Masala Sinergitas Pendidikan Agama Dan Ilmu Sains.docx

  • Uploaded by: ikin shalihin
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Masala Sinergitas Pendidikan Agama Dan Ilmu Sains.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,111
  • Pages: 21
MASALAH SINERGITAS PENDIDIKAN AGAMA DAN ILMU SAINS

MAKALAH Diajukan untuk memnuhi tugas terstruktur pada mata kuliah (Seminar dan Masalah Masalah Aktual Pendidikan Islam) Dosen Pengampu: Dr. Iis Salsabila. M.Ag.

Di susun Oleh: IKIN SHALIHIN : 21030901801337 HASAN HARIRI

: 21030901801

KARYANI

: 21030901801

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG TAHUN 2019

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Filsafat dan Ilmu adalah dua hal yang saling terait, baik secara historis ataupun secara substansial, karena lahirnya ilmu tidak bisa terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya perkembangan ilmu juga memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat sebagai mother of science

telah

memprakarsai

lahirnya

banyak

cabang ilmu

pengetahuan. Dengan semakin banyaknya cabang ilmu pengetahuan maka penemuan-penemuan dalam bidang keilmuan semakin beragam. Keberhasilan filsafat dalam mengangkat derajat manusia telah terbukti ditempat kelahirannya, Yunani. Masyarakat Yunani yang

sebelum

masa

filsafat

lahir

menganut

pandangan

mitosentris berubah sejak filsafat dikenalkan oleh Thales, dan pandangan masyarakat Yunani- pun beralih ke logosentris. Filsafat sebagai iduk dari ilmu pengetah uan memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam lintasan sejarah manusia, Ilmu Pengetahuan/ sains yang berpusat pada rasio dan Agama yang bertumpu pada iman lebih sering tampak bersebrangan daripada bergandeng tangan. Galileo dan Darwin adalah salah satu ilmuan yang harus mendapat fatwa sesat karena teorinya bertentengan dengan gereja saat itu. Sementara dipihak intelektual juga menuding kaum agamawan sebagai kelompok irrasional. Karl Marx, Nietzsche, Freud, adalah salah satu contoh. Karl Marx, misalnya, menuduh agama sebagai candu, Freud menilainya sebagai penyakit neorusis, dan Nietzsche mendeklarasikan kematian Tuhan, serta beberapa tokoh lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Pengetahuan/ sains tampaknya

lebih

superior

dan

memenangkan

pertarungan

tersebut, terlebih setelah masa pencerahan (Enlightenment) dan revolusi industri di Inggris. Peradaban modern yang bersumber rasionalisme Descartes semakin mejelit. Bahkan, Carl Sagan menyimpulkan bahwa tak ada campur tangan manusia dalam penciptaan alam semesta ini. Karena itulah, agamawan menilai kalangan saintis sebagai ateisme. Berbeda dengan kondisi yang terjadi

didunia

barat,

Islam

menekankan

bahwa

Ilmu

Pengetahuan dan agama bukanlah dua hal yang kontradiktif. Abu Ya’la al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198 M) seorang filosof muslim tetap meyakini bahwa agama (wahyu) dan ilmu pengetahuan (akal) tidaklah bertentangan.

Dalam

pandangannya

Ibnu

Rusyd

meyakini

tentang adanya dua kebenaran atau dua wahyu yait u wahyu Filosofis dan wahyu keagamaan. Demikian pula dengan Sadr al Din Muhammad Ibnu Ibrahim atau dikenal sebagai Mulla Sadra (1572 -1641 M) beliau berpendapat bahwa filsafat tidak hanya bertujuan menemukan kebenaran pengetahuan yang orisinal dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat

tetapi

juga

mengembangkan

mengandung

pengetahuan

makna

untuk

spiritual,

memahami

yaitu

kebenaran

sebagaimana Tuhan memahami kebenaran tersebut. Dengan adanya dua kondisi berbeda antara perkembangan ilmu pengetahuan (Filsafat) dan Agama yang terjadi didunia Barat dan dunia Islam serta berbagai kontrakdisinya, apakah Agama dan Ilmu pengetahuan mampu bekerjasama? Lalu bagaimanakah peradaban manusia bisa mengalami kemajuan? Dalam upaya inilah penulis berusaha menguraikan beberapa pe rsoalan yang mendasari antara Ilmu Pengetahuan dan Agama untuk dijabarkan dan mencari titik sinergitas antara kedua objek tersebut.

2. Rumusan masalah Untuk itulah penulis merumuskan beberapa permasalahan untuk membatasi fokus kajian, berikut adalah beberapa rumusannya : a) Bagaimanakah hubungan Ilmu Pengetahuan dan Agama pada era kejayaan Islam? b) Bagaimanakah hubungan Ilmu Pengetahuan dan Agama pada era Sains modern Barat? c) Apakah sinegitas Ilmu Pengetahuan dan Agama terjadi? 3. Tujuan penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : a) Mengkaji dan menganalisis sejarah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Agama pada era kejayaan Islam. b) Mengetahui

perkembangan

perkembangan

Ilmu

Pengetahuan dan Agama pada era sains modern. c) Mengetahui

sinergitas

antara

Ilmu

Agama dalam pembagunan peradaban.

Pengetahuan

dan

BAB II PEMBAHASAN A. Perkembangan

Ilmu

Pengetahuan

dan

Agama

Di

era

kejayaan Islam Penggunaan akal dalam Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi telah dipraktekkan dalam sejarah pembangunan peradaban Islam. Dalam tradisi Islam, kecenderungan untuk mempertentangkan agama dan sains tidak banyak kita temukan. Bahkan arus baru untuk menyatukan agama dan sains seperti yang dimuali oleh Barat justru sudah dimulai pada era klasik Islam. Kita akan melihat

betapa

megahnya

peradaban

Bagdad

dalam

mengkombinasikan pengetahuan ilmiah dengan pengembangan ilmu keagamaan. Prerstasi bersejarah ini merupakan prestasi yang belum pernah kita temukan dalam sejarah manapun. Sejarah pengembangan ilmu

pengetahuan

kedelapan

dan

dalam

kesembilan

Islam

yang

ditandai

dimulai dengan

sejak

abad

penerjemahan

literatur ilmu pengetahuan dari Yunani berlangsung yang ta npa mengenal kategori ilmu agama dan umum. Pada periode klasik tersebut telah terjadi interaksi intelektual antara orang-orang muslim dengan dunia pemikiran Hellenik, terutama

yang

terjadi

antara

lain

di

Iskandaria

(Mesir),

Damaskus, Antioch, Ephesus, Har ran, Eddes, Nisibis, dan Jundishapur. Di tempat-tempat itu lahir dorongan pertama untuk kegiatan penerjemahan dan penelitian karya -karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno, Persia, dan lainnya, yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh p ara penguasa Muslim. Adanya

dorongan

penerjemahan

dan

penelitian

tersebut

melahirkan kemajuan yang mengesankan dalam bidang ilmu pengetahuan, bahkan telah mencapai tingkat yang tinggi. Kemajuan tersebut tidak hanya dalam ilmu naqliyah seperti tafsir, hadith, teologi; tetapi lebih dalam Ilmu ‘aqliyah seperti filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, kimia, geografi, fisika, dan obat-obatan. Salah satu bukti dari kemajuan yang tinggi yang pernah dimiliki umat Islam adalah munculnya para filosof dan Ilmuwan Muslim kenamaan. Mereka antara lain al Razi, Ibnu Sina (Avecina), Ibnu Rusyd (Averous), al -Farabi, alKhawarizmi, al-Jabar, al-Biruni, al-Ghazali, al-Kindi dan Ibnu Hayyan yang terkenal tidak hanya pada bidang agama tetapi juga mencakup bidang-bidang pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu astronomi, matametika dan ilmu umum lainnya. Warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, baik Hellenis maupun Hellenistik, yang masuk ke Dunia Islam adalah yang paling banyak dibandingkan warisan Persia, India, dan Cina. Hal tersebut disebabkan oleh antara lain banyaknya pemikiran Yunani, baik di zaman Hellenis maupun Hellenistik Romawi yang tersebar di Timur Dekat dan Mesir. Penerjemahan dan penafsiran

buku-buku

Yunani

yang

merupakan

kegiatan

transmisi sesungguhnya tidak dimulai dengan penaklukkan Timur Dekat oleh Bangsa Arab. Namun, hal tersebut sudah dimulai jauh sebelumnya. Bukti yang dapat dilihat adalah perkembangan pemikiran Yunani di berbagai pusat keilmuan yang cukup terkenal. Sebelum Umat Islam

menaklukkan

pusat-pusat

keilmuan

Yunani,

Suriah

merupakan tempat bertemunya dua kekuasaan, Roma dan Persia. Oleh karena itu, Bangsa Suriah memainkan peranan penting dalam penyebaran keilmuan dan kebudayaan Yunani dan Persia.

Di antara umat Kristen Suriah seperti Kau m Monofisit, kaum Nestorian,

dan

menekuni

ilmu

melalui

lain-lain,

maka

pengetahuan

sekolah-sekolah

Kaum

Yunani

mereka.

Nestorianlah

dan

yang

menyebarkannya

Walaupun

tujuan

utama

sekolah-sekolah itu adalah menyebarkan pengetahuan Injil, pengetahuan ilmiah tidak dapat diabaikan. Meskipun diajarkan di lembaga-lembaga tersebut, ilmu pengetahuan umum itu tetap dianggap rendah bila dibandingkan dengan ilmu pengobatan spiritual, yang merupakan hak istimewa para pendeta. Sementara itu, pusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti Antioch,

Ephesus,

dan

Iskandaria

juga

telah

berkembang

kegiatan ilmiah. Buku-buku Yunani Kuno masih tetap dibaca dan bahkan diterjemahkan ke dalam Bahasa Siriac dan kemudian Bahasa

Arab.

Setelah

pusat -pusat

ilu

pengetahuan

itu

ditaklukkan oleh Umat Islam, terjadilah interaksi yang pada akhimya pemikiran-pemikiran Yunani masuk ke dalam Islam lewat pusat keilmuan tersebut. Pada masa Harun al-Rashid (786-809), banyak ilmuwan yang didelegasikan ke Kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filsafat. Kernudian manuskrip itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Siriac dan akhimya ke Bahasa Arab. Di masa Harun al Rashid telah dibangun sebuah perpustakaan dengan nama Khizanat

al

Hikmah

dan

Barmakiyah

sebagai

tempat

penerjemahan. Di tempat ini terdapat penerjemah yang terkenal, yaitu al-Fadl ibn Nawbakht (w. 815) yang telah mene rjemahkan buku-buku astronomi dari Persia. Sementara itu, pada masa al -Ma’mun (813-833), kegiatan penerjemahan mencapai puncaknya. Ia memerintahkan untuk menerjemahkan berbagai ilmu pengetahuan, matematika, fisika, logika, metafisika, etika, dan lain-lain. Untuk itu, ia mendirikan

sebuah pusat penerjemahan, sekaligus sebagai pusat pengajaran, yang termasyhur, yaitu Bayt al-Hikmah pada tahun 830. Di lembaga ini, menurut Harun Nasution, terdapat lebih dari 90 orang ahli penerjemah yang dikepalai oleh Yahya ibn Masawayh, kemudian nantinya digantikan oleh Hunain ibn Ishaq (809 -873). Di masa al-Mutawakkil (847-861), Hunain ibn Ishaq tetap dipercaya untuk memimpin Bayt al-Hikmah. Di kala itu juga terdapat seorang ahli matematika dari Sabean, Sabit ibn Qurrah (836-901) dan murid-muridnya yang menerjemahkan karya -karya Bangsa Yunani dalam bidang geometri dan astronomi termas uk karya Apollonius (w. 262 SM.), dan karya Archimedes (w. 212 SM). Selanjutnya

pada

penerjemahan,

masa

(892-902)

al-Mu‘tadid

kompilasi,

pengembangan

kegiatan

matematika

dan

astronomi dengan observasi dilakukan oleh para ilmuwan Muslim. Sejalan dengan kegiatan ilmiah di atas, berbagai kegiatan pengajaran di berbagai lembaga pendidikan baik formal,

maupun

non

formal

juga

sangat

berkembang.

Perkembangan itu bukan hanya terjadi di kota Baghdad yang penuh dengan lembaga pendidikan, tetapi juga di Mesir dengan Dar

al-Hikrnah

dan

al-Azhar

dan

di

Andalusia

dengan

Universitas Cordova. Ketiga pusat kota di kala itu menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan Muslim. Dengan adanya penerjemahan dan pengajaran di atas, maka berbagai karya ilmuwan Yunani dan Persia, bahkan ju ga India dapat dibaca dan diapresiasi oleh para ilmuwan Muslim. Dari sinilah awal penyerapan keilmuwan Yunani ke dunia Islam, dan dengan demikian, terkumpullah warisan intelektual masa lalu di tangan Islam. Selanjutnya warisan itu, selain diapresiasi, juga ada pula yang perlu direvisi, ditambah dan dikomentari,

serta

dikembangkan

Sehingga,

pada

secara

gilirannya

memberikan kontribusi

kreatif warisan

oleh

ilmuwan

umat

Islam

Muslim. tersebut

yang tak ternilai besarnya kepada

peradaban modern. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di atas mengalami penurunan ketika Mu‘tazilah yang semula menjadi madhhab resmi negara dibatalkan oleh al -Mutawakil. Ketika madrasah mulai berdiri, ternyata perkembangan itu tidak menggunakan madrasah sebagai media transmissi, bahkan, filsafat dan ilmu pengetahuan

itu

terpaksa

dipelajari

secara

individual

dan

mungkin di bawah tanah, karena dikhawatirkan mengganggu supremasi ilmu-ilmu keagamaan. Pada masa kejayaan Islam inilah berbagai kemajuan dan superioritas dimiliki, tidak h anya pada bidang Agama dan Politik kekuasaan, Islam juga memegang peran sentral dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi. B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Agama era Sains Modern Sekitar abad ke-16 masehi gereja mendominasi peran dari pengambilan ilmu pengetahuan. Segala keputusan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan diambil alih oleh gereja, tidak ada peran yang lebih tinggi selain dominasi gereja pada masa itu. Sehingga keputusan tertinggi ada ditangan gereja tidak ada yang dapat menentangnya, jika ada yang menentang gereja maka ia akan dieksekusi oleh pihak gereja. Padahal dogma yang dipegang dan diajarkan oleh tokoh -tokoh gereja pada abad tersebut jelas-jelas bertentangan dengan faktafakta yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Disinilah terjadi revolusi besar-besaran yang dipimpin oleh para tokoh untuk menentang gereja. Sebuah gerakan yang menolak peran apapun

dari

wahyu

dalam

mengatur

urusan-urusan

manusia,

menyerahkan segala yang terkait dengan urusan manusia pada kekuatan dan kemampuan akal untuk m embedakan antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah, antara yang adil dan tidak adil. Sehingga mereka mengajukan pendekatan hedonis dari utilitarianisme sebagai suatu alternatif. Benar dan salah ditentukan oleh kriteria yang dapat diukur berdasarkan ”rasa nyaman” dan ”rasa sakit”. Pendekatan ini telah meratakan jalan bagi diperkenalkanya falsafah darwinisme sosial, materialisme, dan determinisme dalam ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dari sinilah titik tolak terjadinya arus sekularisasi besar-besaran di Eropa hampir di setiap bidang tak terkecuali ilmu pengetahuan. Mereka mengeluarkan landasan agama, landasan ketuhanan, landasan nilai -nilai dan norma dari arus pemikiran pengetahuan mereka. Karena itu lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik. Hanya menjelaskan fakta-fakta secara apa adanya. Pertanyaaan normatif “what should?”, “what best?” yang mempertanyakan apa

yang

terbaik

dan

yang

seharusnya

dilakukan

atau

dikesampingkan. Dari paradigma diataslah ilmu pengetahuan dibangun, termasuk ilmu

yang

sekarang

banyak

tersebar

di

kampus -kampus.

Sehingga bukan menjadi sebuah kemustahilan ketika banyak kita dapati kekeringan-kekeringan jiwa walaupun pengetahuan kita sudah dianggap tinggi karena kuliah, ataupun sudah banyak yang berpangkat sarjana. Ilmu yang sekarang kita pelajari, banyak mengesampingkan variabel-variabel norma, variabel nilai-nilai selain ekonomi, bahkan variabel keagamaan dikesampingkan jauh-jauh karena dianggap tidak rele van dan kuno. Memasuki era millennium keyakinan akan adanya pertemuan antara ilmu

pengetahuan

dan

agama

dalam

bentuk

sinergitas

semakin

menipis. Karena Amstrong menggambarkan adanya fenomena gejala sekularisme yang menjangkiti masyarakat Eropa pada abad k e-19 dan awal abad ke-20. Sekularisme sebuah faham yang tumbuh berkembang di Eropa mengalami pergeseran dengan mulai tumbuhnya faham ateisme. Di Eropa, gereja-gereja mulai kosong, ateisme tidak lagi faham untuk segelintir pelopor intelektual, tetapi telah menyebar luas. Fenomena ini mulai meluas setelah era Nietzsche, orang tidak lagi gentar dengan prospek hidup tanpa Tuhan. Lebih tegas pada tahun 1950-an A.J. Ayer (1910-1991) seorang Positivis Logis, bertanya apakah ada gunanya percaya kepada Tuhan. Ilmu Alam merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat diandalkan karena dapat diuji secara empiric. Seperti dikatakan Ayer : “Teisme begitu membingungkan dan kalimat kalimat yang mengandung kata Tuhan sangat tidak koheren dan tidak dapat diverifikasi atau dibuktikan kekeliruannya sehingga berbicara tentang kepercayaan atau ketidakpercayaan, beriman atau tidak beriman, secara logis adalah mustahil. ” Ateisme sama membingungkannya dan tak bermaknanya dengan Teisme. Kaum Positivis,

sebagaimana

keagamaan

merupakan

Freud bukti

perca ya

bahwa

ketidakdewasaan

keyakinan yang

akan

dituntaskan oleh sains/ ilmu pengetahuan. Melihat fenomena-fenomena intelektual Barat pada abad ke-19 semakin

memperlihatkan

curamnya

jurang

pemisah

antara

Agama dan Ilmu Pengetahuan. Kaum Positivis dan beberapa tokoh dari mahzab Frankfurt meyakini Ilmu pengetahuan/ Sains adalah jalan keluar satu-satunya dalam menciptakan peradaban yang

maju.

Walaupun

para

teolog

Barat

terus

berupaya

menjadikan konsep keberagamaan sebagai alternative da lam kehidupan

manusia,

tampaknya

tetap

tidak

mampu

mengembalikan masyarakat Barat pada Gereja dan pola hidup keagamaan. adanya

Masyarakat

Revolusi

Barat

Industri

terlanjur

dan

zaman

terlupakan

dengan

modernitas

abad

millennium, namun upaya mengembalikan er a teolog terus dikampanyekan. Postmodernisme perkembangan

adalah

jawaban

masyarakat

karena

terhadap hanya

mandeg -nya

bergantung

pada

modernitas. Postmodernisme merupakan suatu ikhtiar yang tidak perrnah berhenti untuk mencari kebenaran, eksperimentasi, da n revolusi kehidupan secara terus -menerus. Dalam prespektif demikian, postmodernisme diartikan sebagai ketidak percayaan terhadap segala bentuk narasi besar, narasi filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang

mentotalisasi-seperti

Hegelianisme,

Liberalisme,

Marxisme, atau apapun. Namun demikian, masih “hanya” sebatas sikap kritis terhadap era modern, postmodernisme belum menyentuh kepada aspek Agama sebagai jalan pembebas bagi ummat manusia. Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat. Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805 dan memerintah Mesir sampai dengan tahun

1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani. Di

Turki,

Sultan

Salim

III

(1761 -1808)

mengembangkan

teknologi militer Eropa, menerjemahkan buku -buku Eropa, dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahu an dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dengan pengajar -pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1881 1938)

melakukan

revolusi

di

Turki

dengan

gagasan

sekularismenya. Dalam

situasi

seperti

ini,

ketika

teknologi

M uslim

jauh

tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini. Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam

diberikan

oleh

Jamaluddin

al-Afghani

(1838-1897).

Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi

antara

Islam

dan

ilmu

pengetahuan.

Namun,

gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki meng hadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya

ia

diusir

dari

negeri

itu.

Bagi

Afghani,

ilmu

pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim haru s juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu

pengetahuan

hanyalah

alat

untuk

prakiraan

dan

pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek. Gagasan al -Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asin g (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern,

secara

umum.

Karena

itulah,

ketika

gerakan

pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al -’Urwah alWutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu. Seperti

Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al -Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih b erhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya. Melihat peristiwa yang terjadi didunia Islam pada abad ke -17an, kecenderungan masyarakat Islam untuk melakukan k ontak dengan dunia Barat semakin tinggi. Hal ini didasari dengan kemajuan

Ilmu

pengetahuan

Barat

yang

jauh

melampaui

imajinasi mistis kaum agamawan. Semangat yang mendasari kegiatan adopsi Ilmu pengetahuan dari Barat pada dasarnya adalah

semangat

dekolonisasi

dari

bangsa

Barat.

Namun,

kegiatan tersebut mulai terindikasi menyimpang dari semangat dekolonisasi. Gencarnya kegiatan Westernisasi mulai mengkhawatirkan kaum Muslim. Selain aspek Ilmu pengetahuan dari Barat, nilai -nilai serta budaya yang tidak sesuai dengan budaya, nilai dan norma Islam-pun ikut terbawa kepada komunitas umat Islam. Hal ini membuat beberapa intelektual mulai berpikir ulang untuk melakukan adopsi ilmu pengetahuan dari Barat.

Sehingga pada tahun 1970-an di dunia Islam mulai berkembang sebuah wacana baru yaitu Islamisasi Sains/ Ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan

ini

juga

amat

memukau

banyak

orang,

tak

terkecuali Muslim. Sebagai akibat, sebagian ilmuwan Muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil

alih

secara

menyeluruh

teknologi

dan

ilmu

pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut “islamisasi” ilmu pengetahuan atau pengembangan “ilmu pengetahuan Islam”. Para pengg agas ilmu pengetahuan Islam atau islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Maka wajar pula jika serangan

terhadap

gagasan

ini

biasanya

berupa

upaya

mempertahankan premis penting itu. Dan ini biasanya datang dari Muslim praktisi ilmu pengetahuan seperti Abdus Salam. Beberapa pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed Hossein Nasr, Syed Muhamma d Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Bukanlah

suatu

kebetulan

jika

keempatnya

terdidik

di

universitas-universitas Amerika dan Eropa dan terutama menulis dalam bahasa Inggris. Wacana baru ini memang berkembang terutama di kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul secara jelas setelah paruh pertama abad ke-20 ini. C. Sinergitas Ilmu Pengetahuan dan Agama dalam Islam Mengapa agama dan ilmu pengetahuan seringkali menemukan perdebatan yang cukup sengit? Alasannya keduanya memiliki standar dan sumber pengetahuan yang dianggap berlainan. Tidak

jarang dalam sejarah kita menemukan suatu arena pertentangan antara agama dan sains yang tidak sedikit telah menimbulkan tragedi

kemanusiaan

yang

luar

biasa.

Tragedi

Ga lileo,

Copernicus mungkin menjadi salah satu sample bagaimana pertentangan kutub agama. Demikianlah dan Sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. Dari dua karekteristik di atas dapat dilihat Islam

menempatkan

pengembangan

sains

tidak

se bagai

pengembangan ilmu murni tetapi sebagai sains instrumental yang menjamin terhadap bangunan kesadaran yang mantap dan kebudayaan yang mapan. Sayangnya, pada paruh perjalanan selanjutnya ketika peradaban Islam dijarah oleh orang Eropa dan muncul pusat baru peradaban dunia dari Barat, umat Islam tidak menyadari bahwa modernitas yang dibawa oleh Eropa adalah sama dengan yang mereka alami pada masa lampau. Karena telah banyak lupa akan peradaban Islam masa lampau, umat Islam tidak mengetahui bahwa di antar a teori-teori Barat itu ada yang telah mendahului dalam Islam. Dan saat itulah muncul anggapan bahwa teori barat bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak mustahil umat Islam selama beberapa abad harus mengasingkan diri dengan ilmu non-agama. Karena mereka merasa bahwa ilmu umum adalah bagian yang berbeda dengan ilmu agama. Paradigma kelimuan masa tersebut kita sebut dengan konfrontatif-isolated. Artinya masa di mana umat Islam mulai mengkotakkan ilmu agama-non agama serta menjahui ilmu non-agama karena dianggap bertentagan dengan ajaran Islam. Pengasingan umat Islam dengan ilmu tidak hanya menyebabkan kemunduran peradaban Islam tetapi juga timbulnya keengganan untuk menggunakan

teori-teori

umum

yang dalam

bidang

pengkajian keagamaan. Sehingga paradigma kelimu an keIslaman

yang berkembang dan merata adalah pengkajian yang normative, doktriner dan ortodoks. Dari pemaparan historis di atas kita dapat menarik suatu pengalaman sejarah bahwa harus dipahami bahwa kemunduran dan runtuhnya

perdaban

Islam terjadi

ketika umat

Islam

mengucilkan diri dari ilmu pengetahuan. Paradigma konfrontatif isolated atau mungkin bisa kita sebut dengan nalar sekularistik yang dipraktekkan oleh umat masa kemunduran Islam patut menjadi pelajaran di masa yang akan datang. Tentu saja harus disadari bahwa produk keilmuan masa keemasan Islam sudah dipandang usang untuk diterapkan saat ini akan tetapi pada segi epistimologi, ontologi dan aksiologinya mungkin masih akan mengalami relevansi dengan kondisi saat ini.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pertengkaran antara Ilmu Pengetahuan di Barat lebih disebabkan adanya pemahaman bahwa Ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Karena pada awal sejarah kekuasaan Gereja Ilmu Pengetahuan terus berada di bawah kekangan agama, para Ilmuan meyakini bahwa dogma-dogma Gereja banyak yang bertentang dengan kaidah akal/ logika. Puncak konflik tersebuat adalah ketika Gereja menyatakan bahwa pusat tatasurya adalah Bumi (konsep Geosentris), ditentang oleh Copernicus dan di sempurnakan oleh penemuan Galilieo yang berkesimpulan bahwa pusat tatasurya adalah matahari (konsep Heliosentris), diakhiri dengan hukuman mati bagi Galileo atas tuduhan penentangan dogma ajaran Gereja. Galileo yang mendasarkan kesimpulannya tentang konsep Heliosentris pada kaidah empirisme menjadi pemicu bagi dunia Barat untuk melepaskan diri dari dogma-dogma ajaran Gereja yang terus menghegemoni Ilmu pengetahuan. Sampailah Barat pada kesimpulan bahwa dogma dan empirisme adalah bertentangan. Sehingga sudah sewajarnya Agama dikesampingkan dalam urusan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan dunia Islam yang semenjak abad ke-7 M telah mengenal Filsafat dari Yunani, berkeyakinan bahwa Tuhan memberikan berkah kepada manusia sebagai Khalifah adalah Akal. Berangkat dari akalah manusia mampu memahami dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebagai sebuah guidance Allah juga menurunkan Wahyu untuk lebih memperkokoh tugas manusia di dunia. Para Filosof Muslim berpendapat seluruh alam semesta adalam Unitas Multiplex atau Ganzheit bukan Summe (jumlah) serta dikuasai oleh suatu hukum pokok yaitu sunnatullah (35:43 , 48:23). Setiap kejadian didalam alam semesta terjadi bukan karena adanya chaos tetapi karena suatu hukum alam. Melihat dari setiap kejadian di alam semesta manusia berusaha untuk mengamati, meneliti dan menemukan setiap hukum kejadian antara benda dalam alam semesta. Dari sinilah pemahaman umat Islam dibangun.

Bahwa dalam setiap kejadian selalu ada hukum yang menyertainya, sehingga apabila manusia mampu menemukan dan merumuskannya dalam sebuah sistematika ilmu pengetahuan akan terjadi kemaslahatan dalam kehidupannya. Posisi Agama dan Ilmu pengetahuan di dalam Islam bukanlah belawanan, tetapi mrupkan suatu unitas yng kesemua berasal dari Allah sebagai bekal bagi manusia untuk beribadah kepada Allah. B. Saran Dalam tulisan ini penulis berusaha menjabarkan kejadian yang menjadi corcern utama dalam kaitan isu Islamisasi Sains. Namun aspek pokok dalam kaitan Islamisasi Sains yaitu aspek Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi serta kerangka bangun dari konsep islamisasi Sains belum tersentuh. Berdasarkan tema pokok makalah ini hanya membahas Sinergitas Ilmu Dan Agama Dalam Prespektif Islam. Sebagai manusia biasa penulis tentu tidak biasa luput dari khilaf, untuk mencapai ksempurnaan makalah ini penulis berhaharap memperoleh sumbangan ide dan kritik yang membangun dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Bagir, Zainal, Pluralisme Pemaknaan Dalam Sains dan Agama; Beberapa Catatan Perkembangan Mutakhir Wacana Sains dan Agama, Jurnal Relief (CRCS UGM) Vol I No I, Januari 2003. Amstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Zainul Am (penerj-) ( Bandung: Mizan). Bachtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. (Jakarta:Raja Grafindo Persada). Gazali, Hatim. Mengakhiri Pertengkaran Sains dan Agama. Jurnal Justisia, Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang. (vol.II. no.1 januari-mei 2007). Hossein Nasr, Sayyed. 2003. Islam: Agama, Sejarah dan Peradaban, Koes Adiwidjajanto (penerj-) (Jogjakarta : Risalah Gusti). ----------------, 2006. Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, A. Maimun (penerj-) (Jogjakarta: Ircisod). Kuswanjono, Arqom.2009. Integrasi Ilmu dan Agama: Prespektif Filsafat Mulla Sadra (Jogjakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM). Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Perbandingan. (Jakarta : UI Press). Santoso, Listiyono, Sunarto, dkk. 2006. Epistimologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz). Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya). Zainul Hamdi, Ahmad. 2004. Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Gerbang Filsafat Barat Modern, (Jogjakarta: LKiS). Read more at:

Related Documents


More Documents from "Pradita Pristi Nusi"