. c. Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai menyusui dapat dimulai lagi. 3. Terapi antibiotik Terapi antibiotik diindikasikan pada: a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan infeksi b. Gejala berat sejak awal c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki maka Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap Staphylococcus aureus.
Untuk
organisme
gram
negatif,
sefaleksin/amoksisillin mungkin paling tepat. Jika mungkin, ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur dan sensivitas bakteri antibiotik ditentukan.
Antibiotik
Dosis
Eritromisin
250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin
250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin
125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic)
250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin
250-500 setiap 6 jam
e. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain: 1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6 jam selama 10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10 hari. 2. Bantulah ibu agar tetap menyusui 3. Bebat/sangga payudara 4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak
dan
nyeriyaitu
dengan
memberikan
parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam dan lakukan evaluasi secara rutin.
4. Terapi simtomatik Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen dipertimbangkan sebagai obat yang paling efektif dan dapat membantu mengurangi inflamasi dan nyeri. Parasetamol merupakan alternatif yang paling tepat. Istirahat sangat penting,
karena
tirah
baring
meningkatkan
frekuensi
memperbaiki
pengeluaran
dengan
menyusui, susu.
bayinya sehingga
Tindakan
lain
dapat dapat yang
dianjurkan adalah penggunaan kompres hangat pada payudara yang akan menghilangkan nyeri dan membantu aliran ASI, dan yakinkan bahwa ibu cukup minum cairan. Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama 15-20 menit, 4 kali/hari.
Diberikan
pembengkakan,
antibiotik
sebaiknya
dan
dilakukan
untuk
mencegah
pemijatan
dan
pemompaan air susu pada payudara yang terkena. a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan) 1. Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan sebelum terbentuk abses biasanya keluhannya akan berkurang. 2. Sangga payudara. 3. Kompres dingin. 4. Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam. 5. Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS. 6. Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.
b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang kemerahan). 1. Diperlukan anestesi umum. 2. Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak mendorong saluran ASI. 3. Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan. 4. Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam. 5. Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. 6. Sangga payudara. 7. Kompres dingin. 8. Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan. 9. Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus. 10. Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari. Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta dianjurkan untuk berhenti menyusui.Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat pereda
nyeri
(misalnya
acetaminophen
atau
ibuprofen).Kedua obat tersebut aman untuk ibu menyusui dan bayinya.
2.3.8. Pencegahan Menurut Soetjiningsih, 1997 pencegahan mastitis dapat dilakukan dengan beberapa tindakan, diantaranya : a. Menyusui secara bergantian antara payudara kiri dan kanan. b. Untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan payudara dengan cara memompanya. c. Gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah robekan/luka pada puting susu. d. Minum banyak cairan. e. Menjaga kebersihan puting susu. f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.
2.3.9. Pemeriksaan Penunjang Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu nifas dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen (Wiknjosastro, 2005). Namuan World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila: a. Pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari. b. Terjadi mastitis berulang. c. Mastitis terjadi di rumah sakit. dan d. Penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat. Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.
2.3.10. Pathway Fisura pada puting
Stasis ASI
Jaringan mammae menjadi tegang
Lubang duktus laktiferus lebih terbuka
Terbukanya port de entry
Bakteri masuk
MASTITIS
Ketegangan pada jaringan mammae
Laktasi terganggu
Proses infeksi bakteri
Reaksi imun Ukuran mammae membesar
Penekanan reseptor nyeri
Gangguan citra tubuh
Nyeri akut
Menyusui tidak efektif Muncul pus
Kurang pengetahuan
Ansietas
Sumber : Djamudin, syahrul. 2009.
Resiko tinggi infeksi
2.3.11. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi . 2. Ketidakefektifan
pemberian
ASI
berhubungan
denganterhentinya menyusui sekunder akibat ibu yang sakit, bayi tidak mau menyusu. 3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengankerusakan jaringan . 4. Ansietas
berhubungan
dengan
proses
penyakit,
kurang
pengetahuan. 5. Gangguan
citra
tubuh
berhubungan
dengan
perubahan
penampilan fisik akibat penyakit. 6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
2.3.12. Intervensi Keperawatan Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi. Intervensi : 1. Kaji tingkat nyeri (keluhan nyeri, lokasi, lamanya dan intensitas nyeri). 2. Berikan kompres hangat. 3. Ajarkan dan anjurkan klien untuk melakukan perawatan payudara. 4. Anjurkan klien untuk tidak menggunakan penyangga yang terlalu ketat. 5. Kolaborasi dalam pemberian analgetik dan antibiotic. 6. Kolaborasi dalam melakukan insisiden biopsy jika ada abses.
Dx
2
:
Ketidakefektifan
pemberian
ASI
berhubungan
denganterhentinya menyusui sekunder akibat ibu yang sakit, bayi tidak mau menyusu. Intervensi : 1. Anjurkan ibu untuk mengoleskan baby oil pada puting sebelum dan sesudah menyusui. 2. Ajarkan cara menyusui yang tepat agar tidak terjadi luka pada putting. 3. Lakukan perawatan payudara dan anjurkan ibu untuk melakukan perawatan payudara secara tepat. 4. Anjurkan ibu menyusui dengan menggunakan puting susu secara perlahan-lahan. Dx 3 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengankerusakan jaringan Intervensi : 1.
Kaji TTV dan tanda-tanda adanya infeksi.
2.
Lakukan perawatan luka/ abses dengan set yang steril.
3.
Kolaborasi pemeriksaan darah lengkap.
4.
Kolaborasi dalam melakukan insisi/ biopsy dan pemberian antibiotik.
5.
Berikan informasi pentingnya menjaga personal hygiene.
2.4 luka Terinfeksi 2.4.1
Definisi Persalinan merupakan peristiwa keluarnya bayi, plasenta dan selaput amnion. Dalam proses pengeluaran buah kehamilan ini sering kali mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Luka-luka biasanya ringan, tetapi kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan berbahaya. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. (Hellen, 2001). Perlukaan pada jalan lahir dapat pula terjadi oleh karena memang disengaja seperti pada tindakan episiotomi. Tindakan untuk mencegah terjadinya robekan perineum yang luas dan dalam disertai pinggir yang tidak rata, dimana penyembuhan luka akan lambat atau terganggu. Luka insisi yang lurus ( rata ) lebih mudah diperbaiki dan lebih cepat sembuh dibanding luka laserasi yang robekannya tidak teratur serta tidak terkendali. Seperti halnya insisi pada bagian tubuh lainnya, luka jahitan robekan (episiotomi) mungkin tidak mau merapat. Faktor predisposisi keadaan ini mencakup daya kesembuhan yang buruk seperti defisiensi gizi dan adanya infeksi. Tingkatan robekan juga dapat mempengaruhi penyembuhan. Hampir dari 90 % pada proses persalinan banyak yang mengalami robekan perineum, baik dengan atau tanpa episiotomi. Biasanya penyembuhan luka pada robekan perineum ini akan sembuh bervariasi, ada yang sembuh normal dan ada yangmengalami kelambatan
dalam
penyebuhannya,
hal
tersebut
dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya karakteristik ibu bersalin, status gizi, kondisi perlukaan dan perawatanya. (Harry, 2003). Pada pasca persalinan dapat terjadi masalah kesehatan seperti infeksi nifas yang dapat menyebabkan kematian pada
ibu. Angka Kematian Ibu (AKI) sangat sulit diukur atau dihitung secara akurat karena sistem pencatatan atau pelaporan, selain dari data Puskesmas belum baku serta masih banyak kasus kematian yang tidak dilaporkan. Menurut WHO di seluruh dunia setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi terkait dengan kehamilan dan nifas. Dengan kata lain 1.400 perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan, persalinan dan nifas. (WHO, 2008). Masa nifas adalah waktu yang dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. (Sarwono, 2007). Masa nifas (puerperium) adalah masa sesudahnya persalinan terhitung dari saat selesai persalinan sampai pulihnya kembali alat-alat kandungan. (Depkes RI, 2004). Masa nifas adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, lama masa nifas yaitu 6-8 minggu. (Muchtar, 2001) Masa nifas adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan. (Suherni. 2009). Infeksi nifas merupakan penyebab kematian ibu, akan tetapi sekarang kemajuan ilmu khususnya pengetahuan ibu dan tenaga kesehatan tentang sebab-sebab infeksi masa nifas serta pencegahannya dan adanya obatobat antibiotik yang baru di negara-negara maju peranannya sebagai penyebab kematian ibu hamil dan infeksi nifas sudah berkurang. Tetapi di Negara berkembang penyebab kematian ibu akibat infeksi nifas masih jauh dari sempurna, maka resiko terjadi infeksi nifas masih
sangat besar dan ini tidak boleh dianggap mudah karena dapat menyebabkan kematian ibu. Oleh karena itu sangat penting bagi ibu nifas melakukan perawatan perineum. (Salmina, 2008) Faktor penyebab terjadinya infeksi nifas bisa berasal dari perlukaan pada jalan lahir yang merupakan media yang baik untuk berkembangnya kuman. Hal ini diakibatkan oleh daya tahan tubuh ibu yang rendah setelah melahirkan, perawatan yang kurang baik dan kebersihan yang kurang terjaga. Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat pada saluran kandung kemih atau pada jalan lahir. Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu post partum
mengingat
kondisi
ibu
post
partum
masih
lemah.(Wiknjosastro, 2005). Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk meyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya organ reproduksi seperti waktu sebelum hamil. Perawatan luka perineum bekas jahitan sangatlah penting karena luka bekas jahitan jalan lahir ini dapat menjadi pintu masuk kuman dan menimbulkan infeksi, ibu menjadi demam, luka basah dan jahitan terbuka, bahkan ada yang mengeluarkan bau busuk dari jalan lahir (vagina). Perawatan luka jalan lahir ini dimulai sesegera mungkin setelah 2 jam dari persalinan normal. Dengan cara melatih dan menganjurkan ibu untuk mulai bergerak duduk dan latihan berjalan. (Refni, 2011). Proses penyembuhan luka perineum yang normal adalah 6 sampai 7 hari post partum. Setelah ditelusuri lebih lanjut, budaya pada masa nifas sekarang ini masih tetap dilakukan, seperti ibu nifas dilarang makan telur, daging, udang, ikan laut, lele, buah-buahan dan makanan yang berminyak,. Setelah melahirkan, ibu hanya boleh makan tahu, tempe, ibu dilarang
banyak makan dan minum, dan makanan harus dibakar terlebih dahulu sebelum dikonsumsi karena dapat menghambat penyembuhan luka. Sebenarnya apabila itu dilakukan akan berdampak negatif yaitu proses penyembuhan luka perineum ibu tidak berlangsung dengan baik. Seperti masyarakat di Aceh yang memiliki aturan anjuran untuk berbaring saat masa nifas, perawatan masa nifas dengan pengurutan, mengkonsumsi minuman berupa jamu-jamuan dan berpantang pada makanan tertentu. (Nurdin, 2009). 2.4.2
Luka Perineum Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus atau ruang terbentuk jajaran genjang yang terletak dibawah dasar panggul dengan panjangnya ratarata 4 cm. Luka perineum adalah robekan yang terjadi daerah perineum atau sengaja diepisiotomi untuk mempermudah kelahiran bayi. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindari atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. (Elva, 2012). Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi, yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum vagina, serviks dan robekan uterus. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan yang bersifat arteril atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber
perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam atau dengan speculum. (Harry, 200). 2.4.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka perineum Menurut Smeltzer (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka perineum, yaitu: 1.
Mobilisasi dini Mobilisasi dini dilakukan oleh semua ibu post partum, baik ibu yang mengalami persalinan normal maupun persalinan dengan tindakan dan mempunyai variasi tertagantung pada keadaan umum ibu, jenis persalinan atau tindakan persalinan. Adapun manfaat dari mobilisasi dini antara lain dapat mempercepat proses pengeluaran lochea dan membantu proses penyembuhan luka.
2. Tradisi Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk
perawatan
pasca
persalinan
masih
banyak
digunakan, meskipun oleh kalangan masyarakat modern. Misalnya untuk perawatan kebersihan genital, masyarakat tradisional menggunakan daun sirih yang direbus dengan air kemudian dipakai untuk membasuh alat genetalia. 3. Pengetahuan Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat menentukan lama penyembuhan luka perineum. Apabila pengetahuan ibu kurang telebih masalah kebersihan
maka
penyembuhan
lukapun
akan
berlangsung lama. 4. Sosial ekonomi Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama penyebuhan perineum adalah keadaan fisik dan
mental ibu dalam melakukan aktifitas sehari-hari pasca persalinan. Jika ibu memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah,
bisa
jadi
penyembuhan
luka
perineum
berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam merawat diri. 5. Penanganan petugas Pada
saat
persalinan,
pembersihannya
harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama penyembuhan luka perineum. 6. Kondisi ibu Kondisi kesehatan ibu baik secara fisik maupun mental, dapat menyebabkan lama penyembuhan. Jika kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan baik. 7. Gizi Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan ibu dalam keadaan sehat dan segar. Dan akan mempercepat masa penyembuhan luka perineum. 8. Usia Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada orang tua. Orang yang sudah lanjut usianya tidak dapat mentolerir stress seperti trauma jaringan atau infeksi. 9. Penanganan jaringan Penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan memperlambat penyembuhan. 10. Pemberian Antibiotik Terapi obat digunakan untuk menangani kesakitan manusia, Pemilian obat yang benar dan rencana terapi yang tepat yaitu untuk memantau dan mengukur hasil
terapi,
dan
dalam
pemberian
terapi
obat
harus
memperhatikan dosis obat, dan rute pemberian. Jangan sampai terjadi kesalahan pemberian karena akan menyebabkan kegagalan. 11. Hipovolemia Volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) dan penurunan oksigen dan nutrient yang tersedia utuk penyembuhan luka. 12. Personal hygiene Personal
hygiene
(kebersihan
diri)
dapat
memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya benda asing seperti debu dan kuman.
2.4.4
Fase-fase Penyembuhan Luka Penyembuhan
luka
perineum
adalah
mulai
membaiknya luka perineum dengan terbentuknya jaringan baru yang menutupi luka perineum dalam jangka waktu 67 hari postpartum. Sebagian besar luka perineum dapat digolongkan sebagai luka dalam karena trauma jaringan melibatkan lapisan di bawah epidermis dan dermis, orang yang mengalami luka, tubuh akan memberikan reaksi atas terjadinya luka tersebut. Reaksi yang terjadi yaitu melalui fase-fase yang disebut sebagai fase penyembuhan luka. Menurut Smeltzer (2002), fase penyembuhan luka yaitu: 1. Fase Inflamasi (24 jam pertama – 48 jam) Fase inflamasi adalah fase peradangan. Setelah terjadi trauma atau luka, pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya, pengerutan ujung
pembuluh darah yang terputus (retraksi), reaksi hemostasis serta terjadi reaksi inflamasi (peradangan). Respon peradangan adalah suatu reaksi normal yang merupakan
hal
penting
untuk
memastikan
penyembuhan luka. Peradangan berfungsi mengisolasi jaringan yang rusak dan mengurangi penyebaran infeksi. 2. Fase Proliferasi (48 jam – 5 hari) Proses fibroplasia yaitu penggantian parenkrim yang tidak dapat beregenerasi dengan jaringan ikat. Proses ini dimulai sejak 24 jam setelah cidera. Pada fase proliferasi, serat-serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut, sehingga menyebabkan tarikan pada tepi luka. Fibroblast dan sel endotel vaskular mulai berproliferasi dan dengan waktu 3-5 hari terbentuk jaringan granulasi yang merupakan tanda dari penyembuhan. Jaringan granulasi berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus. Bentuk akhir dari jaringan granulasi adalah suatu parut yang terdiri dari fibroblast berbentuk spindel, kolagen yang
tebal,
fragmen
jaringan
elastik,
matriks
ekstraseluler serta pembuluh darah yang relatif sedikit dan tidak kelihatan aktif. 3. Fase Maturasi (5 hari - berbulan-bulan) Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dinyatakan berakhir jika semua tanda radang sudah hilang dan bisa berlangsung berbulan-bulan. Tubuh
berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Oedema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan yang maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
2.4.5
Perawatan Luka Perineum Perawatan perineum pada masa nifas adalah pemenuhan kebutuhan untuk meyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran placenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti waktu sebelum hamil. Bila daerah vulva dan perineum tidak bersih, mudah terjadi infeksi pada jahitan perineum saluran vagina dan uterus. Perawatan luka bekas jahitan sangatlah penting karena luka bekas jahitan jalan lahir ini dapat menjadi pintu masuk kuman dan menimbulkan infeksi, ibu menjadi demam, luka basah dan jahitan terbuka, bahkan ada yang mengeluarkan bau busuk dari jalan lahir (vagina). Perawatan luka jalan lahir ini dimulai sesegera mungkin setelah 6 jam dari persalinan normal. Ibu akan dilatih dan dianjurkan untuk mulai bergerak duduk dan latihan berjalan. Tentu saja bila keadaan ibu cukup stabil dan tidak mengalami komplikasi misalnya tekanan darah tinggi atau pendarahan.
Tujuan Perawatan Luka Perineum adalah: 1.
Untuk mencegah terjadinya infeksi di daerah vulva, perineum, maupun di dalam uterus.
2.
Untuk
penyembuhan
luka
perineum
(jahitan
perineum). 3.
Untuk menjaga kebersihan perineum dan vulva.
Waktu perawatan luka perineum adalah: 1. Saat Mandi Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut. Setelah terbuka maka akan kemungkinan terjadi
kontaminasi
bakteri
pada
cairan
yang
tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan penggantian pembalut. 2. Setelah Buang Air Kecil (BAK) Pada saat buang air kecil kemungkin besar terjadi kontaminasi air seni pada rektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum. 3. Setelah Buang Air Besar (BAK) Pada saat buang air besar, dilakukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke perineum. (Refni, 2011).
BAB III TINJAUAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SALURAN KEMIH POST PATUM Pada tanggal 22 November 2016 , pukul 12.00 WIB Ny. D datang bersama Tn.F suaminya ke UGD dengan keluhan nyeri dan panas saat berkemih dan terasa panas. Klien berumur 25 Tahun ,Klien mengatakan darah yang keluar dari kemaluan bercampur nanah .Menurut hasil observasi perawat, klien terlihat lochea bercampur pus dan berbau ,Adanya pembengkakan/peradangan pada vulva ibu. Setelah di tanya kembali klien pun mengatakan sehari sebelumnya Ny.D melahirkan di klinik bidan dengan persalinan yang normal. Berdasarkan pemeriksaan fisik di dapatkan tanda-tanda vital : Denyut Nadi : 80 x/m Tekanan Darah: 120/80 mmHg Suhu Tubuh
: 39c
Pernafasan
: 22 x/m
3.1 PENGAMBILAN DATA 1) IDENTITAS/BIODATA
Identitas
Istri
Suami
Nama
Ny.D
Tn.F
Umur
25
27
Jawa/Indonesia
Jawa/Indonesia
Agama
Islam
Islam
Pekerjaan
SMP
SMA
Suku/Bangsa
Alamat Rumah
IRT
Wiraswasta
No. Telepon/Hp
Jln. Pancing
Jln. Pancing
Alamat Kantor
-
-
Telepon
-
-
2) ANAMNESA/DATA SUBYEKTIF Tanggal Pengkajian : 22 November 2016 1) Alasan Masuk : Ibu mengatakan nyeri dan panas saat berkemih 2) Riwayat persalinan:
Tanggal Persalinan
: 21 November 2016
Tempat persalinan
: klinik bidan
Ditolong Oleh
: Bidan
Jenis persalinan
:Normal Spontan
Lain-lain
: tidak ada
Lama persalinan
: 16 jam 30 menit
Catatan Waktu
:
Kala I
: 13 Jam
Kala II
: 1 Jam 30 Menit
Kala III
: 30 Menit
Kala IV
: 30 Menit
Ketuban Pecah
Komplikasi/ Kelainan dalam persalinan : Tidak ada
Partus Lama
: Tidak Ada
Plasenta
: Spontan
ukuran
: Tinggi: 20 cm Berat: 500gr
Kelainan
: Tidak Ada
Panjang Tali Pusat
: 45 Cm
Sisa Plasenta
: TidakAda
Perineum
: Utuh
Robekan Tingkat
: Derajat II
Perdarahan
: Spontan , Amniotomi
:
Kala I
: ±25 ml
Kala II
: ±250ml
Kala III
: ±100ml
Kala IV
: ±50 ml
3) Bayi
Lahir
: Normal
pukul
: 12:00
BB
: 3200 gr
PB
: 50 CM
4) Riwayat Post Partum a) Keadaan umum
: Baik
b) Keadaan emosional
: Stabil
c) Tanda Vital Denyut Nadi
: 80 x/m
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Suhu Tubuh
: 39c
Pernafasan
: 22 x/m
d) Payudara
Pengeluaran
: Ada
Bentuk
: Simestris
Puting Susu
: Menonjol
e) UTERUS
Tinggi Fundus Uterus
: 2 Jari dibawah pusat
Konstitensi Uterus
: Keras
Kontraksi Uterus
: Baik
f) Pengeluaran Lochea
Warna
: Hijau
Jumlah
: 10 cc
Bau
: Busuk
Konsitensi
: encer
g) Perineum
: Robekan perineum derajat II
h) Kandung Kemih
: Penuh
i) Ekstremitas
Odema
: Tidak Ada
3) UJI DIAGNOSTIK Pemeriksaan Laboratorium (*jika ada indikasi albumin) *keton
:
HAEMOGLOBIN
: 11 gr%
GOLONGAN DARAH
:B
HAEMATROKIT
: Tidak Dilakukan
Rhesus
: Tidak dilkukan
3.2 ANALISA DATA & DIAGNOSA DX
: Ibu post partum 1 hari dengan infeksi saluran kemih
DS
:
Ibu mengatakan merasakan nyeri pada saat buang air kecil dan terasa panas.
Ibu mengatakan darah yang keluar dari kemaluan bercampur nanah
DO
:
Terlihat lochea bercampur pus dan berbau.
Adanya pembengkakan/peradangan pada vulva ibu.
Masalah
: Ibu merasa nyeri saat buang air kecil
Kebutuhan
: Penkes tentang pencegahan nyeri buang air kecil
3.3 INTERVENSI a) Beritahu ibu tentang keadaan umumnya b) Beritahu ibu penyebab infeksi saluran kemih c) Beritahu ibu untuk minum air putih sebanyak 2-3 liter d) Beritahu ibu tentang personal hygiene e) Anjurkan ibu mengosongkan kandung kemih secara komplit saat berkemih f) Beri ibu terapi obat
3.4 IMPLEMENTASI 1) Memberitahu ibu tentang keadaan umumnya Denyut Nadi
: 80 x/m
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Suhu Tubuh
: 39C
Pernafasan
: 22 x/m
Memberitahu ibu bahwa ibu bahwa sedang mengalami insfeksi saluran kemih. 2) Memberitahu ibu penyebab dari infeksi saluran kemih, yaitu :
Bakteri Escherichia coliatau E. coli yang umumnya hidup di dalam saluran cerna.
Kebersihan setelah buang air besar/kecil.
Perawatan luka perineum, dll.
3) Memberitahu ibu untuk minum air putih sebanyak 2-3 liter jika tidak ada kontra indikasi. Dimana hal tersebut untuk mencegah statis urine. 4) Memberitahu ibu tentang personal hygiene terutama bagian genetalia, seperti :
Membersihkan vagina menggunakan air(cebok) dengan menyeka dari depan sampai ke belakang setelah BAK/BAB. Pertahankan agar tetap bersih dan kering.
Mengganti pembalut apabila sudah penuh
5) Menganjurkan ibu untuk mengosongkan kandung kemih secara komplit saat berkemih 6) Berikan ibu terapi obat :
Ampicillin dengan dosis 3 X 1 peroral
Tetracyclin IV 500 mg 3 X 1
Asam mefenamat 3 X 1 peroral
Paracetamol 3 X 1 peroral
3.5 EVALUASI 1) Ibu sudah mengetahui tentang keadaan umumnya 2) Ibu sudah mengerti penyebab dari infeksi salurankemih yang dideritanya 3) Ibu akan melaksanakan anjuran bidan untuk minum air putih sebanyak 2-3 liter 4) Ibu sudah mengerti tentang personal hygiene 5) Ibu akan melaksanakan anjuran bidan untuk mengosongkan kandung kemih secara komplit saat berkemih 6) Terapi obat telah diberikan kepada ibu
DAFTAR PUSTAKA